Bus Stop
Kalau boleh jujur, perkiraan Jingga mengenai gadis bernama Kayana itu ternyata beda jauh dengan kenyataannya sekarang. Awalnya ia pikir gadis yang merupakan pasien dari sang mama yang bekerja sebagai psikolog itu adalah gadis yang biasa-biasa saja seperti pasien mamanya yang lain yang pernah ia temui.
Sedikit kurang ajarnya, kelihatan bahwa mereka memiliki gangguan mental
Tapi tidak, Kayana sangatlah cantik. Wajahnya bak seorang dewi bahkan perilakunya pun juga seperti itu. Gadis itu lembut, bahkan cara bicaranya pun sangatlah sopan. Gadis itu terlihat normal-normal saja. Mengejutkan bagi Jingga, gadis di depannya mempunyai gangguan mental hingga harus berkonsultasi kepada mamanya.
“Bener kata mama lo, anaknya cakep betul. Gue insecure lihat lo, Jingga.”
Merasa malu, Jingga tersenyum canggung. “Lo juga cantik kok, Kay. Jangan gitu ah, gue malu tau!”
Gadis itu terkekeh gemas, entah bagaimana perilaku Jingga selalu menarik di matanya. Seperti seorang adik kecil baginya. Kayana ingat, dia selalu mendambakan kehadiran adik untuknya, namun ternyata kedua orang tuanya pergi lebih cepat dari perkiraannya. Meninggalkan dia sendirian bersama kakaknya.
“By the way, nih, gue tanya-tanya nggak masalah kan?” Jingga membuka pembicaraan, membuat Kayana mengangguk mengijinkan.
“Lo ada masalah yang berat ya? Sampai harus konsultasi ke mama gue?”
Kayana sedikit terkejut dengan pertanyaan Jingga, membuat Jingga merutuki kebodohannya melihat itu. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu disaat mereka bahkan baru saja saling kenal?
Memang Jingga, apa nggak bisa gitu kesan pertama lo di hadapan orang-orang bagus dikit? , dia membatin miris.
“Eh! Maafin gue sumpah! Gue gak bermaksud-”
Kayana yang mendengarnya kembali tertawa, “Gue nggak papa serius, hahahaha. Gue kaget aja.”
“Maaf..”
Tak dapat lagi menahan, tawa Kayana meledak. “Nggak papa, Jingga. Jangan minta maaf terus ke gue. Gue cerita dikit nih ya mumpung busnya masih agak lama dateng.”
Mendengarnya, Jingga langsung berpindah posisi, ia menatap Kayana dengan penuh rasa penasaran. Layaknya seorang anak yang mau diceritakan dongeng oleh ibunya. Sungguh, Kayana rasanya ingin tertawa melihat raut lelaki manis di sebelahnya.
“Mama papa gue pergi udah sejak gue lulus SD, Ga. Mereka kecelakaan mobil. Gue sendirian sama kakak gue. Lo tahu gimana rasanya gue harus kerja ngumpulin uang buat bisa bertahan hidup? Gue capek, Jingga. Sampai akhirnya gue ketemu mama lo. Beliau bantu gue waktu gue lagi nangis di minimarket tempat gue kerja. Singkat cerita gue ceritain rasa dan ketakutan yang gue alamin selama ini dan beliau jadi tempat gue cerita selama ini.”
Jingga tak dapat membayangkan apabila berada di posisi Kayana, ia memang ditinggalkan ayahnya sedari kecil, tapi ia masih punya mama yang bisa menghidupi dirinya selama ini.
“Maaf, gue buka luka lama lo ya?”
Kayana terkekeh, ia menatap wajah Jingga. Lelaki yang ditemuinya sangat manis itu sudah hampir menangis. “Gue udah bisa handle dikit-dikit kok, lo tenang aja.”
Jingga tersenyum, “Lo boleh cerita sama gue juga kalo lo mau. Kita temenan kan sekarang?”
“Hahahahaha, iya Jingga. Kita temenan.”
“Itu siapa deh?”
Pertanyaan yang didapatnya begitu ia masuk ke dalam mobil Jeremy membuat Jingga terkekeh. “Kenapa emangnya?”
“Aku cemburu.”
Walau hatinya berbunga-bunga tetapi Jingga tetap menunjukkan reaksi biasa. “Itu salah satu pasien mama aku, Jer. Mama minta aku temenan sama dia.”
Jeremy pun mulai menjalankan mobilnya, “Oh iya?” Jingga hanya mengangguk menjawabnya.
Jeremy tak mau ambil pusing dengan itu, toh ia juga tak masalah Jingga mau berteman dengan siapa saja, ia percaya Jingga menjaga hati untuknya. Yah, walau mereka belum resmi berpacaran sih.
“Terus, gimana hari kamu? Seneng?”
Setelahnya mobil Jeremy dipenuhi dengan cerita dari Jingga. Lelaki kelahiran Maret itu menceritakan harinya dengan semangat kepada Jeremy, orang yang tengah dekat dengannya itu. Sedang Jeremy hanya mendengarkan dan sesekali menyahut sambil mencubit pipi Jingga dengan gemas.
Ia sangat menyukai cara Jingga bercerita. Cerewetnya Jingga selalu dapat membuat moodnya langsung lebih baik.
“Terus, tahu nggak sih, Jer? Tadi tuh ada yang berani-beraninya nyahutin Pak Janu waktu dia lagi ngejelasin. Hahahaha, aku ketawa banget. Kalau kamu mau tahu nih, Pak Janu itu orangnya absurd banget dan ya disindir-sindirlah yang tadi nyahutin dari tengah sampai akhir. Walau disindirnya sambil bercanda gitu sih, soalnya dia nyahutinnya lucu gitu. Beneran hari ini seru banget buat aku.”
Jeremy tertawa, “Seru karena aku antar jemput sama ajak sarapan juga nggak?”
Kalau mau jujur, yang membuat mood Jingga bagus sedari pagi adalah itu salah satunya.
“Dih? Pertanyaan macam apa?” Jingga balik bertanya ketus, walau begitu pipi tembamnya menjelaskan semua. Pipi itu memerah. Membuat Jeremy tahu, bahwa jawaban dari pertanyaannya barusan adalah Iya.
“Masih malu-malu aja kamu sama aku.”
“Jer-”
“Kamu gemes banget asli kalau malu gitu, merah mukanya.”
“Jeremy.”
“Jingga Theodore, cantik.”
“Jeremy! Udahan pleaseeee!”
Lampu menunjukkan warna merah, membuat Jeremy menoleh kearah lelaki manis yang ia cintai itu. Wajahnya sekarang merona parah, tangannya memainkan kemeja yang dipakainya dengan gugup. Benar-benar menggemaskan di mata Jeremy.
“Kamu gemes.”
“Kamu ngomong sekali lagi aku pukul ya!”
Tawa Jeremy meledak setelahnya. Perjalanan menuju rumah Jingga hari itu diisi oleh Jeremy yang terus-terusan menggoda gebetannya itu. Dan tak usah bertanya lagi, Jingga pasti meresponnya dengan teriakan malu-malu.
Ah, menggemaskan sekali yang sedang jatuh cinta.