bluemoonseu

The word Eigenlicht is Dutch and German for “intrinsic light” it's also called dark light.

Alan, Earl, dan juga Herold serta Edward turun dari kereta mereka ketika sampai di pintu masuk Eigenlicht.

Bagi Earl, kerajaan ini sangatlah aneh. Jika sebelumnya mereka berencana untuk meminta ijin masuk ke dalam Eigenlicht pada penjaga pintu masuk, kini mereka harus mengubah rencana mereka satu itu. Sebab pintu masuk Eigenlicht ini terbuka lebar, namun tak ada seorang pun yang menjaganya.

Sebenarnya Eigenlicht ini kerajaan yang seperti apa?

“Bagaimana ini? Tak mungkin kita asal masuk ke dalam?” Earl bertanya.

“Mau bagaimana lagi? Lebih baik asal masuk saja,” Herold berkata, ia mendahului ketiganya untuk masuk ke dalam.

“Herold! Ish!”

Mau tidak mau, ketiganya mengikuti sang peri.

Mereka berjalan dengan hati-hati, mengingat penerangan pada kerajaan ini sangatlah minim. Setidaknya mereka perlu berjaga-jaga apabila ada ranjau di sekitar perjalanannya kan?

“Gelap sekali..”

“Kau benar, sayang. Eigenlicht gelap, sama seperti namanya,” Alan melingkarkan tangannya ke pinggang Earl. Bermaksud memberi perlindungan pada ratunya itu.

“Aku baru sadar sesuatu, setiap kerajaan memiliki khasnya sendiri dari nama mereka. Azure pun juga begitu.”

“Hm, beginilah tempat ini bekerja. Kamu juga sudah berapa lama jadi ratu di sini kenapa baru sadar, hm?” Alan terkekeh kemudian menarik hidung mancung ratunya dengan gemas.

“Ya.. mana aku tahu.”

Earl mengedikkan bahu sambil mengerucutkan bibirnya, buat Alan terkekeh gemas.

“Ya, itu kalian berdua masih mau berpacaran atau mencari Eve?”

Alan memberikan tatapan tajamnya pada Herold. Caranya tadi adalah untuk mencegah Earl mengingat semua yang terjadi sejenak. Sebab sudah lama ia tak lihat tingkah seperti ini dari Earl.

“Mencari Eve..”

“Iya sayang, ini kita sedang mencari Eve.”

Earl memandang ke arah sekitar, mereka sudah masuk ke dalam area kerajaan Eigenlicht dan dari beberapa menit yang lalu, matanya tak menangkap seorang pun ada di sana. “Alan kita—” baru saja ia mau berbicara, matanya menangkap sosok kecil yang terbang kearahnya dengan cepat.

Belum sempat Earl melakukan apa-apa, sosok kecil itu menabrak tubuhnya dan mungkin akan jatuh jika saja Earl tidak menengadahkan tangannya.

“Kenapa kamu terbang cepat seperti itu?” Earl bertanya pada sosok yang terjatuh di tangannya tadi.

“K-kalian siapa?!”

“Jangan takut, aku Earl dari kerajaan Azure. Niat kami ingin bertemu dengan Ratu Eigenlicht.”

Sosok kecil itu membulatkan matanya, ia kemudian berdiri di tangan Earl dengan kaki kaki kecilnya dan menunduk. “Yang Mulia..”

“Kamu mengenalku?”

“Siapa yang tidak kenal?” Sosok kecil itu berdiri dan kemudian tersenyum, “Aku Avrey, peri air Eigenlicht. Mari saya antarkan bertemu Yang Mulia Ratu.”

Setelahnya Earl menurunkan sosok kecil bernama Avrey itu ke tanah. Avrey mengubah wujudnya menjadi sama seperti keempat penduduk Azure itu kemudian tersenyum. “Raja Alan, senang bertemu dengan Anda.”

Alan tersenyum kecil dan mengangguk, “Senang bertemu denganmu, Avrey.”

Avrey memimpin jalan keempatnya untuk menuju ke istana, bertemu dengan Zelene. Sebenarnya ini sedikit membingungkan bagi mereka. Penduduk Eigenlicht menyambut mereka dengan ramah.

Apa mungkin bukan Zelene yang melakukannya? Tapi semua bukti mengarah pada Eigenlicht. Ini membingungkan.

“Yang Mulia, ada yang mau bertemu.”

Mereka telah sampai di Istana Eigenlicht. Istana dengan nuansa warna hitam — yang sangat berlawanan dengan Azure — ini terlihat begitu menyeramkan.

“Alano?”

