bluemoonseu

“Kenapa ketawa sendiri, Aya?”

Si manis itu menoleh kala mendengar pertanyaan dari seorang di depan pintu kelasnya. Seorang -yang saat ini tengah bersandar di pintu kelasnya yang terbuka sambil bersidekap di dada itu menghentikan kegiatan tertawanya.

“Kak Ano, haii!”

Yang disapa Kak Ano oleh lelaki manis itu tertawa, ia mendekat kearah Araya yang tengah duduk di kelasnya sendirian. Jevano, lelaki itu mengusak gemas rambut Araya sebelum akhirnya duduk di kursi sebelah Araya.

“Hai, Aya! Kamu sibuk ngetawain apa sih?”

“Aya habis ngisengin Kak Nana, hehe.”

“Kak Nana? Naresh ya?”

“Hihi, iya! Lucu deh.”

“Emang Aya ngapain ke Naresh?”

Setelahnya, suara lucu itu bercerita. Jevano yang berada di samping Araya hanya mendengarkan, sesekali terkekeh gemas apabila lelaki yang disukainya itu mengeluarkan nada-nada lucu di tengah ceritanya.

Mendengar Araya bercerita pagi ini benar-benar menambah asupan baginya sebelum berkutat dengan rumus-rumus dan hafalan nanti.


Kini keduanya telah berada di perpustakaan.

Setelah mendengarkan Araya bercerita selama 15 menit dengan lucunya, Jevano memutuskan untuk mengajak si manis itu ke perpustakaan. Karena baginya, tak ada tempat yang nyaman untuk belajar selain di perpustakaan.

“Kak, ini gimana caranya deh?”

keheningan yang tadinya tercipta karena Araya tengah sibuk mengerjakan beberapa soal yang berada di buku catatan milik Jevano -saat lelaki itu masih berada di kelas sepuluh- terpecah saat Araya mengeluarkan suaranya.

Lelaki itu menunjuk dua soal di buku Jevano, sedangkan matanya menatap kearah Jevano dengan pandangan bingung. Araya yang kebingungan terlihat sangat lucu.

“Ohh, Aya nggak paham cara hitung Jangka Sorong sama Mikrometer Sekrup ya?”

Araya mengangguk semangat. Sejak kemarin saat Gurunya menerangkan, Araya tak paham. Siapa tahu Kak Anonya bisa mengajarinya kan?

“Jadi, Aya, caranya itu gini...”

Jevano menjelaskan, sedang Araya mendengarkan dengan seksama. Di tengah penjelasannya, terkadang Jevano melirik ke arah Araya yang memandang kertas coret-coretan dan buku yang berisi soal-soal miliknya itu.

“Paham! Ih, Kak Ano lebih enak jelasinnya dari pada Pak Mbul.”

“Pak Mbul siapa Aya?”

Jevano tertawa kencang, ah tidak terlalu kencang karena saat ini mereka tengah berada di perpustakaan. Bisa-bisa ia ditegur oleh Ibu Kepala Perpus nanti.

“Pak Wira, hehe. Perutnya kan mbul kak.”

Jevano makin tertawa. Memang sih, ia sudah tak heran lagi dengan nama-nama yang diberikan pada gurunya itu. Tapi satu ini, terdengar lucu. Biasanya teman-temannya akan memanggil Pak Wira dengan Pak Gendut atau Pak Besar, namun Pak Mbul? Baru kali ini ia mendengarnya.

“Tapi walau mbul gituu, Beliau baik banget sama Aya. Sering kasih Aya yupi tau, Kak. Katanya kalo lihat Aya dia keinget cucunya yang masih TK.”

“Emangnya Aya masih TK?”

“Enggak sih. Sebenernya tuh awalnya Aya sebeel. Aya mikinya Ihh emang Aya masih TK kok disamain sama cucunya Pak Mbul yang masih TK?! Tapi lama-lama enggak sebel, soalnya kalo Aya dibilang kaya cucunya Pak Mbul yang masih TK kan berarti Aya lucu. Iya nggak, Kak Ano?”

“Iya bener, Aya lucu banget. Mirip pocoyo.”

“Ih emang Aya suka sama Pocoyo! Kakak suka pocoyo?”

“Iya suka soalnya kakak biasanya nemenin adik kakak buat nonton Pocoyo.”

Tapi kakak lebih suka sama Aya

Seperti yang dikatakan oleh Orion, siang ini lelaki tampan itu menjemput Cila di rumah mertuanya. Setelah hampir 3 hari, akhirnya Orion akan melihat putrinya itu secara langsung. Rindu sekali rasanya.

“Papa!”

Sapa itu terdengar kala Orion baru saja memasuki tempat dimana lelaki tercintanya, Azriel menghabiskan masa kecilnya. Tempat dimana Azriel tumbuh hingga menjadi sosok yang hebat, baik dimata Orion maupun Cila.

“Hai, princessnya papa, how are you?” sapa Orion sambil membawa sang putri ke dalam gendongan.

I'm fineee. Even bettel when i see you papaa!”

Aksen cadel milik Cila membuat Orion tertawa. Orion kecup pipi gembul putri kecilnya yang masih di gendongan dengan sayang sebelum akhirnya suara dari ibu mertuanya menghentikan interaksi menggemaskan dari sepasang ayah dan anak itu.

“Rion.”

“Oh, hai mama!” Orion menurunkan Cila dari gendongan. Setelahnya ia mendekat kearah sang ibu mertua, memeluk wanita paruh baya itu dengan hangat, sebagaimana ia peluk mamanya setiap hari. “Kamu mau langsung balik, Yon?”

“Iya kayanya ma, anaknya mama tuh lagi manja banget sama suaminya.”

“Yaampun itu anak, udah punya anak dua aja masih begitu.”

Orion terkekeh, “Maklumin aja lah ma. Yaudah Rion bawa Cila ke rumah sakit ya, ma? Maaf ngerepotin mama berhari-hari.”

“Apaan sih, Yon? Nggak ada kamu ngerepotin mama. Cila anak pinter kok, iya kan sayang?” Wanita paruh baya itu mengelus rambut Cila.

“Iyaaa! Cila baik, wlee.”

Orion menatap Cila di gendongannya terkejut, siapa pula yang mengajarkan gadis kecil itu menjulurkan lidah mengejek orang lain? “Heh, itu yang ngajarin siapa begitu?”

“Hehe, Jio suka begitu ke aku di kelas.”

Rupanya teman sekelas Cila. Orion hanya menggelengkan kepalanya. Sungguh kalau boleh jujur aksi mengejek Cila tadi itu membuat dirinya ingin memeluk putrinya. Antara gemas karena Cila berani mengejeknya begitu juga gemas karena wajah putrinya begitu lucu kala melakukannya.

Gimana kalo ada yang suka sama kamu kalo kamu sering melet-melet gitu, princess? Papa belum rela.

“Dasar kamu itu. Yaudah ma, Rion pergi dulu ya? Cila bilang apa sama nenek?”

Cila kembali digendong oleh Orion, gadis itu kemudian mengecup pipi sang nenek, “Nenek makasih, Cila pelgi duluu!”


Langkah gadis kecil itu dipercepat ketika sang papa telah menunjukkan ruangan dimana babanya berada.

Namun begitu sampai di depan pintu ruangan itu, Cila kembali menoleh kepada sang papa yang tertinggal. Gadis kecil itu cemberut sambil menatap Orion.

“Kenapa, sayang?” tanya Orion begitu ia sampai di depan pintu ruangan.

Gadis itu menunjuk keatas.

Ah, rupanya ia tak dapat mencapai gagang pintu ruangan baba.

Orion terkekeh gemas kala mengerti apa maksud dari putrinya. Ia kemudian putuskan untuk menggendong gadis balita itu dan membuka ruangan dimana Azriel, suaminya, berada.

“Cila dataaaang!” ucap Orion begitu ia masuk ke dalam. Cila yang digendongannya juga langsung semangat begitu melihat sosok sang baba yang tengah duduk di sofa ruangannya sambil menggendong bayi kecil, adiknya.

“Hai, sayangnya baba,” Azriel menyapa, lelaki itu kemudian memanggil Cila untuk menghampirinya.

“Papa tuluuuun!”

Setelah dituruti, kaki kecil gadis itu berlari menuju sofa dimana Azriel duduk. Ia memanjat keatas sedikit dibantu Orion-yang tadi langsung berlari kala melihat tingkah hiperaktif putrinya.

Gadis kecil itu berdiri di sebelah sang baba untuk melihat wajah sang adik. Bayi sebesar kacang yang sedari beberapa bulan lalu ia tunggu-tunggu untuk keluar dari perut sang baba

“Aku mau lihatin wajah dedek.”

“Iya sayang.”

“Ihhhhh lucunyaaaaaa dedek kedip-kedip!”

Sang papa dan baba terkekeh mendengar pekikan gemas dari Cila.

