Avenir
[ av(ə)niʀ ] The word Avenir is French for “future”
Begitu membaca chat dari Hendra, Jingga langsung bangkit dari acara paling nyaman buatnya. Rebahan. Begitu banyak orang menyebutnya sekarang.
Mulutnya sibuk mengeluarkan sumpah serapah untuk sahabat karibnya semenjak berada di taman kanak-kanak itu. Bahkan jika umpatan bisa menusuk, mungkin Hendra sudah terkena tusukan sebanyak 100 kali lebih. Terdengar hiperbola, tapi serius, Jingga sangat kesal pada sahabatnya itu.
“Aksara! Ada Hendra tuh di halaman, kalian mau pergi ya?”
Mama masuk ke kamar kala Jingga sedang bersiap dengan rambutnya. “Iya ma, aku mau temenin Hendra latihan nge-band, nggak papa kan?”
Sang wanita paruh baya itu mengangguk, “Kamu jangan malem-malem ya, Sa. Besok mau ke makam Om Ghail, kan?”
“Oh iya, aku hampir lupa. Nanti sebelum jam 7 pasti Aksara udah di rumah kok ma.”
Jangan heran dengan panggilan Aksara apabila Jingga sedang bersama mama. Aksara adalah nama pemberian sang papa, maka dari itu untuk mengenang beliau -yang sudah dipanggil Tuhan semenjak Jingga masih bayi, sang mama memakai Aksara sebagai nama panggilan Jingga di rumah.
“Ok, sana. Kasihan Hendra tunggu kamu kelamaan nanti.”
Sesampainya di tempat yang dikatakan Hendra sebagai tempat latihan band milik Aidan ini, jantung Jingga berdebar kencang. Bagaimana tidak, dia itu mau bertemu crushnya.
Terdengar terlalu cepat untuk menyebut Jeremy sebagai crushnya memang, tapi Jingga tak peduli. Katakanlah ia jatuh cinta terlalu cepat, karena memang begitu kenyataannya.
Tubuh kecilnya bersembunyi di balik tubuh sahabatnya kala sang sahabat membuka pintu studio tempat ia akan berlatih.
“Oh hai, Hen!”
Sapa itu terdengar, dari Aidan. Membuat kedua manusia lainnya juga memusatkan perhatian ke pintu studio. “Hai, gue bawa temen gue, gak papa ya? Sendirian di rumah dia.”
Sendirian apanya orang mau lihat Jeremy, Hendra mendengus dalam hati, menertawakan dirinya sendiri yang pintar membuat alasan, mungkin.
“Loh, gue baru sadar ada orang sama lo. Kecil banget temen lo, nggak kelihatan,” celetuk Aiden yang membuat Hendra tertawa, ia tahu sahabatnya ini paling tidak suka dikata kecil. Ia yakin, Jingga sudah mengeluarkan sumpah serapah di belakang tubuhnya.
“Heh, keluar sini lo, jangan di belakang gue mulu.”
Perlahan, Jingga mengeluarkan dirinya dari balik tubuh Hendra, sama seperti anak kecil dengan ibunya saat bertemu dengan orang baru. Jingga menunjukan senyumnya pada ketiga orang di sana.
Manis.
“Oh hai, sini duduk, kenalan sekalian sama kita-kita.”
Keduanya pun menuruti ucapan Aiden. Dapat Jingga lihat, di sana ada Jeremy yang duduk di sofa dengan gitarnya, juga lelaki lain yang berada di belakang keyboard.
“Pertama, kenalin dulu nih. Band kita namanya Avenir dan gue Aiden, yang dibelakang piano itu Noah, yang megang gitar kaya pengamen itu Jeremy namanya.”
“Anjing lo, den,” pria yang dikagumi Jingga itu berceletuk dan kemudian melemparkan cup kosong menuju kepala band-matesnya itu.
“Sakit, Emy!”
“Jeremy!”
“Lo berdua mending diem, malu-maluin banget berantem di depan orang yang baru lo kenal.”
“Hahaha, gue Hendra, yang ditawarin Aiden jadi vokalis band kalian,” Hendra menyunggingkan senyum yang juga dibalas senyum oleh Noah dan Jeremy.
“Dan temen lo?”
“E-eh, gue Jingga,” Jingga sedikit gelagapan dikala keempat orang di sana menatapnya, tetapi kemudian ia tersenyum ramah.
Manis.
“Salam kenal semua, gue harap nanti kita bisa temenan deket!” Noah berdiri dari kursi keyboarnya dan mendekat kearah sofa dimana Jingga dan Hendra beserta kedua teman dekatnya duduk.
“Salam kenal, Noah.”
Rasanya Jingga nyaman berada di sana, ia membalas beberapa pertanyaan dari Aiden maupun Noah sebelum akhirnya seseorang yang sedari tadi diam menatap dirinya dengan pandangan sulit dibaca -yang jujur saja membuat Jingga sedikit merinding, membuka suara.
“Lo, yang kemarin kaya orang tuli di jalan raya itu bukan sih?”
Sungguh kesan pertama yang buruk.