Araya is Jevano's

Sedari tadi lelaki bernama Jevano itu terus mondar-mandir di depan ruang kelas Araya. Menunggu anak-anak kelas sepuluh di kelas itu dipulangkan oleh sang guru.

“Jev? Ngapain kamu di depan ruang kelas sepuluh?”

Guru yang mengajar kelas dimana Araya berada itu mendekat kearah Jendela. Wanita paruh baya itu membuka kaca jendela dan menegur sang ketua OSIS kebanggan sekolah mereka itu.

“Eh, Bu, hehe. Saya nunggu kelasnya ibu dipulangin.”

“Kamu nunggu siapa emangnya?”

“Nunggu Araya, Bu, mau saya ajak jalan.”

Ternyata, suara Jevano cukup keras sehingga siswa-siswi di kelas itu mendengarnya-termasuk Araya. Si manis itu merona parah, apalagi sekarang semua anak di sana menyoraki dirinya.

“Ohh, pacar kamu ya, Jev?” sang guru bertanya.

“Bukan, Bu. tapi orang yang bakal jadi pendamping saya sampai tua nanti.”

“CIEE AYAAAA!!”


Setelah menunggu 15 menit, akhirnya kelas yang sedari tadi ditunggu kepulangannya oleh Jevano itu dipulangkan juga oleh sang guru. Ketika melihat lelaki manis pujaannya itu keluar dengan menunduk malu dan wajah memerah, Jevano tak bisa untuk tidak terkekeh.

Pasalnya lelaki yang seringkali membuat Jevano gemas itu sedari 15 menit lalu diejek oleh teman-teman sekelasnya, bahkan sesekali gurunya juga ikut menyahuti.

“Heii, kenapa nunduk mulu?”

“Kak Ano diem aja mendingan, shussh!”

Jevano makin tertawa, ia kemudian taruh telunjuknya di bawah dagu Araya, meminta lelaki manis itu menatap wajahnya. Dan disaat Araya sudah menatap wajahnya, Jevano tersenyum lembut, eyesmilenya yang selalu buat Araya jatuh cinta itu terlihat begitu jelas di netra Araya.

Ah, jantung Araya rasanya berdebar begitu hebat.

“Kamu itu gemes banget sih.”

“SHUUUUSHH!”

“Hahahahahahahaha, iya iya udah, Aya. Yuk.”

Araya menaikkan alisnya bingung ketika mendengar ajakan dari kakak kelasnya itu. Memangnya mereka mau kemana?

“Kok 'yuk'?”

“Loh kan kita mau jalan?”

“KAK ANO NGGA BILANG AYA?!”

Jevano terkekeh, “Iya aku baru bilang mama kamu. Mau jalan nggak nih tapi?”

Araya kembali menunduk malu, ia menggenggam erat tali tas ranselnya kemudian menggumam pelan, “Mau..”

“Hah? Aya bilang apa? Kakak ngga denger.”

“IYA AYA MAU ISH!”

“Hahahahaha.”

Dan kini, mereka telah berada di taman.

Bukan taman bermain atau apapun itu, mereka hanya berada di taman biasa. Duduk sambil memperhatikan anak kecil yang berlarian ke sana dan kemari dengan balon-balon di tangan mereka.

“Aya, kamu tahu kan kakak udah di kelas akhir? Nggak sampai setahun lagi kakak udah nggak di sekolah yang sama kaya Aya, kakak bakal kuliah.”

Araya yang awalnya menatap kegiatan anak-anak kecil menggemaskan di sana menoleh.

Benar juga, sebentar lagi mungkin ia tak akan dapat melihat Jevano di sekolah.

Dan karena Araya tak tahu mau dibawa kemana pembicaraan ini oleh Jevano, maka dari itu si manis itu hanya mengangguk menjawab pertanyaan Jevano. Ia meminta Jevano menyelesaikan ucapannya terlebih dahulu.

“Rasanya kakak sedih juga seneng. Kakak sedih nanti nggak bisa lihat Aya setiap hari, tapi kakak juga seneng akhirnya sebentar lagi kakak bakal lulus.”

“Kakak nggak bakal lihat Aya? Artinya Aya juga nggak bisa lihat kakak lagi?”

Jevano mendekat ke Araya. Ia genggam tangan mungil itu dan mengelusnya dengan ibu jarinya. “Aya bisa lihat kakak kok, tapi Aya, kakak mau kejar mimpi kakak. Kakak mau kuliah di luar kota.”

“Kak Ano ninggalin Aya?”

Jevano menggeleng, ia kemudian putuskan berdiri dan berjongkok dihadapan Araya yang tengah duduk di kursi taman itu. Tangan Araya yang masih digenggam olehnya dikecup dengan manis. “Kakak nggak ninggalin Aya. Kakak mau jadi orang yang sukses dulu baru nanti kakak bakal dateng lagi ke Aya sebagai Jevano yang lebih baik, bahkan yang paling baik. Karena apa? Karena kakak mau Aya dapet yang terbaik.”

Araya yang mendengarnya tersenyum. Ia berdiri kemudian tarik Jevano untuk berdiri juga dihadapannya. Setelahnya Araya tatap netra milik kakak kelas yang dicintainya itu.

“Aya nggak mau kakak balik ke Aya waktu kakak udah sukses. Aya nggak mau cuma nikmatin kesuksesan kakak, Aya mau jadi orang yang dukung kakak di perjalanan kakak buat jadi sukses itu.”

Araya menghela nafasnya, ia kemudian kembali lemparkan senyum pada Jevano. “Aya mau jadi orang yang temenin kakak dari nol, bukan yang dateng waktu kakak udah sukses aja.”

“Aya...”

“Kak Ano, Aya juga cinta sama kakak,” balasan Aya untuk chat terakhir dari Jevano.

Ini terlalu tiba-tiba. Araya sedari tadi membuat jantungnya berdebar-debar kencang. Jevano tak tahu lagi harus apa selain memeluk Araya ke dalam pelukan. Ia bahagia.

Araya mau menemaninya untuk mengejar mimpinya, maka ia pun akan berusaha keras supaya dapat mencapai mimpinya itu dan membuat Araya bangga.

“Kak Ano,” masih di dalam pelukan, Araya memanggil kakak kelasnya. “Iya, Aya?”

“Aya mau jadi pacar kakak.”

Jevano terkejut, ia melepas pelukannya dan menatap kearah Araya. “Aya, kamu nggak masalah kalo nanti kita bakal jalanin hubungan jarak jauh?”

“Itu masih berapa lama sih kak? Aya baru masuk sekitar 2,5 bulan ke sekolah. Kita buat banyak memori bareng bareng dulu baru nanti kakak kuliah. Nanti kita bisa chat juga vidcall kan?”

Araya pun dapat menempatkan dirinya sebagai orang yang dewasa untuk memperjuangkan cintanya

Jevano tersenyum. “Jadi, kita pacaran, hm?” tanyanya menggoda lelaki di hadapannya. Wajah lelaki manis itu tambah merona.

Tapi untuk kali ini ia tak menuduk. Ia menatap wajah Jevano dengan tegas dan mengangguk.

“Iya kita pacaran. Aya is Kak Ano's

Pada akhirnya, cinta kita lah yang paling penting. Tak peduli bagaimana susahnya nanti, kita berdua akan berjuang bersama untuk melawan itu, kan?