Kata orang, disaat kita bahagia dan tertawa, maka mata kita akan refleks menuju orang yang kita cintai. Dan benar saja Azriel dan Orion menatap satu sama lain seraya terkekeh karena tingkah putri mereka.

Begitu netra pasangan itu bertemu, Orion tersenyum manis – tentu saja juga dibalas senyum manis oleh Azriel. Ia mendekat kearah Azriel dan memberikan kecupan di kening.

Mereka baru ingat bahwa mereka belum saling menyapa ketika Orion dan Cila masuk ke dalam ruangan beberapa menit yang lalu

“Aku nggak lama kan, sayang?”

“Lama, sampai baby Elio udah dibawa lagi ke ruangan aku nih.”

“Aku bahkan ngga sampai 30 menit??”

“Lima menit ditinggal kamu aja rasanya lama.”

Orion membelalakan mata mendengarnya, “Hey, who taught youuu? Sejak kapan kamu bisa gombalin aku begitu hah?”

“Kamu lebay banget, deh.”

I'm sooooorry???”

Azriel terkekeh, “Ngambekan,” ejeknya.

Setelahnya, lelaki yang baru beberapa hari lalu melahirkan putra dari Orion itu berdiri, ia memberikan Elio, sang bayi, di gendongan suaminya. “Aku pengen ke kamar mandi bentar, main dulu sama Elio sama Cila.”

“Cila mau ikut baba!”

“Eh? baba mau pipis sayang..”

“Mau ikut.”

Azriel mendekat kearah Cila, ia membantu sang putri turun dari sofa dan menggandengnya ke kamar mandi.

“Kakak kebelet pipis juga?”

“Engga, Cila mau lihat baba pipis.”

“ASTAGA. ORION ANAK KAMU IH!”


Entah bagaimana rasanya, Orion tak dapat mendeskrepsikan. Begitu ia mendengar kabar kehamilan dari Azriel beberapa bulan lalu, rasanya ia sedang bermimpi. Dan beberapa hari lalu, ketika putra kecilnya dengan Azriel lahir, ia tak dapat mendeskrepsikan bagaimana perasaannya.

Senang, bahagia, terharu semua bercampur menjadi satu. Terlebih disaat ia mendengar tangisan sang putra untuk pertama kali di ruang operasi kemarin. Orion rasanya mau memeluk Azriel erat sambil memutar lelaki itu di udara.

Begitu pula Azriel. Baginya, Bertemu dengan Orion membuat dirinya merasakan sesuatu yang baru.

Azriel adalah anak tunggal, belum pernah sekalipun di hidupnya ia merawat bahkan berinteraksi dengan anak kecil. Bahkan kalau boleh jujur, ketika pertama kali mereka menikah, Azriel masih diajari oleh Orion bagaimana cara merawat Cila.

Tetapi itu semua berubah, disaat Orion dengan kurang ajarnya hadir kedalam hidupnya dan membuat dirinya bertemu dengan malaikat-malaikat kecil yang saat ini memegang takhta tertinggi di hatinya bersama dengan Orion

Azriel tak pernah membayangkan bahwa kisahnya akan seperti ini. Ia tak pernah membayangkan bahwa ia akan memiliki seorang putri dan putra secepat ini- disaat ia bahkan masih menjadi seorang mahasiswa.

Bukankah itu lucu?

Tapi tidak, Azriel tidak akan pernah menyesali ini.

Ia justru bahagia.

Ia bahagia bisa bertemu dengan ketiganya, Orion, Cila, juga Elio.

“Sssh, jagoannya papa kenapa nggak tidur-tidur, hm?”

Lamunan Azriel terpecah kala mendengar ucapan lembut di telinganya.

Dari Orion, yang tengah berusaha menidurkan Elio sedari beberapa menit yang lalu.

Huft, Elio akan sangat susah untuk tertidur apabila tidak bersama dengan sang baba.

Dan, bukannya Azriel tidak mau menenangkan putranya, tapi ia tidak bisa karena Cila saat ini tengah tertidur di pangkuannya. Gadis kecil kesayangan Orion dan Azriel itu memeluk perut babanya dengan nyaman.

Tubuh sang baba yang sedikit berisi sekarang ini, adalah sebuah kasur ternyaman yang pernah ia tiduri.

“Orion, bawa aja dedeknya ke kasur sini, kamu tidur juga.”

Lelaki itu tentu saja langsung menuruti ucapan Azriel. ia duduk dipinggiran kasur, “Kamu apa nggak capek pangku Cila begitu? Aku pindahin anaknya aja ke kamarnya ya?”

“Jangan dong, ntar anaknya bangun.”

Hening sejenak.

Orion yang saat ini tengah membawa Elio di pelukannya itu menoleh kearah Azriel yang tengah menatap kearah Cila sambil mengelus surai halusnya.

“Sayang, makasih banyak ya sudah mau terima perjodohan kita dan jadi baba buat Cila. Kamu berhasil didik dia lebih baik daripada aku.”

Mendengar itu Azriel menoleh kearah Orion. Ia kemudian meminta Orion untuk mendekat kepada dirinya.

Dan setelah Orion mendekat, masih dengan posisi sama, Azriel memangku Cila dan Orion menggendong Elio, Azriel letakkan kepalanya di bahu Orion.

“Bukan aku sendiri yang berhasil, Orion. Kamu juga berhasil didik dia dengan baik. Aku yakin nanti Cila bakal bersyukur banget punya papa kaya kamu,” Azriel berhenti sejenak.

“Rion, memang mungkin nanti Cila bakal tahu, bahwa kita berdua bukan orang tua kandungnya. Tapi,aku yakin Cila bakal baik-baik aja dengan itu. Gimana enggak? Cila punya sosok papa yang hebat kaya Orion ini, yang rela lepas masa mudanya buat rawat dia, buat bekerja supaya bisa penuhin kebutuhan dia,” lanjutnya.

Hati Orion menghangat, selalu seperti ini. Kata-kata Azriel selalu membuatnya lebih tenang.

Lelaki itu selalu tahu hal-hal yang selama ini ia takutkan.

“Cila juga Elio semua bakal bersyukur punya kamu, Papa Orion.”

Azriel menegakkan kepalanya, ia menoleh ke arah Orion yang juga menatapnya, “Begitu juga dengan aku. Aku bersyukur banget bisa punya kamu di hidup aku. Orion, aku cinta kamu, banget.”

“Aku lebih cinta kamu, Azriel. Makasih banyak, ya, sayang.”

Meski kisahnya diawal sulit untuk diterima, tapi sekarang ini, aku ingin selalu menjadi tiang tempat kamu bersandar, Menjadi rumah tempat kamu berteduh, juga menjadi sosok yang akan selalu menemani kamu dan mendengar keluh kesahmu hingga nanti kita dipisahkan oleh usia.

Waktu dan tenaganya sudah terbuang selama 6 bulan. Abimanyu tak tahu harus apa selanjutnya. Rasanya begitu kelabu untuk melihat masa depannya bersama dengan Rashel, cintanya.

Bagaimana selanjutnya? batinnya terus bertanya, ia lelah. Demi Tuhan ia sangat lelah, rasanya tak sanggup lagi untuk melanjutkan, rasanya semua akan sia-sia saja.

Abimanyu tahu, sebenarnya ini adalah konsekuensi dari jatuh cinta. Ia memilih untuk mencintai Rashel, maka ia harus siap untuk menerima akhirnya. Entah itu sebuah balasan cinta, penolakan, maupun sebuah ketidak jelasan. Dan kali ini, Abimanyu merasakan bagaimana rasanya berada di ketidak jelasan hubungan.

Rashel tidak menolaknya, tidak pula membalas cintanya. Lelaki pemilik cintanya itu pernah memintanya untuk berhenti, tapi ia tak mau dengan alasan ia masih sanggup berjuang.

Namun tepat sebulan setelahnya, rasa lelah mulai menyergap dirinya.

Hatinya berkata menyerah, namun pikirnya berkata lanjut.

Sekarang pertanyaannya, yang mana yang harus ia turuti? Hati atau pikirannya?

“Hai,” sapa itu terdengar di telinga Abimanyu, memecahkan lamunan yang sedari beberapa hari lalu selalu menganggu pikirannya.

“Rashel?”

Sang pemilik nama tersenyum tipis, ia dudukkan dirinya di sebelah Abimanyu. Sebuah kebetulan keduanya bertemu di taman ini.

“Aku boleh duduk di sini, kan?” tanya Rashel yang sebenarnya tidak berguna sebab dirinya telah duduk di sana terlebih dahulu. Juga, mana bisa Abimanyu mengusir Rashel?

Tak ada jawaban, hanya sebuah tatapan penuh cinta pada wajah Rashel yang menghadap ke arah depan. “Abimanyu, apa lo nggak capek?”

Pertanyaan itu sebenarnya mengandung banyak arti, tapi apa yang Abimanyu tangkap dari itu adalah Apakah lelaki itu tidak lelah berjuang seorang diri untuk mendapatkan hal yang tidak akan pernah ia dapatkan pada akhirnya?

