Home

“Jer, kamu langsung ketuk aja kamarnya Jingga. Daritadi dipanggil nggak nyahut.”

Dengan begitu, Jeremy langsung meminta ijin untuk ke kamar Jingga, pintu itu tertutup rapat. Perlahan, Jeremy langkahkan kakinya mendekat ke kamar tidur Jingga dan mengetuknya.

“Jingga?”

Tak ada jawaban, tapi Jeremy tahu, Jingga mendengarnya.

“Jingga, I'm really sorry. Aku jujur sama kamu, aku nggak pernah sekalipun benci kamu. Jingga.. Apa yang aku dapetin dengan orang-orang menyerang kamu? Nggak ada. Aku nggak akan pernah mau mereka throwing hate ke kamu, sayang. Please, percaya sama aku.”

Jeremy menempelkan puncak kepalanya di pintu coklat milik Jingga, entah bagaimana, rasanya Jeremy benar-benar rindu dengan lelaki manis itu. Sangat rindu.

“Jingga, let's talk. Ada banyak masalah yang harus kita selesaiin sekarang.”

Sedangkan di dalam, Jingga hanya menatap pintunya dengan tatapan kosong. Ia mendengar semua ucapan Jeremy tapi ia takut. Ujaran kebencian yang ditujukan kepada sang mama, orang yang sangat ia sayangi itu, masih terngiang di kepalanya. Jingga benci itu.

Jingga sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan jika dirinya dibenci, jika dirinya dilempari kata-kata makian, atau jika dirinya dilukai. Tapi, jika ini semua sudah menyangkut sang mama, Jingga takut. Jingga tak suka dengan itu semua.

Mama, malaikatnya yang merawatnya seorang diri semenjak kecil tidak layak menerima sebuah makian atau kebencian.

“Jingga, 10 menit aja. Biar aku jelasin semua ke kamu.”

Suara Jeremy kembali terdengar. Perlahan Jingga bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan pelan dan membuka pintu kamarnya. Biarkan Jeremy menjelaskan, karena Jingga tak mau ada lagi kesalah pahaman. Jingga sadar, walau suasananya tengah kacau begini, ia harus tetap memakai pikirannya dengan baik. Jingga tak mau semuanya makin kacau.

“Hai, Jer..” Jingga berucap pelan. Ia membuka lebar pintu kamarnya dan membiarkan Jeremy masuk.

Ini pertama kalinya Jeremy ada di sana. Kamar Jingga sangat rapih dengan foto-foto yang ditempel di dinding. Jika keadaan tak sedang begini maka Jeremy pasti sudah mengambil ponselnya dan memotret foto-foto disana untuk ia simpan.

Keduanya duduk di sofa kamar Jingga. Canggung. “Jingga,” si lelaki jangkung memulai pembicaraan yang hanya dibalas Jingga dengan gumaman. Lelaki rubah itu tak mau menatap ke arah Jeremy. Ia memilih untuk menatap lantai kamarnya.

Entah apa yang menarik di sana.

“Percaya sama aku, aku bener-bener nggak pernah kirim apapun ke base.”

Jingga memejamkan matanya, kata-kata makian itu kembali ada di kepalanya. Seolah meneriaki dirinya, padahal jelas-jelas Jingga di sini hanya sendiri-ah, berdua dengan Jeremy.

Mengetahui lelaki yang dicintainya sedang tidak baik-baik saja, Jeremy putuskan mengambil tangan Jingga dan mengenggamnya. Membuat Jingga refleks mendongak, menatap ke wajah tampan yang selalu hinggap di pikirannya tiap malam itu.

“Lihat mata aku Jingga, aku nggak akan pernah bohong, sama kamu. Percaya sama aku, keluarin semua yang ada di pikiran kamu sekarang. Jangan dipendem sendiri,” bagai sebuah sihir, Jingga akhirnya membuka mulutnya, mau berkata sesuatu, namun tidak jadi. Jingga ragu.

“Aku tahu, karena kamu lihat nama aku sebagai pengirim menfess itu, kamu jadi ragu sama aku. Tapi Jingga, aku udah di depan kamu sekarang dan aku di sini mau pecahin semua keraguan kamu itu, keraguan kamu ke aku.”

“Jer..”

“Ya?”

“Gue benci, gue benci mereka lemparin kata-kata yang kasar ke mama, meski gue tau, mama nggak baca, tapi.. hati gue sakit, Jer,” pada akhirnya lelaki itu membuka suara, ia tatap netra Jeremy dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Jingga, maaf.”

Dan mendengar itu, pecah sudah tangisan Jingga. Jingga tak suka seorang pun meminta maaf padanya, termasuk Jeremy. Walau sekarang Jingga tengah memiliki masalah dengan lelaki itu, tapi Jingga tak suka.

“J-jangan.. minta maaf.”

“Aku nggak suka lihat air mata kamu. Maaf, sudah buat kamu berkali-kali jatuhin air mata kamu yang berharga itu karena aku. Maaf, karena masalah kita ini membuat kepala kamu selalu dipenuhi banyak hal yang buruk.”

Jeremy membawa tangan Jingga untuk ia kecup, ia bersumpah. Hatinya benar-benar sakit saat ini. Melihat Jingga menangis, membuat dirinya merasa gagal melindungi orang yang dicintainya ini.

Sedangkan Jingga, ia tak merespon apa-apa. Kecupan ditangannya oleh Jeremy memang buat jantungnya berdebar, tapi itu semua dikalahkan dengan kekalutannya.

“Jeremy.”

“Iya, Jingga?”

“Ayo ketemu mama. Biar mama cerita semua ke kamu.”

Dan hari ini, hati mereka berpulang ke tempatnya.