Us
Sean tak percaya dengan apa yang dibacanya barusan. Beberapa kata dari bubble chat milik Arasy, membuat hatinya seperti terhantam sesuatu yang keras.
Secepat tenaga ia melangkah keluar dari kantornya. Dengan terburu-buru mengendarai mobil miliknya. Tujuan pertamanya sekarang ini ialah pulang. Ia mau bertemu dengan Arasy.
Nggak ada yang bisa dipertahanin di pernikahan ini, begitu kata suaminya.
Sean tahu, sangat tahu. Dirinya berada di puncak kesuksesan saat ini. Pun semua yang dilakukannya ini tak membawa sebuah kebahagiaan untuk Arasy. Namun, tak pernah sekalipun terlintas di benaknya, bahwa Arasy akan mengucapkan kata perpisahan pada dirinya.
“Kak Sean.”
Sebuah sapa yang menyambut Sean tak seperti biasanya. Jika biasanya Arasy akan berteriak senang dan masuk ke dalam pelukan hangatnya, kini Arasy hanya menatap dirinya. Datar.
“Sayang? Nggak mau peluk kakak?” dirinya bubuhkan tanya. Membuka kedua tangannya, meminta Arasy masuk ke dalam pelukannya.
“Apa kata-kata Rasy di chat barusan nggak bisa kakak baca dan terjemahin artinya?”
Perlahan tangannya menurun. Arasy serius. Lelaki itu mengajaknya untuk bercerai.
“Rasie, kita duduk ya? Bicara yang jelas.”
Jam malam ini menunjukkan pukul 6 sore. Dimana setiap pasangan pasti telah duduk bersama, menikmati indahnya sore hari, mengucapkan perpisahan pada matahari yang akan tergantikan oleh bulan.
Namun tidak untuk Sean dan Arasy. Keduanya kini berada di ruang tamu, duduk saling berhadapan dilingkupi dengan keheningan. Hanya detak jam saja yang terasa di rumah yang luas milik keduanya itu.
“Rasy.”
Sean membuka suaranya, ia sadar dirinyalah yang menjadi masalah di sini. Apabila tidak selalu bekerja dan meninggalkan Arasy di rumah, mungkin bukan begini akhirnya.
“Kak Sean, Rasy capek, Kak. Semua barang barang ini, rumah sebesar istana negara, baju-baju branded, semua guci mahal, itu nggak berguna buat aku. Kak, aku cuma mau waktu. Aku mau jadi kaya pasangan yang lainnya,” Arasy membuka suara juga. Matanya menatap ke sekeliling. Baginya, semua ini, semua kemewahan ini tak ada apa-apanya apabila Sean tak memiliki sebuah waktu.
Sean boleh berbangga diri soal kesempurnaannya. Kekayaan juga ketampanannya. Tapi Arasy tak peduli dengan itu.
Yang ia mau hanya satu. Waktu milik Sean. Itulah yang berharga baginya. Itulah yang dipedulikan oleh dirinya.
“Rasy kakak kerja untuk kamu, sayang. Untuk masa depan kita.”
“Kak, selama ini kakak bilang gitu. Tapi apa? Rasie nggak bahagia. Rasie mau kak, kaya pasangan lain. Bisa peluk suami sepuas Rasie, bisa bareng-bareng di rumah, pergi piknik, pergi jalan-jalan, makan bareng. Rasie mau itu kak. Tapi selama ini Rasie nggak pernah dapet itu.”
“Rasy kakak—”
“Kakak, rasanya Rasie hilang rasa. Pernikahan ini memang bawa banyak kebahagiaan buat Rasie, tapi ada satu kak. Satu bagian yang kosong. Dan itu nggak pernah sekalipun tertutup sama apa yang seharusnya mengisi kekosongan itu, kak.”
Arasy tatap manik Sean yang sedari tadi juga menatap kearahnya.
Kala maniknya bertemu dengan Arasy, Sean mencari sesuatu dari sana. Kebohongan. Namun naas, semua itu tak ada.
Sean bersumpah, satu yang ia ingini dipernikahan ini adalah membahagiakan Arasy. Dan ternyata semua yang ia lakukan sekarang tak pernah membawa bahagia bagi cintanya.
Sean merasa gagal. Ia gagal menjadi seorang lelaki yang seharusnya menjaga cintanya dengan baik. Ia gagal memberikan kebahagiaan bagi orang yang ia cintai.
