The Truth

Hendra tak pernah sekalipun melihat sahabatnya seperti ini, ini pertama kalinya. Pertama kalinya Jingga terlihat sangat-sangat kacau. Saat Hendra masuk ke dalam salah satu gedung fakultasnya ini, ia melihat Jingga disana. Berjongkok di pojok sambil menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan.

“Aksara..” Hendra memanggil pelan. Ia berlari ke sahabatnya itu dan memeluknya. Dapat Hendra rasakan, tubuh sahabatnya itu bergetar saat ia bawa ke dalam pelukannya. “Ini gue, Sa.. Ini gue, tenang.”

Dan perlahan, pelukan Hendra dibalas oleh Jingga, lelaki manis itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hendra. “M-mereka ngata-ngatain gue sepanjang jalan, Hen.. Gue tadi sengaja di tarik ke belakang sampai gue jatuh. Hendra, gue salah apa? Gue cuma mau bela nama baik mama gue tapi kenapa gue malah diginiin?”

Rahang Hendra mengeras. Jujur pada awalnya ia berfikir memang ada seseorang yang iseng pada Jingga. Namun ternyata ia salah, sahabatnya semenjak kecil ini menerima banyak kebencian karena memutuskan hubungannya dengan Jeremy.

Selama ini, mungkin Hendra hanya akan memberi peringatan lewat akun twitternya, karena ia tahu bahwa Jingga tak akan jatuh hanya dengan ucapan menjatuhkan dari sebuah akun anonim. Tapi kali ini, mereka benar-benar sudah kelewatan jika sampai membauuat Jingga terluka.

Dan Hendra tak akan diam karena itu.


Kini mereka berada di kamar milik Jingga. Setelah bersusah payah melindungi Jingga keluar dari fakultas itu, akhirnya Hendra dapat membawa sang sahabat kembali ke rumahnya.

Kondisi Jingga masih sama, lelaki manis itu hanya diam sambil menangis di pelukan Hendra. Ah, dan juga mama berada bersama mereka sekarang. Wanita paruh baya yang awalnya kembali ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal itu, kini berada di sana karena khawatir dengan keadaan putra satu-satunya.

“Sa, jelasin sama mama, ada apa?” Jingga hanya menggeleng, ia tetap berada di pelukan Hendra, memilih diam. Maka dari itu, Hendra lah yang memilih untuk membuka suara.

Lelaki sahabat Jingga itu menceritakan semua dari awal, masalah Jeremy hingga yang tadi. Tentu saja tidak detail, karena hendra hanya tahu dari cerita Jingga juga Jeremy beberapa minggu yang lalu.

Dan mendengar cerita dari Hendra, sang mama tak bisa untuk diam saja. Ia menjadi akar masalah di sini, jika saja tak ada kesalah pahaman mengenai dirinya dan Ghail, mungkin ini semua tak akan terjadi.

“Hendra, Ghail itu pasien mama.”


Ghail, seorang pasien yang tentu saja akan sangat diingat oleh mama juga Jingga. Walau hanya sebatas pasien, tapi pria itu juga memiliki kenangan dengan keduanya.

Ghail mengalami depresi ringan. Bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan sang istri dan anak memang adalah kewajibannya, namun lama-kelamaan ia merasa lelah. Pria itu merasa lelah, ia kehilangan banyak waktu dengan keluarganya.

Pun ketika hasil pemeriksaan kesehatannya berkata bahwa ia mengidap kanker. Pria itu makin merasa lelah, ia tak mau keluarganya mengetahui ini. Maka dari itu Ghail memutuskan untuk bertemu dengan mama. Mama lah yang selalu meminta Ghail untuk terbuka kepada keluaganya, namun Ghail tak bisa, ia tak akan pernah bisa melihat raut terluka dari kedua orang yang dicintainya itu.

Maka pria itu memilih berkeluh kesah dengan mama, yang memang bekerja sebagai psikiater, setiap minggunya.

Dari situ, Jingga bertemu Ghail. Kehadiran pria yang dipanggilnya dengan Om Ghail itu membuat Jingga kecil senang, sosok itu membuat dirinya merasakan bagaimana rasanya memiliki ayah. Jingga selalu bercerita pada pria paruh baya itu dan sebaliknya, pria itu juga sering bercerita mengenai Jeremy kepada Jingga.

Kepergian Ghail tentu saja bagai sebuah pukulan besar bagi Jingga, bahkan sampai sekarang Jingga dan mama masih rutin mengunjungi makam Ghail setiap beberapa bulan sekali.

“Mama nggak pernah sekalipun berpaling dari suami mama. Ghail, walau dia memang seorang yang penting bagi mama juga Aksara, tapi hubungan kami hanya sebatas pasien dan dokter. Yah, walau Aksara memang menganggapnya sebagai sosok ayah, tapi bagi mama, ia adalah pasien mama. Tidak lebih.”

Sebuah kisah panjang itu akhirnya diketahui oleh Hendra. Ah, ternyata Ghail yang seringkali disebut oleh Jingga dan Mama itu adalah ayah dari Jeremy.

“Dan Aksara, kenapa nggak cerita sama Jeremy? Sa, mama tahu kamu sakit hati karena ucapan maminya Jeremy, tapi apa Jingga nggak berpikir gimana sakitnya Jeremy waktu gini? Kalian udah sejauh ini, sayang.”

“Mama bener, lo harusnya cerita yang sebenernya ke Jeremy. Dan kalian pasti bakal ketemu jalan keluarnya, buat cerita yang sebenernya ke maminya Jeremy.”

Jingga yang masih berada di pelukan Hendra itu kini menunduk, “.. Udah terlambat, mama. Aku udah lukain hati Jeremy.”

“Aksara lihat mama,” ucap si wanita yang langsung dituruti Jingga. Setelahnya dapat Jingga rasakan sang mama menghapus air matanya.

“Jingga Aksara, kamu tahu? Mama bangga sama kamu, banget. Kamu rela melepas orang yang kamu cinta demi nama baik mama, itu hal yang hebat yang pernah putra mama ini lakukan,” wanita itu berucap. Berhenti sebentar sebelum melanjutkan,

“Tapi, kamu harus tau, kamu pun nggak boleh nyerah soal cinta kamu. Nggak pernah ada kata terlambat buat melakukan sesuatu, sayang. Minta maaf, jelasin semua ke Jeremy dan kalian berjuang bersama untuk cinta kalian.”

“Apa Jeremy mau maafin aku?”

You don't know until you try it, Ga. Gue yakin, Jeremy pun nggak akan dengan mudah lepasin lo setelah tahu kebenarannya.”

Jingga tersenyum pada akhirnya, ia membawa kedua orang yang berharga di hidupnya ini ke dalam pelukan. Sebuah hal yang ia syukuri ia dikelilingi oleh orang-orang baik.

“Aksara bakal cerita ke Jeremy, dan apapun nanti hasilnya- Jeremy mau balik sama Aksara atau enggak- bakal Aksara terima.”