bluemoonseu

Jeremy tak tahu lagi bagaimana perasaannya, khawatir, sedih, cemas, takut, kalut, semua bercampur jadi satu ketika mengetahui Jingganya mengalami kecelakaan.

Terlebih lagi, sang mami lah yang mengabarinya. Sungguh, Jeremy tak dapat berpikir dengan jernih. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang penuh.

Dan saat ia telah sampai di rumah sakit yang diberitahukan oleh mami, ia segera menuju ke UGD. Tempat dimana Jingga dan maminya berada sekarang.

“Mami?”

Kala mata Jeremy menangkap sosok wanita paruh paya yang melahirkannya, Jeremy mendekat. “Jer, Jingga.. maafin mami,” wanita paruh baya itu bergumam menatap kearah Jeremy

“Mami, aku tahu mami nggak suka aku sama Jingga tapi apa harus gini?” ucapnya.

“Jer maksud kam—”

“Mami, apa nggak cukup pisahin aku sama orang yang aku cinta? Kenapa mami juga harus celakain Jingga?”

Wanita itu tak dapat berkata-kata kala melihat air mata Jeremy jatuh. Lelaki itu menangisi orang yang dicintainya.

“Mami, Jingga ada salah apa sama mami? Selama ini mami cuma salah paham, semua foto foto itu mami belum tahu kebenarannya, tapi kenapa mami malah celakain Jingga?”

“Jer, jangan bawa-bawa masalah papi kamu.”

Jeremy tak mendengarkan ucapan ibunya. Sebut saja ia kurang ajar, tapi ia tak akan pernah biarkan Jingga celaka lagi akibat ibunya.

“Mami Jingga sama papi itu—”

“Jeremy! Mami minta kamu nggak bicara tentang papi kamu sekarang! Hati mami sakit, Jer!”

“Terus hati aku gimana, Mi?! Mami udah pernah ngerasain gimana rasanya dipisahin sama orang yang mami cinta kan?! Kenapa mami harus lakuin itu ke aku sebelum mami tahu kebenarannya?! Kenapa mami pisahin Jeremy sama Jingga sebelumnya cuma karena Jingga punya banyak foto sama papi?!”

“Jeremy, lo apa-apaan, ini rumah sakit, Jer.”

Ditengah itu, Aidan, Noah, juga Hendra datang, menarik Jeremy menjauh dari sang mami yang terkejut.

“Mami.. asal mami tahu, mama Jingga itu psikolognya papa..” Jeremy menjelaskan semuanya pada sang mami, menceritakan kejadian yang diceritakan Jingga kepadanya secara detail kepada wanita itu.

“Mi, tolong, lain kali cari tahu dulu kebenarannya baru Mami boleh ngelakuin sesuatu. Karena perilaku mami ini nggak cuma nyakitin satu orang mami.”

Setelah berucap seperti itu, Jeremy melepas dirinya dari Aidan juga Hendra yang memeganginya. Bertepatan saat dokter keluar dari UGD.

“Dokter, bagaimana keadaan Jingga?”

“Pasien baik-baik saja, hanya kakinya terkilir dan mengalami luka kecil. Tapi kondisinya baik-baik saja. Kalian bisa masuk ke dalam. Tapi tolong tetap tenang.”

Jeremy segera masuk ke dalam ruangan Jingga selepas ucapkan terima kasih pada dokter. Meninggalkan ketiga temannya disana. Ah, dan juga sang mami yang terdiam mendengar fakta yang baru saja diberikan oleh sang anak.


“Jer,” Jingga tersenyum ketika Jeremy masuk ke dalam ruangan tempat kakinya diobati ini.

“Kamu nggak papa?”

Lelaki jangkung itu mendekat kearah Jingga yang duduk di atas kasur. Ia amati Jingga dari atas ke bawah. Ah, kaki lelaki manis itu dibalut oleh perban.

“Apakah sakit..? Jingga maafin mami ya?”

“Hah kenapa?”

“Jer,”

Belum sempat Jeremy menjawab, Aidan memanggilnya. Avenir sudah masuk ke dalam ruangan ini, bersama sang ibu yang dituntun oleh Noah.

“Tante nggak papa?”

Sebuah tanya yang diberikan Jingga itu membuat kelima orang di sana menoleh kearah lelaki itu. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu disaat dirinya sendiri tak baik baik saja?

“Jingga.. harusnya tante yang tanya kaya gitu ke kamu. Makasih ya, udah selamatin tante tadi.”

“Selamatin?”

Mami mendekat pada Jeremy, ia kemudian memeluk putra satu-satunya itu. “Jeremy maaf, maafin mami karena udah pisahin kamu sama Jingga. Mami sadar, nggak seharusnya mami bawa luka lama untuk pisahin kalian berdua, apalagi luka itu, luka yang berasal dari asumsi mami yang ternyata nggak benar sama sekali.”

“M-mami.. Jeremy minta maaf juga sudah bentak mami di depan tadi.”

Jingga tersenyum melihat keduanya. Hatinya menghangat kala mendengar ucapan mami dari Jeremy, itu artinya dirinya sudah diterima kan? Tapi tunggu dulu, bagaimana ibu Jeremy tahu jika kejadian itu tak benar?

“Tante udah tahu.. soal mama sama aku sama Om Ghail?”

Pelukan Jeremy dan ibunya terlepas. Wanita paruh baya itu mendekat kearah Jingga dan mengusak kepalanya lembut.

“Jeremy sudah kasih tahu tante tadi. Jingga? Tante minta maaf ya, sampaikan maaf tante juga ke mama kamu.”

“Tante, Jingga tahu kok perasaan tante. Jangan minta maaf, karena kalau Jingga ada di posisi tante, Jingga juga udah pasti ngelakuin hal yang sama.”

Keduanya saling melempar senyum.

Dan itu semua tak luput dari pandangan Jeremy. Lelaki itu sangat bahagia bisa melihat kedua orang yang ia cintai berbincang bersama seperti ini.

“Jer, lo mau dipeluk?”

Itu adalah celetukan dari Aidan, yang tahu jika lelaki tampan itu tengah terharu. “Nggak, makasih. Mending gue peluk Jingga.”

Kembali, tawa terdengar di ruangan itu. Ah, rasanya bahagia mengetahui kesalah pahaman mereka telah tuntas semuanya.

Jeremy juga Jingga sangat bahagia sekarang.

Mereka ber-lima berkumpul bersama, menertawakan tingkah laku Noah barusan di sosial media mereka, “Lagian ada-ada aja lo, hahahahaha,” Aidan berkata memukul punggung Noah yang duduk di sampingnya.

“Ya kan gue cuma berpendapat gitu.”

“Hahahahaha.”

Ketika Noah, Aidan, juga Hendra sibuk mengobrol, Jingga dan Jeremy asik dengan dunia mereka sendiri. Sebenarnya tuh, rencana awal mereka memang ingin pergi ke cafe. Namun pada akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke studio musik mereka, berkumpul bersama dan melepas kangen dengan Jingga – kata Noah dan Aidan.

“Kamu udah sarapan tadi?” Jeremu berbisik pada Jingga, mengabaikan ketiga partner bandnya.

“Baru sempet minum teh sih, ini kan aku masuknya sarapan juga sama kalian. Kamu udah makan ya?”

“Mhm, tadi sempet dibikinin roti sama mami,” jawab Jeremy sambil mengambil sepotong Pizza dalam kotak yang berada di meja

Jingga mangut-mangut saja. Sebenarnya ia tuh masih merasa ada yang mengganjal apabila Jeremy menyebut kata 'mami', Jingga merasa bahwa memang ada sesuatu yang belum diluruskan dan ia ingin secepatnya menyelesaikan itu.

“Jer..”

“Hm, iya?”

Walau sebenarnya hanya Jeremy saja yang dipanggil, ketiga manusia lain yang di sana juga ikut menoleh, penasaran dengan apa yang akan diucapkan oleh Jingga.

“Kalo.. lusa aku ke rumah kamu gimana? Atau besok?! Aku mau selesaiin semuanya sama mami kamu.”

