Food Festival
Seperti yang dikatakan oleh Adam tadi, kini sepasang kekasih yang sudah hampir delapan tahun bersama itu tengah 'kencan' berdua. Mengingat masa-masa dimana keduanya masih berada di sekolah menengah atas juga ketika berada di dunia perkuliahan.
Tidak, keduanya tidak kencan ke restoran mewah atau pantai, dan segala macamnya yang berbau romantis. Adam hanya membawa Raya ke sebuah food festival yang diadakan di kota mereka.
“Gimana kerjaan?”
Rafael bertanya sambil memakan satu telur gulung yang tadi dibelikan Adam untuknya. Keduanya duduk di tengah keramaian orang, menikmati keramaian yang berada di food festival tersebut sambil sesekali berbasa-basi, bertanya mengenai hari satu sama lain — mengingat sudah hampir beberapa minggu keduanya sibuk dengan pekerjaan.
“Ya gitulah, lo kaya nggak tahu papi aja gimana kalo ngasih anaknya kerjaan,” Adam menjawab pertanyaan Rafael dengan cuek. Lelaki itu mendekat kearah Rafael dan membuka mulutnya. Meminta lelaki manisnya untuk menyuapkan telur gulung itu kepadanya, yang tentu dituruti oleh Rafael kala ia mengerti apa maksud kekasihnya itu.
“Sibuk banget ya? Hahahahaha. Kantor gue juga lagi sibuk banget.”
“Ya baguslah daripada lo bosen gue tinggal kerja mulu.”
“Hah?”
“Ya lo kan bucin sama gue, ditinggal bentar udah ngerengek.”
“Dih?”
Rafael menatap Adam sinis yang dibalas tawa oleh Adam. Setelahnya mereka tak ada percakapan. Rafael kembali menatap ke depan, menatap anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari di depannya sambil membawa gulali, permen kapas, kue, dan bahkan es krim.
“Ray.”
“Hm?” Satu tusukan telur gulung dilahap oleh Rafael sebelum ia menoleh kearah Adam yang menatap dirinya serius.
“Nikah sama gue, yuk?”
Uhuk!
“H-hah? Lo s-serius?” Raya menepuk lehernya sendiri, rasanya ia ingin memukul Adam karena berkata seperti itu disaat ia tengah mengunyah telur gulungnya. Di mana akhlak lelaki itu?
“Ya ngapain gue main-main sih. Nih minum, sampe kesedak begitu,” Adam menyodorkan satu botol air mineral yang langsung ditegak habis oleh Rafael.
“Ya lo nya! Ngajak nikah berasa ngajak makan cilok. Gampang bener,” sungutnya. Tapi tak dapat dipungkiri, kini jantung Rafael berdebar kencang, perutnya seakan dipenuhi oleh kupu-kupu berterbangan.
Ah, sudah lama rasanya Rafael tak merasakan ini karena kesibukan keduanya.
“Hahaha, tapi gue serius, Ray. Kita udah barengan hampir delapan tahun. Gue udah mapan begini, kerja di perusahaan Papi.”
Raya menaruh botol minum di bawah kursinya kemudian kembali tatap kekasihnya itu. “Lo udah yakin?”
“Ya yakin, kenapa enggak? Delapan tahun udah cukup buat gue mengenal lo, Ray. Gue gak mau lagi ngabisin waktu lebih banyak buat ngegantung lo dengan status pacaran ini. Gue mau lo sepenuhnya jadi milik gue.”
Rafael tak dapat berkata apa-apa lagi. Adam, kekasihnya yang biasanya cuek minta ampun ini bisa berucap begini pada dirinya. Jika Athlan maupun Ciel mendengarnya, mungkin mereka sudah mengejek lelaki itu habis-habisan.
“Lo.. mau kan? Nikah sama gue?” Adam merogoh sakunya dan menunjukkan sebuah cincin di dalam kotak beludru. Cincin yang dibeli olehnya atas jerih payahnya sendiri. Cincin yang sudah dibelinya semenjak ia baru memulai kerjanya, yang memang ia niat berikan kepada sang kekasih disaat sudah ia sudah mencapai mimpinya.
“Di tengah keramaian gini banget..?” cicit Rafael ketika dirinya menatap cincin di tangan Adam dan pemegangnya bergantian.
Adam terkekeh, “Gue tau, harusnya gue ngelamar lo di restoran mewah atau apalah itu yang biasa orang orang lakuin. Tapi gue mikir, gue mau ngelamar lo di tempat yang memang sederhana ini. Supaya lo tau, gue gak perlu tempat mewah, gue gak perlu jas atau apa itu buat ngelamar lo.”
Adam menarik nafasnya, sebelum melanjutkan, “Karena dimana pun lo sama gue berada, cinta gue bakal tetep sama. Toh, ditengah keramaian begini, mereka sibuk sama kesibukan mereka sendiri. Ya kalo ada yang sadar mah bagus, jadi mereka bakal iri sama lo, ya gak?”
Sudah dapat dipastikan, wajah Rafael memerah padam. “Jadi.. kita nikah?” tanyanya pelan.
“Kalo lo terima cincin gue, ayo.”
Dengan gemetar, Rafael mendekat kearah Adam. Ia dekatkan indra berbicaranya pada indra pendengaran Adam dan berbisik pelan.
“Ayo, nikah, Dam.”