Zelene sadar bahwa itu adalah Alan. Dengan cepat wanita dengan rambut panjang itu berdiri dan mendekat ke arah Alan juga Earl. Tentu saja, Alan sedikit takut, ia membawa tubuh Earl ke belakangnya.

What are you guys doing here? Seingatku, kerajaan kalian percaya dengan ramalan bahwa Eigenlicht dan Azure tidak akan bisa bersatu.”

“Kami mencari putri kami yang hilang diculik, Zelene,” Alan menjawab.

“Disini?” Zelene mengernyitkan alisnya. “Tidak ada putrimu di sini.”

“Dan bagaimana aku bisa mempercayai ucapanmu itu?”

Zelene terkekeh dengan sedikit sinis, “Why wo—”

“Alan! Itu Eve!”

“Alan!”

Alan menoleh ke belakang ketika mendengar suara Earl. Sebelumnya, raja Azure itu tengah menatap perubahan salah satu gua di kerajaannya dengan seksama, namun suara Earl tadi menghentikan kegiatannya.

“Hati-hati, sayang,” begitulah ucap Alan kala Earl berlari dengan terburu-buru ke arahnya, tidak menghiraukan dirinya yang berkali-kali hampir terjatuh sebab batuan di bawahnya. Alan mendekat ke arah Earl dan menangkap ratunya itu untuk masuk dalam dekapan.

Alan khawatir apabila Earl terjatuh.

“Alan! Alan.. ini!”

“Hei, tenanglah sayang, tarik nafas terlebih dahulu baru setelahnya berbicara,” Earl mengikuti ucapan Alan. Ia menarik nafasnya sejenak baru setelahnya menunjukkan tiara yang berada di tangannya, membuat Alan terbelalak.

“Ini..?”

Earl mengangguk. “Ini mahkota Eve, Alan. Tadi aku menemukan kalung dan sekarang tiaranya.”

“Sebentar..” Alan berkata, ia mengedarkan pandangan ke seluruh gua sampai matanya menangkap sebuah cahaya masuk ke dalam gua lewat suatu lubang tepat 5 meter dari mereka.

Sebenarnya apabila dipikir, ini normal saja, gua mana yang tidak akan dimasuki cahaya matahari ke dalamnya? Alan pun pasti berpikir demikian apabila ia berada di gua yang lain. Namun gua ini? Gua tempat dirinya dan Earl bertemu untuk pertama kalinya ini tidak memiliki suatu celah pun untuk cahaya matahari masuki – kecuali pada pintu masuknya.

Alan maupun Earl yakin gua ini tidaklah memiliki lubang itu sebelumnya. Toh, tanpa lubang tersebut gua ini akan tetap terang sebab setiap batu di dalamnya seperti kristal es – yang sekarang telah berubah warna menjadi hitam – yang dapat bersinar tanpa cahaya matahari.

“Earl, sebelumnya kita sudah masuk ke gua ini sampai ujung, kan?”

“Iya.. memangnya kenapa?”

“Lihatlah itu. Ada lubang. Ini aneh, sayang. Gua ini tak memiliki lubang untuk cahaya matahari masuk, sebelumnya.”

Setelahnya Earl pun berjalan menuju lubang yang ditunjuk Alan. Alan mengikutinya tentu saja. Ia menyentuh lubang tersebut dan mengernyit heran kala melihat pecahan di sekitarnya – yang tak begitu terlihat sebab pecahan itu berwarna hitam, namun Earl masih dapat melihat retakannya.

“Ini.. bukan lubang yang terbentuk secara alami, Alan,” ucap Earl. Ia mengambil tongkat sihirnya di jubah dan menerangi sekitar lubang tersebut, supaya Alan yang berada di belakang tubuhnya dapat melihat pecahan yang dilihatnya itu dengan jelas.

“Ada seseorang yang melubanginya. Apabila dilihat dari ukurannya, maka lubang ini cukup untuk dimasuki seorang fairy.”

Sedikit kujelaskan, fairy di Azure dapat merubah wujudnya menjadi seorang peri lengkap dengan sayap dan bisa juga berubah kembali menjadi wujud manusia seperti Alan juga Earl. Begitu pula dengan Elf, mahkluk kecil itu pun juga dapat merubah ukurannya.

“Kamu benar, Earl. Kalau begitu bawalah dahulu tiara dan kalung milik Eve. Kita kembali ke istana sekarang untuk memberitahu yang lain mengenai lubang dan juga mahkota ini.”


“Earl! Alan!”

Baru saja Alan juga Earl memasuki singgasana, mereka dikejutkan oleh Herold juga Edward yang berada di sana. “Kalian sedang apa di sini?”