“Say-”

“Bim, lo berhak untuk bahagia. Gue mau lo bahagia, gue mau lo dapat cinta yang memang sepantasnya buat lo. Dan gue gak bisa buat kasih itu ke lo, Abimanyu.”

Abimanyu pandang wajah Rashel yang masih betah memandang ke arah depan. Danau kecil yang berada di taman itu. Rashel lebih memilih untuk memandang ke sana daripada ia harus menatap wajah terluka lelaki yang mencintainya ini.

“Abimanyu, gue nggak tahu harus berucap apa selain makasih dan maaf. Lo udah ngorbanin banyak waktu juga tenaga buat gue tapi gue gak bisa bales itu ke lo.”

“Rashel, saya bisa berjuang lebih la-”

“Jangan lagi, Bima. Jangan lagi. Jangan ulangin kesalahan ini lagi.”

Abimanyu tersenyum kecut. Mungkin ini memang akhirnya, mungkin ini memang saatnya ia mengikuti kata hatinya, bukan pikirnya.

“Mencintai kamu bukan sebuah kesalahan, Rashel. Saya bahagia rasa itu bisa datang kepada saya.”

“Tapi rasa itu menyakiti hati lo, iya?”

Tak ada jawaban. Rashel pun melanjutkan, “Gue tahu diri lo juga udah capek buat berjuang kan, Bim? Bima, tolong berhenti. Gue jahat sama lo Bima, kenapa lo masih cinta sama gue disaat gue bahkan cuma merespon lo dengan makasih dan lo juga di setiap ucapan dan hadiah yang lo kasih ke gue?”

“Rashel..”

“Bima, maaf. Gue terpaku sama masa lalu, gue gak pernah mau ngelanjutin hidup gue lebih baik lagi. Maaf karena itu semua perasaan lo nggak terbalas,” untuk pertama kali, Rashel tatap lelaki di sebelahnya.

Matanya berkaca-kaca, ia merasa jahat harus melakukan ini. Tapi ia harus seperti ini agar lelaki di sebelahnya berhenti memperjuangkannya. Ia tak mau Abimanyu lebih sakit lagi karenanya. “Gue mohon, Abimanyu. Pikirin diri lo kedepannya.”

Abimanyu menarik nafasnya panjang, “Rashel, jika kamu mau saya menyerah, maka saya akan menyerah.”

Rashel menahan nafasnya, ia memandang kearah lain seiring air matanya turun. Tak sanggup menatap wajah Abimanyu. “Iya, gue mau lo menyerah, Abimanyu. Lanjutin hidup lo dan jangan terpaku sama gue.”

Abimanyu tersenyum, “Jika begitu yang kamu mau, saya turuti.”

“Iya..”

“Tapi Rashel, bolehkah saya menghabiskan satu hari ini bersama kamu? Bolehkah saya menikmati detik juga menit, bahkan jam terakhir bersama kamu ini?”


Satu hari ini, Abimanyu dan Rashel habiskan bersama. Pergi ke taman bermain. Bersenang-senang sebelum besok semuanya berubah. Bagi Abimanyu, setidaknya ia mempunyai satu momen dimana ia bersenang-senang bersama cintanya ini.

“Bima! Lihat sini!”

Abimanyu menoleh ketika Rashel memanggilnya. Dan setelahnya suara kamera terdengar di kedua telinganya. Rashel memotret dirinya.

“Hei!”

Tawa itu terdengar, Rashel turunkan kamera dari depan wajahnya untuk menatap wajah lelaki itu. “Bima, lo bahagia?”

“Bersama kamu semuanya terasa bahagia, Rashel.”

Rashel tersenyum, sebenarnya rasa bersalah sudah menyeruak di hatinya. Rashel akan benci dirinya sendiri karena ini, karena menyakiti hati pria sebaik Abimanyu.

“Bima, sebelum hari ini berakhir, boleh gue peluk lo?”

Detik setelahnya, Rashel masuk ke dalam pelukan Bima. Hangat dan nyaman. “Rashel, terima kasih banyak untuk hari ini.”

No, terima kasih banyak, Abimanyu. Terima kasih banyak sudah kasih gue cinta setulus ini, terima kasih banyak sudah memperlakukan gue sepenuh cinta walau gue gak pernah bisa balas ini semua ke lo. Dan terakhir, Terima kasih. Terima kasih karena lo putuskan buat menyerah dan mikirin diri lo sendiri.”

Tangis itu pecah di pelukan Abimanyu. Rasanya sakit, Rashel benci dirinya sendiri yang seperti ini. “Lanjutin hidup lo, jangan pernah ada Rashel lagi di hati lo, lo orang terhebat yang pernah gue kenal, Bima. Gue bersyukur bisa ngerasain cinta dari orang hebat seperti lo.”

Rashel lepas pelukannya, ia tersenyum kearah Abimanyu, “Bahagia terus, Abimanyu. Mungkin suatu saat nanti gue bakal lihat lo waktu lo udah dapet hal yang memang pantas lo dapetin. Dan saat itu tiba, gue bakal merasa seneng, gue bakal bahagia, laki-laki hebat yang pernah mencintai gue sudah dapet apa yang memang pantas buat dia.”

“Sudah malam, terima kasih ya Rashel? Terima kasih sudah mau habiskan detik dan menit terakhir di hari ini bersama saya. Saya cinta kamu, sangat. Perasaan ini nggak akan pernah saya jadikan sebuah kesalahan.”

Malam itu, Abimanyu antarkan Rashel sampai ke rumahnya. Tak ada kata-kata dari mulut mereka selama perjalanan. Hening namun tidak canggung.

“Iya. Bima, see you when i see you, ya? Bahagia dengan hidup lo selanjutnya, Bima. Gue selalu doa yang terbaik bagi lo.”

See you when i see you, Rashel. Terima kasih banyak atas hari ini. Untuk terakhir kalinya, saya cinta kamu.”

Rashel hanya bisa menatap punggung lelaki yang mencintainya itu menjauh. Tidak, baginya ini bukan sebuah akhir yang menyedihkan bagi Abimanyu. Ini adalah bagian dari kisah hidup lelaki itu yang akan bawa ia lebih maju.

Dan Rashel mau jujur, ia bahagia bisa menjadi bagian dari kisah lelaki itu walau dirinya berada di bagian yang menyakitkan.

Abimanyu, gue harap di kehidupan selanjutnya lo nggak akan bertemu dengan Rashel yang terpaku dengan masa lalu, tetapi Rashel yang selalu memandang ke arah lo, hanya diri lo. Dan semesta, terima kasih banyak sudah pertemukan gue sama laki-laki hebat seperti Abimanyu. Gue bersyukur bisa kenal dengan sosoknya.

Axel sebenarnya tidak heran lagi ketika Dean, sahabatnya yang memang baru saja bekerja sebagai guru TK itu memberitahunya jika Jio melakukan sesuatu di sekolah barunya. Tapi ketika ia menerima telpon dari Dean dan mengobrol dengan putranya itu, Axel tak tahu lagi harus apa mendengarnya.

Pikirnya Jio hanya melakukan hal seperti menganggu gurunya atau berkata sesuatu yang lucu tapi ternyata ia salah.

Tadi itu paa, Jio lihat ada apel di kantin, telus ada tulisan 'Ambil satu aja, God's watching' nahh telus Jio lihat ada pelmen juga disana. Pelmennya ngga ada tulisannya, jadi Jio putusin buat tulis di note punya Jio 'Ambil sepuasnya, God's watching the apple' Emang salah ya pa?

Begitu ucapan sang putra yang masih teringat jelas di kepala Axel. Demi Tuhan, ini bahkan baru hari pertama Jio masuk ke TK. Bagaimana seterusnya?

Dan ketika ia menceritakannya pada Aksa, Aksa hanya tertawa mendengarnya. Walau sebenarnya lelaki dua anak itu juga sedikit tak habis pikir dengan kelakuan putranya yang memang sedikit ajaib itu.

Tak mengagetkan sebenarnya sih, sedari dulu Jio memang terlalu hiperaktif dibanding anak seusianya yang lain. Tapi walau begitu, Jio adalah anak yang cepat untuk belajar. Bayangkan saja diusianya yang ke 4 tahun ini lelaki kecil itu sudah lancar membaca dan menulis.

Jika begitu bagaimana bisa Axel dan Aksa tidak bangga pada putranya?

“Dean!”

Axel memanggil sang sahabat ketika ia baru masuk ke dalam gedung sekolah Jio bersama dengan Aksa yang menggandengnya sambil menggendong Ceila. “Xel, Kak, yaampun gue tunggu dari tadi. Ayo masuk ke ruangan gue dulu, Jio di dalem.”

Begitu masuk ke dalam ruangan Dean, dapat keduanya lihat sang putra duduk di kursi kecil sambil membaca buku ceritanya yang dibawa dari rumah tadi.

