Apple and Candy

Axel sebenarnya tidak heran lagi ketika Dean, sahabatnya yang memang baru saja bekerja sebagai guru TK itu memberitahunya jika Jio melakukan sesuatu di sekolah barunya. Tapi ketika ia menerima telpon dari Dean dan mengobrol dengan putranya itu, Axel tak tahu lagi harus apa mendengarnya.

Pikirnya Jio hanya melakukan hal seperti menganggu gurunya atau berkata sesuatu yang lucu tapi ternyata ia salah.

Tadi itu paa, Jio lihat ada apel di kantin, telus ada tulisan 'Ambil satu aja, God's watching' nahh telus Jio lihat ada pelmen juga disana. Pelmennya ngga ada tulisannya, jadi Jio putusin buat tulis di note punya Jio 'Ambil sepuasnya, God's watching the apple' Emang salah ya pa?

Begitu ucapan sang putra yang masih teringat jelas di kepala Axel. Demi Tuhan, ini bahkan baru hari pertama Jio masuk ke TK. Bagaimana seterusnya?

Dan ketika ia menceritakannya pada Aksa, Aksa hanya tertawa mendengarnya. Walau sebenarnya lelaki dua anak itu juga sedikit tak habis pikir dengan kelakuan putranya yang memang sedikit ajaib itu.

Tak mengagetkan sebenarnya sih, sedari dulu Jio memang terlalu hiperaktif dibanding anak seusianya yang lain. Tapi walau begitu, Jio adalah anak yang cepat untuk belajar. Bayangkan saja diusianya yang ke 4 tahun ini lelaki kecil itu sudah lancar membaca dan menulis.

Jika begitu bagaimana bisa Axel dan Aksa tidak bangga pada putranya?

“Dean!”

Axel memanggil sang sahabat ketika ia baru masuk ke dalam gedung sekolah Jio bersama dengan Aksa yang menggandengnya sambil menggendong Ceila. “Xel, Kak, yaampun gue tunggu dari tadi. Ayo masuk ke ruangan gue dulu, Jio di dalem.”

Begitu masuk ke dalam ruangan Dean, dapat keduanya lihat sang putra duduk di kursi kecil sambil membaca buku ceritanya yang dibawa dari rumah tadi.

“Jii!” Seperti biasa, ketika melihat sang kakak, Cei akan berteriak. Teriakan kecil itu berhasil membuat Jio mendongakkan kepalanya dan menatap ada keluarga kecilnya di sana.

“Pa, dad, hehe”

Axel menghela nafasnya sebelum akhirnya merendahkan dirinya, ia meminta Jio untuk mendekat padanya. “Jio, Jio tau nggak kalau yang Jio lakuin tadi di kantin itu salah, hm?”

“Jio salah?”

Axel mengangguk, “Iya, itu nggak baik, Jio. Jangan diulangi lagi ya? Papa tahu Jio udah pinter nulis udah pinter baca juga, tapi Jio harus lakuin itu buat hal yang positif. Jio nggak boleh asal tulis ini dan itu, ya?”

Lelaki kecil kebanggan Aksa dan Axel itu menunduk, “Maaf papa.”

Axel tersenyum, ia kemudian berdiri dan mengelus surai hitam milik Jio dengan sayang. “Papa bangga sama Jio, semua bangga sama Jio. Ini hari pertama Jio masuk sekolah, padahal dulu Jio masih sekecil permen di perut papa,” ucapnya. Axel tak mau sang putra merasa bahwa Axel marah padanya, maka ia ucapkan sebuah kata bangga pada putranya. Supaya Jio juga tak takut untuk aktif di sekolahnya setelah ini.

“Papa-hiks! Jio nakal ya? Hiks!” pecah sudah tangisan Jio, sebuah ucapan dari sang papa membuatnya merasa bersalah. Papanya bangga padanya tapi ia malah melakukan kesalahan. Jio merasa sedih.

Dean yang melihat putra sahabatnya menangis memutuskan untuk menggendongnya. Karena ia tahu, lelaki putra Aksa dan Axel itu tak akan berhenti menangis jika tidak digendong.

“Jio, sayangnya daddy sama papa, siapa yang bilang Jio nakal? Jio nggak nakal. Jio ngelakuin hal salah bukan berarti Jio nakal, ya? Daddy nggak suka lihat Jio nangis ah, hapus itu air matanya ya?”

Lelaki kecil itu menurut, ia menghapus tangisnya di gendongan Dean. “Xel, mau lo bawa pulang apa biar lanjut sekolahnya?”

“Jio mau sekolah lagi apa mau pulang hari ini, hm?” Axel bertanya, ia mendekat kearah Dean untuk mengelus rambut putranya.

“Jio ngga mau pulang.”

“Yaudah sama Kak Dean ya sayang? Inget jangan diulangin lagi ya yang tadi?”

“Iya Papaaa.”

Axel tersenyum ia mengecup pipi kanan dan kiri Jio, “Asin ih pipinya Jio.”

“Kan habis nangis, malu nggak tuh dilihatin Kak Dean?” Aksa menyahut. Ia tertawa ketika melihat Jio langsung menatap kearah Dean setelah ucapannya.

Ugh, pasti setelah ini guru yang juga paman kesayangannya itu akan mengejeknya habis-habisan.

Tersadar, Jio pun memberontak turun dari gendongan Dean, ia hapus sisa air matanya. Ketiga orang dewasa di sana hanya tertawa. Memang sudah tak asing lagi jika melihat pertengkaran antara Jio dan Dean. Keduanya itu seperti sahabat karib yang berbeda umur.

“Udah ya, Ji? Papa, Daddy, sama cei pulang ya?”

“Jio mau cium Cei baby dulu,” ucapnya yang langsung dituruti Aksa, ia menundukkan dirinya supaya Jio dapat mencium sang adik yang berada di gendongannya.

“Udah kan? Nanti papa sama daddy jemput Jio di sekolah jam 11 baru kita jalan-jalan ya? Sekolah yang bener.”

“Oke papa! Hati-hati! Jio sayang Papa Daddy sama Cei!”

“We love you too, Jio,” Axel dan Aksa bubuhkan cium di kedua pipi Jio sebelum akhirnya keluar dari ruangan Dean.

“Ada-ada aja emang anak kamu itu, Kak.”

“Anak kamu juga, sayang, hahaha.”

Axel menunjukkan cengiran kearah Aksa, tetapi kemudian matanya menangkap Ceila yang menatap dirinya sambil menyodorkan kedua tangannya. Meminta gendong.

“Cei ndong pa.”

Axel terkekeh gemas melihat wajah putrinya, “Sini sini sayangnya papa “

Dan satu-satunya perempuan di keluarga kecil Aksa Axel itu menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Axel begitu sampai di gendongan sang papa

“Pa, ji.”

“Iya dedek, kakak ji lagi sekolah. Nanti ya baru main lagi?”

Ceila mendongakkan wajahnya, ia melengkungkan bibirnya melihat kearah Axel dan Aksa bergantian. Gadis kecil itu tak terbiasa tanpa sang kakak.

“Cei au ji, hiks!”

Haduh, susah.