bluemoonseu

Sean tak percaya dengan apa yang dibacanya barusan. Beberapa kata dari bubble chat milik Arasy, membuat hatinya seperti terhantam sesuatu yang keras.

Secepat tenaga ia melangkah keluar dari kantornya. Dengan terburu-buru mengendarai mobil miliknya. Tujuan pertamanya sekarang ini ialah pulang. Ia mau bertemu dengan Arasy.

Nggak ada yang bisa dipertahanin di pernikahan ini, begitu kata suaminya.

Sean tahu, sangat tahu. Dirinya berada di puncak kesuksesan saat ini. Pun semua yang dilakukannya ini tak membawa sebuah kebahagiaan untuk Arasy. Namun, tak pernah sekalipun terlintas di benaknya, bahwa Arasy akan mengucapkan kata perpisahan pada dirinya.

“Kak Sean.”

Sebuah sapa yang menyambut Sean tak seperti biasanya. Jika biasanya Arasy akan berteriak senang dan masuk ke dalam pelukan hangatnya, kini Arasy hanya menatap dirinya. Datar.

“Sayang? Nggak mau peluk kakak?” dirinya bubuhkan tanya. Membuka kedua tangannya, meminta Arasy masuk ke dalam pelukannya.

“Apa kata-kata Rasy di chat barusan nggak bisa kakak baca dan terjemahin artinya?”

Perlahan tangannya menurun. Arasy serius. Lelaki itu mengajaknya untuk bercerai.

“Rasie, kita duduk ya? Bicara yang jelas.”


Jam malam ini menunjukkan pukul 6 sore. Dimana setiap pasangan pasti telah duduk bersama, menikmati indahnya sore hari, mengucapkan perpisahan pada matahari yang akan tergantikan oleh bulan.

Namun tidak untuk Sean dan Arasy. Keduanya kini berada di ruang tamu, duduk saling berhadapan dilingkupi dengan keheningan. Hanya detak jam saja yang terasa di rumah yang luas milik keduanya itu.

“Rasy.”

Sean membuka suaranya, ia sadar dirinyalah yang menjadi masalah di sini. Apabila tidak selalu bekerja dan meninggalkan Arasy di rumah, mungkin bukan begini akhirnya.

“Kak Sean, Rasy capek, Kak. Semua barang barang ini, rumah sebesar istana negara, baju-baju branded, semua guci mahal, itu nggak berguna buat aku. Kak, aku cuma mau waktu. Aku mau jadi kaya pasangan yang lainnya,” Arasy membuka suara juga. Matanya menatap ke sekeliling. Baginya, semua ini, semua kemewahan ini tak ada apa-apanya apabila Sean tak memiliki sebuah waktu.

Sean boleh berbangga diri soal kesempurnaannya. Kekayaan juga ketampanannya. Tapi Arasy tak peduli dengan itu.

Yang ia mau hanya satu. Waktu milik Sean. Itulah yang berharga baginya. Itulah yang dipedulikan oleh dirinya.

“Rasy kakak kerja untuk kamu, sayang. Untuk masa depan kita.”

“Kak, selama ini kakak bilang gitu. Tapi apa? Rasie nggak bahagia. Rasie mau kak, kaya pasangan lain. Bisa peluk suami sepuas Rasie, bisa bareng-bareng di rumah, pergi piknik, pergi jalan-jalan, makan bareng. Rasie mau itu kak. Tapi selama ini Rasie nggak pernah dapet itu.”

“Rasy kakak—”

“Kakak, rasanya Rasie hilang rasa. Pernikahan ini memang bawa banyak kebahagiaan buat Rasie, tapi ada satu kak. Satu bagian yang kosong. Dan itu nggak pernah sekalipun tertutup sama apa yang seharusnya mengisi kekosongan itu, kak.”

Arasy tatap manik Sean yang sedari tadi juga menatap kearahnya.

Kala maniknya bertemu dengan Arasy, Sean mencari sesuatu dari sana. Kebohongan. Namun naas, semua itu tak ada.

Sean bersumpah, satu yang ia ingini dipernikahan ini adalah membahagiakan Arasy. Dan ternyata semua yang ia lakukan sekarang tak pernah membawa bahagia bagi cintanya.

Sean merasa gagal. Ia gagal menjadi seorang lelaki yang seharusnya menjaga cintanya dengan baik. Ia gagal memberikan kebahagiaan bagi orang yang ia cintai.

“Rasy..”

“Hm?”

Mata Sean berkaca-kaca, hatinya sakit. Tangannya ia kepal dengan kuat, berusaha sebisa mungkin masih menatap wajah ayu milik suaminya.

“Kamu.. bahagia.. sama aku?”

“Aku bahagia, Kak. Awalnya aku bahagia. Tapi makin lama, Rasanya ada yang kurang.”

“Kamu mau lanjutin lagi sama aku.. perbaikin semua?”

Gelengan Sean dapat.

“Aku nggak mau lagi ngelanjutin semua ini, Kak. Aku nggak sanggup lagi buat lanjutin. Aku bangga sebenarnya, punya nama Anderson di nama belakang aku, aku bangga banget. Ini sesuatu yang nggak akan pernah bisa aku rasain setelah ini. Tapi Kak, selain rasa itu, nama ini juga bawa kesedihan buat aku. Kakak sibuk terus, kakak lupa rumah.”

Sean menghela nafasnya sekali, sebelum akhirnya ia membuka suara. Bergetar. “Rasy, kalau itu mau kamu, kalau dengan ini kami bahagia.. Kakak.. Kakak lepas kamu sayang.”

Suaranya tercekat. Tak menyangka apabila mengucapkan ini akan begitu susah baginya. Sean bersumpah, dirinya mencintai Arasy lebih dari dirinya mencintai diri sendiri.

Apapun yang dilakukannya adalah untuk Arasy. Dan apabila dengan melepas lelaki manis itu Arasy mendapat kebahagiaan, maka Sean akan melakukannya.

Meski itu membawa luka yang sangat besar di hatinya.

“Kak Sean.”

Sean menghapus setitik air matanya yang keluar dari ujung mata. Ia tersenyum tipis, menangkup kedua pipi Arasy, mengelus kulit lembut itu di ibu jarinya.

“Arasy Anderson. Kamu tahu betapa bahagianya kakak waktu kamu lepas marga keluarga kamu dan pakai marga Anderson itu untuk kakak, sayang?”

“Kakak bahagia, sangat bahagia. Tapi ternyata, punya marga itu dibelakang nama kamu nggak membawa satupun kebahagiaan dalam hidup kamu, ya? Maaf ya sayang? Maaf, kakak minta maaf sebesar besarnya sama kamu..” Sean tak dapat menahannya. Dengan masih pada posisi sama — menangkup kedua pipi Arasy — ia keluarkan air mata dan menangis di hadapan Arasy.

“Kak Sean. Jangan nangis..”

“Gimana kakak nggak nangis kalau dunia kakak setelah ini harus kakak lepas supaya dia bisa bahagia, hm?”

Sean melepas tangkupannya, ia menghapus air mata yang mengalir deras dari kedua matanya. “Rasy..”

“Iya, Kak Sean?”

“Sebelum kamu nanti bakal pergi. Boleh kakak denger kamu sebut nama kamu pakai marga kakak sekali lagi? Buat terakhir kalinya.”

“Arasy..”

Arasy menghentikan ucapannya, ia menatap Sean dengan ragu. Sean tersenyum miris, bahkan untuk menyebut nama belakangnya saja Arasy sudah tidak sudi.

Please, for the last time?

“Anderson,” lanjut lelaki manis itu. Membuat Sean tersenyum, ia bawa Arasy dalam pelukan.

“Makasih banyak ya sayang? Bahagia selalu di luar sana. Kakak mau suatu saat nanti kakak denger kabar dari Arasy, Gentala Arasy. Bahwa lelaki manis yang kakak cintai ini sudah bahagia dengan dunianya, atau mungkin dengan lelaki yang dicintainya. Yang memang tepat untuk Arasy.”

“Kak Sean, maaf.”

Sean tersenyum, ia menberikan usakkan pada rambut milik Arasy, yang berada di pelukannya. “Kakak nggak papa, sayang. Justru kalau kamu diem aja, kamu nggak bilang kamu nggak bahagia, kakak bakal makin sakit.”

“Kak Sean, harus bahagia ya?”

“Kakak bakal bahagia kalau kamu bahagia, ya? Karena kakak sayang kamu, bukan sayang lagi kakak cinta sama kamu.”

Pelukannya dilepas. “Arasy Anderson.”

“Hm?”

The sunset is beautiful, isn't it?

“The sunset is beautiful, isn't it?” This term is used to say “I love you but I'm letting you go.”

“Alan, Alan!”

Alan yang tengah berada di singgasananya tersentak kaget ketika mendengar suara dari Herold. Ah, lelaki peri itu telah kembali rupanya?

“Herold?”

Herold mendekat kearah singgasana Alan. Dengan nafas yang berderu, lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil di pinggangnya. “Kau tahu paman lace masih mempunyai potongan kecilnya. Ini dapat diperbaiki.”

Alan menatap kotak yang berada di tangan Herold. “Benarkah? kamu kembali ke rumahnya tadi?” tanya Alan yang dijawab anggukan oleh Herold.

“Padahal aku sudah menyiapkan hadiah yang lain, tapi terima kasih banyak karena kamu sudah kembali dan membetulkannya Herold.”

Herold tersenyum, “Ini tanggung jawab yang kau percayakan padaku, Alan. Dan aku tidak mau menghancurkan kepercayaanmu padaku.”

Alano Evandrey, Raja dari Azure itu tak tahu harus apa lagi selain bersyukur memiliki Herold sebagai penduduk kerajaannya.


Suara langkah kaki terdengar dari luar ruang singgasana milik Alan dan hanya dengan mendengar suaranya langkahnya, Alan tahu bahwa itu ialah sosok ratunya, orang yang dicintainya, Earl.

