With Avenir
Mereka ber-lima berkumpul bersama, menertawakan tingkah laku Noah barusan di sosial media mereka, “Lagian ada-ada aja lo, hahahahaha,” Aidan berkata memukul punggung Noah yang duduk di sampingnya.
“Ya kan gue cuma berpendapat gitu.”
“Hahahahaha.”
Ketika Noah, Aidan, juga Hendra sibuk mengobrol, Jingga dan Jeremy asik dengan dunia mereka sendiri. Sebenarnya tuh, rencana awal mereka memang ingin pergi ke cafe. Namun pada akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke studio musik mereka, berkumpul bersama dan melepas kangen dengan Jingga – kata Noah dan Aidan.
“Kamu udah sarapan tadi?” Jeremu berbisik pada Jingga, mengabaikan ketiga partner bandnya.
“Baru sempet minum teh sih, ini kan aku masuknya sarapan juga sama kalian. Kamu udah makan ya?”
“Mhm, tadi sempet dibikinin roti sama mami,” jawab Jeremy sambil mengambil sepotong Pizza dalam kotak yang berada di meja
Jingga mangut-mangut saja. Sebenarnya ia tuh masih merasa ada yang mengganjal apabila Jeremy menyebut kata 'mami', Jingga merasa bahwa memang ada sesuatu yang belum diluruskan dan ia ingin secepatnya menyelesaikan itu.
“Jer..”
“Hm, iya?”
Walau sebenarnya hanya Jeremy saja yang dipanggil, ketiga manusia lain yang di sana juga ikut menoleh, penasaran dengan apa yang akan diucapkan oleh Jingga.
“Kalo.. lusa aku ke rumah kamu gimana? Atau besok?! Aku mau selesaiin semuanya sama mami kamu.”
Tangan Jeremy yang awalnya mau menyuapkan Pizza ke mulutnya terhenti. Lelaki itu menoleh ke arah teman temannya yang lain, seakan berbicara dengan tatapan mata, baru setelahnya kembali menoleh kearah Jingga, “Kamu.. serius?”
“Iya. Jer, rasanya tuh ada yang ganjel kalo sampai sekarang aku belum jelasin apa-apa ke mami kamu sedangkan kamu udah seneng-seneng sama aku disini sekarang.”
“Sa.”
“Iya gue tahu gue baru baikan sama Jeremy beberapa hari lalu dan kalian semua takut kalo gue nggak diterima lagi. Tapi, emang adil kalau semuanya udah aman di gue sedangkan maminya Jeremy masih dihantui sama kesalah pahaman di masa lalu?”
Jeremy tersenyum, entah bagaimana, sosok Jingga ini dapat selalu membuatnya jatuh cinta. Di matanya, Jingga adalah sosok yang sempurna. Sangat sempurna.
“Kalau gitu mau lo, kita nggak ada yang bisa ngelarang, Ga,” Aidan berucap. Diikuti yang lain.
Mereka-Hendra, Noah, juga Aidan berdoa yang terbaik untuk kedua sahabat mereka ini. Aidan tak berbohong dengan apa yang dikatakan olehnya di roomchat tadi, hatinya pun ikut sakit melihat bagaimana Jingga dan Jeremy bertengkar beberapa hari lalu.
Maka, Jika Jingga sudah berinisiatif untuk menyelesaikan semuanya sekarang, mereka pun ikut bahagia dan tak akan melarang.
Begitu juga dengan Jeremy, dipikirnya Jingga akan membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk menjelaskan, tapi ternyata tidak. Jingga memutuskan untuk memberitahu sang mami di dekat hari ini. Jeremy tak tahu lagi harus apa selain memeluk cintanya ini dengan bangga.
“Hahahaha, udah-udah jangan natep gue begitu, gue jadi pengen nangis.”
“Nangis aja gak papa, nanti kita ikut,” Noah menyahuti Jingga. Membuat Jingga tertawa.
Dan sekarang, Jingga mengerti apa artinya sahabat, mereka selalu bersamanya saat sedih maupun senang. Sekali lagi dalam hatinya, Jingga bersyukur dipertemukan dengan sosok Jeremy, Hendra, Aidan, juga Noah di hidupnya.
“Eh minumnya udah habis nih? Gue beliin ya?”
Jingga menatap botol-botol kosong diatas meja. Sudah beberapa jam mereka berkumpul di sini dan Avenir masih sibuk bermain dengan lagu-lagu mereka di sini. Memang, mereka tak pernah bisa melihat alat musik yang diam saja.
“Kamu mau aku temenin?” Jeremy bersiap menatuh gitarnya, menatap Jingga yang sudah berdiri, mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya.
“Beberapa langkah doang dari sini minimarketnya Jer, sendiri aja aku. Daripada kalian semua kehausan.”
“Yaudah hati-hati ya.” Jingga mengangguk, setelahnya ia menoleh kearah Noah, Hendra, juga Aidan. “Mau nitip gak?”
“Nitip diri lo aja biar selamat, sayang,” Aidan menyahut, kemudian dilempari botol kosong oleh Jeremy. Bukannya mengaduh, Aidan justru terkekeh.
“Cemburu ya lo?”
Jingga tersenyum melihat mereka setelahnya ia pamit untuk keluar dari studio musik milik Avenir. Ia berjalan dengan santai sambil menyenandungkan lagu-lagu milik Band teman-temannya itu. Ah, lagu mereka tak pernah ada yang gagal, memang berbakat.
Namun, senandung dari bibitnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang tidak asing tengah menyebrang. Tidak ada yang salah dari itu jika saja Jingga juga tak menangkap sebuah mobil dikendarai ugal-ugalan mengarah pada sosok itu.
Jalannya pun dipercepat, setelah sampai ke sana, Jingga berlari, tak mempedulikan kendaraan lain yang membunyikan klakson karena waktu.
“Tante, awas!” Di dorongnya wanita itu menuju pinggir trotoar.
“J-Jingga?!”