Future Parent-in-Laws
Jingga menghela nafasnya berkali-kali sebelum akhirnya ia turun ke lantai bawah, tempat dimana Jeremy sedang mengobrol bersama sang mama seperti yang dikatakan lelaki itu tadi melalui chatnya.
“Ma. Jer.”
Kedua manusia yang tengah mengobrol itu menoleh bersamaan. Dapat mereka lihat Jingga turun melalui tangga. Lelaki itu terlihat sangat manis dengan balutan kemeja putih dan celana panjang hitamnya.
Jeremy lagi-lagi terperangah melihat itu, bagaimana bisa ada seorang semanis Jingga?
“Sa, kamu dandannya terlalu rapi, lihat tuh Jeremy sampai melotot gitu ngelihatin kamunya.” Mendengar celetukan dari mama Jingga, Jeremy tersadar. Ia menggaruk tengkuknya malu, aksinya dilihat sang ekhm- calon ibu mertua.
“K-kamu udah siap?”
Jingga dan sang mama tertawa kompak mendengar ucapan gugup dari Jeremy. Walau tak dapat dipungkiri, Jingga sudah setengah mati menahan malu karena ucapan sang ibu tadi.
“Udah, mau berangkat sekarang, Jer?”
“Ayo.”
Jingga mengangguk, ia melangkah menuju dekat Jeremy dan kemudian pamit pada mamanya. “Ma/tante kita berangkat dulu,” keduanya berucap bersamaan yang dibalas anggukan serta senyum dari si wanita.
Keduanya kini telah sampai di kediaman Jeremy. Begitu turun dari mobil jeremy menggenggam tangan Jingga yang kelihatan sangat gugup. “Nggak papa, calon mertua kamu nggak gigit kok.”
Calon mertua kamu, katanya.
Dasar Jeremy, tak tahu saja bahwa perkataannya itu membuat Jingga lebih gugup lagi.
Lelaki manis itu hanya tersenyum kecil membalasnya, ia membiarkan Jeremy membawanya ke pintu utama kediamannya.
“Huuuh..”
Jingga menarik nafasnya panjang, Jeremy yang mengetahuinya hanya terkekeh gemas.
“Gugup banget ya?” tanyanya sembari memberikan elusan lembut di surai Jingga.
“Ya kamu pikir aja deh.” Jeremy terkekeh.
“Udah mau masuk?” tanya Jeremy yang dibalas anggukan yang berarti 'iya'. Tentu saja setelahnya Jeremy membuka pintunya dan berteriak sedikit keras untuk memberitahu sang mami.
“Aku pulang!”
“Eh udah pulang?” Seorang wanita paruh baya keluar dari kamarnya dan tersenyum ketika melihat sang putra berdiri di ruang tamu. Beliau memberikan peluk dan juga kecupan pada kedua pipi Jeremy untuk menyapa putranya.
Melihat itu, Jingga tersenyum. Ia kagum melihat hubungan keduanya. Jeremy bahkan tak malu untuk dikecup oleh sang mami.
“Eh, mi. Jeremy bawa paca- emm, orang yang mau jadi pacarnya Jeremy.”
Sang mami terkekeh, ia tahu putranya itu memang tengah naksir kepada seseorang. Maka ia pun menolehkan pandangan menatap lelaki manis yang berhasil membuat sang putra jatuh cinta itu.
“K-kamu?”
“Eh, iya tante. Perkenalkan nama saya Jingga Aksara,” Jingga tersenyum dan menunduk sopan kearah mami Jeremy.
“Ma, kok diem aja?”
Jeremy menegur sang mami yang sedari tadi hanya diam memandang lelaki yang ia cintai itu. Tak biasanya seperti ini, Jeremy tahu pasti ada yang salah dengan maminya.
“Kamu! Kamu anak selingkuhan suami saya kan?”
Jingga maupun Jeremy terkejut mendengar ucapan si wanita. “Ma, papi itu udah nggak ada 12 tahun lalu ma!”
Sang mami berjalan menuju kamarnya, semenit kemudian keluar dan membanting sebuah kotak di hadapan Jeremy dan juga Jingga. “Lihat! Dia anak kecil yang ada di foto ini, digendong sama papi kamu! Lihat tanda lahirnya Jer!”