Tangan Jeremy yang awalnya mau menyuapkan Pizza ke mulutnya terhenti. Lelaki itu menoleh ke arah teman temannya yang lain, seakan berbicara dengan tatapan mata, baru setelahnya kembali menoleh kearah Jingga, “Kamu.. serius?”

“Iya. Jer, rasanya tuh ada yang ganjel kalo sampai sekarang aku belum jelasin apa-apa ke mami kamu sedangkan kamu udah seneng-seneng sama aku disini sekarang.”

“Sa.”

“Iya gue tahu gue baru baikan sama Jeremy beberapa hari lalu dan kalian semua takut kalo gue nggak diterima lagi. Tapi, emang adil kalau semuanya udah aman di gue sedangkan maminya Jeremy masih dihantui sama kesalah pahaman di masa lalu?”

Jeremy tersenyum, entah bagaimana, sosok Jingga ini dapat selalu membuatnya jatuh cinta. Di matanya, Jingga adalah sosok yang sempurna. Sangat sempurna.

“Kalau gitu mau lo, kita nggak ada yang bisa ngelarang, Ga,” Aidan berucap. Diikuti yang lain.

Mereka-Hendra, Noah, juga Aidan berdoa yang terbaik untuk kedua sahabat mereka ini. Aidan tak berbohong dengan apa yang dikatakan olehnya di roomchat tadi, hatinya pun ikut sakit melihat bagaimana Jingga dan Jeremy bertengkar beberapa hari lalu.

Maka, Jika Jingga sudah berinisiatif untuk menyelesaikan semuanya sekarang, mereka pun ikut bahagia dan tak akan melarang.

Begitu juga dengan Jeremy, dipikirnya Jingga akan membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk menjelaskan, tapi ternyata tidak. Jingga memutuskan untuk memberitahu sang mami di dekat hari ini. Jeremy tak tahu lagi harus apa selain memeluk cintanya ini dengan bangga.

“Hahahaha, udah-udah jangan natep gue begitu, gue jadi pengen nangis.”

“Nangis aja gak papa, nanti kita ikut,” Noah menyahuti Jingga. Membuat Jingga tertawa.

Dan sekarang, Jingga mengerti apa artinya sahabat, mereka selalu bersamanya saat sedih maupun senang. Sekali lagi dalam hatinya, Jingga bersyukur dipertemukan dengan sosok Jeremy, Hendra, Aidan, juga Noah di hidupnya.


“Eh minumnya udah habis nih? Gue beliin ya?”

Jingga menatap botol-botol kosong diatas meja. Sudah beberapa jam mereka berkumpul di sini dan Avenir masih sibuk bermain dengan lagu-lagu mereka di sini. Memang, mereka tak pernah bisa melihat alat musik yang diam saja.

“Kamu mau aku temenin?” Jeremy bersiap menatuh gitarnya, menatap Jingga yang sudah berdiri, mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya.

“Beberapa langkah doang dari sini minimarketnya Jer, sendiri aja aku. Daripada kalian semua kehausan.”

“Yaudah hati-hati ya.” Jingga mengangguk, setelahnya ia menoleh kearah Noah, Hendra, juga Aidan. “Mau nitip gak?”

“Nitip diri lo aja biar selamat, sayang,” Aidan menyahut, kemudian dilempari botol kosong oleh Jeremy. Bukannya mengaduh, Aidan justru terkekeh.

“Cemburu ya lo?”

Jingga tersenyum melihat mereka setelahnya ia pamit untuk keluar dari studio musik milik Avenir. Ia berjalan dengan santai sambil menyenandungkan lagu-lagu milik Band teman-temannya itu. Ah, lagu mereka tak pernah ada yang gagal, memang berbakat.

Namun, senandung dari bibitnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tidak asing tengah menyebrang. Tidak ada yang salah dari itu jika saja Jingga juga tak menangkap sebuah mobil dikendarai ugal-ugalan mengarah pada sosok itu.

Jalannya pun dipercepat, setelah sampai ke sana, Jingga berlari, tak mempedulikan kendaraan lain yang membunyikan klakson karena waktu.

“Tante, awas!” Di dorongnya wanita itu menuju pinggir trotoar.

“J-Jingga?!”

Setelah hampir 5 menit berkutik dengan ponsel, Arasy akhirnya menampakkan diri di meja makan rumahnya. Ia menyapa dengan hangat ketiga orang yang tidak dikenalnya di sana— Ah, ia mungkin mengenal satu, lelaki tampan yang duduk di kursi kosong yang ia yakini adalah untuk dirinya itu bernama Sean. Arasy mendengar kedua orang tuanya memanggilnya begitu.

“Selamat sore, maaf saya terlambat.”

Sebuah senyum manis Arasy suguhkan kepada mereka, termasuk kepada mama papa, serta kakaknya yang berada di sana.

“Sore, ini Rasy ya?”

Arasy mendudukkan dirinya di kursi kosong tadi kemudian mengangguk dan tersenyum. “Iya tante, saya Rasy, hehe.”

Kekehan di akhir itu menggundang senyuman gemas dari lelaki di depan Arasy. Arasy sadar bahwa lelaki di depannya itu tersenyum karenanya, tapi ia memilih untuk mengabaikan.

“Yaudah ayo makan dulu,” papa Arasy membuka suara, mempersilahkan semua yang ada di sana untuk memakan hidangan yang sudah disiapkan oleh sang istri.


“Ekhm! Jadi, Rasy..”

Arasy tengah sibuk dengan dessert pudding mangganya ketika sang papa mengeluarkan suara.

Makan malam telah selesai sedari tadi, jadi kedua keluarga itu mengobrol, dan Arasy yang tak paham akhirnya memilih untuk mengambil dessert favoritnya untuk dimakan. Ia tak berniat mendengarkan obrolan mereka.

“Iya papa?” sendoknya ditaruh, Arasy menatap sang papa dengan penasaran.

“Kamu nikah sama Sean, sebulan lagi.”

Arasy tersedak. Pudding mangga yang tersisa di mulutnya itu masuk ke saluran pernafasannya secara tiba-tiba. Apa apaan?

“Papa.. tuh kan anaknya jadi keselek. Rasy, sini lihat mama,” sang mama yang duduk di dekat Rasy memberikan minum — yang langsung ditegak habis oleh Arasy dan kemudian meminta sang anak untuk menatap dirinya.

“Kamu bakal nikah sebulan lagi sama Sean, sayang. Kamu mau kan?” Arasy refleks melirik Sean yang berada di depannya.

“Mama tahu kamu itu masih muda banget, tapi mau ya?” lanjutnya.

“Sy? Kamu mau ka—”

No?! Pa, ma, Rasy kan belum lulus kuliah? Gimana mau urus rumah tangga?”

Setelah berucap demikian, Arasy menoleh ke arah Sean beserta kedua orang tuanya — ah atau bisa dikatakan calon suami dan calon mertuanya. “Maaf om, tante, Kak Sean, Rasy belum mau nikah,” lanjutnya kemudian meninggalkan meja makan.

Sang mama menatap khawatir. “Sean, maaf ya.”

“Nggak papa tante, Sean paham kok. Kalau Sean mau bicara sama anaknya, boleh?”

Tentu saja papa dan mama Arasy mengangguk. “Anaknya paling ke taman di belakang, duduk di kolam ikannya.”


“Hai.”

Paras ayu Arasy tampak lesu di mata Sean. Lelaki manis itu ternyata berlari ke belakang rumah, benar saja, Arasy duduk di pinggir kolam ikan yang diameternya hampir 3 meter di taman belakang rumah.

“Kak Se..” Sean terkekeh pelan mendengar cara Arasy memanggilnya. Ini pertama kali.

“Saya boleh duduk?”

Arasy mengangguk.

“Kamu nggak ingat sama saya?” satu pertanyaan itu membuat Arasy menerawang ke apa yang ia tweet di akun kosongannya tadi. Laki laki ini memang tidak asing, namun Arasy tak tahu siapa.

“Saya dulu kating kamu waktu kamu baru pertama kali masuk kuliah. Kamu ingat? Orang yang pernah pinjam pena ke kamu? Itu saya.”

Ingatan Arasy menerawang ke satu setengah tahun yang lalu.