Dengan sigap, Alan berdiri dan menyambut Earl yang baru saja masuk ke sana. “Hai, sayang,” sapanya yang buat Earl tersenyum. Lelaki manis itu memberikan pelukan singkat pada Alan dan mengecup pipinya. “Urusanmu sudah selesai?”

“Ya.. baru tadi pagi aku menyelesaikannya.”

“Baguslah kalau begitu.”

Alan menatap wajah Earl, seketika dirinya teringat jika Earl baru saja kembali dari tabib. Apa yang dilakukan oleh ratunya itu?

“Sayang, kamu untuk apa ke tabib?”

“Aku hanya memeriksa kesehatan, Alan. Lupakan saja aku baik-baik saja. Sekarang ada apa? Kenapa memintaku ke istana?”

“Soal itu..” Alan tersenyum, ia mengepalkan tangannya dan menaruhnya di depan mulut. “Ikut aku!” lanjutnya kemudian menyelipkan tangannya di bawah lutut juga punggung Earl. Ia mengangkat ratunya itu dan setelahnya langsung berjalan cepat ke suatu tempat.

“ALAN! Astaga aku terkejut!”

Alan terkekeh, tapi ia terus berjalan sampai ke depan sebuah ruangan dengan pintu putih. “Apa ini? Bukankah ruangan ini kosong?” tanya Earl, ia heran, kenapa juga Alan membawanya ke ruangan ini?

“Sebentar sayang.”

Alan menurunkan Earl dari gendongannya dan kemudian membuka kunci ruangan itu. “Tutuplah matamu, dan buka saat hitungan ke tiga.” Tanpa banyak berkata, Earl menurutinya.

“Satu,” Dalam gelap, ia dapat merasakan Alan mengenggam tangannya. Menarik dia masuk ke dalam ruangan.

“Dua,” Alan berhenti. Ia melepas genggaman tangannya dengan Earl dan berjalan menuju belakang lelaki manis itu. Memegang bahu sempit yang selalu pas di pelukannya.

“Tiga.”

“Buka matamu, sayang.”

Earl membuka matanya. Dan kala melihat apa yang ada di hadapannya Earl menutup mulutnya kaget ia menoleh kebelakangnya, dimana Alan berada. “Alan.. ini?”

Alan mengangguk, ia memeluk Earl dari belakang dan berbisik di telinganya, “Iya sayang. Ruangan ini, perpustakaan ini, milikmu.”

Earl menatap sekelilingnya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Selama di Azure, ia hanya bermain dengan para penduduk Azure menyanyi dan menari bersama mereka. Kini, Alan membuatkannya sebuah perpustakaan, lengkap dengan ratusan buku yang tersusun rapi di rak-raknya.

“Alan.. aku ingin menangis.”

Sontak Alan melepas pelukannya, ia berjalan ke hadapan Earl, “Eits! Ratu Alan ini belum boleh menangis, karena ada yang lain untukmu. Kemari..”

Alan membawa Earl ke depan sebuah rak. Kemudian Raja dari Azure itu mengambil salah satu buku dengan sampul putih dan memberikannya pada Earl. “Buka halaman tiga, baca tulisan yang aku beri tanda.”

Earl mengikutinya. You're, itu kata yang ditandai oleh Alan.

“Lalu halaman empat”

The

“Halaman enam”

Best

“Tujuh”

Gift

“Sepuluh”

That

“Sebelas”

God

“Tiga belas”

Gave me

“Terakhir, dua puluh tiga”

I love you

You're the best gift that God gave me, Earl. I love you,” Alan berbisik setelahnya.

Rasanya Earl tidak dapat berkata-kata. Ia tatap manik milik Alan yang sedari tadi menatapnya penuh cinta. Raja Azure ini selalu buatnya terharu sekaligus bahagia.

“Alan.. aku juga mencin—”

“Simpan itu buat nanti, dan sekarang buka ini.” Alan memberikan kotak yang tadi Herold bawa padanya. Kotak itu diterima Earl dengan bergetar. Perlahan, lelaki manis itu membukanya menatap isi dari kotak tersebut.

Kalung. Dengan berlian berwarna biru.

“A-Alano..” Alan tersenyum, ia ambil kalung itu dari kotaknya dan memakaikannya ke leher Earl. Bersamaan dengan itu, ia berkata, “Biru adalah lambang Azure dan juga warna favoritku. Kamu tahu sayang? Biru juga memiliki arti kesetiaan. Ini sudah setahun semenjak pernikahan kita dan aku akan selalu berada bersama kamu, setia berada di dekat kamu. Happy Anniversary, My Queen. I love you.”

Tak dapat menahan rasa bahagia juga terharu akhirnya Earl peluk tubuh Alan yang ada di hadapannya. “Happy Anniversary, Alan! Hiks! I love you too, hiks! Thank you.”

Alan terkekeh, “Sama-sama sayang. Do you like it? My gift?”

Like it? I love it, Alan! We love it!

Kalimat itu sebenarnya biasa saja jika Earl tidak mengulangnya dengan pertambahan subjek. We?

We?”

Perlahan Earl lepas pelukannya, dengan hidung yang memerah bekas tangis ia tersenyum, membuat Alan tertawa gemas ditengah rasa bingungnya, dan mengangguk pada Alan.

Yes. We Love it. Aku dan juga anak kita di kandunganku. Kami sangat menyukai kadonya, ayah. Terima kasih, kami bahagia, sangat bahagia.”

“Alan, Alan!”

Alan yang tengah berada di singgasananya tersentak kaget ketika mendengar suara dari Herold. Ah, lelaki peri itu telah kembali rupanya?

“Herold?”

Herold mendekat kearah singgasana Alan. Dengan nafas yang berderu, lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil di pinggangnya. “Kau tahu paman lace masih mempunyai potongan kecilnya. Ini dapat diperbaiki.”

Alan menatap kotak yang berada di tangan Herold. “Benarkah? kamu kembali ke rumahnya tadi?” tanya Alan yang dijawab anggukan oleh Herold.

“Padahal aku sudah menyiapkan hadiah yang lain, tapi terima kasih banyak karena kamu sudah kembali dan membetulkannya Herold.”

Herold tersenyum, “Ini tanggung jawab yang kau percayakan padaku, Alan. Dan aku tidak mau menghancurkan kepercayaanmu padaku.”

Alano Evandrey, Raja dari Azure itu tak tahu harus apa lagi selain bersyukur memiliki Herold sebagai penduduk kerajaannya.


Suara langkah kaki terdengar dari luar ruang singgasana milik Alan dan hanya dengan mendengar suaranya langkahnya, Alan tahu bahwa itu ialah sosok ratunya, orang yang dicintainya, Earl.

Dengan sigap, Alan berdiri dan menyambut Earl yang baru saja masuk ke sana. “Hai, sayang,” sapanya yang buat Earl tersenyum. Lelaki manis itu memberikan pelukan singkat pada Alan dan mengecup pipinya. “Urusanmu sudah selesai?”

“Ya.. baru tadi pagi aku menyelesaikannya.”

“Baguslah kalau begitu.”

Alan menatap wajah Earl, seketika dirinya teringat jika Earl baru saja kembali dari tabib. Apa yang dilakukan oleh ratunya itu?

“Sayang, kamu untuk apa ke tabib?”

“Aku hanya memeriksa kesehatan, Alan. Lupakan saja aku baik-baik saja. Sekarang ada apa? Kenapa memintaku ke istana?”

“Soal itu..” Alan tersenyum, ia mengepalkan tangannya dan menaruhnya di depan mulut. “Ikut aku!” lanjutnya kemudian menyelipkan tangannya di bawah lutut juga punggung Earl. Ia mengangkat ratunya itu dan setelahnya langsung berjalan cepat ke suatu tempat.

“ALAN! Astaga aku terkejut!”

Alan terkekeh, tapi ia terus berjalan sampai ke depan sebuah ruangan dengan pintu putih. “Apa ini? Bukankah ruangan ini kosong?” tanya Earl, ia heran, kenapa juga Alan membawanya ke ruangan ini?

“Sebentar sayang.”

Alan menurunkan Earl dari gendongannya dan kemudian membuka kunci ruangan itu. “Tutuplah matamu, dan buka saat hitungan ke tiga.” Tanpa banyak berkata, Earl menurutinya.

“Satu,” Dalam gelap, ia dapat merasakan Alan mengenggam tangannya. Menarik dia masuk ke dalam ruangan.

“Dua,” Alan berhenti. Ia melepas genggaman tangannya dengan Earl dan berjalan menuju belakang lelaki manis itu. Memegang bahu sempit yang selalu pas di pelukannya.

“Tiga.”

“Buka matamu, sayang.”

Earl membuka matanya. Dan kala melihat apa yang ada di hadapannya Earl menutup mulutnya kaget ia menoleh kebelakangnya, dimana Alan berada. “Alan.. ini?”

Alan mengangguk, ia memeluk Earl dari belakang dan berbisik di telinganya, “Iya sayang. Ruangan ini, perpustakaan ini, milikmu.”

Earl menatap sekelilingnya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Selama di Azure, ia hanya bermain dengan para penduduk Azure menyanyi dan menari bersama mereka. Kini, Alan membuatkannya sebuah perpustakaan, lengkap dengan ratusan buku yang tersusun rapi di rak-raknya.

“Alan.. aku ingin menangis.”

Sontak Alan melepas pelukannya, ia berjalan ke hadapan Earl, “Eits! Ratu Alan ini belum boleh menangis, karena ada yang lain untukmu. Kemari..”

Alan membawa Earl ke depan sebuah rak. Kemudian Raja dari Azure itu mengambil salah satu buku dengan sampul putih dan memberikannya pada Earl. “Buka halaman tiga, baca tulisan yang aku beri tanda.”

Earl mengikutinya. You're, itu kata yang ditandai oleh Alan.

“Lalu halaman empat”

The

“Halaman enam”

Best

“Tujuh”

Gift

“Sepuluh”

That

“Sebelas”

God

“Tiga belas”

Gave me

“Terakhir, dua puluh tiga”

I love you

You're the best gift that God gave me, Earl. I love you,” Alan berbisik setelahnya.

