Home
Sean berlari dengan kecepatan penuh ketika mobilnya telah sampai di rumah duka.
Berita yang beberapa jam lalu keluar dari mulut Arasy buatnya begitu terkejut. Semuanya terlalu tiba-tiba, Sean tak bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan saat ini.
Ayahnya, super heronya, seorang lelaki yang selalu menjadi inspirasinya kini sudah pergi. Lelaki yang selalu mendukungnya dalam mencapai mimpi, hingga kini ia menjadi seorang yang sukses kini pergi meninggalkannya. Parahnya lagi, disaat dirinya tengah berada di luar negeri.
“Kakak kemana aja hah? Lupa kalo kakak punya keluarga?”
Sesaat setelah dirinya sampai di depan pintu rumah duka, Arasy mencegatnya. Lelaki manis yang dicintainya itu terlihat sangat.. Berantakan.
Air mata kering di pipinya, mata yang memerah, rambut yang acak-acakan buat hati Sean makin terasa pedih. Namun, Sean tak indahkan itu semua sekarang, ia ingin melihat ayahnya.
“Rasy, nanti dulu aku mau lihat papi.”
Arasy pun juga tak mengindahkan itu, ia marah pada lelaki itu, suaminya. Ia marah, bagaimana bisa lelaki itu tak memegang ponselnya saat sedang jauh dari keluarga?
Jika itu satu hari, mungkin Arasy dapat mengerti. Namun ini berhari-hari, lelaki itu bahkan tak tahu keadaan orang-orang tersayangnya di sini.
“Kak Sea—”
“Nanti dulu Rasy, biarin aku lihat papi,” Sean mencoba melewati Arasy. Namun ia gagal. Arasy tetap menghadang lelaki itu, Arasy tak mau melihat Sean dimarahi oleh sang mami yang sedari kemarin masih menangis juga menanyakan Sean.
“Kakak jelasin dulu ke aku, nanti aku bantu jelasin ke mami, aku nggak mau kakak di-”
“Minggir Rasy!”
“Jelasin dulu ke aku! Kakak kemana aja kemarin hah?! Kenapa nggak bales telpon juga chat aku?! Bahkan mami, mama, papa, kakak semua udah telpon Kak Sean, tapi kenapa?!” Lelaki manis itu menaikkan nada bicaranya, ia tatap tepat di mata Sean.
“Nanti Ras-”
“Kak Sean!”
“Rasy dimana sopan santun kamu hah?! Papi kakak meninggal dan kamu halangin kakak buat lihat papi dan suruh kakak jelasin?! Rasy masalah itu nggak penting, papi lebih penting sekarang, minggir!” Sean melewati tubuh kecil milik Arasy, tapi lagi tangannya ditahan oleh pasangannya itu.
“Kalo papi lebih penting kakak kemana dari kemarin?” ucap lelaki manis itu memelankan nada.
Sean kesal, ia ingin melihat ayahnya tetapi Rasy selalu menahan tangannya, meminta dirinya menjelaskan. Demi Tuhan, sekarang itu semua tak penting, Sean hanya ingin melihat ayahnya sebentar saja baru setelah itu ia akan jelaskan sejelas-jelasnya kepada Arasy.
“Rasy, kakak bilang sekali, lepas tangan kakak.”
“Kak-”
“Gentala Arasy, lepas tangan kakak.”
Arasy tak berkutik, ia akan tetap di sana memegang tangan Sean. Arasy tahu, Sean ingin melihat ayahnya, tetapi Arasy tak mau jika Sean sampai tersakiti oleh sang mami.
Setidaknya jika Sean menjelaskan padanya dan alasannya masuk akal, Arasy pun bisa bantu menjelaskan kepada ibu mertuanya.
“Aku bakal gini sampai kakak jelasin ke aku.”
Sean mengusap wajahnya kesal. “Aku drop kemarin di sana dan bed rest beberapa hari di rumah sakit. Puas kamu? Sekarang lepas! Kakak mau lihat papi.”
Sean menghentakkan tangannya keras, membuat pegangan Arasy terlepas. Meninggalkan Arasy di depan yang memegangi lengannya yang sakit. Air mata lelaki manis itu kembali pecah, mengingat bagaimana Sean menaikkan nada bicaranya.
“Kak Se..” gumamnya sembari menatap Sean yang berjalan cepat menuju peti ayahnya.
Sean bertemu tatap dengan sang ibu. “Mami..” ia memanggil pelan sang ibu yang menangis di samping peti ayahnya.
Wanita paruh baya yang mendengar suara dari putranya itu mendongak. Ia melihat sosok putranya di sana. Sosok yang selama ini ia banggakan. Emosi wanita itu kembali naik kala melihat putranya baru sampai, saat sudah sehari lebih ayahnya tiada.
Wanita itu berdiri, “Kamu kemana aja, Yan? Pekerjaan kamu lebih penting dari keluarga? iya? Asal kamu tahu Arasy nangisin kamu berhari-hari ditambah kemarin papi nggak ada. Kamu lupa kamu punya keluarga hah?”
“Mami, maaf.”
“Minta maaf sama Arasy, Sean. Arasy nggak tidur berhari-hari di sini, nangisin kamu juga papi. Dia yang gantiin kamu buat ngantar papi kesini, Sean.”
Sean tak menjawab, ia mendekat kearah peti sang ayah. Ayahnya sudah terbujur kaku di sana. Sejenak, pikirannya melayang ke masa kecilnya. Dimana sang ayah selalu menggendongnya, membawanya duduk di pundak dan bermain bersama. Ia ingat ayahnya lah yang paling bahagia ketika ia lulus dengan gelar cum laude, senyum bangga ayahnya kembali terlintas di pikriannya.