“Jii!” Seperti biasa, ketika melihat sang kakak, Cei akan berteriak. Teriakan kecil itu berhasil membuat Jio mendongakkan kepalanya dan menatap ada keluarga kecilnya di sana.

“Pa, dad, hehe”

Axel menghela nafasnya sebelum akhirnya merendahkan dirinya, ia meminta Jio untuk mendekat padanya. “Jio, Jio tau nggak kalau yang Jio lakuin tadi di kantin itu salah, hm?”

“Jio salah?”

Axel mengangguk, “Iya, itu nggak baik, Jio. Jangan diulangi lagi ya? Papa tahu Jio udah pinter nulis udah pinter baca juga, tapi Jio harus lakuin itu buat hal yang positif. Jio nggak boleh asal tulis ini dan itu, ya?”

Lelaki kecil kebanggan Aksa dan Axel itu menunduk, “Maaf papa.”

Axel tersenyum, ia kemudian berdiri dan mengelus surai hitam milik Jio dengan sayang. “Papa bangga sama Jio, semua bangga sama Jio. Ini hari pertama Jio masuk sekolah, padahal dulu Jio masih sekecil permen di perut papa,” ucapnya. Axel tak mau sang putra merasa bahwa Axel marah padanya, maka ia ucapkan sebuah kata bangga pada putranya. Supaya Jio juga tak takut untuk aktif di sekolahnya setelah ini.

“Papa-hiks! Jio nakal ya? Hiks!” pecah sudah tangisan Jio, sebuah ucapan dari sang papa membuatnya merasa bersalah. Papanya bangga padanya tapi ia malah melakukan kesalahan. Jio merasa sedih.

Dean yang melihat putra sahabatnya menangis memutuskan untuk menggendongnya. Karena ia tahu, lelaki putra Aksa dan Axel itu tak akan berhenti menangis jika tidak digendong.

“Jio, sayangnya daddy sama papa, siapa yang bilang Jio nakal? Jio nggak nakal. Jio ngelakuin hal salah bukan berarti Jio nakal, ya? Daddy nggak suka lihat Jio nangis ah, hapus itu air matanya ya?”

Lelaki kecil itu menurut, ia menghapus tangisnya di gendongan Dean. “Xel, mau lo bawa pulang apa biar lanjut sekolahnya?”

“Jio mau sekolah lagi apa mau pulang hari ini, hm?” Axel bertanya, ia mendekat kearah Dean untuk mengelus rambut putranya.

“Jio ngga mau pulang.”

“Yaudah sama Kak Dean ya sayang? Inget jangan diulangin lagi ya yang tadi?”

“Iya Papaaa.”

Axel tersenyum ia mengecup pipi kanan dan kiri Jio, “Asin ih pipinya Jio.”

“Kan habis nangis, malu nggak tuh dilihatin Kak Dean?” Aksa menyahut. Ia tertawa ketika melihat Jio langsung menatap kearah Dean setelah ucapannya.

Ugh, pasti setelah ini guru yang juga paman kesayangannya itu akan mengejeknya habis-habisan.

Tersadar, Jio pun memberontak turun dari gendongan Dean, ia hapus sisa air matanya. Ketiga orang dewasa di sana hanya tertawa. Memang sudah tak asing lagi jika melihat pertengkaran antara Jio dan Dean. Keduanya itu seperti sahabat karib yang berbeda umur.

“Udah ya, Ji? Papa, Daddy, sama cei pulang ya?”

“Jio mau cium Cei baby dulu,” ucapnya yang langsung dituruti Aksa, ia menundukkan dirinya supaya Jio dapat mencium sang adik yang berada di gendongannya.

“Udah kan? Nanti papa sama daddy jemput Jio di sekolah jam 11 baru kita jalan-jalan ya? Sekolah yang bener.”

“Oke papa! Hati-hati! Jio sayang Papa Daddy sama Cei!”

“We love you too, Jio,” Axel dan Aksa bubuhkan cium di kedua pipi Jio sebelum akhirnya keluar dari ruangan Dean.

“Ada-ada aja emang anak kamu itu, Kak.”

“Anak kamu juga, sayang, hahaha.”

Axel menunjukkan cengiran kearah Aksa, tetapi kemudian matanya menangkap Ceila yang menatap dirinya sambil menyodorkan kedua tangannya. Meminta gendong.

“Cei ndong pa.”

Axel terkekeh gemas melihat wajah putrinya, “Sini sini sayangnya papa “

Dan satu-satunya perempuan di keluarga kecil Aksa Axel itu menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Axel begitu sampai di gendongan sang papa

“Pa, ji.”

“Iya dedek, kakak ji lagi sekolah. Nanti ya baru main lagi?”

Ceila mendongakkan wajahnya, ia melengkungkan bibirnya melihat kearah Axel dan Aksa bergantian. Gadis kecil itu tak terbiasa tanpa sang kakak.

“Cei au ji, hiks!”

Haduh, susah.

Jingga menghela nafasnya berkali-kali sebelum akhirnya ia turun ke lantai bawah, tempat dimana Jeremy sedang mengobrol bersama sang mama seperti yang dikatakan lelaki itu tadi melalui chatnya.

“Ma. Jer.”

Kedua manusia yang tengah mengobrol itu menoleh bersamaan. Dapat mereka lihat Jingga turun melalui tangga. Lelaki itu terlihat sangat manis dengan balutan kemeja putih dan celana panjang hitamnya.

Jeremy lagi-lagi terperangah melihat itu, bagaimana bisa ada seorang semanis Jingga?

“Sa, kamu dandannya terlalu rapi, lihat tuh Jeremy sampai melotot gitu ngelihatin kamunya.” Mendengar celetukan dari mama Jingga, Jeremy tersadar. Ia menggaruk tengkuknya malu, aksinya dilihat sang ekhm- calon ibu mertua.

“K-kamu udah siap?”

Jingga dan sang mama tertawa kompak mendengar ucapan gugup dari Jeremy. Walau tak dapat dipungkiri, Jingga sudah setengah mati menahan malu karena ucapan sang ibu tadi.

“Udah, mau berangkat sekarang, Jer?”

“Ayo.”

Jingga mengangguk, ia melangkah menuju dekat Jeremy dan kemudian pamit pada mamanya. “Ma/tante kita berangkat dulu,” keduanya berucap bersamaan yang dibalas anggukan serta senyum dari si wanita.


Keduanya kini telah sampai di kediaman Jeremy. Begitu turun dari mobil jeremy menggenggam tangan Jingga yang kelihatan sangat gugup. “Nggak papa, calon mertua kamu nggak gigit kok.”

Calon mertua kamu, katanya.

Dasar Jeremy, tak tahu saja bahwa perkataannya itu membuat Jingga lebih gugup lagi.

Lelaki manis itu hanya tersenyum kecil membalasnya, ia membiarkan Jeremy membawanya ke pintu utama kediamannya.

“Huuuh..”

Jingga menarik nafasnya panjang, Jeremy yang mengetahuinya hanya terkekeh gemas.

“Gugup banget ya?” tanyanya sembari memberikan elusan lembut di surai Jingga.

“Ya kamu pikir aja deh.” Jeremy terkekeh.

“Udah mau masuk?” tanya Jeremy yang dibalas anggukan yang berarti 'iya'. Tentu saja setelahnya Jeremy membuka pintunya dan berteriak sedikit keras untuk memberitahu sang mami.

“Aku pulang!”

“Eh udah pulang?” Seorang wanita paruh baya keluar dari kamarnya dan tersenyum ketika melihat sang putra berdiri di ruang tamu. Beliau memberikan peluk dan juga kecupan pada kedua pipi Jeremy untuk menyapa putranya.

Melihat itu, Jingga tersenyum. Ia kagum melihat hubungan keduanya. Jeremy bahkan tak malu untuk dikecup oleh sang mami.

“Eh, mi. Jeremy bawa paca- emm, orang yang mau jadi pacarnya Jeremy.”

Sang mami terkekeh, ia tahu putranya itu memang tengah naksir kepada seseorang. Maka ia pun menolehkan pandangan menatap lelaki manis yang berhasil membuat sang putra jatuh cinta itu.

“K-kamu?”

“Eh, iya tante. Perkenalkan nama saya Jingga Aksara,” Jingga tersenyum dan menunduk sopan kearah mami Jeremy.

“Ma, kok diem aja?”

Jeremy menegur sang mami yang sedari tadi hanya diam memandang lelaki yang ia cintai itu. Tak biasanya seperti ini, Jeremy tahu pasti ada yang salah dengan maminya.

“Kamu! Kamu anak selingkuhan suami saya kan?”

Jingga maupun Jeremy terkejut mendengar ucapan si wanita. “Ma, papi itu udah nggak ada 12 tahun lalu ma!”

Sang mami berjalan menuju kamarnya, semenit kemudian keluar dan membanting sebuah kotak di hadapan Jeremy dan juga Jingga. “Lihat! Dia anak kecil yang ada di foto ini, digendong sama papi kamu! Lihat tanda lahirnya Jer!”