Rasanya Earl tidak dapat berkata-kata. Ia tatap manik milik Alan yang sedari tadi menatapnya penuh cinta. Raja Azure ini selalu buatnya terharu sekaligus bahagia.

“Alan.. aku juga mencin—”

“Simpan itu buat nanti, dan sekarang buka ini.” Alan memberikan kotak yang tadi Herold bawa padanya. Kotak itu diterima Earl dengan bergetar. Perlahan, lelaki manis itu membukanya menatap isi dari kotak tersebut.

Kalung. Dengan berlian berwarna biru.

“A-Alano..” Alan tersenyum, ia ambil kalung itu dari kotaknya dan memakaikannya ke leher Earl. Bersamaan dengan itu, ia berkata, “Biru adalah lambang Azure dan juga warna favoritku. Kamu tahu sayang? Biru juga memiliki arti kesetiaan. Ini sudah setahun semenjak pernikahan kita dan aku akan selalu berada bersama kamu, setia berada di dekat kamu. Happy Anniversary, My Queen. I love you.”

Tak dapat menahan rasa bahagia juga terharu akhirnya Earl peluk tubuh Alan yang ada di hadapannya. “Happy Anniversary, Alan! Hiks! I love you too, hiks! Thank you.”

Alan terkekeh, “Sama-sama sayang. Do you like it? My gift?”

Like it? I love it, Alan! We love it!

Kalimat itu sebenarnya biasa saja jika Earl tidak mengulangnya dengan pertambahan subjek. We?

We?”

Perlahan Earl lepas pelukannya, dengan hidung yang memerah bekas tangis ia tersenyum, membuat Alan tertawa gemas ditengah rasa bingungnya, dan mengangguk pada Alan.

Yes. We Love it. Aku dan juga anak kita di kandunganku. Kami sangat menyukai kadonya, ayah. Terima kasih, kami bahagia, sangat bahagia.”

“Alan, Alan!”

Alan yang tengah berada di singgasananya tersentak kaget ketika mendengar suara dari Herold. Ah, lelaki peri itu telah kembali rupanya?

“Herold?”

Herold mendekat kearah singgasana Alan. Dengan nafas yang berderu, lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil di pinggangnya. “Kau tahu paman lace masih mempunyai potongan kecilnya. Ini dapat diperbaiki.”

Alan menatap kotak yang berada di tangan Herold. “Benarkah? kamu kembali ke rumahnya tadi?” tanya Alan yang dijawab anggukan oleh Herold.

“Padahal aku sudah menyiapkan hadiah yang lain, tapi terima kasih banyak karena kamu sudah kembali dan membetulkannya Herold.”

Herold tersenyum, “Ini tanggung jawab yang kau percayakan padaku, Alan. Dan aku tidak mau menghancurkan kepercayaanmu padaku.”

Alano Evandrey, Raja dari Azure itu tak tahu harus apa lagi selain bersyukur memiliki Herold sebagai penduduk kerajaannya.


Suara langkah kaki terdengar dari luar ruang singgasana milik Alan dan hanya dengan mendengar suaranya langkahnya, Alan tahu bahwa itu ialah sosok ratunya, orang yang dicintainya, Earl.

Dengan sigap, Alan berdiri dan menyambut Earl yang baru saja masuk ke sana. “Hai, sayang,” sapanya yang buat Earl tersenyum. Lelaki manis itu memberikan pelukan singkat pada Alan dan mengecup pipinya. “Urusanmu sudah selesai?”

“Ya.. baru tadi pagi aku menyelesaikannya.”

“Baguslah kalau begitu.”

Alan menatap wajah Earl, seketika dirinya teringat jika Earl baru saja kembali dari tabib. Apa yang dilakukan oleh ratunya itu?

“Sayang, kamu untuk apa ke tabib?”

“Aku hanya memeriksa kesehatan, Alan. Lupakan saja aku baik-baik saja. Sekarang ada apa? Kenapa memintaku ke istana?”

“Soal itu..” Alan tersenyum, ia mengepalkan tangannya dan menaruhnya di depan mulut. “Ikut aku!” lanjutnya kemudian menyelipkan tangannya di bawah lutut juga punggung Earl. Ia mengangkat ratunya itu dan setelahnya langsung berjalan cepat ke suatu tempat.

“ALAN! Astaga aku terkejut!”

Alan terkekeh, tapi ia terus berjalan sampai ke depan sebuah ruangan dengan pintu putih. “Apa ini? Bukankah ruangan ini kosong?” tanya Earl, ia heran, kenapa juga Alan membawanya ke ruangan ini?

“Sebentar sayang.”

Alan menurunkan Earl dari gendongannya dan kemudian membuka kunci ruangan itu. “Tutuplah matamu, dan buka saat hitungan ke tiga.” Tanpa banyak berkata, Earl menurutinya.

“Satu,” Dalam gelap, ia dapat merasakan Alan mengenggam tangannya. Menarik dia masuk ke dalam ruangan.

“Dua,” Alan berhenti. Ia melepas genggaman tangannya dengan Earl dan berjalan menuju belakang lelaki manis itu. Memegang bahu sempit yang selalu pas di pelukannya.

“Tiga.”

“Buka matamu, sayang.”

Earl membuka matanya. Dan kala melihat apa yang ada di hadapannya Earl menutup mulutnya kaget ia menoleh kebelakangnya, dimana Alan berada. “Alan.. ini?”

Alan mengangguk, ia memeluk Earl dari belakang dan berbisik di telinganya, “Iya sayang. Ruangan ini, perpustakaan ini, milikmu.”

Earl menatap sekelilingnya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Selama di Azure, ia hanya bermain dengan para penduduk Azure menyanyi dan menari bersama mereka. Kini, Alan membuatkannya sebuah perpustakaan, lengkap dengan ratusan buku yang tersusun rapi di rak-raknya.

“Alan.. aku ingin menangis.”

Sontak Alan melepas pelukannya, ia berjalan ke hadapan Earl, “Eits! Ratu Alan ini belum boleh menangis, karena ada yang lain untukmu. Kemari..”

Alan membawa Earl ke depan sebuah rak. Kemudian Raja dari Azure itu mengambil salah satu buku dengan sampul putih dan memberikannya pada Earl. “Buka halaman tiga, baca tulisan yang aku beri tanda.”

Earl mengikutinya. You're, itu kata yang ditandai oleh Alan.

“Lalu halaman empat”

The

“Halaman enam”

Best

“Tujuh”

Gift

“Sepuluh”

That

“Sebelas”

God

“Tiga belas”

Gave me

“Terakhir, dua puluh tiga”

I love you

You're the best gift that God gave me, Earl. I love you,” Alan berbisik setelahnya.

Rasanya Earl tidak dapat berkata-kata. Ia tatap manik milik Alan yang sedari tadi menatapnya penuh cinta. Raja Azure ini selalu buatnya terharu sekaligus bahagia.

“Alan.. aku juga mencin—”

“Simpan itu buat nanti, dan sekarang buka ini.” Alan memberikan kotak yang tadi Herold bawa padanya. Kotak itu diterima Earl dengan bergetar. Perlahan, lelaki manis itu membukanya menatap isi dari kotak tersebut.

Kalung. Dengan berlian berwarna biru.

“A-Alano..” Alan tersenyum, ia ambil kalung itu dari kotaknya dan memakaikannya ke leher Earl. Bersamaan dengan itu, ia berkata, “Biru adalah lambang Azure dan juga warna favoritku. Kamu tahu sayang? Biru juga memiliki arti kesetiaan. Ini sudah setahun semenjak pernikahan kita dan aku akan selalu berada bersama kamu, setia berada di dekat kamu. Happy Anniversary, My Queen. I love you.”

Tak dapat menahan rasa bahagia juga terharu akhirnya Earl peluk tubuh Alan yang ada di hadapannya. “Happy Anniversary, Alan! Hiks! I love you too, hiks! Thank you.”

Alan terkekeh, “Sama-sama sayang. Do you like it? My gift?”

Like it? I love it, Alan! We love it!

Kalimat itu sebenarnya biasa saja jika Earl tidak mengulangnya dengan pertambahan subjek. We?

We?”

Perlahan Earl lepas pelukannya, dengan hidung yang memerah bekas tangis ia tersenyum, membuat Alan tertawa gemas ditengah rasa bingungnya, dan mengangguk pada Alan.

Yes. We Love it. Aku dan juga anak kita di kandunganku. Kami sangat menyukai kadonya, ayah. Terima kasih, kami bahagia, sangat bahagia.”

“Alan, Alan!”

Alan yang tengah berada di singgasananya tersentak kaget ketika mendengar suara dari Herold. Ah, lelaki peri itu telah kembali rupanya?

“Herold?”

Herold mendekat kearah singgasana Alan. Dengan nafas yang berderu, lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil di pinggangnya. “Kau tahu paman lace masih mempunyai potongan kecilnya. Ini dapat diperbaiki.”

Alan menatap kotak yang berada di tangan Herold. “Benarkah? kamu kembali ke rumahnya tadi?” tanya Alan yang dijawab anggukan oleh Herold.

“Padahal aku sudah menyiapkan hadiah yang lain, tapi terima kasih banyak karena kamu sudah kembali dan membetulkannya Herold.”

Herold tersenyum, “Ini tanggung jawab yang kau percayakan padaku, Alan. Dan aku tidak mau menghancurkan kepercayaanmu padaku.”

Alano Evandrey, Raja dari Azure itu tak tahu harus apa lagi selain bersyukur memiliki Herold sebagai penduduk kerajaannya.

***

Suara langkah kaki terdengar dari luar ruang singgasana milik Alan dan hanya dengan mendengar suaranya langkahnya, Alan tahu bahwa itu ialah sosok ratunya, orang yang dicintainya, Earl.