“Duduklah dahulu, kami sepertinya menemukan sesuatu.”

“Ya kami juga menemukan sesuatu.”

Alan juga Earl duduk di tempat mereka berhadapan dengan Herold juga Edward. Ketika Earl menaruh tiara juga kalung milik Eve di atas meja, elf dan fairy itu membelalakkan mata. “Ini..”

“Benar, ini berada di gua yang sempat runtuh kemarin,” Earl berkata, “Juga, gua itu memiliki banyak keanehan sekarang. Gua itu menghitam sepenuhnya, di sana aku menemukan tiara dan juga kalung milik Eve. Juga.. ada lubang di sana, kalian tahu kan bahwa gua itu adalah salah satunya gua yang tidak memiliki lubang kecuali pada pintu masuknya?” lanjutnya.

“Lubang?”

“Mhm, seukuran dengan seorang fairy. Dapat aku pastikan lubang itu adalah bukan lubang alami yang terbentuk sebab reruntuhan gua atau apa, tetapi dilubangi oleh seseorang.”

“Sepertinya kecurigaan kita makin masuk akal, Edward.”

Alan juga Earl mengernyitkan dahi mendengar ucapan Herold. Apakah dua kepercayaan Alan ini mengetahui sesuatu dibalik menghitamnya gua dan kekeringan air yang terjadi di Azure sekarang ini?

“Kecurigaan apa?” tanya Alan.

“Tadi kalian memberitahu bahwa guanya berubah warna menjadi hitam.” Alan membenarkan ucapan Edward. “Dan kekurangan air akhir-akhir ini? Itu pastilah pekerjaan seseorang.”

“Jelaskan apa maksud kalian dengan benar, jangan dipotong begini, Edward.”

“Maksud kami, satu-satunya kerajaan yang dapat merubah sesuatu menjadi hitam adalah Eigenlicht, dan air? Selain Azure, para peri Eigenlicht lah yang memilikinya.”

“Maksudmu Eigenlicht lah yang melakukan semua ini? Atas dasar apa?” Earl bertanya, membuat Herold juga Edward memandang Alan dengan tatapan aneh mereka.

Earl semakin bingung.

Apakah Eigenlicht dan Alan mempunyai sesuatu?

“Zelene, ratu Eigenlicht adalah seseorang yang pernah ditolak oleh raja kami ini, Earl. Ah bukan Alan yang menolaknya, tetapi ayah dari Alan, raja Azure yang kelima. Karena apa? Karena ramalan dahulu mengatakan bahwa Eigenlicht dan Azure tak akan bisa bersatu dengan baik.”

“Jadi..?”

“Ada kemungkinan Zelene melakukan ini, untuk membalas dendamnya. Apalagi baru-baru ini, kalian memperkenalkan Eve.”

Benar seperti kata Jeremy kemarin, selepas mereka selesai dengan kuliah, mereka pergi bersama. Jeremy berkata bahwa ia ingin mengajak Jingga untuk pergi bersama, sebab jarang keduanya pergi ke tempat selain studio musik milik Avenir.

Sebenarnya sih, kalaupun Jeremy mau mengajaknya ke studio untuk menulis lagu lagi, Jingga tidak masalah. Toh, selama ini lelaki manis itu menikmati ketampanan seorang Jeremy Theodore kala serius dengan lirik-lirik juga irama musiknya.

“Jadi kita mau kemana?” Jingga bubuhkan tanya pada Jeremy yang tengah menyetir.

“Aku lagi kangen masa-masa sekolah.”

Jingga mengernyitkan dahi, menatap Jeremy bingung, “Terus?”

“Ya aku mau ajak kamu ke sekolah aku dulu. Aku udah minta ijin sama yayasan sekolah aku buat kita main-main ke sana pakai seragam kaya anak SMA.”

Sontak Jingga tertawa keras, lelaki di hadapannya ini memang berbeda. Jika biasanya para lelaki akan mengajak kekasihnya untuk ke pantai, taman bermain, atau mall untuk berkencan, Jeremy justru mengajaknya ke sekolah.

“Ini jam berapa, Jer? Apa siswa-siswanya nggak sekolah?”

“Nah itu, justru kemarin kepala sekolah pengen aku dateng waktu anak-anak di sana pada sekolah. Biar dijadiin teladan katanya, kan dulu aku berprestasi.”

“IH? SOMBONG!” Jeremy tertawa, ia bercanda. Ya, walau memang benar sih, kepala sekolahnya dulu pernah meminta ia untuk datang dan memberikan beberapa kata sebagai alumni.

Dan baru sekarang Jeremy memiliki waktu luang, dan ia gunakan itu juga untuk menghabiskan waktu bersama Jingga.