“M-mami kapan dapat kotak ini?”

“Asal kamu tahu 2 tahun terakhir mama selalu terima kotak yang isinya foto-foto papi kamu sama selingkuhan dan juga anak selingkuhannya. Mami tahu papi kamu emang sebelumnya selalu nunjukkin gelagat aneh. Ternyata bener dugaan mami, sebelum meninggal papi kamu sempet selingkuh sama mamanya dia!”

Jingga mengambil salah satu foto di kotak itu. Itu fotonya dengan Om Ghail, seorang pria yang ia sayangi.

“Om Ghail?”

“Jingga kamu kenal sama papi Ghail?”

Jingga hanya mengangguk saja mendengar ucapan Jeremy. Karena memang ia kenal dengan orang yang disebut oleh Jeremy. Foto yang berada di tangannya pun memang foto dirinya dan juga seorang pria paruh baya yang baru ini ia ketahui adalah ayah dari Jeremy, lelaki yang ia cintai.

“Tapi saya buk-”

“Kamu, jangan berani-berani bicara sama saya! Kamulah yang merusak rumah tangga saya! Kamu dan mama kamu yang buat suami saya selalu berada di rumah saat pagi dan malam saja setiap harinya!”

“MAMI!”

Sang wanita menoleh kearah Jeremy, “Kamu cinta sama dia?” tanyanya sambil menunjuk kearah Jingga. “Mami gak mau kamu pacaran sama anak dari selingkuhan papi kamu! Kita bahkan gak dapet waktu buat lihat papi kamu terakhir kali, Jer. Itu semua karena dia dan juga mamanya!”

“Dia nggak tahu malu, buat apa kamu pacaran sama anaknya?” lanjut wanita itu

Jingga sedari tadi sudah mencoba bersabar, tapi kali ini tak lagi. Ia tak suka ada yang menuduh mamanya sembarangan, bahkan jika itu adalah ibu dari lelaki yang dicintainya sekalipun.

Ia sangat tahu, siapa pria paruh baya itu bagi mamanya. Sang mama tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu dan merusak keluarga orang lain.

“Mam-”

Jeremy yang mau angkat bicara terhenti ucapannya ketika Jingga menahan tangannya. Jeremy tatap lelaki manis yang dicintainya itu sudah menahan tangis.

“Tante, mama saya tidak pernah ngelakuin hal sekeji itu.”

“Kamu tahu apa?! Bahkan karena mama kamu itu, Jeremy dan juga saya tidak bisa melihat Ghail untuk terakhir kalinya. Kamu nggak akan pernah tahu rasanya kehilangan orang yang kamu cintai, kan?”

“Tante jangan asal nuduh kalau belum tahu kebenarannya. Tante pikir saya nggak tahu apa-apa? Saya tahu. Tapi tante nggak mau denger penjelasan saya,” Jingga berucap.

“Saya tahu tante, saya tahu rasanya kehilangan orang yang saya cintai karena papa saya sudah pergi semenjak saya kecil. Saya nggak pernah ngerasain kasih sayang seorang papa tante,” lanjutnya

“Oh, pantes aja mama kamu mau ngambil suami orang. Memang nggak tahu malu ya kalian itu? Bahkan putra saya pun harus kepincut dengan kamu, anak selingkuhan suami say-”

“Tante cukup!”

Kedua manusia lain di sana menoleh kearah Jingga. “Tante boleh jelek-jelekin aku, tante boleh bilang aku nggak cocok buat anak tante, tante juga boleh pisahin aku sama anak tante. Tapi jangan pernah ngucapin sesuatu yang jelek soal mama aku, tante. Karena mama itu orang yang paling baik yang pernah aku temui dan tante gak bisa nuduh begitu aja sebelum tahu apa yang sebenarnya.”

Jingga mengusap satu air matanya yang jatuh dari pelupuk mata kemudian menoleh ke arah Jeremy, “Maaf Jer, kita udahin aja,” ucapnya lalu pergi dari kediaman Jeremy dan maminya.

“Ji-”

“Jangan berani-berani kamu kejer dia, Jer. Atau kamu nggak akan pernah lihat mami lagi.”

Kalau boleh jujur, perkiraan Jingga mengenai gadis bernama Kayana itu ternyata beda jauh dengan kenyataannya sekarang. Awalnya ia pikir gadis yang merupakan pasien dari sang mama yang bekerja sebagai psikolog itu adalah gadis yang biasa-biasa saja seperti pasien mamanya yang lain yang pernah ia temui.

Sedikit kurang ajarnya, kelihatan bahwa mereka memiliki gangguan mental

Tapi tidak, Kayana sangatlah cantik. Wajahnya bak seorang dewi bahkan perilakunya pun juga seperti itu. Gadis itu lembut, bahkan cara bicaranya pun sangatlah sopan. Gadis itu terlihat normal-normal saja. Mengejutkan bagi Jingga, gadis di depannya mempunyai gangguan mental hingga harus berkonsultasi kepada mamanya.

“Bener kata mama lo, anaknya cakep betul. Gue insecure lihat lo, Jingga.”

Merasa malu, Jingga tersenyum canggung. “Lo juga cantik kok, Kay. Jangan gitu ah, gue malu tau!”

Gadis itu terkekeh gemas, entah bagaimana perilaku Jingga selalu menarik di matanya. Seperti seorang adik kecil baginya. Kayana ingat, dia selalu mendambakan kehadiran adik untuknya, namun ternyata kedua orang tuanya pergi lebih cepat dari perkiraannya. Meninggalkan dia sendirian bersama kakaknya.

“By the way, nih, gue tanya-tanya nggak masalah kan?” Jingga membuka pembicaraan, membuat Kayana mengangguk mengijinkan.

“Lo ada masalah yang berat ya? Sampai harus konsultasi ke mama gue?”

Kayana sedikit terkejut dengan pertanyaan Jingga, membuat Jingga merutuki kebodohannya melihat itu. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu disaat mereka bahkan baru saja saling kenal?

Memang Jingga, apa nggak bisa gitu kesan pertama lo di hadapan orang-orang bagus dikit? , dia membatin miris.

“Eh! Maafin gue sumpah! Gue gak bermaksud-”

Kayana yang mendengarnya kembali tertawa, “Gue nggak papa serius, hahahaha. Gue kaget aja.”

“Maaf..”

Tak dapat lagi menahan, tawa Kayana meledak. “Nggak papa, Jingga. Jangan minta maaf terus ke gue. Gue cerita dikit nih ya mumpung busnya masih agak lama dateng.”

Mendengarnya, Jingga langsung berpindah posisi, ia menatap Kayana dengan penuh rasa penasaran. Layaknya seorang anak yang mau diceritakan dongeng oleh ibunya. Sungguh, Kayana rasanya ingin tertawa melihat raut lelaki manis di sebelahnya.

“Mama papa gue pergi udah sejak gue lulus SD, Ga. Mereka kecelakaan mobil. Gue sendirian sama kakak gue. Lo tahu gimana rasanya gue harus kerja ngumpulin uang buat bisa bertahan hidup? Gue capek, Jingga. Sampai akhirnya gue ketemu mama lo. Beliau bantu gue waktu gue lagi nangis di minimarket tempat gue kerja. Singkat cerita gue ceritain rasa dan ketakutan yang gue alamin selama ini dan beliau jadi tempat gue cerita selama ini.”

Jingga tak dapat membayangkan apabila berada di posisi Kayana, ia memang ditinggalkan ayahnya sedari kecil, tapi ia masih punya mama yang bisa menghidupi dirinya selama ini.

“Maaf, gue buka luka lama lo ya?”

Kayana terkekeh, ia menatap wajah Jingga. Lelaki yang ditemuinya sangat manis itu sudah hampir menangis. “Gue udah bisa handle dikit-dikit kok, lo tenang aja.”

Jingga tersenyum, “Lo boleh cerita sama gue juga kalo lo mau. Kita temenan kan sekarang?”

“Hahahahaha, iya Jingga. Kita temenan.”


“Itu siapa deh?”

Pertanyaan yang didapatnya begitu ia masuk ke dalam mobil Jeremy membuat Jingga terkekeh. “Kenapa emangnya?”

“Aku cemburu.”

Walau hatinya berbunga-bunga tetapi Jingga tetap menunjukkan reaksi biasa. “Itu salah satu pasien mama aku, Jer. Mama minta aku temenan sama dia.”

Jeremy pun mulai menjalankan mobilnya, “Oh iya?” Jingga hanya mengangguk menjawabnya.

Jeremy tak mau ambil pusing dengan itu, toh ia juga tak masalah Jingga mau berteman dengan siapa saja, ia percaya Jingga menjaga hati untuknya. Yah, walau mereka belum resmi berpacaran sih.

“Terus, gimana hari kamu? Seneng?”