Dengan sigap, Alan berdiri dan menyambut Earl yang baru saja masuk ke sana. “Hai, sayang,” sapanya yang buat Earl tersenyum. Lelaki manis itu memberikan pelukan singkat pada Alan dan mengecup pipinya. “Urusanmu sudah selesai?”

“Ya.. baru tadi pagi aku menyelesaikannya.”

“Baguslah kalau begitu.”

Alan menatap wajah Earl, seketika dirinya teringat jika Earl baru saja kembali dari tabib. Apa yang dilakukan oleh ratunya itu?

“Sayang, kamu untuk apa ke tabib?”

“Aku hanya memeriksa kesehatan, Alan. Lupakan saja aku baik-baik saja. Sekarang ada apa? Kenapa memintaku ke istana?”

“Soal itu..” Alan tersenyum, ia mengepalkan tangannya dan menaruhnya di depan mulut. “Ikut aku!” lanjutnya kemudian menyelipkan tangannya di bawah lutut juga punggung Earl. Ia mengangkat ratunya itu dan setelahnya langsung berjalan cepat ke suatu tempat.

“ALAN! Astaga aku terkejut!”

Alan terkekeh, tapi ia terus berjalan sampai ke depan sebuah ruangan dengan pintu putih. “Apa ini? Bukankah ruangan ini kosong?” tanya Earl, ia heran, kenapa juga Alan membawanya ke ruangan ini?

“Sebentar sayang.”

Alan menurunkan Earl dari gendongannya dan kemudian membuka kunci ruangan itu. “Tutuplah matamu, dan buka saat hitungan ke tiga.” Tanpa banyak berkata, Earl menurutinya.

“Satu,” Dalam gelap, ia dapat merasakan Alan mengenggam tangannya. Menarik dia masuk ke dalam ruangan.

“Dua,” Alan berhenti. Ia melepas genggaman tangannya dengan Earl dan berjalan menuju belakang lelaki manis itu. Memegang bahu sempit yang selalu pas di pelukannya.

“Tiga.”

“Buka matamu, sayang.”

Earl membuka matanya. Dan kala melihat apa yang ada di hadapannya Earl menutup mulutnya kaget ia menoleh kebelakangnya, dimana Alan berada. “Alan.. ini?”

Alan mengangguk, ia memeluk Earl dari belakang dan berbisik di telinganya, “Iya sayang. Ruangan ini, perpustakaan ini, milikmu.”

Earl menatap sekelilingnya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Selama di Azure, ia hanya bermain dengan para penduduk Azure menyanyi dan menari bersama mereka. Kini, Alan membuatkannya sebuah perpustakaan, lengkap dengan ratusan buku yang tersusun rapi di rak-raknya.

“Alan.. aku ingin menangis.”

Sontak Alan melepas pelukannya, ia berjalan ke hadapan Earl, “Eits! Ratu Alan ini belum boleh menangis, karena ada yang lain untukmu. Kemari..”

Alan membawa Earl ke depan sebuah rak. Kemudian Raja dari Azure itu mengambil salah satu buku dengan sampul putih dan memberikannya pada Earl. “Buka halaman tiga, baca tulisan yang aku beri tanda.”

Earl mengikutinya. You're, itu kata yang ditandai oleh Alan.

“Lalu halaman empat”

The

“Halaman enam”

Best

“Tujuh”

Gift

“Sepuluh”

That

“Sebelas”

God

“Tiga belas”

Gave me

“Terakhir, dua puluh tiga”

I love you

You're the best gift that God gave me, Earl. I love you,” Alan berbisik setelahnya.

Rasanya Earl tidak dapat berkata-kata. Ia tatap manik milik Alan yang sedari tadi menatapnya penuh cinta. Raja Azure ini selalu buatnya terharu sekaligus bahagia.

“Alan.. aku juga mencin—”

“Simpan itu buat nanti, dan sekarang buka ini.” Alan memberikan kotak yang tadi Herold bawa padanya. Kotak itu diterima Earl dengan bergetar. Perlahan, lelaki manis itu membukanya menatap isi dari kotak tersebut.

Kalung. Dengan berlian berwarna biru.

“A-Alano..” Alan tersenyum, ia ambil kalung itu dari kotaknya dan memakaikannya ke leher Earl. Bersamaan dengan itu, ia berkata, “Biru adalah lambang Azure dan juga warna favoritku. Kamu tahu sayang? Biru juga memiliki arti kesetiaan. Ini sudah setahun semenjak pernikahan kita dan aku akan selalu berada bersama kamu, setia berada di dekat kamu. Happy Anniversary, My Queen. I love you.”

Tak dapat menahan rasa bahagia juga terharu akhirnya Earl peluk tubuh Alan yang ada di hadapannya. “Happy Anniversary, Alan! Hiks! I love you too, hiks! Thank you.”

Alan terkekeh, “Sama-sama sayang. Do you like it? My gift?”

Like it? I love it, Alan! We love it!

Kalimat itu sebenarnya biasa saja jika Earl tidak mengulangnya dengan pertambahan subjek. We?

We?”

Perlahan Earl lepas pelukannya, dengan hidung yang memerah bekas tangis ia tersenyum, membuat Alan tertawa gemas ditengah rasa bingungnya, dan mengangguk pada Alan.

Yes. We Love it. Aku dan juga anak kita di kandunganku. Kami sangat menyukai kadonya, ayah. Terima kasih, kami bahagia, sangat bahagia.”

“Alan, Alan!”

Alan yang tengah berada di singgasananya tersentak kaget ketika mendengar suara dari Herold. Ah, lelaki peri itu telah kembali rupanya?

“Herold?”

Herold mendekat kearah singgasana Alan. Dengan nafas yang berderu, lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil di pinggangnya. “Kau tahu paman lace masih mempunyai potongan kecilnya. Ini dapat diperbaiki.”

Alan menatap kotak yang berada di tangan Herold. “Benarkah? kamu kembali ke rumahnya tadi?” tanya Alan yang dijawab anggukan oleh Herold.

“Padahal aku sudah menyiapkan hadiah yang lain, tapi terima kasih banyak karena kamu sudah kembali dan membetulkannya Herold.”

Herold tersenyum, “Ini tanggung jawab yang kau percayakan padaku, Alan. Dan aku tidak mau menghancurkan kepercayaanmu padaku.”

Alano Evandrey, Raja dari Azure itu tak tahu harus apa lagi selain bersyukur memiliki Herold sebagai penduduk kerajaannya.

***

Suara langkah kaki terdengar dari luar ruang singgasana milik Alan dan hanya dengan mendengar suaranya langkahnya, Alan tahu bahwa itu ialah sosok ratunya, orang yang dicintainya, Earl.

Dengan sigap, Alan berdiri dan menyambut Earl yang baru saja masuk ke sana. “Hai, sayang,” sapanya yang buat Earl tersenyum. Lelaki manis itu memberikan pelukan singkat pada Alan dan mengecup pipinya. “Urusanmu sudah selesai?”

“Ya.. baru tadi pagi aku menyelesaikannya.”

“Baguslah kalau begitu.”

Alan menatap wajah Earl, seketika dirinya teringat jika Earl baru saja kembali dari tabib. Apa yang dilakukan oleh ratunya itu?

“Sayang, kamu untuk apa ke tabib?”

“Aku hanya memeriksa kesehatan, Alan. Lupakan saja aku baik-baik saja. Sekarang ada apa? Kenapa memintaku ke istana?”

“Soal itu..” Alan tersenyum, ia mengepalkan tangannya dan menaruhnya di depan mulut. “Ikut aku!” lanjutnya kemudian menyelipkan tangannya di bawah lutut juga punggung Earl. Ia mengangkat ratunya itu dan setelahnya langsung berjalan cepat ke suatu tempat.

“ALAN! Astaga aku terkejut!”

Alan terkekeh, tapi ia terus berjalan sampai ke depan sebuah ruangan dengan pintu putih. “Apa ini? Bukankah ruangan ini kosong?” tanya Earl, ia heran, kenapa juga Alan membawanya ke ruangan ini?

“Sebentar sayang.”

Alan menurunkan Earl dari gendongannya dan kemudian membuka kunci ruangan itu. “Tutuplah matamu, dan buka saat hitungan ke tiga.” Tanpa banyak berkata, Earl menurutinya.

“Satu,” Dalam gelap, ia dapat merasakan Alan mengenggam tangannya. Menarik dia masuk ke dalam ruangan.

“Dua,” Alan berhenti. Ia melepas genggaman tangannya dengan Earl dan berjalan menuju belakang lelaki manis itu. Memegang bahu sempit yang selalu pas di pelukannya.

“Tiga.”

“Buka matamu, sayang.”

Earl membuka matanya. Dan kala melihat apa yang ada di hadapannya Earl menutup mulutnya kaget ia menoleh kebelakangnya, dimana Alan berada. “Alan.. ini?”

Alan mengangguk, ia memeluk Earl dari belakang dan berbisik di telinganya, “Iya sayang. Ruangan ini, perpustakaan ini, milikmu.”

Earl menatap sekelilingnya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Selama di Azure, ia hanya bermain dengan para penduduk Azure menyanyi dan menari bersama mereka. Kini, Alan membuatkannya sebuah perpustakaan, lengkap dengan ratusan buku yang tersusun rapi di rak-raknya.

“Alan.. aku ingin menangis.”

Sontak Alan melepas pelukannya, ia berjalan ke hadapan Earl, “Eits! Ratu Alan ini belum boleh menangis, karena ada yang lain untukmu. Kemari..”

Alan membawa Earl ke depan sebuah rak. Kemudian Raja dari Azure itu mengambil salah satu buku dengan sampul putih dan memberikannya pada Earl. “Buka halaman tiga, baca tulisan yang aku beri tanda.”

Earl mengikutinya. You're, itu kata yang ditandai oleh Alan.

“Lalu halaman empat”

The

“Halaman enam”

Best

“Tujuh”

Gift

“Sepuluh”

That

“Sebelas”

God

“Tiga belas”

Gave me

“Terakhir, dua puluh tiga”

I love you

You're the best gift that God gave me. I love you” Alan berbisik setelahnya.