“Rasy..”
“Hm?”
Mata Sean berkaca-kaca, hatinya sakit. Tangannya ia kepal dengan kuat, berusaha sebisa mungkin masih menatap wajah ayu milik suaminya.
“Kamu.. bahagia.. sama aku?”
“Aku bahagia, Kak. Awalnya aku bahagia. Tapi makin lama, Rasanya ada yang kurang.”
“Kamu mau lanjutin lagi sama aku.. perbaikin semua?”
Gelengan Sean dapat.
“Aku nggak mau lagi ngelanjutin semua ini, Kak. Aku nggak sanggup lagi buat lanjutin. Aku bangga sebenarnya, punya nama Anderson di nama belakang aku, aku bangga banget. Ini sesuatu yang nggak akan pernah bisa aku rasain setelah ini. Tapi Kak, selain rasa itu, nama ini juga bawa kesedihan buat aku. Kakak sibuk terus, kakak lupa rumah.”
Sean menghela nafasnya sekali, sebelum akhirnya ia membuka suara. Bergetar. “Rasy, kalau itu mau kamu, kalau dengan ini kami bahagia.. Kakak.. Kakak lepas kamu sayang.”
Suaranya tercekat. Tak menyangka apabila mengucapkan ini akan begitu susah baginya. Sean bersumpah, dirinya mencintai Arasy lebih dari dirinya mencintai diri sendiri.
Apapun yang dilakukannya adalah untuk Arasy. Dan apabila dengan melepas lelaki manis itu Arasy mendapat kebahagiaan, maka Sean akan melakukannya.
Meski itu membawa luka yang sangat besar di hatinya.
“Kak Sean.”
Sean menghapus setitik air matanya yang keluar dari ujung mata. Ia tersenyum tipis, menangkup kedua pipi Arasy, mengelus kulit lembut itu di ibu jarinya.
“Arasy Anderson. Kamu tahu betapa bahagianya kakak waktu kamu lepas marga keluarga kamu dan pakai marga Anderson itu untuk kakak, sayang?”
“Kakak bahagia, sangat bahagia. Tapi ternyata, punya marga itu dibelakang nama kamu nggak membawa satupun kebahagiaan dalam hidup kamu, ya? Maaf ya sayang? Maaf, kakak minta maaf sebesar besarnya sama kamu..” Sean tak dapat menahannya. Dengan masih pada posisi sama — menangkup kedua pipi Arasy — ia keluarkan air mata dan menangis di hadapan Arasy.
“Kak Sean. Jangan nangis..”
“Gimana kakak nggak nangis kalau dunia kakak setelah ini harus kakak lepas supaya dia bisa bahagia, hm?”
Sean melepas tangkupannya, ia menghapus air mata yang mengalir deras dari kedua matanya. “Rasy..”
“Iya, Kak Sean?”
“Sebelum kamu nanti bakal pergi. Boleh kakak denger kamu sebut nama kamu pakai marga kakak sekali lagi? Buat terakhir kalinya.”
“Arasy..”
Arasy menghentikan ucapannya, ia menatap Sean dengan ragu. Sean tersenyum miris, bahkan untuk menyebut nama belakangnya saja Arasy sudah tidak sudi.
“Please, for the last time?“
“Anderson,” lanjut lelaki manis itu. Membuat Sean tersenyum, ia bawa Arasy dalam pelukan.
“Makasih banyak ya sayang? Bahagia selalu di luar sana. Kakak mau suatu saat nanti kakak denger kabar dari Arasy, Gentala Arasy. Bahwa lelaki manis yang kakak cintai ini sudah bahagia dengan dunianya, atau mungkin dengan lelaki yang dicintainya. Yang memang tepat untuk Arasy.”
“Kak Sean, maaf.”
Sean tersenyum, ia menberikan usakkan pada rambut milik Arasy, yang berada di pelukannya. “Kakak nggak papa, sayang. Justru kalau kamu diem aja, kamu nggak bilang kamu nggak bahagia, kakak bakal makin sakit.”
“Kak Sean, harus bahagia ya?”
“Kakak bakal bahagia kalau kamu bahagia, ya? Karena kakak sayang kamu, bukan sayang lagi kakak cinta sama kamu.”
Pelukannya dilepas. “Arasy Anderson.”
“Hm?”
“The sunset is beautiful, isn't it?“
“The sunset is beautiful, isn't it?” This term is used to say “I love you but I'm letting you go.”