Setelahnya mobil Jeremy dipenuhi dengan cerita dari Jingga. Lelaki kelahiran Maret itu menceritakan harinya dengan semangat kepada Jeremy, orang yang tengah dekat dengannya itu. Sedang Jeremy hanya mendengarkan dan sesekali menyahut sambil mencubit pipi Jingga dengan gemas.

Ia sangat menyukai cara Jingga bercerita. Cerewetnya Jingga selalu dapat membuat moodnya langsung lebih baik.

“Terus, tahu nggak sih, Jer? Tadi tuh ada yang berani-beraninya nyahutin Pak Janu waktu dia lagi ngejelasin. Hahahaha, aku ketawa banget. Kalau kamu mau tahu nih, Pak Janu itu orangnya absurd banget dan ya disindir-sindirlah yang tadi nyahutin dari tengah sampai akhir. Walau disindirnya sambil bercanda gitu sih, soalnya dia nyahutinnya lucu gitu. Beneran hari ini seru banget buat aku.”

Jeremy tertawa, “Seru karena aku antar jemput sama ajak sarapan juga nggak?”

Kalau mau jujur, yang membuat mood Jingga bagus sedari pagi adalah itu salah satunya.

“Dih? Pertanyaan macam apa?” Jingga balik bertanya ketus, walau begitu pipi tembamnya menjelaskan semua. Pipi itu memerah. Membuat Jeremy tahu, bahwa jawaban dari pertanyaannya barusan adalah Iya.

“Masih malu-malu aja kamu sama aku.”

“Jer-”

“Kamu gemes banget asli kalau malu gitu, merah mukanya.”

“Jeremy.”

“Jingga Theodore, cantik.”

“Jeremy! Udahan pleaseeee!”

Lampu menunjukkan warna merah, membuat Jeremy menoleh kearah lelaki manis yang ia cintai itu. Wajahnya sekarang merona parah, tangannya memainkan kemeja yang dipakainya dengan gugup. Benar-benar menggemaskan di mata Jeremy.

“Kamu gemes.”

“Kamu ngomong sekali lagi aku pukul ya!”

Tawa Jeremy meledak setelahnya. Perjalanan menuju rumah Jingga hari itu diisi oleh Jeremy yang terus-terusan menggoda gebetannya itu. Dan tak usah bertanya lagi, Jingga pasti meresponnya dengan teriakan malu-malu.

Ah, menggemaskan sekali yang sedang jatuh cinta.

Jika ditanya bagaimana perasaan seorang ayah ketika melihat atau mendengar kata 'ayah/daddy sibuk' dari anak-anaknya, pasti jawaban mereka akan sama.

Hati mereka seperti tertohok sesuatu yang tajam

Sama halnya dengan Aksa, salah satu member dari group yang hingga saat ini masih begitu popular itu merasakan hal yang sama ketika membaca catatan kecil milik putranya, Jio, yang tadi difoto oleh Axel dan dikirimkan ke dirinya.

Meskipun ia awalnya biasa saja ketika membaca catatan milik Jio, tetapi saat membaca tulisan terakhir di catatan milik putranya, ia tertohok.

'Karena daddy sibuk banget, jadi Jio buat ini buat nanti dilakuin waktu daddy udah nda sibuk'

Begitu tulis putranya. Aksa masih mengingat jelas setiap tulisan di sana. Perasaan bersalahnya muncul begitu saja. Memang akhir-akhir ini dirinya sibuk menyiapkan comeback dari Azora's dan selalu pulang larut malam ketika putra-putrinya telah tidur.

Maka setelahnya tanpa ragu, ia meminta pada managernya untuk mengijinkan dirinya mengambil libur barang sejenak.

Aksa mau mengajak keluarga kecilnya untuk berkumpul bersama, berjalan-jalan untuk melepas rindu.

Jalan-jalan keluarga itu terasa menyenangkan hati, benar-benar sebuah penghilang penat bagi Aksa.

Perasaan bersalahnya pun hampir hilang saat ini, jika saja sewaktu keluarga kecilnya sudah sampai di rumah Jio tidak memeluk kaki kanannya sambil berkata, “Daddy, no sibuk-sibuk lagi ya? Jio kangeeeen!”

Perasaan bersalahnya itu makin menjadi-jadi saat Ceila, sang adik juga ikut bergabung memeluk kakinya yang lain.

“Cei anen,” ucapnya sambil mengangguk angguk dan menatap Aksa dengan lucu.

Tak tahu harus apa, Aksa menatap Axel yang sedari tadi melihat mereka, Axel hanya tersenyum dan mengangguk. Axel tahu, kedua anaknya merindukan sang ayah, sangat. Terlihat dari perilaku keduanya hari ini yang hanya mau daddy, daddy, dan daddy.

Axel tak masalah dengan itu, ia justru bahagia. Bahagia keluarga kecilnya sangat harmonis sekarang ini.

“Woaaaah!!” lamunan Axel pecah ketika suara teriakan dari Jio dan Ceila terdengar. Rupanya sepasang adik-kakak itu dibawa oleh Aksa ke gendongan secara bersamaan.

Walau berteriak pada awalnya, tapi Jio dan Ceila setelahnya tertawa bersama dengan Aksa, juga Axel yang hanya duduk memandang ketiga insan yang paling berharga untuknya.

Lelaki manis itu membiarkan ketiganya bermain baru setelah jam menunjukkan pukul 5 sore, ia menghentikan keseruan ketiganya dan menyuruh Jio dan Cei untuk segera mandi dan bersih-bersih sebelum larut malam.


“Kak? Anak-anak minta bobo bareng nih.”

Aksa yang awalnya tengah sibuk dengan lirik lagunya menoleh kearah pintu kamar.

Di sana ada Axel, sang suami, yang tengah berdiri dan sudah lengkap dengan piyama beserta putra putrinya yang bersembunyi di balik tubuhnya.

“Ya sini dong, sayang-sayangnya, daddy. Kenapa malah sembunyi dibalik badan papa gitu?”

Setelahnya, kasur milik Aksa dan Axel langsung diserbu ganas oleh Jio maupun Cei. Keduanya berebut untuk mendapatkan tempat di sana.

“Jio, Cei! No berantem! Kasurnya besar, jadi Cei sebelah papa, Jio sebelah daddy. Okay?”

Ucapan tegas Axel tentu saja langsung dituruti keduanya, mereka menempati tempat yang dikatakan sang papa baru akhirnya Axel ikut duduk di atas kasurnya. Menghimpit kedua anaknya ditengah dirinya dan Aksa.

“Dad, kemalin Jio gambalnya dapet selatus loh!”

“Cei! Ceii uga!”

“Telus Jio juga dibilang pintel sama bu gulu, soalnya Jio bisa jawab matematika.”

“Cei uga!”

“Ih Cei baby ngapain ikut-ikuuut? Kan belum sekolaaaah!”

“Cei! itut!”

Axel dan Aksa hanya tertawa gemas melihat perdebatan keduanya. Mereka heran, bahkan disaat rasa kantuk sudah menyerang Jio dan Ceila, keduanya masih bersemangat untuk sahut-sahutan.

“Pa, Cei ntuk.”

Ketika merasa bahwa Ceila sudah menyenderkan diri pada tubuhnya, Axel pun membenarkan posisi putrinya itu supaya tidur dengan posisi yang nyaman. “Cei udah ngantuk tuh, bobo yuk, Ji?” Axel mengajak sang putra yang masih aktif mengobrol dengan sang daddy.

“Nda mau! Mau sama dad!”

“Eh, ikutin kata papa sayang ya? Bobo, besok main lagi sama daddy, okay?”

“Okay!”

Dan setekahnya Jio memberikan kecupan di pipi Axel dan Aksa bergantian, “Good night, papa and daddy!” dan dibalas kecupan kompak di pipi kanan kirinya, “Good night too, Jio.”

Tak lama, suasana menjadi tenang. Hanya Axel juga Aksa yang masih terjaga di sana. “Sayang, udah tidur?”

“Belum kak, kenapa?”

Aksa meraih tangan Axel, melewati tubuh kecil kedua anaknya. “Maaf ya? Aku sibuk banget akhir-akhir ini sampai lupa kalau aku harusnya juga bagi waktu buat Jio, Cei, juga kamu. Kamu pasti juga repot banget jagain mereka yang lagi aktif-aktifnya ini sendiri. Maaf ya, sayang?”

“Kak, kamu kerja buat kita. Lagipula aku nggak repot kok jaga mereka, kan anaknya kakak tuh nurut semua sama aku.”

“Aku bukan ayah yang baik, ya, Xel?”

“Hei, siapa yang bilang? Kalo kakak bukan ayah yang baik mana bisa ini anak-anak kita sebesar ini? Mana bisa juga mereka penuh kasih sayang gitu kalo bukan karena kakak?”

Aksa melepas pengangan tangannya pada tangan Axel dan mengelus rambut Jio dan Ceila bergantian. “Tapi aku selalu sibuk, bahkan aku udah banyak ngelewatin masa pertumbuhan mereka sampai mereka udah sebesar ini sekarang.”