Rasanya Earl tidak dapat berkata-kata. Ia tatap manik milik Alan yang sedari tadi menatapnya penuh cinta. Raja Azure ini selalu buatnya terharu sekaligus bahagia.

“Alan.. aku juga mencin—”

“Simpan itu buat nanti, dan sekarang buka ini.” Alan memberikan kotak yang tadi Herold bawa padanya. Kotak itu diterima Earl dengan bergetar. Perlahan, lelaki manis itu membukanya menatap isi dari kotak tersebut.

Kalung. Dengan berlian berwarna biru.

“A-Alano..” Alan tersenyum, ia ambil kalung itu dari kotaknya dan memakaikannya ke leher Earl. Bersamaan dengan itu, ia berkata, “Biru adalah lambang Azure dan juga warna favoritku. Kamu tahu sayang? Biru juga memiliki arti kesetiaan. Ini sudah setahun semenjak pernikahan kita dan aku akan selalu berada bersama kamu, setia berada di dekat kamu. Happy Anniversary, My Queen. I love you.”

Tak dapat menahan rasa bahagia juga terharu akhirnya Earl peluk tubuh Alan yang ada di hadapannya. “Happy Anniversary, Alan! Hiks! I love you too, hiks! Thank you.”

Alan terkekeh, “Sama-sama sayang. Do you like it? My gift?”

Like it? I love it, Alan! We love it!

Kalimat itu sebenarnya biasa saja jika Earl tidak mengulangnya dengan pertambahan subjek. We?

We?”

Perlahan Earl lepas pelukannya, dengan hidung yang memerah bekas tangis ia tersenyum, membuat Alan tertawa gemas ditengah rasa bingungnya, dan mengangguk pada Alan.

Yes. We Love it. Aku dan juga anak kita di kandunganku. Kami sangat menyukai kadonya, ayah. Terima kasih, kami bahagia, sangat bahagia.”

“Alan, Alan!”

Alan yang tengah berada di singgasananya tersentak kaget ketika mendengar suara dari Herold. Ah, lelaki peri itu telah kembali rupanya?

“Herold?”

Herold mendekat kearah singgasana Alan. Dengan nafas yang berderu, lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil di pinggangnya. “Kau tahu paman lace masih mempunyai potongan kecilnya. Ini dapat diperbaiki.”

Alan menatap kotak yang berada di tangan Herold. “Benarkah? kamu kembali ke rumahnya tadi?” tanya Alan yang dijawab anggukan oleh Herold.

“Padahal aku sudah menyiapkan hadiah yang lain, tapi terima kasih banyak karena kamu sudah kembali dan membetulkannya Herold.”

Herold tersenyum, “Ini tanggung jawab yang kau percayakan padaku, Alan. Dan aku tidak mau menghancurkan kepercayaanmu padaku.”

Alano Evandrey, Raja dari Azure itu tak tahu harus apa lagi selain bersyukur memiliki Herold sebagai penduduk kerajaannya.

***

Suara langkah kaki terdengar dari luar ruang singgasana milik Alan dan hanya dengan mendengar suaranya langkahnya, Alan tahu bahwa itu ialah sosok ratunya, orang yang dicintainya, Earl.

Dengan sigap, Alan berdiri dan menyambut Earl yang baru saja masuk ke sana. “Hai, sayang,” sapanya yang buat Earl tersenyum. Lelaki manis itu memberikan pelukan singkat pada Alan dan mengecup pipinya. “Urusanmu sudah selesai?”

“Ya.. baru tadi pagi aku menyelesaikannya.”

“Baguslah kalau begitu.”

Alan menatap wajah Earl, seketika dirinya teringat jika Earl baru saja kembali dari tabib. Apa yang dilakukan oleh ratunya itu?

“Sayang, kamu untuk apa ke tabib?”

“Aku hanya memeriksa kesehatan, Alan. Lupakan saja aku baik-baik saja. Sekarang ada apa? Kenapa memintaku ke istana?”

“Soal itu..” Alan tersenyum, ia mengepalkan tangannya dan menaruhnya di depan mulut. “Ikut aku!” lanjutnya kemudian menyelipkan tangannya di bawah lutut juga punggung Earl. Ia mengangkat ratunya itu dan setelahnya langsung berjalan cepat ke suatu tempat.

“ALAN! Astaga aku terkejut!”

Alan terkekeh, tapi ia terus berjalan sampai ke depan sebuah ruangan dengan pintu putih. “Apa ini? Bukankah ruangan ini kosong?” tanya Earl, ia heran, kenapa juga Alan membawanya ke ruangan ini?

“Sebentar sayang.”

Alan menurunkan Earl dari gendongannya dan kemudian membuka kunci ruangan itu. “Tutuplah matamu, dan buka saat hitungan ke tiga.” Tanpa banyak berkata, Earl menurutinya.

“Satu,” Dalam gelap, ia dapat merasakan Alan mengenggam tangannya. Menarik dia masuk ke dalam ruangan.

“Dua,” Alan berhenti. Ia melepas genggaman tangannya dengan Earl dan berjalan menuju belakang lelaki manis itu. Memegang bahu sempit yang selalu pas di pelukannya.

“Tiga.”

“Buka matamu, sayang.”

Earl membuka matanya. Dan kala melihat apa yang ada di hadapannya Earl menutup mulutnya kaget ia menoleh kebelakangnya, dimana Alan berada. “Alan.. ini?”

Alan mengangguk, ia memeluk Earl dari belakang dan berbisik di telinganya, “Iya sayang. Ruangan ini, perpustakaan ini, milikmu.”

Earl menatap sekelilingnya. Sudah lama sekali ia tak masuk ke perpustakaan dan membaca buku. Selama di Azure, ia hanya bermain dengan para penduduk Azure menyanyi dan menari bersama mereka. Kini, Alan membuatkannya sebuah perpustakaan, lengkap dengan ratusan buku yang tersusun rapi di rak-raknya.

“Alan.. aku ingin menangis.”

Sontak Alan melepas pelukannya, ia berjalan ke hadapan Earl, “Eits! Ratu Alan ini belum boleh menangis, karena ada yang lain untukmu. Kemari..”

Alan membawa Earl ke depan sebuah rak. Kemudian Raja dari Azure itu mengambil salah satu buku dengan sampul putih dan memberikannya pada Earl. “Buka halaman tiga, baca tulisan yang aku beri tanda.”

Earl mengikutinya. You're, itu kata yang ditandai oleh Alan.

“Lalu halaman empat”

The

“Halaman enam”

Best

“Tujuh”

Gift

“Sepuluh”

That

“Sebelas”

God

“Tiga belas”

Gave me

“Terakhir, dua puluh tiga”

I love you

You're the best gift that God gave me. I love you” Alan berbisik setelahnya.

Rasanya Earl tidak dapat berkata-kata. Ia tatap manik milik Alan yang sedari tadi menatapnya penuh cinta. Raja Azure ini selalu buatnya terharu sekaligus bahagia.

“Alan.. aku juga mencin—”

“Simpan itu buat nanti, dan sekarang buka ini.” Alan memberikan kotak yang tadi Herold bawa padanya. Kotak itu diterima Earl dengan bergetar. Perlahan, lelaki manis itu membukanya menatap isi dari kotak tersebut.

Kalung. Dengan berlian berwarna biru.

“A-Alano..” Alan tersenyum, ia ambil kalung itu dari kotaknya dan memakaikannya ke leher Earl. Bersamaan dengan itu, ia berkata, “Biru adalah lambang Azure dan juga warna favoritku. Kamu tahu sayang? Biru juga memiliki arti kesetiaan. Ini sudah setahun semenjak pernikahan kita dan aku akan selalu berada bersama kamu, setia berada di dekat kamu. Happy Anniversary, My Queen. I love you.”

Tak dapat menahan rasa bahagia juga terharu akhirnya Earl peluk tubuh Alan yang ada di hadapannya. “Happy Anniversary, Alan! Hiks! I love you too, hiks! Thank you.”

Alan terkekeh, “Sama-sama sayang. Do you like it? My gift?”

“*Like it? I love it, Alan! **We ** love it!*”

Kalimat itu sebenarnya biasa saja jika Earl tidak mengulangnya dengan pertambahan subjek. We?

We?”

Perlahan Earl lepas pelukannya, dengan hidung yang memerah bekas tangis ia tersenyum, membuat Alan tertawa gemas ditengah rasa bingungnya, dan mengangguk pada Alan.

Yes. We Love it. Aku dan juga anak kita di kandunganku. Kami sangat menyukai kadonya, ayah. Terima kasih, kami bahagia, sangat bahagia.”

Setelah mendapatkan ijin dari Sean untuk masuk ke dalam ruangan Sean — yang ditunjukkan oleh salah seorang resepsionis tadi, Arasy masuk ke dalam.

Dan pemandangan pertama yang dilihat Arasy di sana adalah seorang wanita yang tadi dilihatnya langsung masuk ke dalam ruangan Sean tanpa ijin tengah duduk di kursi milik Sean.

“Oh.. siapa?”

Ucapan wanita itu membuat Arasy memecah lamunan. Dengan senyum sopan Arasy menjawab, “Aku Rasy..” walau sebenarnya sedikit sebal, Arasy masih tahu sopan santun. Wanita itu lebih tua darinya.

“Kok bisa masuk tanpa ijin? Padahal Sean lagi ada di ruang rapat, lo nggak bisa asal masuk aja ke sini.”

“Anu aku—”

“Keluar lo. Tunggu di ruang tunggu.”

“Tapi—”

“Gue bilang keluar ya keluar. Tunggu Sean. Lo perlu ijin!”

Arasy menghela nafasnya, ia tengah malas berdebat. Akhirnya ia mengalah, ia memutuskan keluar dari ruangan Sean.

