Hi, Baby!
Seperti yang dikatakan oleh Orion, siang ini lelaki tampan itu menjemput Cila di rumah mertuanya. Setelah hampir 3 hari, akhirnya Orion akan melihat putrinya itu secara langsung. Rindu sekali rasanya.
“Papa!”
Sapa itu terdengar kala Orion baru saja memasuki tempat dimana lelaki tercintanya, Azriel menghabiskan masa kecilnya. Tempat dimana Azriel tumbuh hingga menjadi sosok yang hebat, baik dimata Orion maupun Cila.
“Hai, princessnya papa, how are you?” sapa Orion sambil membawa sang putri ke dalam gendongan.
“I'm fineee. Even bettel when i see you papaa!”
Aksen cadel milik Cila membuat Orion tertawa. Orion kecup pipi gembul putri kecilnya yang masih di gendongan dengan sayang sebelum akhirnya suara dari ibu mertuanya menghentikan interaksi menggemaskan dari sepasang ayah dan anak itu.
“Rion.”
“Oh, hai mama!” Orion menurunkan Cila dari gendongan. Setelahnya ia mendekat kearah sang ibu mertua, memeluk wanita paruh baya itu dengan hangat, sebagaimana ia peluk mamanya setiap hari. “Kamu mau langsung balik, Yon?”
“Iya kayanya ma, anaknya mama tuh lagi manja banget sama suaminya.”
“Yaampun itu anak, udah punya anak dua aja masih begitu.”
Orion terkekeh, “Maklumin aja lah ma. Yaudah Rion bawa Cila ke rumah sakit ya, ma? Maaf ngerepotin mama berhari-hari.”
“Apaan sih, Yon? Nggak ada kamu ngerepotin mama. Cila anak pinter kok, iya kan sayang?” Wanita paruh baya itu mengelus rambut Cila.
“Iyaaa! Cila baik, wlee.”
Orion menatap Cila di gendongannya terkejut, siapa pula yang mengajarkan gadis kecil itu menjulurkan lidah mengejek orang lain? “Heh, itu yang ngajarin siapa begitu?”
“Hehe, Jio suka begitu ke aku di kelas.”
Rupanya teman sekelas Cila. Orion hanya menggelengkan kepalanya. Sungguh kalau boleh jujur aksi mengejek Cila tadi itu membuat dirinya ingin memeluk putrinya. Antara gemas karena Cila berani mengejeknya begitu juga gemas karena wajah putrinya begitu lucu kala melakukannya.
Gimana kalo ada yang suka sama kamu kalo kamu sering melet-melet gitu, princess? Papa belum rela.
“Dasar kamu itu. Yaudah ma, Rion pergi dulu ya? Cila bilang apa sama nenek?”
Cila kembali digendong oleh Orion, gadis itu kemudian mengecup pipi sang nenek, “Nenek makasih, Cila pelgi duluu!”
Langkah gadis kecil itu dipercepat ketika sang papa telah menunjukkan ruangan dimana babanya berada.
Namun begitu sampai di depan pintu ruangan itu, Cila kembali menoleh kepada sang papa yang tertinggal. Gadis kecil itu cemberut sambil menatap Orion.
“Kenapa, sayang?” tanya Orion begitu ia sampai di depan pintu ruangan.
Gadis itu menunjuk keatas.
Ah, rupanya ia tak dapat mencapai gagang pintu ruangan baba.
Orion terkekeh gemas kala mengerti apa maksud dari putrinya. Ia kemudian putuskan untuk menggendong gadis balita itu dan membuka ruangan dimana Azriel, suaminya, berada.
“Cila dataaaang!” ucap Orion begitu ia masuk ke dalam. Cila yang digendongannya juga langsung semangat begitu melihat sosok sang baba yang tengah duduk di sofa ruangannya sambil menggendong bayi kecil, adiknya.
“Hai, sayangnya baba,” Azriel menyapa, lelaki itu kemudian memanggil Cila untuk menghampirinya.
“Papa tuluuuun!”
Setelah dituruti, kaki kecil gadis itu berlari menuju sofa dimana Azriel duduk. Ia memanjat keatas sedikit dibantu Orion-yang tadi langsung berlari kala melihat tingkah hiperaktif putrinya.
Gadis kecil itu berdiri di sebelah sang baba untuk melihat wajah sang adik. Bayi sebesar kacang yang sedari beberapa bulan lalu ia tunggu-tunggu untuk keluar dari perut sang baba
“Aku mau lihatin wajah dedek.”
“Iya sayang.”
“Ihhhhh lucunyaaaaaa dedek kedip-kedip!”
Sang papa dan baba terkekeh mendengar pekikan gemas dari Cila.
Kata orang, disaat kita bahagia dan tertawa, maka mata kita akan refleks menuju orang yang kita cintai. Dan benar saja Azriel dan Orion menatap satu sama lain seraya terkekeh karena tingkah putri mereka.
Begitu netra pasangan itu bertemu, Orion tersenyum manis – tentu saja juga dibalas senyum manis oleh Azriel. Ia mendekat kearah Azriel dan memberikan kecupan di kening.
Mereka baru ingat bahwa mereka belum saling menyapa ketika Orion dan Cila masuk ke dalam ruangan beberapa menit yang lalu
“Aku nggak lama kan, sayang?”
“Lama, sampai baby Elio udah dibawa lagi ke ruangan aku nih.”
“Aku bahkan ngga sampai 30 menit??”
“Lima menit ditinggal kamu aja rasanya lama.”
Orion membelalakan mata mendengarnya, “Hey, who taught youuu? Sejak kapan kamu bisa gombalin aku begitu hah?”
“Kamu lebay banget, deh.”
“I'm sooooorry???”
Azriel terkekeh, “Ngambekan,” ejeknya.