“Nooo, kakak nggak ngelewatin masa pertumbuhan mereka kok. Mereka masih Jio dan Cei kecil, bayi-bayinya Aksa sama Axel. Aku tahu kok, kakak udah berusaha keras buat luangin waktu sama mereka. Dan aku bersyukur mereka nggak sedikitpun kekurangan kasih sayang dari daddy mereka.”

Axel tersenyum memandang Aksa sebelum melanjutkan, “You're the best dad ever. Jangan pernah berani bilang kaya tadi lagi karena kakak itu superheronya mereka. Daddy is Jio and Cei's superhero.”

“Sayang? Makasih banyak udah kasih aku kebahagiaan ini ya?”

“Makasih juga udah hadir dalam hidup aku, Kak Aksa. Aku sayang kakak.”

“Aku juga sayang kamu, Axel. Juga sayang babiesnya kita.”

Dan sebelum tertidur, Aksa sempatkan mengecup kening ketiga insan yang menjadi alasan ia bekerja keras sekarang. Aksa bersumpah, ia sangat mencintai ketiganya.

Putra dan putri kecil daddy, jangan cepat-cepat dewasa ya? Ayo buat banyak kenangan bersama daddy dan papa terlebih dahulu. setelah cukup baru daddy akan lepaskan kalian untuk mengejar mimpi juga takdir kalian. Daddy sangat menyayangi Jio juga Cei.

Dan untuk Axel, duniaku. Terima kasih banyak telah membawa banyak warna ke kehidupan aku. Terima kasih juga sudah menjaga juga mendidik malaikat-malaikat kecil kita ini dengan sangat baik. I love you, papa.

Fin

Sebenarnya jam masih menunjukan pukul 7 pagi, tapi kini pemilik kamar bernuansa kuning itu sudah bersiap-siap. Jingga tuh biasanya malas untuk berpergian di hari libur, ia lebih memilih untuk rebahan di kasurnya seharian.

Tapi pagi ini berbeda, lelaki dengan nama lengkap Jingga Aksara itu sudah rapi dan wangi dengan hoodie abu-abunya. Rambutnya yang biasanya hanya di tata seadanya pun kini tertata sangat rapi.

Ya siapa yang tidak semangat untuk diajak kencan dengan, ehem, gebetannya?

“Aksara! Kamu tuh lama bener, udah ditunggu dari 15 menit lalu nih!” sang mama berteriak dari bawah, membuat Jingga segera menatap dirinya di cermin sekali lagi baru mengambil ponselnya dan keluar dari kamar dengan buru-buru.

“Iyaa ma! Aku udah siap kok!”

Jingga menampakan diri di ruang tamu, dan yang dilakukan kedua manusia yang tengah duduk di sofa yang berada di sana adalah menganga. Karena demi Tuhan, lelaki itu terlihat sangat manis hari ini.

“Ini beneran Jingga Aksara? Anaknya mama yang paling males kalau disuruh rapih-rapih?”

“Mama!” seru Jingga kala mendengarnya, ia malu juga di begitukan oleh mama di depan Jeremy. Bisa Jingga lihat lelaki tampan itu terkekeh melihat dirinya juga sang mama. Tampan.

“Udah gih sana berangkat kalian.”

Jeremy pun berdiri dari duduknya, ia menunduk ke arah mama Jingga, “Saya ijin bawa Jingga keluar ya tante?”

“Iya, Jer. Bawa aja anaknya, dari pada gak ada kerjaan di kamar.”

Bibir Jingga makin mengerucut, sudah 2 kali dirinya dibuat malu oleh sang mama di depan Jeremy. “Yaudah ma, aku berangkat dulu.”

Sang mama hanya mengangguk dan ketika Jingga dan Jeremy sudah sampai di depan pintu, sang mama berteriak, “Oh iya, Sa! Mama hari ini ada jadwal di rumah sakit, kamu yang lama aja perginya, gak usah pulang sekalian.”

“Mama!”


“Kamu cakep banget hari ini, deh.”

Pada awalnya, perjalanan mereka di mobil terasa sepi, baru kemudian Jeremy membuka suaranya. Baru satu kalimat yang dikeluarkan lelaki itu hari ini pada Jingga, tetapi ia sudah berhasil membuat Jingga merasa malu sekaligus senang.

Indahnya jatuh cinta

Setelahnya percakapan itu mengalir begitu saja, entah Jeremy bertanya mengenai kehidupan Jingga atau sebaliknya. Walau kalau boleh jujur, Jingga rasanya ingin pingsan sekarang juga ketika Jeremy dengan santainya memuji dirinya.

“Eh, ini kamu mau bawa aku ke mana, Jer?”

“Ke studio punya aku. Temenin aku nulis lagu, mau?”

Tentu saja Jingga tak akan menolak.

Beberapa menit kemudian, sepasang kekasi- ah bukan, bagaimana menyebutnya? Sepasang manusia yang tengah melakukan pendekatan itu sudah berada di dalam studio milik Jeremy.

Entah mau berapa kali lagi Jingga berkata bahwa lelaki salah satu member Avenir itu sangat keren. Di umur yang masih muda ini, Jeremy sudah bisa memiliki studio sendiri. Bukankah keren?

“Jadi, kamu mau nulis lagu apa hari ini, Jer?” Jingga menoleh ke arah Jeremy yang sedari tadi duduk di sofa dengan gitar yang sudah di tangan.

“Nggak jadi deh, aku nyanyiin kamu aja, mau nggak?”

“Hah?”

Tanpa persetujuan Jingga, Jeremy mulai memetik gitarnya. Memainkan melodi-melodi indah dari alat musik favoritnya itu, untuk Jingga seseorang.

As I try to fit in a world that keeps getting bigger A feeling of emptiness and vacancy comes to me But I can't recognize which part is missing I didn't even know the shape would be like this

Netra Jeremy menatap tepat pada mata Jingga yang tengah berdiri di hadapannya. Ia sunggingkan senyum tulus pada Jingga yang masih terpaku menatapnya bernyanyi.

But as if we're matching the scattered pieces together We're going to assemble our own story Somewhere in my empty heart A piece is placed

I am you I just knew it when I first saw you

Jeremy memejamkan matanya, menikmati nyanyian serta melodi dari gitar juga dirinya. Jingga tak mengerti, bagaimana bisa ada manusia sesempurna Jeremy. Dan yang makin tak ia mengerti adalah bagaimana bisa manusia sempurna itu, jatuh padanya?

You're my missing puzzle piece Finally, it fits You fill up all of the wounds in my broken heart Before I realized it, you became my everything My missing puzzle piece

Puzzle Piece english translation by NCT Dream

Memang tidak seluruh lagu dinyanyikan Jeremy, namun itu berhasil membuat Jingga jatuh dan jatuh lagi dalam pesona lelaki itu.

Jeremy membuka matanya dan ia langsung bertemu tatap dengan netra berbintang milik Jingga, ia menaruh gitarnya kemudian berdiri dan berjalan ke hadapan lelaki yang akhir-akhir ini selalu berlari-lari di pikirannya itu.

“Kamu itu, bagian dari aku yang hilang Jingga. Kaya lagu tadi, aku gak kenal kamu lama, tapi rasanya hidup aku berubah setelah ketemu kamu. Jingga, aku nggak terlalu cepat jatuh cinta kan? Jingga, kita sama-sama jatuh kan?”

Berhasil menguasai dirinya, Jingga tersenyum. Bagian dari Jeremy yang hilang katanya. Tak peduli dengan debaran jantungnya, Jingga genggam tangan Jeremy. Ia bawa tangan itu ke dadanya, membiarkan tangan pemilik hatinya itu merasakan. Bahwa ia juga jatuh, bahkan jatuh lebih dahulu kepada Jeremy, gitaris dari Avenir.

Jingga mendongak, menatap mata Jeremy. Ia tersenyum, masih dengan tangan Jeremy yang ia pegang di dadanya. “Kamu tahu, Jer? Apa yang aku pelajari waktu ketemu kamu?”

“Apa?”

“Nggak ada salahnya untuk jatuh cinta terlalu cepat. Karena bukan aku yang mau, tapi hati aku. Apapun yang terjadi nantinya, aku nggak akan salahin perasaan aku ini, Jer. Nggak akan pernah. Karena perasaan ini buat aku ngerasain euforia yang luar biasa.”

Hening sejenak sebelum Jingga melanjutkan, “Dan aku bersyukur, hati aku pilih kamu buat jadi tempat singgahnya. Jeremy, makasih. Makasih sudah biarin aku ngerasain indahnya jatuh cinta.”

“Jingga.” Netra keduanya tak lepas sedari tadi. Tak ada pula yang berniat melepas.

Jingga jawab panggilan Jeremy dengan gumaman, sebagai isyarat supaya lelaki itu melanjutkan ucapannya.

“Jangan pernah tinggalin aku ya?”