“Papi.. maaf, maaf Sean nggak ada waktu papi berjuang, maaf. Maaf Sean nggak bisa kaya papi yang selalu ada buat Sean,” tangisnya di sebelah peti sang ayah.
Maaf juga karena Sean gagal jadi sosok kaya papi — seperti yang papi mau, Sean gagal buat Rasy bahagia, papi
“Kak Sean..”
Arasy mendekat, ia bermaksud memberikan peluk pada lelakinya karena demi Tuhan, hati Arasy sakit melihat Sean menangis seperti itu. Namun baru saja Arasy meraih perut Sean, Sean menghindar. Bukan maksud Sean untuk menolak, tapi lelaki itu malu untuk menangis di hadapan Arasy.
Dipikirnya Arasy baik-baik saja, namun ternyata apa yang dipikirkannya salah. Arasy sedih, mengingat bagaimana Sean membentak juga menolak pelukannya, itu membuat hatinya sakit.
“Kak Se, Rasy mau ngomong, boleh?”
Lelaki tampan itu mengangguk cepat, ia hapus air matanya dan menatap sang ayah sebentar baru setelahnya ia mengikuti Arasy yang sudah berjalan mendahuluinya. Menuju belakang rumah duka.
“Kak, aku minta maaf, maaf kalo aku nggak sopan sama Kakak.”
Sean bergeming, walau maniknya menatap Arasy yang menunduk.
“Aku capek kak, aku capek. Maaf, kalo aku bentak kakak tadi. Beberapa hari ini Kak Sean nggak ada kabar ditambah Papi jatuh dari tangga dan berakhir gini. Juga, kenapa nggak ada yang kabarin aku kalo kakak disana sakit? Kak, aku ini siapanya kakak sebenernya?”
“Kamu—”
“Aku ini pasangan kakak, pasangan kakak yang sah di hadapan Tuhan. Kak, aku punya hak buat tahu keadaan kakak, kenapa kakak bahkan nggak coba minta tolong Kak Kalan buat hubungin aku?” Lelaki manis itu menunduk, tangisnya pecah.
“Hiks, Kak Sean, aku capek kak. Dari kemarin mereka yang datang jelek-jelekin Kak Sean dihadapan aku. Hati aku sakit Kak, hiks.”
Punggungnya bergetar, sesekali tangannya mengusap air mata yang jatuh dari matanya. “Kak Se, hiks.”
“Rasy, sayang..”
Sean mendekat ke arah Arasy, ia memberi peluk pada lelaki manis itu. “Kakak, hiks.”
“Maaf sayang, maaf. Kakak salah. Rasy, maaf kakak selalu bikin Rasy nangis beberapa hari ini.”
Arasy menenggelamkan wajahnya di dada milik Sean. Yang tentu dibalas pelukan lebih erat dari Sean, tangan lelaki jangkung itu mengelus surai milik Arasy dengan sayang.
“Kak..”
“Hm?”
“Maaf. Rasy tahu, Rasy salah tadi. Kakak baru kehilangan papi kakak tapi aku malah halangin kakak minta penjelasan. Maaf ya, Kak.”
Sean mafhum, dirinya tak ada kabar beberapa hari, sudah jelas Arasy sebagai pasangannya akan khawatir dan akan memarahinya. Ia paham juga bagaimana perasaan Arasy saat dirinya dijelek-jelekkan oleh beberapa tamu, seperti yang dikatakan Rasy.
“Rasy, kakak juga minta maaf karena nggak ada kabar berhari-hari dan handphone kakak dipegang sama Kalan beberapa hari waktu kakak bed rest. Rasy maaf juga kamu harus dengerin semua perkataan mereka yang bikin kamu sakit hati. Maaf kamu harus ngerasa khawatir sama kakak sampai nangis berhari-hari. Maaf kalau kakak buat kamu sakit hati tadi karena bentakan juga penolakan kakaka. Rasy maaf, maaf karena kakak gagal jadi suami juga anak yang baik.”
Tangis Arasy makin menjadi. Ia menggeleng di pelukan Sean. “Kakak itu yang terbaik, hiks.”
Perlahan Sean lepas pelukannya dengan Arasy, ia mengecup kedua mata Arasy yang bengkak sebab menangis terlalu lama. “Kakak nggak suka lihat mata ini ngeluarin air mata lagi, jangan ya?” Sean tunjukkan senyum paksa. Jujur saja, sulit untuk dirinya tersenyum di tengah berita duka tentang ayahnya, namun demi Arasy, Sean memaksakan senyum, ia tak ingin Arasy khawatir.
“Kakak, jangan senyum kaya gitu, hiks. Kakak kalau kakak selama ini selalu jadi tonggak buat Rasy, Rasy pun juga bisa jadi tonggak buat kakak, hiks.. Kak, Rasy pasangan kakak. Kakak boleh nangis ke Rasy hiks. Rasy tahu ini berat buat kakak, kehilangan papi.”
“Lepasin semua sedihnya Kak Sean, kak. Rasy disini disamping kakak.”
Setelah kalimat itu keluar dari mulut Arasy, pecah lagi tangisan Sean. Lelaki itu masuk ke dalam pelukan Rasy, menangis di sana, di pelukan lelaki manisnya.
Pelukan Rasy adalah rumah baginya.
Siang itu, di taman belakang rumah duka, untuk pertama kalinya Sean menangis di hadapan Arasy, menumpahkan semua beban yang ada di pikriannya, menumpahkan semua kesedihan atas kepergian ayahnya.