Setelahnya, lelaki yang baru beberapa hari lalu melahirkan putra dari Orion itu berdiri, ia memberikan Elio, sang bayi, di gendongan suaminya. “Aku pengen ke kamar mandi bentar, main dulu sama Elio sama Cila.”
“Cila mau ikut baba!”
“Eh? baba mau pipis sayang..”
“Mau ikut.”
Azriel mendekat kearah Cila, ia membantu sang putri turun dari sofa dan menggandengnya ke kamar mandi.
“Kakak kebelet pipis juga?”
“Engga, Cila mau lihat baba pipis.”
“ASTAGA. ORION ANAK KAMU IH!”
Entah bagaimana rasanya, Orion tak dapat mendeskrepsikan. Begitu ia mendengar kabar kehamilan dari Azriel beberapa bulan lalu, rasanya ia sedang bermimpi. Dan beberapa hari lalu, ketika putra kecilnya dengan Azriel lahir, ia tak dapat mendeskrepsikan bagaimana perasaannya.
Senang, bahagia, terharu semua bercampur menjadi satu. Terlebih disaat ia mendengar tangisan sang putra untuk pertama kali di ruang operasi kemarin. Orion rasanya mau memeluk Azriel erat sambil memutar lelaki itu di udara.
Begitu pula Azriel. Baginya, Bertemu dengan Orion membuat dirinya merasakan sesuatu yang baru.
Azriel adalah anak tunggal, belum pernah sekalipun di hidupnya ia merawat bahkan berinteraksi dengan anak kecil. Bahkan kalau boleh jujur, ketika pertama kali mereka menikah, Azriel masih diajari oleh Orion bagaimana cara merawat Cila.
Tetapi itu semua berubah, disaat Orion dengan kurang ajarnya hadir kedalam hidupnya dan membuat dirinya bertemu dengan malaikat-malaikat kecil yang saat ini memegang takhta tertinggi di hatinya bersama dengan Orion
Azriel tak pernah membayangkan bahwa kisahnya akan seperti ini. Ia tak pernah membayangkan bahwa ia akan memiliki seorang putri dan putra secepat ini- disaat ia bahkan masih menjadi seorang mahasiswa.
Bukankah itu lucu?
Tapi tidak, Azriel tidak akan pernah menyesali ini.
Ia justru bahagia.
Ia bahagia bisa bertemu dengan ketiganya, Orion, Cila, juga Elio.
“Sssh, jagoannya papa kenapa nggak tidur-tidur, hm?”
Lamunan Azriel terpecah kala mendengar ucapan lembut di telinganya.
Dari Orion, yang tengah berusaha menidurkan Elio sedari beberapa menit yang lalu.
Huft, Elio akan sangat susah untuk tertidur apabila tidak bersama dengan sang baba.
Dan, bukannya Azriel tidak mau menenangkan putranya, tapi ia tidak bisa karena Cila saat ini tengah tertidur di pangkuannya. Gadis kecil kesayangan Orion dan Azriel itu memeluk perut babanya dengan nyaman.
Tubuh sang baba yang sedikit berisi sekarang ini, adalah sebuah kasur ternyaman yang pernah ia tiduri.
“Orion, bawa aja dedeknya ke kasur sini, kamu tidur juga.”
Lelaki itu tentu saja langsung menuruti ucapan Azriel. ia duduk dipinggiran kasur, “Kamu apa nggak capek pangku Cila begitu? Aku pindahin anaknya aja ke kamarnya ya?”
“Jangan dong, ntar anaknya bangun.”
Hening sejenak.
Orion yang saat ini tengah membawa Elio di pelukannya itu menoleh kearah Azriel yang tengah menatap kearah Cila sambil mengelus surai halusnya.
“Sayang, makasih banyak ya sudah mau terima perjodohan kita dan jadi baba buat Cila. Kamu berhasil didik dia lebih baik daripada aku.”
Mendengar itu Azriel menoleh kearah Orion. Ia kemudian meminta Orion untuk mendekat kepada dirinya.
Dan setelah Orion mendekat, masih dengan posisi sama, Azriel memangku Cila dan Orion menggendong Elio, Azriel letakkan kepalanya di bahu Orion.
“Bukan aku sendiri yang berhasil, Orion. Kamu juga berhasil didik dia dengan baik. Aku yakin nanti Cila bakal bersyukur banget punya papa kaya kamu,” Azriel berhenti sejenak.
“Rion, memang mungkin nanti Cila bakal tahu, bahwa kita berdua bukan orang tua kandungnya. Tapi,aku yakin Cila bakal baik-baik aja dengan itu. Gimana enggak? Cila punya sosok papa yang hebat kaya Orion ini, yang rela lepas masa mudanya buat rawat dia, buat bekerja supaya bisa penuhin kebutuhan dia,” lanjutnya.
Hati Orion menghangat, selalu seperti ini. Kata-kata Azriel selalu membuatnya lebih tenang.
Lelaki itu selalu tahu hal-hal yang selama ini ia takutkan.
“Cila juga Elio semua bakal bersyukur punya kamu, Papa Orion.”
Azriel menegakkan kepalanya, ia menoleh ke arah Orion yang juga menatapnya, “Begitu juga dengan aku. Aku bersyukur banget bisa punya kamu di hidup aku. Orion, aku cinta kamu, banget.”
“Aku lebih cinta kamu, Azriel. Makasih banyak, ya, sayang.”
Meski kisahnya diawal sulit untuk diterima, tapi sekarang ini, aku ingin selalu menjadi tiang tempat kamu bersandar, Menjadi rumah tempat kamu berteduh, juga menjadi sosok yang akan selalu menemani kamu dan mendengar keluh kesahmu hingga nanti kita dipisahkan oleh usia.