Dan setelahnya keduanya masuk ke dalam pelukan hangat dari satu sama lain, entah siapa yang memulai, mereka tak peduli. yang mereka pedulikan adalah bahwa kini mereka dapat merasakan debaran jantung sama lain yang sama kencangnya.

Apapun yang terjadi nanti, sayang. Kita akan berusaha bersama untuk memenangkan cinta kita, iya kan?

Karena sebuah cuitan dari tweet milik Jeremy yang sebenarnya salah akun itu, kini suasana di meja yang dipakai oleh Avenir dan juga Jingga terasa sangat panas bagi lelaki kelahiran Maret tersebut.

Bagaimana tidak? Sedari tadi ledekan terus keluar dari mulut Noah maupun Hendra, bahkan sekali-sekali Aidan pun juga turut menertawakannya.

Beruntung sekali tak ada Jeremy disini.

Lelaki itu pergi dari meja berdalih harus bersiap-siap tampil, padahal Avenir saja belum latihan sama sekali dan baru masuk ke dalam cafe sekitar 15 menit yang lalu. Ada-ada saja.

“Udah-udah, ayo masuk ke ruangan kita aja. Kita latihan dulu sebentar sebelum tampil,” Aidan berkata, menghentikan ledekan yang sampai sekarang masih membuat Jingga bungkam sambil menahan malu.

Di sinilah mereka sekarang, ruangan yang disediakan oleh pemilik cafe untuk mereka yang akan mengisi acara malam ini. Ternyata, Jeremy sudah ada di sana sedari tadi, memainkan gitarnya asal sambil sesekali bergumam menyanyikan nada tidak jelas.

“Jer, tanggung jawab nih Jingga—”

“Udaaah, latihan dulu kita baru lanjutin ngeledek couple kita ini.”

Benar-benar tidak ada yang kasihan pada Jingga, padahal lelaki itu sedari tadi menunduk di kursinya sambil menahan malu.


Penampilan Avenir tentu disambut meriah oleh banyak orang di sana. Siapa yang tidak kenal mereka? Mahasiswa kampus neo yang seringkali mengisi acara di banyak cafe itu sudah banyak dikenal orang.

Namun malam ini, tak seperti biasanya. Sang gitaris, Jeremy- yang biasanya saat tampil akan fokus pada leher gitarnya, kini tidak lagi memandang ke sana.

Lelaki yang banyak disukai itu malam ini hanya memandang pada satu tempat saja, tak berganti. Ke arah meja dimana lelaki manis yang baru-baru ini menarik perhatiannya duduk, Jingga Aksara.

Jingga, lelaki itu juga kadang bertemu pandang dengannya dan langsung mengalihkan pandangan. Tak mau berbohong, Jingga membuat Jeremy gemas setengah mati.

Satu hal yang baru Jeremy sadari, netra Jingga itu,

Indah.

Walau ia hanya melihatnya dari jauh, tetapi bintang di mata Jingga masih dapat matanya tangkap dengan jelas. Jeremy tak mengerti, padahal ia baru bertemu dengan Jingga sekitar 2 minggu yang lalu, tapi mengapa lelaki sahabat band-matesnya itu dapat membuat dirinya gila seperti ini? Aneh.

Juga, ketika tepukan tangan memenuhi cafe dengan riuh, Jeremy lihat Jingga tersenyum bangga sambil mengarahkan ibu jarinya pada dirinya juga Noah, Hendra, dan Aidan.

Netra Jeremy bertemu dengan netra penuh bintang itu. Lagi. Saat mata mereka bertemu itulah, Jingga tersenyum lebar dan kembali acungkan ibu jari padanya.

Dapat Jeremy lihat, mulut lelaki itu melisankan kata good job padanya tanpa suara.

Malam itu, untuk pertama kalinya, jantung Jeremy berdebar kencang, lebih kencang dari pada sebelum-sebelumnya.

Melihat senyum tulus dari Jingga rasanya seperti ada banyak kupu-kupu berterbangan di perutnya.

Singkatnya saja, dia jatuh cinta.

[ av(ə)niʀ ] The word Avenir is French for “future”

Begitu membaca chat dari Hendra, Jingga langsung bangkit dari acara paling nyaman buatnya. Rebahan. Begitu banyak orang menyebutnya sekarang.

Mulutnya sibuk mengeluarkan sumpah serapah untuk sahabat karibnya semenjak berada di taman kanak-kanak itu. Bahkan jika umpatan bisa menusuk, mungkin Hendra sudah terkena tusukan sebanyak 100 kali lebih. Terdengar hiperbola, tapi serius, Jingga sangat kesal pada sahabatnya itu.

“Aksara! Ada Hendra tuh di halaman, kalian mau pergi ya?”

Mama masuk ke kamar kala Jingga sedang bersiap dengan rambutnya. “Iya ma, aku mau temenin Hendra latihan nge-band, nggak papa kan?”

Sang wanita paruh baya itu mengangguk, “Kamu jangan malem-malem ya, Sa. Besok mau ke makam Om Ghail, kan?”

“Oh iya, aku hampir lupa. Nanti sebelum jam 7 pasti Aksara udah di rumah kok ma.”

Jangan heran dengan panggilan Aksara apabila Jingga sedang bersama mama. Aksara adalah nama pemberian sang papa, maka dari itu untuk mengenang beliau -yang sudah dipanggil Tuhan semenjak Jingga masih bayi, sang mama memakai Aksara sebagai nama panggilan Jingga di rumah.

“Ok, sana. Kasihan Hendra tunggu kamu kelamaan nanti.”


Sesampainya di tempat yang dikatakan Hendra sebagai tempat latihan band milik Aidan ini, jantung Jingga berdebar kencang. Bagaimana tidak, dia itu mau bertemu crushnya.

Terdengar terlalu cepat untuk menyebut Jeremy sebagai crushnya memang, tapi Jingga tak peduli. Katakanlah ia jatuh cinta terlalu cepat, karena memang begitu kenyataannya.

Tubuh kecilnya bersembunyi di balik tubuh sahabatnya kala sang sahabat membuka pintu studio tempat ia akan berlatih.

“Oh hai, Hen!”

Sapa itu terdengar, dari Aidan. Membuat kedua manusia lainnya juga memusatkan perhatian ke pintu studio. “Hai, gue bawa temen gue, gak papa ya? Sendirian di rumah dia.”

Sendirian apanya orang mau lihat Jeremy, Hendra mendengus dalam hati, menertawakan dirinya sendiri yang pintar membuat alasan, mungkin.

“Loh, gue baru sadar ada orang sama lo. Kecil banget temen lo, nggak kelihatan,” celetuk Aiden yang membuat Hendra tertawa, ia tahu sahabatnya ini paling tidak suka dikata kecil. Ia yakin, Jingga sudah mengeluarkan sumpah serapah di belakang tubuhnya.

“Heh, keluar sini lo, jangan di belakang gue mulu.”

Perlahan, Jingga mengeluarkan dirinya dari balik tubuh Hendra, sama seperti anak kecil dengan ibunya saat bertemu dengan orang baru. Jingga menunjukan senyumnya pada ketiga orang di sana.

Manis.

“Oh hai, sini duduk, kenalan sekalian sama kita-kita.”

Keduanya pun menuruti ucapan Aiden. Dapat Jingga lihat, di sana ada Jeremy yang duduk di sofa dengan gitarnya, juga lelaki lain yang berada di belakang keyboard.

“Pertama, kenalin dulu nih. Band kita namanya Avenir dan gue Aiden, yang dibelakang piano itu Noah, yang megang gitar kaya pengamen itu Jeremy namanya.”

“Anjing lo, den,” pria yang dikagumi Jingga itu berceletuk dan kemudian melemparkan cup kosong menuju kepala band-matesnya itu.

“Sakit, Emy!”

“Jeremy!”

“Lo berdua mending diem, malu-maluin banget berantem di depan orang yang baru lo kenal.”

“Hahaha, gue Hendra, yang ditawarin Aiden jadi vokalis band kalian,” Hendra menyunggingkan senyum yang juga dibalas senyum oleh Noah dan Jeremy.

“Dan temen lo?”

“E-eh, gue Jingga,” Jingga sedikit gelagapan dikala keempat orang di sana menatapnya, tetapi kemudian ia tersenyum ramah.

Manis.

“Salam kenal semua, gue harap nanti kita bisa temenan deket!” Noah berdiri dari kursi keyboarnya dan mendekat kearah sofa dimana Jingga dan Hendra beserta kedua teman dekatnya duduk.

“Salam kenal, Noah.”

Rasanya Jingga nyaman berada di sana, ia membalas beberapa pertanyaan dari Aiden maupun Noah sebelum akhirnya seseorang yang sedari tadi diam menatap dirinya dengan pandangan sulit dibaca -yang jujur saja membuat Jingga sedikit merinding, membuka suara.

“Lo, yang kemarin kaya orang tuli di jalan raya itu bukan sih?”

Sungguh kesan pertama yang buruk.