I Loved You First

Rasanya ada yang mengganjal di hati Jeremy kala Jingga memutuskan untuk mengakhiri fase pendekatan mereka melalui pesan. Jeremy paham sebenarnya, ia paham jika Jingga sakit hati dengan ucapan sang ibu.

Pada awalnya Jeremy ingin memberikan waktu kepada Jingga untuk menenangkan diri baru setelahnya menjelaskan semua pada dirinya maupun sang ibu – yang memang tak mengetahui apa-apa mengenai hubungan Jingga berserta mamanya dengan sang papi.

Tapi ternyata Jingga tak mau.

Jeremy pun memahami itu, kalau dirinya juga berada di posisi Jingga ia pun akan melakukan hal yang sama. Siapa yang tidak sakit hati jika saat mau menjelaskan dirinya selalu disela dengan tuduhan yang bahkan belum diketahui kebenaraannya?

Maka Jeremy memutuskan untuk menghargai keputusan Jingga. Namun, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal apabila mereka belum berbicara empat mata. Ada yang mengganjal kala hubungan mereka diselesaikan begitu saja lewat pesan.

Jeremy butuh berbicara pada Jingga. Ia mau Jingga menegaskan di depan matanya, bahwa lelaki manis itu sudah tak mau lagi melanjutkan hubungan dengannya.

Maka ketika Jingga memasuki kantin fakultas dimana Aidan, Noah, dan juga Jeremy tengah berkumpul, Jeremy langsung beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Jingga – setelah bertanya kepada Hendra juga tentunya.

“Jingga.”

Lelaki manis yang dipanggil namanya menoleh, ia menemukan Jeremy di sana. Batinnya sudah bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan orang yang.. ekhm... dicintainya ini?

“Ikut gue, bentar.”

Jingga awalnya mengira Jeremy akan meminta ijin untuk mengobrol dengannya, namun ia salah. Jeremy menarik tangannya dan membawa dia menuju taman yang berada di dekat gedung fakultas mereka.

“Jer! Lo mau apaan sih?” Jingga melepaskan genggaman Jeremy pada tangannya, karena demi Tuhan tangannya saat ini sudah memerah akibat genggaman juga tarikan Jeremy.

“Aku perlu ngomong sama kamu, Jingga.”

Alis Jingga menukik tajam, “Ya lo kalo ngomong ijin dulu kenapa sih, Jer? Tangan gue sakit lo tarik begini.”

Jika saja keadaannya tidak seperti ini, pasti sekarang Jeremy tengah tersenyum gemas melihat ekspresi Jingga. Namun sayang, kali ini lelaki itu hanya bisa terdiam.

“Maaf,” ia berkata, mencoba untuk kembali meraih tangan Jingga. Namun, Jingga dengan cepat menghindari genggaman Jeremy itu, ia bawa tangannya ke belakang tubuh kemudian tatap mata Jeremy. Mengisyaratkan si lelaki untuk segera mengucapkan apa yang ia mau.

“Jingga, apa kamu nggak mau berjuang lagi sama aku? Aku berharap kamu tarik semua ucapan kamu itu, Jingga. Kamu bisa bilang yang sebenernya ke mami.”

“Emang mami lo bakal percaya sama ucapan gue, Jer? Nggak.”

“Kamu bisa cerita sama aku, Jingga. Aku percaya sama kamu,” Jeremy mengambil tangan Jingga, ia mengenggam tangan mungil itu dan mengelusnya dengan lembut.

Kalau boleh jujur, Jingga rindu diperlakukan seperti ini oleh Jeremy. Tapi Jingga masih mengingat jelas semua ucapan mami Jeremy tentang ibunya itu. Sebenarnya itu tuduhan yang salah dan sebenarnya Jingga tahu apabila dirinya mau untuk menjelaskan, hubungannya dengan Jeremy tak akan menjadi seburuk ini.

Tapi, ia sudah kehilangan sang papa dari kecil dan selama itu sang mama lah yang merawatnya, mendidiknya hingga tumbuh dengan baik, mama lah yang berusaha keras bekerja demi menghidupi dirinya. Dan Jingga akan merelakan apa saja untuk menjaga nama baik keluarganya, demi sang mama. Termasuk jika itu harus memisahkan dirinya dengan orang yang dicintainya.

“Udahlah, Jer. Lupain aja.” Jingga melepas genggaman tangan Jeremy dan berbalik. Berniat meninggalkan lelaki itu dari sana.

Namun baru saja Jingga melangkah, suara lirih Jeremy – yang masih dapat didengarnya membuatnya menghentikan langkah.

Did you ever really love me, Aksara?” Nama belakangnya disebut.

I loved you first, Jeremy.

Hatinya mau ia berkata seperti itu, namun tidak. Jika seperti itu, Jeremy tak akan bisa melupakan dirinya dan bangkit. Jingga tak mau egois dengan menahan lelaki itu disaat dirinya bahkan tak memberikan sebuah kejelasan di hubungan keduanya.

No, gue gak pernah bener-bener cinta sama lo. Jadi jangan cinta sama gue lagi, Jer.”

Jingga mengepalkan tangannya erat, ia akan membenci dirinya sendiri untuk ini. Lelaki manis itu segera pergi meninggalkan Jeremy yang mematung di sana.

“Jeremy, maaf.”