Ah, iya, waktu itu ada seorang yang menghentikan dirinya ketika mau keluar dari gedung universitas. Arasy ingat, ia sangat panik karena salah satu kakak tingkat menghentikan dirinya di tengah gerbang, dipikirnya ia melakukan sesuatu kesalahan atau apa. Ternyata lelaki yang menghentikannya itu meminjam pena untuk mencatat sesuatu.

Dan ternyata, lelaki itu Sean, orang yang berada di hadapannya, orang yang dijodohkan dengannya. Takdir yang lucu, pikir Arasy.

“Sudah ingat? Sejak saat itu saya perhatiin kamu, Rasy. Saya bekerja keras sampai saya berada di titik ini sekarang, sampai saya sukses dan kemudian saya bawa orang tua saya untuk berbicara dengan orang tua kamu.”

Arasy terperangah. “Jadi..”

“Iya, ini bukan pertama kalinya saya kesini. Seminggu lalu, sebelum saya pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis saya menyempatkan diri untuk mengajak orang tua saya ke rumah ini. Melamar kamu. Tapi sayangnya saat itu kamu sedang menginap di rumah teman kamu.”

“Terus.. Kak Se.. mama sama papa terima?”

“Iya, mereka terima lamaran saya untuk kamu. Lagipula, kedua orang tua saya ternyata mengenal orang tua kamu, jadi ya.. begitu. Saya kemarin niatnya menunggu kamu pulang, tapi pekerjaan saya tidak membantu. Saya baru bisa kesini lagi hari ini, untuk bertemu kamu.”

Arasy terharu, lelaki ini datang kepadanya disaat sudah berada di atas. Alih alih meminta dirinya untuk menunggu, mendampinginya untuk mencapai kesuksesan, Sean justru bekerja keras sendiri dan menemui dirinya dalam versi terbaik.

“Rasy..” Sean menyentuh dagu Arasy, meminta lelaki manis itu menatapnya.

Dan ketika netra keduanya bertemu, Sean tersenyum lembut. “Saya tahu ini terlalu tiba-tiba. Bahkan kamu masih sangat muda. Tapi saya tidak tahu lagi kapan waktu yang tepat untuk melamar kamu, Rasy. Maka dari itu hari ini saya ke sini, datang untuk menjadikan kamu milik saya.”

“K-kak Se.. ”

“Gentala Arasy, i really really love you. Would you marry me?”

“Aku belum cinta sama kakak..”

Sean tertawa pelan, netranya masih ia kunci pada netra bintang milik Arasy, membuat yang ditatap juga tak bisa mengalihkan pandangan. “Nggak papa, cinta itu bakal datang karena terbiasa, saya yakin kamu pasti akan balas cinta saya.”

Arasy menggigit bibirnya, jujur saja, jantungnya berdegup sangat kencang sekarang. Pipinya pun terasa panas. Sean menatapnya dalam sedari tadi, bagaimana ia bisa biasa saja?

“Jadi, Rasy, apa kamu mau nikah sama saya?” Sean kembali mengeluarkan suara.

Arasy menarik nafasnya panjang sebelum ia memberanikan diri tersenyum. Ia memberikan senyum usilnya, tak peduli dengan jarak wajah Sean yang berjarak hanya 5 centi dari wajahnya.

“Kak Sean, Rasy ini calon pendamping kakak dan kakak masa masih mau pakai ‘saya’ ‘saya’ ke Rasy?”

Sebenarnya bukan maksud Jeremy untuk menuduh Ankasa, teman lamanya, sebagai orang yang memegang ponselnya dan mengirim menfess berisi masalah pribadinya dengan Jingga itu. Namun disaat menfess itu dikirim, Ankasa tengah berada di rumahnya – dengan dalih ingin menjenguk sang mami.

Jika iya benar pelakunya adalah Ankasa, untuk apa pula lelaki itu melakukannya? Dan darimana lelaki itu mengetahui semuanya? Pasal Jingga dan mamanya juga mengenai kejadian 12 tahun lalu dan foto-fotonya.

“Sa,” Jeremy memanggil ketika Ankasa sudah berada di pandangannya. Lelaki yang kerap dipanggil ankasa itu menoleh dan tersenyum. “Hai, Jer, jadi lo mau bicarain apa ke gue?”

Jeremy duduk di dekat lelaki itu, “Lo, kemarin mainin hape gue, waktu gue lagi nenangin mami?”

“Hah?”

“Waktu kemarin gue ninggalin hape gue sama lo di ruang tamu sebelum gue masuk ke kamar mami. Lo ambil atau megang hape gue?”

“Lo jangan asal nuduh, Jer!” Ankasa berdiri, menatap nyalang kearah Jeremy yang juga melemparkan tatapan yang sama.

“Lo jawab aja pertanyaan gue, Sa. Lo megang hape gue apa enggak waktu kemarin?”

“Jer gue nggak ngirim menfess itu dari hape lo, lo kenapa nuduh gue begini? Gue juga bukan orang yang kirim kotak itu ke rumah lo!”

Bingo.

Jeremy terkekeh, ia kemudian berdiri dihadapan Ankasa. “Gue cuma tanya lo megang hape gue apa enggak, loh, Sa. Lo tinggal jawab ya atau enggak aja sebenernya. Tapi makasih, gue jadi nggak perlu buang buang tenaga lagi buat tanya.”

Selepas berkata, Jeremy berikan satu pukulan di pipi kanan Ankasa, gerakan tiba-tiba itu tentu saja tak dapat di tahan oleh Ankasa, lelaki itu tersungkur ke tanah sebelum akhirnya Jeremy menarik kerahnya dan mendekat. “Sebenernya, apa motif lo, Sa? Kenapa lo kirim kotak itu ke mami? Kenapa lo juga kirim menfess itu? Parahnya lagi, lewat hape gue dan buat Jingga musuhin gue?”

Hening, lelaki yang kerahnya masih dicengkram erat oleh Jeremy itu tak menjawab. “Lo jawab, atau bogem gue mendarat lagi di muka lo?”

“Jer,”

“Jangan manggil nama gue, jawab pertanyaan gue.”

“Lo lepas, dan gue bakal jelasin, semuanya.”


Ankasa bersumpah, dulunya ia memiliki keluarga yang bahagia, ayah dan ibu yang menyayanginya, ah- juga seorang adik yang selalu membela dirinya. Namun, semua itu berubah saat kecelakaan itu terjadi. Ayah dan Ibunya direnggut bersamaan, meninggalkan Ankasa dan adiknya berdua.

Selama ini, Ankasa dan adiknya bekerja keras demi bertahan hidup, rasanya susah untuk mempunyai tanggung jawab yang besar di usia begini. Apalagi adiknya seringkali mengalami gangguan, menyebabkan adiknya itu harus pergi ke pskiater.

Demi Tuhan, Ankasa sangat menyayangi adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa. Ia hanya mau adiknya bahagia.

“Kayana sering cerita ke gue tentang mamanya Jingga, gue seneng dia punya orang buat jadi tempat bercerita. Dan sebenarnya, Jer, gue sadar, Kayana naruh rasa iri ke Jingga. Dia cerita banyak tentang Jingga, mamanya, dan juga lo, orang yang disayang sama Jingga.”

“Terus motif lo begini itu apa?”

“Gue kirim kotak itu supaya lo sama Jingga nggak direstuin. Gue nggak suka, Jer. Gue nggak suka lihat adik gue selalu cerita ke gue gimana bahagianya Jingga waktu dia sama lo. Adik gue, Kayana, udah lama gue nggak lihat dia bahagia, dan ketemu Jingga itu buat adik gue makin sedih. Dia seringkali bandingin dirinya sama Jingga, dan gue nggak suka.”

Jeremy tertawa, hanya itu? Hanya karena itu dan dia membuat Jingga, lelaki yang dicintainya itu mengalami cyber-ah bukan, bahkan ia sudah dimaki-maki secara langsung. “Gue tahu lo sayang sama adik lo, Sa. Tapi apa gini caranya? Lo pikir dengan buat Jingga sedih, adik lo bakal bahagia? Dia justru bakal malu sama kelakuan lo, kakaknya!”

“Jer..”