“M-mami kapan dapat kotak ini?”
“Asal kamu tahu 2 tahun terakhir mama selalu terima kotak yang isinya foto-foto papi kamu sama selingkuhan dan juga anak selingkuhannya. Mami tahu papi kamu emang sebelumnya selalu nunjukkin gelagat aneh. Ternyata bener dugaan mami, sebelum meninggal papi kamu sempet selingkuh sama mamanya dia!”
Jingga mengambil salah satu foto di kotak itu. Itu fotonya dengan Om Ghail, seorang pria yang ia sayangi.
“Om Ghail?”
“Jingga kamu kenal sama papi Ghail?”
Jingga hanya mengangguk saja mendengar ucapan Jeremy. Karena memang ia kenal dengan orang yang disebut oleh Jeremy. Foto yang berada di tangannya pun memang foto dirinya dan juga seorang pria paruh baya yang baru ini ia ketahui adalah ayah dari Jeremy, lelaki yang ia cintai.
“Tapi saya buk-”
“Kamu, jangan berani-berani bicara sama saya! Kamulah yang merusak rumah tangga saya! Kamu dan mama kamu yang buat suami saya selalu berada di rumah saat pagi dan malam saja setiap harinya!”
“MAMI!”
Sang wanita menoleh kearah Jeremy, “Kamu cinta sama dia?” tanyanya sambil menunjuk kearah Jingga. “Mami gak mau kamu pacaran sama anak dari selingkuhan papi kamu! Kita bahkan gak dapet waktu buat lihat papi kamu terakhir kali, Jer. Itu semua karena dia dan juga mamanya!”
“Dia nggak tahu malu, buat apa kamu pacaran sama anaknya?” lanjut wanita itu
Jingga sedari tadi sudah mencoba bersabar, tapi kali ini tak lagi. Ia tak suka ada yang menuduh mamanya sembarangan, bahkan jika itu adalah ibu dari lelaki yang dicintainya sekalipun.
Ia sangat tahu, siapa pria paruh baya itu bagi mamanya. Sang mama tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu dan merusak keluarga orang lain.
“Mam-”
Jeremy yang mau angkat bicara terhenti ucapannya ketika Jingga menahan tangannya. Jeremy tatap lelaki manis yang dicintainya itu sudah menahan tangis.
“Tante, mama saya tidak pernah ngelakuin hal sekeji itu.”
“Kamu tahu apa?! Bahkan karena mama kamu itu, Jeremy dan juga saya tidak bisa melihat Ghail untuk terakhir kalinya. Kamu nggak akan pernah tahu rasanya kehilangan orang yang kamu cintai, kan?”
“Tante jangan asal nuduh kalau belum tahu kebenarannya. Tante pikir saya nggak tahu apa-apa? Saya tahu. Tapi tante nggak mau denger penjelasan saya,” Jingga berucap.
“Saya tahu tante, saya tahu rasanya kehilangan orang yang saya cintai karena papa saya sudah pergi semenjak saya kecil. Saya nggak pernah ngerasain kasih sayang seorang papa tante,” lanjutnya
“Oh, pantes aja mama kamu mau ngambil suami orang. Memang nggak tahu malu ya kalian itu? Bahkan putra saya pun harus kepincut dengan kamu, anak selingkuhan suami say-”
“Tante cukup!”
Kedua manusia lain di sana menoleh kearah Jingga. “Tante boleh jelek-jelekin aku, tante boleh bilang aku nggak cocok buat anak tante, tante juga boleh pisahin aku sama anak tante. Tapi jangan pernah ngucapin sesuatu yang jelek soal mama aku, tante. Karena mama itu orang yang paling baik yang pernah aku temui dan tante gak bisa nuduh begitu aja sebelum tahu apa yang sebenarnya.”
Jingga mengusap satu air matanya yang jatuh dari pelupuk mata kemudian menoleh ke arah Jeremy, “Maaf Jer, kita udahin aja,” ucapnya lalu pergi dari kediaman Jeremy dan maminya.
“Ji-”
“Jangan berani-berani kamu kejer dia, Jer. Atau kamu nggak akan pernah lihat mami lagi.”