Mad
Sebenarnya bukan maksud Jeremy untuk menuduh Ankasa, teman lamanya, sebagai orang yang memegang ponselnya dan mengirim menfess berisi masalah pribadinya dengan Jingga itu. Namun disaat menfess itu dikirim, Ankasa tengah berada di rumahnya – dengan dalih ingin menjenguk sang mami.
Jika iya benar pelakunya adalah Ankasa, untuk apa pula lelaki itu melakukannya? Dan darimana lelaki itu mengetahui semuanya? Pasal Jingga dan mamanya juga mengenai kejadian 12 tahun lalu dan foto-fotonya.
“Sa,” Jeremy memanggil ketika Ankasa sudah berada di pandangannya. Lelaki yang kerap dipanggil ankasa itu menoleh dan tersenyum. “Hai, Jer, jadi lo mau bicarain apa ke gue?”
Jeremy duduk di dekat lelaki itu, “Lo, kemarin mainin hape gue, waktu gue lagi nenangin mami?”
“Hah?”
“Waktu kemarin gue ninggalin hape gue sama lo di ruang tamu sebelum gue masuk ke kamar mami. Lo ambil atau megang hape gue?”
“Lo jangan asal nuduh, Jer!” Ankasa berdiri, menatap nyalang kearah Jeremy yang juga melemparkan tatapan yang sama.
“Lo jawab aja pertanyaan gue, Sa. Lo megang hape gue apa enggak waktu kemarin?”
“Jer gue nggak ngirim menfess itu dari hape lo, lo kenapa nuduh gue begini? Gue juga bukan orang yang kirim kotak itu ke rumah lo!”
Bingo.
Jeremy terkekeh, ia kemudian berdiri dihadapan Ankasa. “Gue cuma tanya lo megang hape gue apa enggak, loh, Sa. Lo tinggal jawab ya atau enggak aja sebenernya. Tapi makasih, gue jadi nggak perlu buang buang tenaga lagi buat tanya.”
Selepas berkata, Jeremy berikan satu pukulan di pipi kanan Ankasa, gerakan tiba-tiba itu tentu saja tak dapat di tahan oleh Ankasa, lelaki itu tersungkur ke tanah sebelum akhirnya Jeremy menarik kerahnya dan mendekat. “Sebenernya, apa motif lo, Sa? Kenapa lo kirim kotak itu ke mami? Kenapa lo juga kirim menfess itu? Parahnya lagi, lewat hape gue dan buat Jingga musuhin gue?”
Hening, lelaki yang kerahnya masih dicengkram erat oleh Jeremy itu tak menjawab. “Lo jawab, atau bogem gue mendarat lagi di muka lo?”
“Jer,”
“Jangan manggil nama gue, jawab pertanyaan gue.”
“Lo lepas, dan gue bakal jelasin, semuanya.”
Ankasa bersumpah, dulunya ia memiliki keluarga yang bahagia, ayah dan ibu yang menyayanginya, ah- juga seorang adik yang selalu membela dirinya. Namun, semua itu berubah saat kecelakaan itu terjadi. Ayah dan Ibunya direnggut bersamaan, meninggalkan Ankasa dan adiknya berdua.
Selama ini, Ankasa dan adiknya bekerja keras demi bertahan hidup, rasanya susah untuk mempunyai tanggung jawab yang besar di usia begini. Apalagi adiknya seringkali mengalami gangguan, menyebabkan adiknya itu harus pergi ke pskiater.
Demi Tuhan, Ankasa sangat menyayangi adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa. Ia hanya mau adiknya bahagia.
“Kayana sering cerita ke gue tentang mamanya Jingga, gue seneng dia punya orang buat jadi tempat bercerita. Dan sebenarnya, Jer, gue sadar, Kayana naruh rasa iri ke Jingga. Dia cerita banyak tentang Jingga, mamanya, dan juga lo, orang yang disayang sama Jingga.”
“Terus motif lo begini itu apa?”
“Gue kirim kotak itu supaya lo sama Jingga nggak direstuin. Gue nggak suka, Jer. Gue nggak suka lihat adik gue selalu cerita ke gue gimana bahagianya Jingga waktu dia sama lo. Adik gue, Kayana, udah lama gue nggak lihat dia bahagia, dan ketemu Jingga itu buat adik gue makin sedih. Dia seringkali bandingin dirinya sama Jingga, dan gue nggak suka.”
Jeremy tertawa, hanya itu? Hanya karena itu dan dia membuat Jingga, lelaki yang dicintainya itu mengalami cyber-ah bukan, bahkan ia sudah dimaki-maki secara langsung. “Gue tahu lo sayang sama adik lo, Sa. Tapi apa gini caranya? Lo pikir dengan buat Jingga sedih, adik lo bakal bahagia? Dia justru bakal malu sama kelakuan lo, kakaknya!”
“Jer..”
“Lo bahkan bikin mami gue salah paham sama papi, Sa. Lo pernah mikir nggak sih? Lo juga gimana bisa dapet foto-foto lama itu?”
Ankasa kalah telak, Ia sadar ia salah, ia sadar ia mengorbankan banyak kebahagiaan orang karena perilakunya. Ia pun sadar, jika adiknya, Kayana, tahu apa yang ia lakukan, adiknya itu akan marah padanya.
“Gue.. pernah nganter Kayana ke rumah Jingga.. dan gue nemu itu.”
“Selamat, Sa. Lo bikin kebahagiaan banyak orang hancur. Juga, makasih, gue hargain usaha lo bikin Jingga jatuh, tapi catet ucapan gue, Jingga gue gak akan pernah jatuh cuma karena itu, gue sama Jingga pun nggak akan pernah bisa lo pisahin mau gimanapun caranya,” Jeremy berhenti sejenak.
“Karena Jingga itu rumah gue, tempat gue berpulang. Sekeras apapun lo mencoba buat kasih seorang jalan yang salah, seorang itu bakal balik ke rumahnya, ke tempat dimana dia bakal selalu tinggal dan ada di sana.”
Setelahnya Jeremy pergi meninggalkan Ankasa yang terdiam di sana.
Sebenarnya siapa yang jahat di sini? Ankasa pun punya alasan kenapa ia melakukan itu, walau ia sadar sekarang, bahwa dirinya salah besar dengan menganggap bahwa jika Jingga sedih maka Kayana akan senang.
Padahal faktanya, Kayana selalu mendoakan kebahagiaan Jingga setiap harinya dan Ankasa tak pernah tahu tentang itu.