“Lo bahkan bikin mami gue salah paham sama papi, Sa. Lo pernah mikir nggak sih? Lo juga gimana bisa dapet foto-foto lama itu?”

Ankasa kalah telak, Ia sadar ia salah, ia sadar ia mengorbankan banyak kebahagiaan orang karena perilakunya. Ia pun sadar, jika adiknya, Kayana, tahu apa yang ia lakukan, adiknya itu akan marah padanya.

“Gue.. pernah nganter Kayana ke rumah Jingga.. dan gue nemu itu.”

“Selamat, Sa. Lo bikin kebahagiaan banyak orang hancur. Juga, makasih, gue hargain usaha lo bikin Jingga jatuh, tapi catet ucapan gue, Jingga gue gak akan pernah jatuh cuma karena itu, gue sama Jingga pun nggak akan pernah bisa lo pisahin mau gimanapun caranya,” Jeremy berhenti sejenak.

“Karena Jingga itu rumah gue, tempat gue berpulang. Sekeras apapun lo mencoba buat kasih seorang jalan yang salah, seorang itu bakal balik ke rumahnya, ke tempat dimana dia bakal selalu tinggal dan ada di sana.”

Setelahnya Jeremy pergi meninggalkan Ankasa yang terdiam di sana.

Sebenarnya siapa yang jahat di sini? Ankasa pun punya alasan kenapa ia melakukan itu, walau ia sadar sekarang, bahwa dirinya salah besar dengan menganggap bahwa jika Jingga sedih maka Kayana akan senang.

Padahal faktanya, Kayana selalu mendoakan kebahagiaan Jingga setiap harinya dan Ankasa tak pernah tahu tentang itu.

“Jer, kamu langsung ketuk aja kamarnya Jingga. Daritadi dipanggil nggak nyahut.”

Dengan begitu, Jeremy langsung meminta ijin untuk ke kamar Jingga, pintu itu tertutup rapat. Perlahan, Jeremy langkahkan kakinya mendekat ke kamar tidur Jingga dan mengetuknya.

“Jingga?”

Tak ada jawaban, tapi Jeremy tahu, Jingga mendengarnya.

“Jingga, I'm really sorry. Aku jujur sama kamu, aku nggak pernah sekalipun benci kamu. Jingga.. Apa yang aku dapetin dengan orang-orang menyerang kamu? Nggak ada. Aku nggak akan pernah mau mereka throwing hate ke kamu, sayang. Please, percaya sama aku.”

Jeremy menempelkan puncak kepalanya di pintu coklat milik Jingga, entah bagaimana, rasanya Jeremy benar-benar rindu dengan lelaki manis itu. Sangat rindu.

“Jingga, let's talk. Ada banyak masalah yang harus kita selesaiin sekarang.”

Sedangkan di dalam, Jingga hanya menatap pintunya dengan tatapan kosong. Ia mendengar semua ucapan Jeremy tapi ia takut. Ujaran kebencian yang ditujukan kepada sang mama, orang yang sangat ia sayangi itu, masih terngiang di kepalanya. Jingga benci itu.

Jingga sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan jika dirinya dibenci, jika dirinya dilempari kata-kata makian, atau jika dirinya dilukai. Tapi, jika ini semua sudah menyangkut sang mama, Jingga takut. Jingga tak suka dengan itu semua.

Mama, malaikatnya yang merawatnya seorang diri semenjak kecil tidak layak menerima sebuah makian atau kebencian.

“Jingga, 10 menit aja. Biar aku jelasin semua ke kamu.”

Suara Jeremy kembali terdengar. Perlahan Jingga bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan pelan dan membuka pintu kamarnya. Biarkan Jeremy menjelaskan, karena Jingga tak mau ada lagi kesalah pahaman. Jingga sadar, walau suasananya tengah kacau begini, ia harus tetap memakai pikirannya dengan baik. Jingga tak mau semuanya makin kacau.

“Hai, Jer..” Jingga berucap pelan. Ia membuka lebar pintu kamarnya dan membiarkan Jeremy masuk.

Ini pertama kalinya Jeremy ada di sana. Kamar Jingga sangat rapih dengan foto-foto yang ditempel di dinding. Jika keadaan tak sedang begini maka Jeremy pasti sudah mengambil ponselnya dan memotret foto-foto disana untuk ia simpan.

Keduanya duduk di sofa kamar Jingga. Canggung. “Jingga,” si lelaki jangkung memulai pembicaraan yang hanya dibalas Jingga dengan gumaman. Lelaki rubah itu tak mau menatap ke arah Jeremy. Ia memilih untuk menatap lantai kamarnya.

Entah apa yang menarik di sana.

“Percaya sama aku, aku bener-bener nggak pernah kirim apapun ke base.”

Jingga memejamkan matanya, kata-kata makian itu kembali ada di kepalanya. Seolah meneriaki dirinya, padahal jelas-jelas Jingga di sini hanya sendiri-ah, berdua dengan Jeremy.

Mengetahui lelaki yang dicintainya sedang tidak baik-baik saja, Jeremy putuskan mengambil tangan Jingga dan mengenggamnya. Membuat Jingga refleks mendongak, menatap ke wajah tampan yang selalu hinggap di pikirannya tiap malam itu.

“Lihat mata aku Jingga, aku nggak akan pernah bohong, sama kamu. Percaya sama aku, keluarin semua yang ada di pikiran kamu sekarang. Jangan dipendem sendiri,” bagai sebuah sihir, Jingga akhirnya membuka mulutnya, mau berkata sesuatu, namun tidak jadi. Jingga ragu.

“Aku tahu, karena kamu lihat nama aku sebagai pengirim menfess itu, kamu jadi ragu sama aku. Tapi Jingga, aku udah di depan kamu sekarang dan aku di sini mau pecahin semua keraguan kamu itu, keraguan kamu ke aku.”

“Jer..”

“Ya?”

“Gue benci, gue benci mereka lemparin kata-kata yang kasar ke mama, meski gue tau, mama nggak baca, tapi.. hati gue sakit, Jer,” pada akhirnya lelaki itu membuka suara, ia tatap netra Jeremy dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Jingga, maaf.”

Dan mendengar itu, pecah sudah tangisan Jingga. Jingga tak suka seorang pun meminta maaf padanya, termasuk Jeremy. Walau sekarang Jingga tengah memiliki masalah dengan lelaki itu, tapi Jingga tak suka.

“J-jangan.. minta maaf.”

“Aku nggak suka lihat air mata kamu. Maaf, sudah buat kamu berkali-kali jatuhin air mata kamu yang berharga itu karena aku. Maaf, karena masalah kita ini membuat kepala kamu selalu dipenuhi banyak hal yang buruk.”

Jeremy membawa tangan Jingga untuk ia kecup, ia bersumpah. Hatinya benar-benar sakit saat ini. Melihat Jingga menangis, membuat dirinya merasa gagal melindungi orang yang dicintainya ini.

Sedangkan Jingga, ia tak merespon apa-apa. Kecupan ditangannya oleh Jeremy memang buat jantungnya berdebar, tapi itu semua dikalahkan dengan kekalutannya.

“Jeremy.”

“Iya, Jingga?”

“Ayo ketemu mama. Biar mama cerita semua ke kamu.”

Dan hari ini, hati mereka berpulang ke tempatnya.

Hendra tak pernah sekalipun melihat sahabatnya seperti ini, ini pertama kalinya. Pertama kalinya Jingga terlihat sangat-sangat kacau. Saat Hendra masuk ke dalam salah satu gedung fakultasnya ini, ia melihat Jingga disana. Berjongkok di pojok sambil menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan.

“Aksara..” Hendra memanggil pelan. Ia berlari ke sahabatnya itu dan memeluknya. Dapat Hendra rasakan, tubuh sahabatnya itu bergetar saat ia bawa ke dalam pelukannya. “Ini gue, Sa.. Ini gue, tenang.”

Dan perlahan, pelukan Hendra dibalas oleh Jingga, lelaki manis itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hendra. “M-mereka ngata-ngatain gue sepanjang jalan, Hen.. Gue tadi sengaja di tarik ke belakang sampai gue jatuh. Hendra, gue salah apa? Gue cuma mau bela nama baik mama gue tapi kenapa gue malah diginiin?”

