Marry Me?

Setelah hampir 5 menit berkutik dengan ponsel, Arasy akhirnya menampakkan diri di meja makan rumahnya. Ia menyapa dengan hangat ketiga orang yang tidak dikenalnya di sana— Ah, ia mungkin mengenal satu, lelaki tampan yang duduk di kursi kosong yang ia yakini adalah untuk dirinya itu bernama Sean. Arasy mendengar kedua orang tuanya memanggilnya begitu.

“Selamat sore, maaf saya terlambat.”

Sebuah senyum manis Arasy suguhkan kepada mereka, termasuk kepada mama papa, serta kakaknya yang berada di sana.

“Sore, ini Rasy ya?”

Arasy mendudukkan dirinya di kursi kosong tadi kemudian mengangguk dan tersenyum. “Iya tante, saya Rasy, hehe.”

Kekehan di akhir itu menggundang senyuman gemas dari lelaki di depan Arasy. Arasy sadar bahwa lelaki di depannya itu tersenyum karenanya, tapi ia memilih untuk mengabaikan.

“Yaudah ayo makan dulu,” papa Arasy membuka suara, mempersilahkan semua yang ada di sana untuk memakan hidangan yang sudah disiapkan oleh sang istri.


“Ekhm! Jadi, Rasy..”

Arasy tengah sibuk dengan dessert pudding mangganya ketika sang papa mengeluarkan suara.

Makan malam telah selesai sedari tadi, jadi kedua keluarga itu mengobrol, dan Arasy yang tak paham akhirnya memilih untuk mengambil dessert favoritnya untuk dimakan. Ia tak berniat mendengarkan obrolan mereka.

“Iya papa?” sendoknya ditaruh, Arasy menatap sang papa dengan penasaran.

“Kamu nikah sama Sean, sebulan lagi.”

Arasy tersedak. Pudding mangga yang tersisa di mulutnya itu masuk ke saluran pernafasannya secara tiba-tiba. Apa apaan?

“Papa.. tuh kan anaknya jadi keselek. Rasy, sini lihat mama,” sang mama yang duduk di dekat Rasy memberikan minum — yang langsung ditegak habis oleh Arasy dan kemudian meminta sang anak untuk menatap dirinya.

“Kamu bakal nikah sebulan lagi sama Sean, sayang. Kamu mau kan?” Arasy refleks melirik Sean yang berada di depannya.

“Mama tahu kamu itu masih muda banget, tapi mau ya?” lanjutnya.

“Sy? Kamu mau ka—”

No?! Pa, ma, Rasy kan belum lulus kuliah? Gimana mau urus rumah tangga?”

Setelah berucap demikian, Arasy menoleh ke arah Sean beserta kedua orang tuanya — ah atau bisa dikatakan calon suami dan calon mertuanya. “Maaf om, tante, Kak Sean, Rasy belum mau nikah,” lanjutnya kemudian meninggalkan meja makan.

Sang mama menatap khawatir. “Sean, maaf ya.”

“Nggak papa tante, Sean paham kok. Kalau Sean mau bicara sama anaknya, boleh?”

Tentu saja papa dan mama Arasy mengangguk. “Anaknya paling ke taman di belakang, duduk di kolam ikannya.”


“Hai.”

Paras ayu Arasy tampak lesu di mata Sean. Lelaki manis itu ternyata berlari ke belakang rumah, benar saja, Arasy duduk di pinggir kolam ikan yang diameternya hampir 3 meter di taman belakang rumah.

“Kak Se..” Sean terkekeh pelan mendengar cara Arasy memanggilnya. Ini pertama kali.

“Saya boleh duduk?”

Arasy mengangguk.

“Kamu nggak ingat sama saya?” satu pertanyaan itu membuat Arasy menerawang ke apa yang ia tweet di akun kosongannya tadi. Laki laki ini memang tidak asing, namun Arasy tak tahu siapa.

“Saya dulu kating kamu waktu kamu baru pertama kali masuk kuliah. Kamu ingat? Orang yang pernah pinjam pena ke kamu? Itu saya.”

Ingatan Arasy menerawang ke satu setengah tahun yang lalu.

Ah, iya, waktu itu ada seorang yang menghentikan dirinya ketika mau keluar dari gedung universitas. Arasy ingat, ia sangat panik karena salah satu kakak tingkat menghentikan dirinya di tengah gerbang, dipikirnya ia melakukan sesuatu kesalahan atau apa. Ternyata lelaki yang menghentikannya itu meminjam pena untuk mencatat sesuatu.

Dan ternyata, lelaki itu Sean, orang yang berada di hadapannya, orang yang dijodohkan dengannya. Takdir yang lucu, pikir Arasy.

“Sudah ingat? Sejak saat itu saya perhatiin kamu, Rasy. Saya bekerja keras sampai saya berada di titik ini sekarang, sampai saya sukses dan kemudian saya bawa orang tua saya untuk berbicara dengan orang tua kamu.”

Arasy terperangah. “Jadi..”

“Iya, ini bukan pertama kalinya saya kesini. Seminggu lalu, sebelum saya pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis saya menyempatkan diri untuk mengajak orang tua saya ke rumah ini. Melamar kamu. Tapi sayangnya saat itu kamu sedang menginap di rumah teman kamu.”

“Terus.. Kak Se.. mama sama papa terima?”

“Iya, mereka terima lamaran saya untuk kamu. Lagipula, kedua orang tua saya ternyata mengenal orang tua kamu, jadi ya.. begitu. Saya kemarin niatnya menunggu kamu pulang, tapi pekerjaan saya tidak membantu. Saya baru bisa kesini lagi hari ini, untuk bertemu kamu.”

Arasy terharu, lelaki ini datang kepadanya disaat sudah berada di atas. Alih alih meminta dirinya untuk menunggu, mendampinginya untuk mencapai kesuksesan, Sean justru bekerja keras sendiri dan menemui dirinya dalam versi terbaik.

“Rasy..” Sean menyentuh dagu Arasy, meminta lelaki manis itu menatapnya.

Dan ketika netra keduanya bertemu, Sean tersenyum lembut. “Saya tahu ini terlalu tiba-tiba. Bahkan kamu masih sangat muda. Tapi saya tidak tahu lagi kapan waktu yang tepat untuk melamar kamu, Rasy. Maka dari itu hari ini saya ke sini, datang untuk menjadikan kamu milik saya.”

“K-kak Se.. ”

“Gentala Arasy, i really really love you. Would you marry me?”

“Aku belum cinta sama kakak..”

Sean tertawa pelan, netranya masih ia kunci pada netra bintang milik Arasy, membuat yang ditatap juga tak bisa mengalihkan pandangan. “Nggak papa, cinta itu bakal datang karena terbiasa, saya yakin kamu pasti akan balas cinta saya.”

Arasy menggigit bibirnya, jujur saja, jantungnya berdegup sangat kencang sekarang. Pipinya pun terasa panas. Sean menatapnya dalam sedari tadi, bagaimana ia bisa biasa saja?

“Jadi, Rasy, apa kamu mau nikah sama saya?” Sean kembali mengeluarkan suara.

Arasy menarik nafasnya panjang sebelum ia memberanikan diri tersenyum. Ia memberikan senyum usilnya, tak peduli dengan jarak wajah Sean yang berjarak hanya 5 centi dari wajahnya.

“Kak Sean, Rasy ini calon pendamping kakak dan kakak masa masih mau pakai ‘saya’ ‘saya’ ke Rasy?”