First Meet
Kalau boleh jujur, Jingga sebenarnya paling malas jika sang mama sudah menyuruhnya pergi ke sana dan kemari. Iya, Jingga memang sebenarnya juga tidak begitu sibuk dengan tugas kuliahnya, tetapi tetap saja. Siapa yang suka disuruh-suruh ketika sudah bergelut dengan bantal, guling dan kasur?
Jingga berjalan dengan malas-malasan ke supermarket dekat rumahnya sambil sesekali mengingat apa yang dipesan mama untuk ia beli.
“Ck, kenapa hari ini jauh banget rasanya sih?” Jingga bergumam sebal. Ia tidak berbohong, perjalanan dari rumah ke supermarket yang hanya memakan waktu 15 menit dengan berjalan kaki itu terasa lama hari ini.
“Panas banget.”
“Gue kangen kasur.”
“Ck, ngantuk!”
Lelaki umur 20 tahunan itu mengeluh sepanjang perjalanan, bibirnya maju sembari menggerutu sebal. Oh, demi Tuhan, baru beberapa menit keluar dari kamar saja ia sudah rindu dengan kasurnya.
“Hey! Awas!”
Sret
Jingga membelalak kaget kala merasa tubuhnya ditarik kencang, ia meringis saat merasa kepalanya menabrak dada seseorang yang menariknya tadi lumayan kencang.
“Lo mau bunuh diri, hah? Untung gue tarik, kalo nggak udah ketabrak kali lo.”
Jingga menatap seorang yang menariknya. Lelaki yang kini menatap Jingga dengan tajam dirinya itu.. tampan. Sangat tampan di mata Jingga.
“Lo bisu sama tuli?”
Pertanyaan barusan itu membuat Jingga tersadar dari perilaku memalukannya — menatap lelaki yang menyelamatkannya tanpa kedip.
“Ngawur!”
“Lo tuh dari tadi diklaksonin denger nggak sih?”
Jingga yang mendengarnya hanya menunjukkan cengiran, ia menggeleng pelan menjawab ucapan lelaki di depannya, yang entah sadar atau tidak masih memegang lengannya sedikit erat.
Kalau orang melihat keduanya, mungkin ia akan berfikir bahwa mereka saling mengenal, tapi tidak, mereka tidak saling mengenal.
“Lain kali kalo jalan, lihat! Jangan malah menggerutu kaya tadi! Lo pikir ini jalan punya nenek moyang lo?”
“Iya, makasih udah nolongin gue,” Jingga tersenyum, ia kemudian melepas dirinya dari pegangan lelaki itu. “Gue buru-buru, makasih sekali lagi ya...?”
“Jeremy, nama gue Jeremy.”
“Ah okay! Makasih, Jeremy!”
Setelahnya Jingga langsung buru-buru pergi dari sana, ia ingat sang mama menunggunya di rumah sampai pukul 1 sedangkan sekarang jam di tangannya sudah menunjukan pukul 12.30.
Namun, tak peduli dengan waktu, di tengah acara larinya, Jingga tersenyum. Wajah lelaki yang menyelamatkannya datang ke benaknya tiba-tiba. Suasana yang sudah panas makin terasa panas baginya.
Jeremy, ya?