Rahang Hendra mengeras. Jujur pada awalnya ia berfikir memang ada seseorang yang iseng pada Jingga. Namun ternyata ia salah, sahabatnya semenjak kecil ini menerima banyak kebencian karena memutuskan hubungannya dengan Jeremy.

Selama ini, mungkin Hendra hanya akan memberi peringatan lewat akun twitternya, karena ia tahu bahwa Jingga tak akan jatuh hanya dengan ucapan menjatuhkan dari sebuah akun anonim. Tapi kali ini, mereka benar-benar sudah kelewatan jika sampai membauuat Jingga terluka.

Dan Hendra tak akan diam karena itu.


Kini mereka berada di kamar milik Jingga. Setelah bersusah payah melindungi Jingga keluar dari fakultas itu, akhirnya Hendra dapat membawa sang sahabat kembali ke rumahnya.

Kondisi Jingga masih sama, lelaki manis itu hanya diam sambil menangis di pelukan Hendra. Ah, dan juga mama berada bersama mereka sekarang. Wanita paruh baya yang awalnya kembali ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal itu, kini berada di sana karena khawatir dengan keadaan putra satu-satunya.

“Sa, jelasin sama mama, ada apa?” Jingga hanya menggeleng, ia tetap berada di pelukan Hendra, memilih diam. Maka dari itu, Hendra lah yang memilih untuk membuka suara.

Lelaki sahabat Jingga itu menceritakan semua dari awal, masalah Jeremy hingga yang tadi. Tentu saja tidak detail, karena hendra hanya tahu dari cerita Jingga juga Jeremy beberapa minggu yang lalu.

Dan mendengar cerita dari Hendra, sang mama tak bisa untuk diam saja. Ia menjadi akar masalah di sini, jika saja tak ada kesalah pahaman mengenai dirinya dan Ghail, mungkin ini semua tak akan terjadi.

“Hendra, Ghail itu pasien mama.”


Ghail, seorang pasien yang tentu saja akan sangat diingat oleh mama juga Jingga. Walau hanya sebatas pasien, tapi pria itu juga memiliki kenangan dengan keduanya.

Ghail mengalami depresi ringan. Bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan sang istri dan anak memang adalah kewajibannya, namun lama-kelamaan ia merasa lelah. Pria itu merasa lelah, ia kehilangan banyak waktu dengan keluarganya.

Pun ketika hasil pemeriksaan kesehatannya berkata bahwa ia mengidap kanker. Pria itu makin merasa lelah, ia tak mau keluarganya mengetahui ini. Maka dari itu Ghail memutuskan untuk bertemu dengan mama. Mama lah yang selalu meminta Ghail untuk terbuka kepada keluaganya, namun Ghail tak bisa, ia tak akan pernah bisa melihat raut terluka dari kedua orang yang dicintainya itu.

Maka pria itu memilih berkeluh kesah dengan mama, yang memang bekerja sebagai psikiater, setiap minggunya.

Dari situ, Jingga bertemu Ghail. Kehadiran pria yang dipanggilnya dengan Om Ghail itu membuat Jingga kecil senang, sosok itu membuat dirinya merasakan bagaimana rasanya memiliki ayah. Jingga selalu bercerita pada pria paruh baya itu dan sebaliknya, pria itu juga sering bercerita mengenai Jeremy kepada Jingga.

Kepergian Ghail tentu saja bagai sebuah pukulan besar bagi Jingga, bahkan sampai sekarang Jingga dan mama masih rutin mengunjungi makam Ghail setiap beberapa bulan sekali.

“Mama nggak pernah sekalipun berpaling dari suami mama. Ghail, walau dia memang seorang yang penting bagi mama juga Aksara, tapi hubungan kami hanya sebatas pasien dan dokter. Yah, walau Aksara memang menganggapnya sebagai sosok ayah, tapi bagi mama, ia adalah pasien mama. Tidak lebih.”

Sebuah kisah panjang itu akhirnya diketahui oleh Hendra. Ah, ternyata Ghail yang seringkali disebut oleh Jingga dan Mama itu adalah ayah dari Jeremy.

“Dan Aksara, kenapa nggak cerita sama Jeremy? Sa, mama tahu kamu sakit hati karena ucapan maminya Jeremy, tapi apa Jingga nggak berpikir gimana sakitnya Jeremy waktu gini? Kalian udah sejauh ini, sayang.”

“Mama bener, lo harusnya cerita yang sebenernya ke Jeremy. Dan kalian pasti bakal ketemu jalan keluarnya, buat cerita yang sebenernya ke maminya Jeremy.”

Jingga yang masih berada di pelukan Hendra itu kini menunduk, “.. Udah terlambat, mama. Aku udah lukain hati Jeremy.”

“Aksara lihat mama,” ucap si wanita yang langsung dituruti Jingga. Setelahnya dapat Jingga rasakan sang mama menghapus air matanya.

“Jingga Aksara, kamu tahu? Mama bangga sama kamu, banget. Kamu rela melepas orang yang kamu cinta demi nama baik mama, itu hal yang hebat yang pernah putra mama ini lakukan,” wanita itu berucap. Berhenti sebentar sebelum melanjutkan,

“Tapi, kamu harus tau, kamu pun nggak boleh nyerah soal cinta kamu. Nggak pernah ada kata terlambat buat melakukan sesuatu, sayang. Minta maaf, jelasin semua ke Jeremy dan kalian berjuang bersama untuk cinta kalian.”

“Apa Jeremy mau maafin aku?”

You don't know until you try it, Ga. Gue yakin, Jeremy pun nggak akan dengan mudah lepasin lo setelah tahu kebenarannya.”

Jingga tersenyum pada akhirnya, ia membawa kedua orang yang berharga di hidupnya ini ke dalam pelukan. Sebuah hal yang ia syukuri ia dikelilingi oleh orang-orang baik.

“Aksara bakal cerita ke Jeremy, dan apapun nanti hasilnya- Jeremy mau balik sama Aksara atau enggak- bakal Aksara terima.”

Dari kemarin, Axel sebenarnya sudah sangat khawatir. Jika biasanya ia menitipkan Jio dan Cei ke orang tua atau mertuanya -yang sudah terbiasa dengan tingkah random keduanya, kini ia harus menitipkan keduanya ke salah seorang tetangga mereka, Randu dan Jaka serta putra-putri mereka.

Walau Randu berkata tidak papa, tapi tetap saja. Siapa sih yang tidak khawatir putra-putrinya merepotkan orang lain?

“Pa!”

Suara itu terdengar setelah Randu mempersilahkan Axel serta Aksa masuk ke dalam rumahnya. Di sana, Cei yang tengah digendong oleh Senjana mengulurkan tangannya kearah Axel yang baru masuk. Ia rindu papanya.

“Kak, Ceinya mau digendong?” Senjana berceletuk, ia mendekat kearah Axel juga Aksa. Gadis itu bertanya sebab ia tahu bahwa Aksa dan Axel pasti kelelahan. Bagaimana tidak? Keduanya baru saja kembali dari bandara.

“Hahaha, iya sini kakak gendong Ceinya.. eum.. kamu Senja kan?”

Senjana mengangguk antusias mendengar ucapan Axel, ia kemudian memberikan Cei kepada Axel. Batita itu langsung memeluk sang papa kalau sampai di gendongan.

“Jio sama Cei pinter banget kak, gilaa. Aku, Raga, sama Mas Jiwa merasa bodoh.”

“Lah itu sadar juga kamu, Kak.”

“Ayah kok gituuuu?!”

Celetukan Jaka yang baru saja keluar dari dapur mengambil minum itu membuat semua yang ada di sana tertawa –kecuali Cei dan Jio tentu saja.

Omong-omong tentang Jio, lelaki kecil itu kini tengah duduk dengan tenang di pangkuan Jiwaka, sibuk bermain dengan ponsel yang entah milik siapa sampai tak sadar jika orang tuanya sudah di dalam.

“Eh, Kak Jaka.”

Jaka tersenyum mendengar celetukan Axel, “Lo berdua jadi makan di sini kan?”

“Iya. Maaf nih kak dari kemaren gue sama Axel ngerepotin mulu.”