Sebenarnya tuh, Arasy sebal. Kenapa Sean membiarkan wanita itu masuk dan keluar ruangan milik Sean seenaknya? Ada hubungan apa keduanya ini? Kenapa tadi wanita itu bilang mereka sudah mengenal lama?

Jujur saja, Arasy merasa panas. Ia tidak suka melihat ada yang dekat dengan Sean dan seenaknya seperti itu. Apalagi sepertinya Sean juga wanita itu dekat.

5 menit berdiam di kursi depan ruangan Sean, akhirnya manik Arasy tangkap suaminya sudah keluar dari ruangan rapat dan tengah tersenyum memberi salam pada rekan kerjanya. Lelaki manis itu pun berdiri dari duduknya.

“Loh sayang? Kamu di luar?” Sean yang menangkap keberadaan Arasy pun mendekat padanya. Ia membawa Arasy ke depan rekan kerjanya memperkenalkan lelaki manis yang dicintainya kepada mereka.

“Ini suami saya, Arasy.”

Arasy tentu saja tersenyum ramah dan menunduk sopan. Sebab beberapa rekan kerja Sean adalah seumuran ayahnya.

“Kamu kenapa nggak masuk, sayang? Kan kakak bilang tunggu di dalam aja.” Selepas rekan kerja Sean meninggalkan lantai itu, Sean rangkul Arasy dan berikan tanya.

“Rasy udah masuk tadi Kak Se, tapi disuruh keluar.”

“Sama siapa?” tanya Sean. Tentu saja lelaki itu terkejut. Ruangannya itu tidak bisa dimasuki sembarang orang, dan jika Arasy sudah mendapat ijinnya untuk masuk, seharusnya tak ada yang dapat mengusirnya.

“Nggak tahu.. Rasy nggak kenal. Tapi dia cewe, suaranya mirip yang di telpon Kak Se. Dia sekarang di dalem ruangan Kak Se.. eum.. duduk di kursi Kak Se.”

Mendengar ucapan Arasy, Sean menggeram. “Kim Nora.”

“Kakak?”

“Sayang, tolong jangan salah paham sama kakak ya? Yang tadi di telpon itu bukan siapa-siapa. Dia temen kakak waktu SMP. Dan kakak pun nggak tahu dia bisa masuk seenaknya ke ruangan kakak tanpa ijin dan parahnya usir kamu.”

Arasy tersenyum, Sean menjelaskan padanya sebelum diminta. “Kak Se, makasih udah jelasin karena aku tadi sempet salah paham.. hehe.”

Sean tersenyum kecil, lelaki manis itu berhasil membuat moodnya yang jelek — karena kelakuan wanita bernama Nora itu — menjadi sedikit bagus.

“Kakak cuma cinta kamu, Arasy Anderson. Udah sekarang ayo masuk. Kakak mau kasih paham ke Nora.”

“Eum.. Kak?”

“Ya, sayang?”

“Kalo Rasy aja yang kasih paham.. boleh?”


Keduanya kini sudah masuk ke dalam ruangan milik Sean. Benar saja seperti kata Rasy. Wanita itu duduk di kursi milik Sean.

“Nora.”

Nora yang awalnya sibuk dengan cermin di tangannya menoleh. Ia tersenyum menemukan Sean sudah masuk ke dalam. “Kamu udah selesai rapatnya? Aku tunggu kamu buat makan bareng dari tadi.”

Namun senyum wanita itu menghilang saat Arasy keluar dari balik tubuh Sean. “Lo! Mau ngapain ke sini?” ia berdiri dari duduknya menatap nyalang Arasy yang juga tengah menatapnya.

“Bukannya harusnya aku yang tanya gitu ke Kakak?”

“Apa?”

“Ini ruangan Kak Se, suami aku. Dan kakak masuk seenaknya ke sini.. duduk di kursi punya Kak Se juga parahnya.”

“Suami?”

“Ah, kakak nggak tahu? Aku sama Kak Se udah nikah sekitar eum.. 5 bulan?”

Dapat Arasy juga Sean lihat wanita itu menggeram marah. Namun Sean memilih diam sebab Arasy bilang jika lelaki manis itulah yang akan memberikan paham pada si wanita.

Ia hanya akan bertindak jika Nora sudah melewati batas.

“Kak, maaf sebelumnya, tapi kakak tahu sopan santun nggak? Kakak pernah diajarin kan? Rasy tahu kakak pasti pernah diajarin itu di sekolah atau mungkin waktu kakak kuliah. Iya kan? Kak Se bilang, kakak itu temen SMP nya Kak Se. Dan udah pasti kakak pernah sekolah. Ah juga, harusnya kakak sadar. Kakak itu cuma temen SMP, kakak nggak punya hak apa-apa di sini.”

“YAK!” Wanita itu mendekat kearah Arasy. Berniat memberikan satu tamparan di pipi gembulnya. Namun Sean menahan tangannya.

“Jangan berani berani kamu layangkan tangan kamu ke wajah Rasy. Nora, Rasy benar. Kamu hanya sebatas teman sekolah saya. Sudah seharusnya kamu meminta ijin untuk masuk ke ruangan saya, dan juga bersikap sopan dengan duduk di sofa yang disediakan di sini, bukan kursi saya.”

“SEAN! Tapi perusahaan kita baru bekerja sama!”

“Hanya bekerja sama. Kamu tidak punya hak apa-apa di perusahaan ini, Nora.”

Arasy yang mendengarnya tersenyum. Ia kemudian menarik Sean menjauh dari Nora dan membisikan sesuatu. Membuat Nora — yang tengah mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkeram erat oleh Sean — kebingungan.

“Ah, kamu mau gitu, sayang?” Arasy mengangguk dengan senyum mendengar pertanyaan yang diberikan Sean setelah ia membisikan sesuatu pada suaminya itu. “Kamu aja yang bilang, gih. Kakak kasih ijin.”

“SERIUS?!”

“Iya sayang.”

Arasy tersenyum lebar, ia kemudian menoleh kearah Nora. “Kak Nora.. kan? Maaf, tapi aku nggak ijinin Kak Se buat kerja sama lagi sama perusahaan kakak. Kakak bisa pergi sekarang dari sini.”

Nora membelalak. “Kamu mau perusahaan Sean jatuh?”

“Kak Nora nggak kebalik yah? Bukannya malah perusahaan Kakak yang bakal jatuh? Kak Nora lain kali kalau bertindak itu pikir dulu. Utamakan sopan santun. Kak Sean udah menikah, kakak nggak seharusnya kaya gini. Dan perusahaan ini juga punya Kak Sean, kakak sebagai teman SMPnya harus sadar diri, kakak nggak bisa seenaknya aja di sini.”

“Kamu sebagai pasangannya juga nggak bisa seenaknya ngatur-ngatur dong!”

Mendengar ucapan Nora, Sean berdehem, “Sebenarnya, Nora, Rasy punya hak untuk itu. Juga, Rasy punya alasan kenapa dia melarang saya bekerja sama dengan kamu yaitu untuk kebaikan hubungan kami. Maka saya pun akan menuruti itu. Saya akan batalkan kerjasama bersama Kim Corp.”

Kepalang malu, Nora pun akhirnya memutuskan untuk keluar. Meninggalkan Arasy juga Sean yang langsung bertatapan.

“Kamu keren, sayang,” ucap Sean, memberikan usakkan gemas di rambut milik Arasy.

“Yaudah kakak makan dulu yuk. Pasti tenaga kakak habis ngadepin Kak Nora.”

“Hahahahaha, sayaaang. Iya kita makan bareng ya?”

Semua sihir yang dimiliki oleh Azure— seluruh sihir milik Elf, peri dan juga Alan semua telah habis diambil oleh Eleanor.

Seharusnya, jika seluruh sihir sudah diambil, maka Azure akan berubah menjadi gelap, dunia ini, kerajaan ini akan mati.

Namun membingungkan bagi Alan, Edward, dan juga Herold karena Azure masih seperti dulu. Yah walau beberapa tanaman sudah layu sebab peri-peri juga Elf yang merawat mereka semua kehilangan sihirnya.

Namun bagi ketiganya — Alan, Edward, juga Herold yang merupakan penduduk Azure, ini semua baik-baik saja. Tak terjadi sesuatu yang ada di bayangan mereka.

“Bagaimana bisa ini terjadi?” tanya Herold. Lelaki ini sedari tadi menatap kearah dalam istana, dimana Eleanor berada di sana. Dengan beberapa hewan, peri, juga elf yang sudah kehilangan sihirnya.

“Apanya yang bagaimana?”

Ketiganya sontak menoleh dari kaca istana menuju seorang yang berbicara. Earl. Ya benar, lelaki itu masih memiliki kekuatan di pensilnya — ah, atau yang sudah berubah menjadi tongkat sihir, sebenarnya.

“EARL!” ketiganya berteriak bersamaan.

“Ya..? Aku?”

“Benar, Earl masih memiliki kekuatannya, itulah kenapa Azure masih baik-baik saja,” Alan berucap, menatap kearah Earl dengan semangat.

“Lalu bagaimana rencana selanjutnya?” Edward mengeluarkan suara.

“Biar aku saja yang masuk, ah atau kalian mau ikut?”

Earl tak akan biarkan sihirnya hilang begitu saja.


“Apa apaan ini? Kenapa semuanya masih baik-baik saja?!”

Eleanor berteriak marah kepada seluruh bawahannya. Tongkat sihirnya kini sudah penuh dengan sihir para penduduk Azure. Seharusnya, Eleanor sudah dapat mengendalikan semuanya. Tapi kenapa, semuanya masih baik-baik saja sekarang?

“AKU TIDAK MAU TAHU, CARI SEORANG YANG MASIH MEMILIKI SIHIR DI SINI. PERGI!” ucapnya memerintah.

“Yang Mul—”

“Aku mau Alanku! Carilah semua sihir yang ada di sini! Supaya aku bisa mengendalikannya!”

Alan, Earl, Edward, dan juga Herold mendengar semuanya. Mereka kini sudah berada di pintu masuk ruangan tempat singgasana Eleanor — atau sebenarnya milik Alan yang di rebut oleh Eleanor — berada.

