Belajar Bareng

“Kenapa ketawa sendiri, Aya?”

Si manis itu menoleh kala mendengar pertanyaan dari seorang di depan pintu kelasnya. Seorang -yang saat ini tengah bersandar di pintu kelasnya yang terbuka sambil bersidekap di dada itu menghentikan kegiatan tertawanya.

“Kak Ano, haii!”

Yang disapa Kak Ano oleh lelaki manis itu tertawa, ia mendekat kearah Araya yang tengah duduk di kelasnya sendirian. Jevano, lelaki itu mengusak gemas rambut Araya sebelum akhirnya duduk di kursi sebelah Araya.

“Hai, Aya! Kamu sibuk ngetawain apa sih?”

“Aya habis ngisengin Kak Nana, hehe.”

“Kak Nana? Naresh ya?”

“Hihi, iya! Lucu deh.”

“Emang Aya ngapain ke Naresh?”

Setelahnya, suara lucu itu bercerita. Jevano yang berada di samping Araya hanya mendengarkan, sesekali terkekeh gemas apabila lelaki yang disukainya itu mengeluarkan nada-nada lucu di tengah ceritanya.

Mendengar Araya bercerita pagi ini benar-benar menambah asupan baginya sebelum berkutat dengan rumus-rumus dan hafalan nanti.


Kini keduanya telah berada di perpustakaan.

Setelah mendengarkan Araya bercerita selama 15 menit dengan lucunya, Jevano memutuskan untuk mengajak si manis itu ke perpustakaan. Karena baginya, tak ada tempat yang nyaman untuk belajar selain di perpustakaan.

“Kak, ini gimana caranya deh?”

keheningan yang tadinya tercipta karena Araya tengah sibuk mengerjakan beberapa soal yang berada di buku catatan milik Jevano -saat lelaki itu masih berada di kelas sepuluh- terpecah saat Araya mengeluarkan suaranya.

Lelaki itu menunjuk dua soal di buku Jevano, sedangkan matanya menatap kearah Jevano dengan pandangan bingung. Araya yang kebingungan terlihat sangat lucu.

“Ohh, Aya nggak paham cara hitung Jangka Sorong sama Mikrometer Sekrup ya?”

Araya mengangguk semangat. Sejak kemarin saat Gurunya menerangkan, Araya tak paham. Siapa tahu Kak Anonya bisa mengajarinya kan?

“Jadi, Aya, caranya itu gini...”

Jevano menjelaskan, sedang Araya mendengarkan dengan seksama. Di tengah penjelasannya, terkadang Jevano melirik ke arah Araya yang memandang kertas coret-coretan dan buku yang berisi soal-soal miliknya itu.

“Paham! Ih, Kak Ano lebih enak jelasinnya dari pada Pak Mbul.”

“Pak Mbul siapa Aya?”

Jevano tertawa kencang, ah tidak terlalu kencang karena saat ini mereka tengah berada di perpustakaan. Bisa-bisa ia ditegur oleh Ibu Kepala Perpus nanti.

“Pak Wira, hehe. Perutnya kan mbul kak.”

Jevano makin tertawa. Memang sih, ia sudah tak heran lagi dengan nama-nama yang diberikan pada gurunya itu. Tapi satu ini, terdengar lucu. Biasanya teman-temannya akan memanggil Pak Wira dengan Pak Gendut atau Pak Besar, namun Pak Mbul? Baru kali ini ia mendengarnya.

“Tapi walau mbul gituu, Beliau baik banget sama Aya. Sering kasih Aya yupi tau, Kak. Katanya kalo lihat Aya dia keinget cucunya yang masih TK.”

“Emangnya Aya masih TK?”

“Enggak sih. Sebenernya tuh awalnya Aya sebeel. Aya mikinya Ihh emang Aya masih TK kok disamain sama cucunya Pak Mbul yang masih TK?! Tapi lama-lama enggak sebel, soalnya kalo Aya dibilang kaya cucunya Pak Mbul yang masih TK kan berarti Aya lucu. Iya nggak, Kak Ano?”

“Iya bener, Aya lucu banget. Mirip pocoyo.”

“Ih emang Aya suka sama Pocoyo! Kakak suka pocoyo?”

“Iya suka soalnya kakak biasanya nemenin adik kakak buat nonton Pocoyo.”

Tapi kakak lebih suka sama Aya