“Santai aja, Sa. Gue udah berpengalaman ngurus anak-anak.”

“Halah, padahal mah kemarin kita yang ngurusin, ayah kan pergi sama baba dihh. Ngaku-ngaku!”

Aksa dan Axel yang mendengar itu hanya tertawa canggung.

“Sa, Xel, maafin gue nih ya. Sehari-hari emang begini. Maklumin aja.”


“Jio seneng nggak di sini?”

Kini dua keluarga itu sudah duduk di meja makan, mengobrol bersama dan mengakrabkan diri. Bahkan Aksa yang awalnya canggung dengan Jaka pun kini sudah mengobrol akrab sedari tadi.

Pertanyaan itu dibubuhkan oleh Ragandra, namun bukannya menjawab Jio hanya mengangguk dan menunduk menjawabnya. “Besok main kesini lagi sama Kak Jiwa, Raga, sama Senja ya? Sama Kak Jingga juga.”

Anggukan lagi.

Perilaku Jio itu disadari oleh Aksa yang sedari tadi mendengarkan juga melihat. “Kak Jio, itu diajak ngomong sama Kak Raga. Jawab yang sopan, daddy nggak pernah ajarin kamu jawab orang lain kaya begitu.”

Demi Tuhan, bagi Jio, Aksa yang sudah begitu adalah Aksa yang menyeramkan. Jika sang Daddy sudah begitu, maka Jio maupun Cei akan menangis ketika mendengarnya.

Benar saja, tak lelaki kecil jagoan Aksa dan Axel itu sudah berkaca-kaca sambil menatap sang daddy yang menatapnya datar. “Huks! Maaf daddy, huks. Iya kak, Ji seneng di sini.”

“Pa! Nja! Ji ngis! (Pa! Senja! Ji nangis!)” Cei yang tengah di pangku oleh Senjana dan disuapi oleh Axel itu menunjuk kearah Jio yang tengah menangis. Gadis kecil itu mana bisa melihat kakaknya menangis.

“Iya kakak nangis, Cei bujuk dong kakaknya,” Axel hanya mengelus kepala Cei dengan sayang. “Dad lah (Dad marah)” celetuk gadis kecil itu lagi tak menghiraukan ucapan Axel sebelumnya.

“Daddy nggak marah sayang, Cei, cup cup malu dilihat Kak Senja tuh,” Axel berucap lagi menenangkan Cei. Sungguh sebenarnya di dalam hati ia sudah tak enak dengan Jaka, Randu juga triplets, tapi memang kalau tidak begini Jio tidak akan belajar.

“Ga, gendong gih, tenangin anaknya,” Jaka berceletuk.

“Yang ada makin nangis, Yah! Orang pada takut sama Raga, tuh Cei juga takut sama Raga hahahaha,” Jiwaka menjawab.

“Eh? Serius? Kakak minta maaf banget ya, Raga,” Axel berkata.

Namun bukan Ragandra yang menjawab setelahnya, Randu lah yang berceletuk dikala putranya itu baru mau membuka mulut —membuat Ragandra menghela nafasnya pasrah. “Hadeh, Xel, santai aja, memang kurang senyum anaknya, nakut-nakutin. Udah ya, Jio nggak boleh nangis lagi ya, sayang?” Randu membujuk pada akhirnya.

“Daddy pernah bilang sama Jio daddy nggak suka Jio nangis kan? Ayo berhenti. Malu dilihat kakak-kakak sama om,” Aksa yang melihat Jio tak berhenti menangis memutuskan menghampiri Jio dan menggendong jagoannya.

“Maaf ya, daddy gitu karena Jio memang nggak sopan sama Kak Raga. Dad nggak pernah ajarin Jio buat bersikap kaya gitu sama orang lain, apalagi yang lebih tua dari Jio.”

“Huks! I'm sorry daddy.”

“Iya sayang, daddy minta maaf juga ya, udah buat Jio takut. Minta maaf juga udah buat Cei takut,” Aksa mendekat ke tempat duduk Senjana dan mengelus kepala Cei dengan Jio di gendongannya.

“Ayah kapan begitu sama kita deh. Aku iri. Kak Aksa sama Kak Axel buka lowongan jadi anak nggak sih?”

“Heh Ragandra!”


“Kak Jaka, Kak Randu, sekali lagi makasih banyaaak! Senja, Jiwa, sama Raga juga makasih banyak yaa udah mau ngurus Jio sama Cei.”

“Santai aja kak Axel, sekalian tuh Senja biar latihan punya anak. Katanya kan mau nikah muda.”

Axel dan Aksa yang sudah berada di dalam mobil membulatkan matanya sebentar baru terkekeh. Memang ada-ada saja kelakuan ketiganya itu. Namun walau begitu, Aksa dan Axel sangat bersyukur ketiganya menjaga Jio dan Cei dengan sangat baik.

“Heh Mas!”

“Udah udah kalian tuh, malu dilihat anak kecil.”

“Hahahaha, yaudah Kak Randu, gue sama Axel balik dulu ya, nanti gantian main ke rumah kalo senggang.”

Jaka dan Randu mengangguk sembari terkekeh, sepertinya bukan mereka, namun triplets lah yang akan sering bermain ke rumah Aksa dan Axel.

“Jio, Cei pamit dulu sama om sama kakak-kakak,” Axel berceletuk.

“Om Ran, Om ka, Kak Jiwa, Kak Senja, Kak Ga, makasih, besok-besok kita main lagi yaa?!”

“Ndu, Ka, Wa, Nja, Aga, dahh!”

Kedua kakak dan adik itu mengabsen nama mereka satu persatu dan berdadah ria. Entah mau berapa kali lagi Randu, Jaka, juga triplets dibuat gemas dengan putra putri salah satu member Azora's tersebut.

“Hahahaha, iya, nanti kita main lagi okee?” Senjana menjawab.

“Siap! / Key!”

Setelahnya Aksa dan Axel berpamitan sekali lagi baru mobil yang dikendarai oleh Aksa berjalan meninggalkan rumah Sadewata. Di perjalanan yang hanya sekitar 5 menit itu, Jio bercerita banyak mengenai hari-harinya di sana. Bahkan Cei terkadang juga menyahut dengan lucu.

“Tapi dad.”

“Hm? Kenapa Ji?”

“Kemalin waktu ada Kak Jingga, Kak Jingga bilang kalo Kak Senja, Kak Jiwa, sama Kak Raga ke.. eum.. kegoblokan? Itu artinya apa dad?”

Mampus.

Dan di rumah Sadewata, Jaka yang tengah membantu triplets merapikan barang-barang bersama Randu berceletuk, “Jio sama Cei lucu ya, Ran? Kalo kita nambah lagi gimana?”

“AYAH!”

Rasanya ada yang mengganjal di hati Jeremy kala Jingga memutuskan untuk mengakhiri fase pendekatan mereka melalui pesan. Jeremy paham sebenarnya, ia paham jika Jingga sakit hati dengan ucapan sang ibu.

Pada awalnya Jeremy ingin memberikan waktu kepada Jingga untuk menenangkan diri baru setelahnya menjelaskan semua pada dirinya maupun sang ibu – yang memang tak mengetahui apa-apa mengenai hubungan Jingga berserta mamanya dengan sang papi.

Tapi ternyata Jingga tak mau.

Jeremy pun memahami itu, kalau dirinya juga berada di posisi Jingga ia pun akan melakukan hal yang sama. Siapa yang tidak sakit hati jika saat mau menjelaskan dirinya selalu disela dengan tuduhan yang bahkan belum diketahui kebenaraannya?

Maka Jeremy memutuskan untuk menghargai keputusan Jingga. Namun, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal apabila mereka belum berbicara empat mata. Ada yang mengganjal kala hubungan mereka diselesaikan begitu saja lewat pesan.

Jeremy butuh berbicara pada Jingga. Ia mau Jingga menegaskan di depan matanya, bahwa lelaki manis itu sudah tak mau lagi melanjutkan hubungan dengannya.

Maka ketika Jingga memasuki kantin fakultas dimana Aidan, Noah, dan juga Jeremy tengah berkumpul, Jeremy langsung beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Jingga – setelah bertanya kepada Hendra juga tentunya.