“Aku masuk sekarang.”

Perkataan Earl barusan membuat Alan menoleh kearah lelaki manis itu. Perlahan ia tangkup pipi Earl dan menatap tepat di matanya.

“Berjanji padaku kamu akan baik-baik saja, Earl.”

Earl tersenyum, ia kecup tangan Alan yang berada di pipinya. “Aku akan baik-baik saja, Alan. Aku berjanji. Azure pun akan kembali seperti semula.”

Perlahan Alan lepaskan tangannya dari pipi Earl dan tersenyum lembut. Ia membiarkan Earl, lelaki manis yang pertama kali ditemuinya di gua itu, untuk masuk ke ruang singgasana.

“CEPATLAH, KENAPA KALIAN LAMBAN SEKALI?!”

“Tidak perlu membentak mereka begitu, Eleanor.”

Suara Earl barusan membuat seluruhnya menoleh kearah lelaki manis itu. Berbeda dengan penduduk Azure yang tersenyum lebar melihatnya, Eleanor justru memberikan senyum sinis. “Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini? Di kerajaanku?”

“Kerajaanmu? Ah, maksudmu kerajaan milik Alan?”

“KAU! Aku ini calon istrinya, dan kerajaan milik Alan adalah milikku juga.”

Earl terkekeh, ia mengangguk angguk ketika Eleanor telah selesai berbicara — sebuah isyarat bahwa dirinya memahami ucapan Eleanor.

Perlahan, Earl mendekat kearah Eleanor. Wajahnya ia dekatkan ke telinga milik Eleanor dan kemudian berbisik, “Yang aku tahu.. Alan membencimu.”

“YAK! KAU!”

Earl terkekeh, ia menjauh dari Eleanor. “Kenapa?”

“Aku dapat membuatnya menjadi milikku jika seluruh kekuatan Azure berada di dalam diriku.”

“Sayangnya tidak semuanya ada di dirimu, ya? Hahahaha”

Eleanor makin marah, ia tak tahu siapa lelaki di hadapannya ini. Tak pernah sekalipun ia lihat lelaki itu berada di Azure. Namun kenapa lelaki itu berani mengejeknya seperti ini.

“ARGH! PELAYAN! CARI SEMUA SIHIR YANG ADA DI SINI! CARI YANG TERSISA!”

Earl menggembungkan pipinya ketika mendengar ucapan Eleanor. “Sebenarnya, Eleanor..”

Wanita itu memusatkan pandangan kearah Earl, lagi.

“Kamu tidak perlu menyuruh mereka mencarinya di seluruh Azure. Karena mereka tidak akan menemukannya.”

“Kau tahu darimana?!”

“Tentu saja aku tahu, sebab seluruh kekuatan yang tersisa ada di dalam diriku.”

Eleanor membelalakkan matanya mendengar ucapan Earl. Dengan sigap ia arahkan tongkat sihirnya kepada lelaki itu, memberikan sebuah serangan yang langsung dielak oleh Earl dengan tongkat miliknya.

“KAU!”

Berkali kali Eleanor memberikan serangan pada Earl, namun semuanya dapat dihindari oleh Earl dengan baik.

“Sebenarnya kamu ini siapa?! Bagaimana bisa kamu menghindari seluruh sihir dariku?! Padahal tongkat ini memiliki kekuatan seluruh penduduk Azure bahkan Alan!”

“Aku? Siapa aku? Ku rasa akupun tidak tahu siapa aku sekarang. Sebab sebenarnya, aku bukan seperti ini. Aku ini pangeran yang pemalu— ah tidak lebih tepatnya aku tidak suka melakukan hal lain selain membaca buku. Namun kamu berhasil membangkitkan diriku yang lain, Eleanor.”

“Bertele-tele sekali dirimu!” kali ini Eleanor arahkan tongkatnya pada Earl dan itu berhasil. Kekuatan Earl perlahan terserap kearah tongkatnya.

Earl hampir saja mau menghentikan itu dengan tongkatnya, namun gagal sebab maniknya menangkap sebuah retakkan di gagang tongkat milik Eleanor. Gagang tongkat yang terbuat dari kayu itu retak, sebab terlalu banyak sihir di dalamnya.

Earl tersenyum, “Kau mau sihirku kan? Ambilah.”

“EARL!”

Alan yang mendengar itu dari balik pintu membelalak, ia masuk ke dalam ruang singgasana dan makin terkejut kala melihat tongkat milik Earl sudah hampir menghilang.

Sesaat setelah Earl jatuh ke lantai, Alan berlari kearah Earl dan memeluknya dari belakang. “Earl sihirmu..”

“Tenanglah Alan, semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu bagianku.”

Tanpa melepas pelukan Alan dibelakang tubuhnya, Earl menatap Eleanor yang menatap dirinya juga Alan dengan amarah.

“Lepaskan Alanku!”

“Alanmu?” Alan tertawa. “Aku ini milik Earl seorang.”

Earl tertawa pelan.

Tongkat Eleanor sudah mengarah lagi kepada Earl, namun lelaki manis itu tidak mundur sama sekali. “Silahkan ambil semua dariku, Eleanor. Kau tahu masih ada sihir yang tersisa.”

“Kamu sendiri yang memintaku.” Eleanor kembali mengarahkan tongkatnya ke Earl. Melepas lelaki manis itu dari pelukan Alan dan membawanya ke atas — tidak menapak pada lantai.

“Aku puas.”

Earl terkekeh, “Kamu tahu Eleanor? Keserakahan akan membuat kamu sendiri menderita.”

“Aku tak akan menderita dengan memiliki seluruh sihir milik Azure.”

“Hm.. begitu? Lihat saja sendiri. ”

Tepat sedetik setelahnya, tongkat milik Eleanor patah, membuat Earl terjatuh dari atas. Namun tak mencapai lantai, Alan menahan tubuh kecilnya.

“You're safe with me.” Earl tersenyum membalasnya.

“TONGKATKU!”

Pandangan Earl juga Alan yang tadinya kepada satu sama lain berubah menuju Eleanor dan tongkatnya yang telah patah dan perlahan menghilang.

Bersamaan dengan itu, sayap juga tongkat milik Elf beserta sihir milik hewan-hewan Azure kembali. Membuat semuanya berteriak dengan bahagia, termasuk Edward juga Herold yang langsung masuk ke ruang singgasana dan memeluk Earl.

“KITA BERHASIL!”


“Earl, tidak bisakah kamu tinggal di sini?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut Herold membuat Earl tersenyum. Selepas berhasil menaklukan Eleanor dan seluruh bawahannya — yang kini sudah dikurung di bawah tanah oleh Alan dan pengawalnya, Earl memutuskan untuk kembali.

“Herold, aku juga punya rakyatku sendiri di sana. Bagaimana kata ayah juga ibuku jika aku disini menghilang tiba-tiba?”

Selepas berucap, Earl mendapat pelukan dari Herold. Lelaki peri yang berhasil buatnya banyak tertawa di Azure itu memberikan pelukan yang erat.

“Jangan lupakan kami.”

Earl melepas pelukan, “Tidak akan.” Kemudian ia berjalan kearah Edward. Membuka tangannya, meminta lelaki itu memeluknya.

Lelaki bijak yang selalu buatnya terkagum ini, tak akan pernah ia lupakan juga.

Dan terakhir, Alan. Raja Azure yang berhasil membuat dirinya merasakan hal yang tak biasa, kasih sayang seorang pasangan.

“Earl.”

Baru saja Alan menyebut namanya, Earl sudah berhamburan air mata. Ia menubruk tubuh Alan yang lebih besar darinya dan menangis di dadanya.

“Alan, jangan lupakan aku.”

Alan terkekeh, “Bagaimana bisa aku melupakan seorang Earl? Lelaki manis yang bantu aku menyelamatkan kerajaanku, dan juga yang buat aku berhasil jatuh cinta.”

“Alan.. hiks!”

“Earl, ini sudah keputusanmu untuk kembali, maka kembalilah. Aku tak apa.”

Earl mendongak, menatap wajah tampan milik Alan. “Aku juga mencintaimu, hiks!”

Alan terkekeh, perlahan ia dekatkan wajahnya dengan Earl. Memberikan kecupan pada bibir manis milik lelaki yang dicintainya itu. “Aku mencintaimu,” ucap Alan sekali lagi dengan suara beratnya.

“Aku juga, Alan.”

Earl ingin tinggal bersama Alan juga yang lain. Namun ia sadar ia masih memiliki keluarga di Fuchsia. Tak mungkin ia meninggalkan mereka tanpa kabar.

Mungkin, mungkin jika nanti ia bisa kembali ke sini. Ia akan tinggal di sini selamanya, bersama dengan Alan.

“Aku akan menunggu kamu berkunjung ke sini, sayang. Atau jika bisa, aku yang akan berkunjung ke sana.”

Sean berlari dengan kecepatan penuh ketika mobilnya telah sampai di rumah duka.

Berita yang beberapa jam lalu keluar dari mulut Arasy buatnya begitu terkejut. Semuanya terlalu tiba-tiba, Sean tak bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan saat ini.

Ayahnya, super heronya, seorang lelaki yang selalu menjadi inspirasinya kini sudah pergi. Lelaki yang selalu mendukungnya dalam mencapai mimpi, hingga kini ia menjadi seorang yang sukses kini pergi meninggalkannya. Parahnya lagi, disaat dirinya tengah berada di luar negeri.

“Kakak kemana aja hah? Lupa kalo kakak punya keluarga?”

Sesaat setelah dirinya sampai di depan pintu rumah duka, Arasy mencegatnya. Lelaki manis yang dicintainya itu terlihat sangat.. Berantakan.

Air mata kering di pipinya, mata yang memerah, rambut yang acak-acakan buat hati Sean makin terasa pedih. Namun, Sean tak indahkan itu semua sekarang, ia ingin melihat ayahnya.

“Rasy, nanti dulu aku mau lihat papi.”

Arasy pun juga tak mengindahkan itu, ia marah pada lelaki itu, suaminya. Ia marah, bagaimana bisa lelaki itu tak memegang ponselnya saat sedang jauh dari keluarga?

Jika itu satu hari, mungkin Arasy dapat mengerti. Namun ini berhari-hari, lelaki itu bahkan tak tahu keadaan orang-orang tersayangnya di sini.

“Kak Sea—”

“Nanti dulu Rasy, biarin aku lihat papi,” Sean mencoba melewati Arasy. Namun ia gagal. Arasy tetap menghadang lelaki itu, Arasy tak mau melihat Sean dimarahi oleh sang mami yang sedari kemarin masih menangis juga menanyakan Sean.

“Kakak jelasin dulu ke aku, nanti aku bantu jelasin ke mami, aku nggak mau kakak di-”

“Minggir Rasy!”

“Jelasin dulu ke aku! Kakak kemana aja kemarin hah?! Kenapa nggak bales telpon juga chat aku?! Bahkan mami, mama, papa, kakak semua udah telpon Kak Sean, tapi kenapa?!” Lelaki manis itu menaikkan nada bicaranya, ia tatap tepat di mata Sean.

“Nanti Ras-”

“Kak Sean!”

“Rasy dimana sopan santun kamu hah?! Papi kakak meninggal dan kamu halangin kakak buat lihat papi dan suruh kakak jelasin?! Rasy masalah itu nggak penting, papi lebih penting sekarang, minggir!” Sean melewati tubuh kecil milik Arasy, tapi lagi tangannya ditahan oleh pasangannya itu.

“Kalo papi lebih penting kakak kemana dari kemarin?” ucap lelaki manis itu memelankan nada.

Sean kesal, ia ingin melihat ayahnya tetapi Rasy selalu menahan tangannya, meminta dirinya menjelaskan. Demi Tuhan, sekarang itu semua tak penting, Sean hanya ingin melihat ayahnya sebentar saja baru setelah itu ia akan jelaskan sejelas-jelasnya kepada Arasy.

“Rasy, kakak bilang sekali, lepas tangan kakak.”

“Kak-”

“Gentala Arasy, lepas tangan kakak.”

Arasy tak berkutik, ia akan tetap di sana memegang tangan Sean. Arasy tahu, Sean ingin melihat ayahnya, tetapi Arasy tak mau jika Sean sampai tersakiti oleh sang mami.

Setidaknya jika Sean menjelaskan padanya dan alasannya masuk akal, Arasy pun bisa bantu menjelaskan kepada ibu mertuanya.

“Aku bakal gini sampai kakak jelasin ke aku.”

Sean mengusap wajahnya kesal. “Aku drop kemarin di sana dan bed rest beberapa hari di rumah sakit. Puas kamu? Sekarang lepas! Kakak mau lihat papi.”

Sean menghentakkan tangannya keras, membuat pegangan Arasy terlepas. Meninggalkan Arasy di depan yang memegangi lengannya yang sakit. Air mata lelaki manis itu kembali pecah, mengingat bagaimana Sean menaikkan nada bicaranya.

“Kak Se..” gumamnya sembari menatap Sean yang berjalan cepat menuju peti ayahnya.

Sean bertemu tatap dengan sang ibu. “Mami..” ia memanggil pelan sang ibu yang menangis di samping peti ayahnya.

Wanita paruh baya yang mendengar suara dari putranya itu mendongak. Ia melihat sosok putranya di sana. Sosok yang selama ini ia banggakan. Emosi wanita itu kembali naik kala melihat putranya baru sampai, saat sudah sehari lebih ayahnya tiada.

Wanita itu berdiri, “Kamu kemana aja, Yan? Pekerjaan kamu lebih penting dari keluarga? iya? Asal kamu tahu Arasy nangisin kamu berhari-hari ditambah kemarin papi nggak ada. Kamu lupa kamu punya keluarga hah?”

“Mami, maaf.”

“Minta maaf sama Arasy, Sean. Arasy nggak tidur berhari-hari di sini, nangisin kamu juga papi. Dia yang gantiin kamu buat ngantar papi kesini, Sean.”

Sean tak menjawab, ia mendekat kearah peti sang ayah. Ayahnya sudah terbujur kaku di sana. Sejenak, pikirannya melayang ke masa kecilnya. Dimana sang ayah selalu menggendongnya, membawanya duduk di pundak dan bermain bersama. Ia ingat ayahnya lah yang paling bahagia ketika ia lulus dengan gelar cum laude, senyum bangga ayahnya kembali terlintas di pikriannya.

“Papi.. maaf, maaf Sean nggak ada waktu papi berjuang, maaf. Maaf Sean nggak bisa kaya papi yang selalu ada buat Sean,” tangisnya di sebelah peti sang ayah.

Maaf juga karena Sean gagal jadi sosok kaya papi — seperti yang papi mau, Sean gagal buat Rasy bahagia, papi

“Kak Sean..”

Arasy mendekat, ia bermaksud memberikan peluk pada lelakinya karena demi Tuhan, hati Arasy sakit melihat Sean menangis seperti itu. Namun baru saja Arasy meraih perut Sean, Sean menghindar. Bukan maksud Sean untuk menolak, tapi lelaki itu malu untuk menangis di hadapan Arasy.

Dipikirnya Arasy baik-baik saja, namun ternyata apa yang dipikirkannya salah. Arasy sedih, mengingat bagaimana Sean membentak juga menolak pelukannya, itu membuat hatinya sakit.

“Kak Se, Rasy mau ngomong, boleh?”

Lelaki tampan itu mengangguk cepat, ia hapus air matanya dan menatap sang ayah sebentar baru setelahnya ia mengikuti Arasy yang sudah berjalan mendahuluinya. Menuju belakang rumah duka.

“Kak, aku minta maaf, maaf kalo aku nggak sopan sama Kakak.”

Sean bergeming, walau maniknya menatap Arasy yang menunduk.

“Aku capek kak, aku capek. Maaf, kalo aku bentak kakak tadi. Beberapa hari ini Kak Sean nggak ada kabar ditambah Papi jatuh dari tangga dan berakhir gini. Juga, kenapa nggak ada yang kabarin aku kalo kakak disana sakit? Kak, aku ini siapanya kakak sebenernya?”

“Kamu—”

“Aku ini pasangan kakak, pasangan kakak yang sah di hadapan Tuhan. Kak, aku punya hak buat tahu keadaan kakak, kenapa kakak bahkan nggak coba minta tolong Kak Kalan buat hubungin aku?” Lelaki manis itu menunduk, tangisnya pecah.

“Hiks, Kak Sean, aku capek kak. Dari kemarin mereka yang datang jelek-jelekin Kak Sean dihadapan aku. Hati aku sakit Kak, hiks.”

Punggungnya bergetar, sesekali tangannya mengusap air mata yang jatuh dari matanya. “Kak Se, hiks.”

“Rasy, sayang..”

Sean mendekat ke arah Arasy, ia memberi peluk pada lelaki manis itu. “Kakak, hiks.”

“Maaf sayang, maaf. Kakak salah. Rasy, maaf kakak selalu bikin Rasy nangis beberapa hari ini.”

Arasy menenggelamkan wajahnya di dada milik Sean. Yang tentu dibalas pelukan lebih erat dari Sean, tangan lelaki jangkung itu mengelus surai milik Arasy dengan sayang.

“Kak..”

“Hm?”

“Maaf. Rasy tahu, Rasy salah tadi. Kakak baru kehilangan papi kakak tapi aku malah halangin kakak minta penjelasan. Maaf ya, Kak.”

Sean mafhum, dirinya tak ada kabar beberapa hari, sudah jelas Arasy sebagai pasangannya akan khawatir dan akan memarahinya. Ia paham juga bagaimana perasaan Arasy saat dirinya dijelek-jelekkan oleh beberapa tamu, seperti yang dikatakan Rasy.

“Rasy, kakak juga minta maaf karena nggak ada kabar berhari-hari dan handphone kakak dipegang sama Kalan beberapa hari waktu kakak bed rest. Rasy maaf juga kamu harus dengerin semua perkataan mereka yang bikin kamu sakit hati. Maaf kamu harus ngerasa khawatir sama kakak sampai nangis berhari-hari. Maaf kalau kakak buat kamu sakit hati tadi karena bentakan juga penolakan kakaka. Rasy maaf, maaf karena kakak gagal jadi suami juga anak yang baik.”

Tangis Arasy makin menjadi. Ia menggeleng di pelukan Sean. “Kakak itu yang terbaik, hiks.”

Perlahan Sean lepas pelukannya dengan Arasy, ia mengecup kedua mata Arasy yang bengkak sebab menangis terlalu lama. “Kakak nggak suka lihat mata ini ngeluarin air mata lagi, jangan ya?” Sean tunjukkan senyum paksa. Jujur saja, sulit untuk dirinya tersenyum di tengah berita duka tentang ayahnya, namun demi Arasy, Sean memaksakan senyum, ia tak ingin Arasy khawatir.

“Kakak, jangan senyum kaya gitu, hiks. Kakak kalau kakak selama ini selalu jadi tonggak buat Rasy, Rasy pun juga bisa jadi tonggak buat kakak, hiks.. Kak, Rasy pasangan kakak. Kakak boleh nangis ke Rasy hiks. Rasy tahu ini berat buat kakak, kehilangan papi.”

“Lepasin semua sedihnya Kak Sean, kak. Rasy disini disamping kakak.”

Setelah kalimat itu keluar dari mulut Arasy, pecah lagi tangisan Sean. Lelaki itu masuk ke dalam pelukan Rasy, menangis di sana, di pelukan lelaki manisnya.

Pelukan Rasy adalah rumah baginya.

Siang itu, di taman belakang rumah duka, untuk pertama kalinya Sean menangis di hadapan Arasy, menumpahkan semua beban yang ada di pikriannya, menumpahkan semua kesedihan atas kepergian ayahnya.