“Jingga.”

Lelaki manis yang dipanggil namanya menoleh, ia menemukan Jeremy di sana. Batinnya sudah bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan orang yang.. ekhm... dicintainya ini?

“Ikut gue, bentar.”

Jingga awalnya mengira Jeremy akan meminta ijin untuk mengobrol dengannya, namun ia salah. Jeremy menarik tangannya dan membawa dia menuju taman yang berada di dekat gedung fakultas mereka.

“Jer! Lo mau apaan sih?” Jingga melepaskan genggaman Jeremy pada tangannya, karena demi Tuhan tangannya saat ini sudah memerah akibat genggaman juga tarikan Jeremy.

“Aku perlu ngomong sama kamu, Jingga.”

Alis Jingga menukik tajam, “Ya lo kalo ngomong ijin dulu kenapa sih, Jer? Tangan gue sakit lo tarik begini.”

Jika saja keadaannya tidak seperti ini, pasti sekarang Jeremy tengah tersenyum gemas melihat ekspresi Jingga. Namun sayang, kali ini lelaki itu hanya bisa terdiam.

“Maaf,” ia berkata, mencoba untuk kembali meraih tangan Jingga. Namun, Jingga dengan cepat menghindari genggaman Jeremy itu, ia bawa tangannya ke belakang tubuh kemudian tatap mata Jeremy. Mengisyaratkan si lelaki untuk segera mengucapkan apa yang ia mau.

“Jingga, apa kamu nggak mau berjuang lagi sama aku? Aku berharap kamu tarik semua ucapan kamu itu, Jingga. Kamu bisa bilang yang sebenernya ke mami.”

“Emang mami lo bakal percaya sama ucapan gue, Jer? Nggak.”

“Kamu bisa cerita sama aku, Jingga. Aku percaya sama kamu,” Jeremy mengambil tangan Jingga, ia mengenggam tangan mungil itu dan mengelusnya dengan lembut.

Kalau boleh jujur, Jingga rindu diperlakukan seperti ini oleh Jeremy. Tapi Jingga masih mengingat jelas semua ucapan mami Jeremy tentang ibunya itu. Sebenarnya itu tuduhan yang salah dan sebenarnya Jingga tahu apabila dirinya mau untuk menjelaskan, hubungannya dengan Jeremy tak akan menjadi seburuk ini.

Tapi, ia sudah kehilangan sang papa dari kecil dan selama itu sang mama lah yang merawatnya, mendidiknya hingga tumbuh dengan baik, mama lah yang berusaha keras bekerja demi menghidupi dirinya. Dan Jingga akan merelakan apa saja untuk menjaga nama baik keluarganya, demi sang mama. Termasuk jika itu harus memisahkan dirinya dengan orang yang dicintainya.

“Udahlah, Jer. Lupain aja.” Jingga melepas genggaman tangan Jeremy dan berbalik. Berniat meninggalkan lelaki itu dari sana.

Namun baru saja Jingga melangkah, suara lirih Jeremy – yang masih dapat didengarnya membuatnya menghentikan langkah.

Did you ever really love me, Aksara?” Nama belakangnya disebut.

I loved you first, Jeremy.

Hatinya mau ia berkata seperti itu, namun tidak. Jika seperti itu, Jeremy tak akan bisa melupakan dirinya dan bangkit. Jingga tak mau egois dengan menahan lelaki itu disaat dirinya bahkan tak memberikan sebuah kejelasan di hubungan keduanya.

No, gue gak pernah bener-bener cinta sama lo. Jadi jangan cinta sama gue lagi, Jer.”

Jingga mengepalkan tangannya erat, ia akan membenci dirinya sendiri untuk ini. Lelaki manis itu segera pergi meninggalkan Jeremy yang mematung di sana.

“Jeremy, maaf.”

Seperti yang dikatakan oleh Adam tadi, kini sepasang kekasih yang sudah hampir delapan tahun bersama itu tengah 'kencan' berdua. Mengingat masa-masa dimana keduanya masih berada di sekolah menengah atas juga ketika berada di dunia perkuliahan.

Tidak, keduanya tidak kencan ke restoran mewah atau pantai, dan segala macamnya yang berbau romantis. Adam hanya membawa Raya ke sebuah food festival yang diadakan di kota mereka.

“Gimana kerjaan?”

Rafael bertanya sambil memakan satu telur gulung yang tadi dibelikan Adam untuknya. Keduanya duduk di tengah keramaian orang, menikmati keramaian yang berada di food festival tersebut sambil sesekali berbasa-basi, bertanya mengenai hari satu sama lain — mengingat sudah hampir beberapa minggu keduanya sibuk dengan pekerjaan.

“Ya gitulah, lo kaya nggak tahu papi aja gimana kalo ngasih anaknya kerjaan,” Adam menjawab pertanyaan Rafael dengan cuek. Lelaki itu mendekat kearah Rafael dan membuka mulutnya. Meminta lelaki manisnya untuk menyuapkan telur gulung itu kepadanya, yang tentu dituruti oleh Rafael kala ia mengerti apa maksud kekasihnya itu.

“Sibuk banget ya? Hahahahaha. Kantor gue juga lagi sibuk banget.”

“Ya baguslah daripada lo bosen gue tinggal kerja mulu.”

“Hah?”

“Ya lo kan bucin sama gue, ditinggal bentar udah ngerengek.”

“Dih?”

Rafael menatap Adam sinis yang dibalas tawa oleh Adam. Setelahnya mereka tak ada percakapan. Rafael kembali menatap ke depan, menatap anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari di depannya sambil membawa gulali, permen kapas, kue, dan bahkan es krim.

“Ray.”

“Hm?” Satu tusukan telur gulung dilahap oleh Rafael sebelum ia menoleh kearah Adam yang menatap dirinya serius.

“Nikah sama gue, yuk?”

Uhuk!

“H-hah? Lo s-serius?” Raya menepuk lehernya sendiri, rasanya ia ingin memukul Adam karena berkata seperti itu disaat ia tengah mengunyah telur gulungnya. Di mana akhlak lelaki itu?

“Ya ngapain gue main-main sih. Nih minum, sampe kesedak begitu,” Adam menyodorkan satu botol air mineral yang langsung ditegak habis oleh Rafael.

“Ya lo nya! Ngajak nikah berasa ngajak makan cilok. Gampang bener,” sungutnya. Tapi tak dapat dipungkiri, kini jantung Rafael berdebar kencang, perutnya seakan dipenuhi oleh kupu-kupu berterbangan.

Ah, sudah lama rasanya Rafael tak merasakan ini karena kesibukan keduanya.

“Hahaha, tapi gue serius, Ray. Kita udah barengan hampir delapan tahun. Gue udah mapan begini, kerja di perusahaan Papi.”

Raya menaruh botol minum di bawah kursinya kemudian kembali tatap kekasihnya itu. “Lo udah yakin?”

“Ya yakin, kenapa enggak? Delapan tahun udah cukup buat gue mengenal lo, Ray. Gue gak mau lagi ngabisin waktu lebih banyak buat ngegantung lo dengan status pacaran ini. Gue mau lo sepenuhnya jadi milik gue.”

Rafael tak dapat berkata apa-apa lagi. Adam, kekasihnya yang biasanya cuek minta ampun ini bisa berucap begini pada dirinya. Jika Athlan maupun Ciel mendengarnya, mungkin mereka sudah mengejek lelaki itu habis-habisan.

“Lo.. mau kan? Nikah sama gue?” Adam merogoh sakunya dan menunjukkan sebuah cincin di dalam kotak beludru. Cincin yang dibeli olehnya atas jerih payahnya sendiri. Cincin yang sudah dibelinya semenjak ia baru memulai kerjanya, yang memang ia niat berikan kepada sang kekasih disaat sudah ia sudah mencapai mimpinya.

“Di tengah keramaian gini banget..?” cicit Rafael ketika dirinya menatap cincin di tangan Adam dan pemegangnya bergantian.

Adam terkekeh, “Gue tau, harusnya gue ngelamar lo di restoran mewah atau apalah itu yang biasa orang orang lakuin. Tapi gue mikir, gue mau ngelamar lo di tempat yang memang sederhana ini. Supaya lo tau, gue gak perlu tempat mewah, gue gak perlu jas atau apa itu buat ngelamar lo.”

Adam menarik nafasnya, sebelum melanjutkan, “Karena dimana pun lo sama gue berada, cinta gue bakal tetep sama. Toh, ditengah keramaian begini, mereka sibuk sama kesibukan mereka sendiri. Ya kalo ada yang sadar mah bagus, jadi mereka bakal iri sama lo, ya gak?”

Sudah dapat dipastikan, wajah Rafael memerah padam. “Jadi.. kita nikah?” tanyanya pelan.

“Kalo lo terima cincin gue, ayo.”

Dengan gemetar, Rafael mendekat kearah Adam. Ia dekatkan indra berbicaranya pada indra pendengaran Adam dan berbisik pelan.

“Ayo, nikah, Dam.”

Sedari tadi lelaki bernama Jevano itu terus mondar-mandir di depan ruang kelas Araya. Menunggu anak-anak kelas sepuluh di kelas itu dipulangkan oleh sang guru.

“Jev? Ngapain kamu di depan ruang kelas sepuluh?”

Guru yang mengajar kelas dimana Araya berada itu mendekat kearah Jendela. Wanita paruh baya itu membuka kaca jendela dan menegur sang ketua OSIS kebanggan sekolah mereka itu.

“Eh, Bu, hehe. Saya nunggu kelasnya ibu dipulangin.”

“Kamu nunggu siapa emangnya?”

“Nunggu Araya, Bu, mau saya ajak jalan.”

Ternyata, suara Jevano cukup keras sehingga siswa-siswi di kelas itu mendengarnya-termasuk Araya. Si manis itu merona parah, apalagi sekarang semua anak di sana menyoraki dirinya.

“Ohh, pacar kamu ya, Jev?” sang guru bertanya.

“Bukan, Bu. tapi orang yang bakal jadi pendamping saya sampai tua nanti.”

“CIEE AYAAAA!!”


Setelah menunggu 15 menit, akhirnya kelas yang sedari tadi ditunggu kepulangannya oleh Jevano itu dipulangkan juga oleh sang guru. Ketika melihat lelaki manis pujaannya itu keluar dengan menunduk malu dan wajah memerah, Jevano tak bisa untuk tidak terkekeh.

Pasalnya lelaki yang seringkali membuat Jevano gemas itu sedari 15 menit lalu diejek oleh teman-teman sekelasnya, bahkan sesekali gurunya juga ikut menyahuti.

“Heii, kenapa nunduk mulu?”

“Kak Ano diem aja mendingan, shussh!”

Jevano makin tertawa, ia kemudian taruh telunjuknya di bawah dagu Araya, meminta lelaki manis itu menatap wajahnya. Dan disaat Araya sudah menatap wajahnya, Jevano tersenyum lembut, eyesmilenya yang selalu buat Araya jatuh cinta itu terlihat begitu jelas di netra Araya.

Ah, jantung Araya rasanya berdebar begitu hebat.

“Kamu itu gemes banget sih.”

“SHUUUUSHH!”

“Hahahahahahahaha, iya iya udah, Aya. Yuk.”

Araya menaikkan alisnya bingung ketika mendengar ajakan dari kakak kelasnya itu. Memangnya mereka mau kemana?

“Kok 'yuk'?”

“Loh kan kita mau jalan?”

“KAK ANO NGGA BILANG AYA?!”

Jevano terkekeh, “Iya aku baru bilang mama kamu. Mau jalan nggak nih tapi?”

Araya kembali menunduk malu, ia menggenggam erat tali tas ranselnya kemudian menggumam pelan, “Mau..”

“Hah? Aya bilang apa? Kakak ngga denger.”

“IYA AYA MAU ISH!”

“Hahahahaha.”

Dan kini, mereka telah berada di taman.

Bukan taman bermain atau apapun itu, mereka hanya berada di taman biasa. Duduk sambil memperhatikan anak kecil yang berlarian ke sana dan kemari dengan balon-balon di tangan mereka.

“Aya, kamu tahu kan kakak udah di kelas akhir? Nggak sampai setahun lagi kakak udah nggak di sekolah yang sama kaya Aya, kakak bakal kuliah.”

Araya yang awalnya menatap kegiatan anak-anak kecil menggemaskan di sana menoleh.

Benar juga, sebentar lagi mungkin ia tak akan dapat melihat Jevano di sekolah.

Dan karena Araya tak tahu mau dibawa kemana pembicaraan ini oleh Jevano, maka dari itu si manis itu hanya mengangguk menjawab pertanyaan Jevano. Ia meminta Jevano menyelesaikan ucapannya terlebih dahulu.

“Rasanya kakak sedih juga seneng. Kakak sedih nanti nggak bisa lihat Aya setiap hari, tapi kakak juga seneng akhirnya sebentar lagi kakak bakal lulus.”

“Kakak nggak bakal lihat Aya? Artinya Aya juga nggak bisa lihat kakak lagi?”

Jevano mendekat ke Araya. Ia genggam tangan mungil itu dan mengelusnya dengan ibu jarinya. “Aya bisa lihat kakak kok, tapi Aya, kakak mau kejar mimpi kakak. Kakak mau kuliah di luar kota.”

“Kak Ano ninggalin Aya?”

Jevano menggeleng, ia kemudian putuskan berdiri dan berjongkok dihadapan Araya yang tengah duduk di kursi taman itu. Tangan Araya yang masih digenggam olehnya dikecup dengan manis. “Kakak nggak ninggalin Aya. Kakak mau jadi orang yang sukses dulu baru nanti kakak bakal dateng lagi ke Aya sebagai Jevano yang lebih baik, bahkan yang paling baik. Karena apa? Karena kakak mau Aya dapet yang terbaik.”

Araya yang mendengarnya tersenyum. Ia berdiri kemudian tarik Jevano untuk berdiri juga dihadapannya. Setelahnya Araya tatap netra milik kakak kelas yang dicintainya itu.

“Aya nggak mau kakak balik ke Aya waktu kakak udah sukses. Aya nggak mau cuma nikmatin kesuksesan kakak, Aya mau jadi orang yang dukung kakak di perjalanan kakak buat jadi sukses itu.”

Araya menghela nafasnya, ia kemudian kembali lemparkan senyum pada Jevano. “Aya mau jadi orang yang temenin kakak dari nol, bukan yang dateng waktu kakak udah sukses aja.”

“Aya...”

“Kak Ano, Aya juga cinta sama kakak,” balasan Aya untuk chat terakhir dari Jevano.

Ini terlalu tiba-tiba. Araya sedari tadi membuat jantungnya berdebar-debar kencang. Jevano tak tahu lagi harus apa selain memeluk Araya ke dalam pelukan. Ia bahagia.

Araya mau menemaninya untuk mengejar mimpinya, maka ia pun akan berusaha keras supaya dapat mencapai mimpinya itu dan membuat Araya bangga.

“Kak Ano,” masih di dalam pelukan, Araya memanggil kakak kelasnya. “Iya, Aya?”

“Aya mau jadi pacar kakak.”

Jevano terkejut, ia melepas pelukannya dan menatap kearah Araya. “Aya, kamu nggak masalah kalo nanti kita bakal jalanin hubungan jarak jauh?”

“Itu masih berapa lama sih kak? Aya baru masuk sekitar 2,5 bulan ke sekolah. Kita buat banyak memori bareng bareng dulu baru nanti kakak kuliah. Nanti kita bisa chat juga vidcall kan?”

Araya pun dapat menempatkan dirinya sebagai orang yang dewasa untuk memperjuangkan cintanya

Jevano tersenyum. “Jadi, kita pacaran, hm?” tanyanya menggoda lelaki di hadapannya. Wajah lelaki manis itu tambah merona.

Tapi untuk kali ini ia tak menuduk. Ia menatap wajah Jevano dengan tegas dan mengangguk.

“Iya kita pacaran. Aya is Kak Ano's

Pada akhirnya, cinta kita lah yang paling penting. Tak peduli bagaimana susahnya nanti, kita berdua akan berjuang bersama untuk melawan itu, kan?