Keduanya sekarang telah sampai di sana. Sebelum mereka akan menghabiskan waktu untuk melihat-lihat, Jeremy mengajak Jingga untuk bertemu dengan kepala sekolah lamanya.

“Jeremy Theodore! Hahaha, apa kabar kamu?!”

Jeremy disambut oleh sapa yang hangat di sertai pelukan, membuatnya melepas gandengan dengan Jingga sebentar untuk membalas pelukan sang kepala sekolah. “Baik, Pak. Hahaha, maaf saya baru sempat untuk mampir lagi.”

“Bapak pahamlah, Jer sibuknya kamu gimana. Kuliah sama kerja sebagai member band? Wow, I'm so proud of you!”

Jeremy hanya tertawa. Kemudian dapat ia rasakan Jingga meremat jaket bagian belakangnya. Ah, lelaki manis kekasihnya itu merasa takut rupanya – ingatkan waktu pertama kali Jingga bertemu dengan avenir dan bersembunyi di balik tubuh Hendra?

“Eh? Bapak baru lihat ada orang lain hahaha, siapa ini?”

“Pacar saya, Pak. Namanya Jingga.”

Sang kepala sekolah membulatkan mata dan mulutnya. Melihat reaksi si kepala sekolah, Jingga makin mendekatkan tubuhnya ke Jeremy. Ia takut juga dengan pandangan guru Jeremy padanya.

“Kalo gitu, saya Wira, gurunya Jeremy dulu. Pinter kamu cari pacar Jer, cocok gitu kamunya ganteng dianya cantik.”

Jingga tertawa canggung. “Kalo gitu kalian bebas mau ngapain di sini, kemarin Jeremy udah ngabarin saya kalo mau main ke sini.”

Jika sudah begini, maka Jeremy pamit keluar dan membawa Jingga untuk berkeliling di sekolahnya ini. Bercerita soal tempat-tempat yang memberi banyak kenangan kepadanya.

“Hahaha, terus taman ini ya, aku dulu selalu kabur ke sini waktu lagi nggak mau belajar. Aku inget banget kerjaan aku kalau di taman ini ya cuma ngelamun atau kadang tidur di sini, tempat kita duduk sekarang.”

Dibawah pohon besar, disitulah mereka berada sekarang, dengan Jingga menaruh kepalanya di bahu Jeremy. “Waktu sekolah, kamu seru ya?”

“Iya banget. Aku selalu enjoy setiap harinya di sini, entah itu waktu aku belajar atau waktu aku bolos. Sekolah ini udah kaya rumah ketiga aku, Jingga?”

“Rumah ketiga? Dua kali!”

Jeremy tertawa, ia mengelus lengan Jingga yang tadi ia rengkuh. “Rumah kedua aku kan kamu, sayang.”

So cheeesy.

Tawa Jeremy makin pecah di saat Jingga menegakkan tubuhnya dan memukul lengannya pelan. Jingga melihatnya, melihat tawa milik Jeremy.

Perasaannya menghangat melihat itu, entah bagaimana tawa milik Jeremy juga membuat sudut bibirnya tertarik. Jingga, lelaki manis itu, tak akan membiarkan senyum favoritnya menghilang lagi.

“Jer.” Masih dengan tawanya, Jeremy menatap Jingga.

Ketika netra Jingga bertemu tatap dengan netra Jeremy, Jingga tersenyum. Sering ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah Jeremy orang yang tepat untuknya? Apakah ia orang yang tepat untuk Jeremy?

Dan kini, melihat tawa yang disertai eyesmile milik Jeremy, Jingga menemukan jawabannya, kala netranya bertemu tatap dengan netra Jeremy, pertanyaan Jingga terjawab.

Jawabannya adalah iya, Jeremy orang yang tepat untuk Jingga, pun sebaliknya, bagi Jeremy tak ada yang lain selain Jingga yang dapat masuk ke hatinya.

Mereka telah melewati satu masalah yang berhubungan dengan masa lalu keduanya, namun bukan berarti tak akan ada masalah lagi di dalam hubungan mereka. Jika sebelumnya, Jingga memutuskan untuk menjauh, maka nantinya ia tak akan menjauh. Jingga mau menghadapinya bersama. Bersama dengan Jeremy.

Sebab tak pernah sekalipun terlintas di pikiran Jingga untuk kembali jauh dari Jeremy, cinta dan juga kebahagiaannya.

“Jeremy.”

“Ya, sayang?”

Hati Jingga menghangat. “Makasih banyak sudah hadir di kehidupan aku buat tulis salah satu kisah terindah yang bakal selamanya terukir di dalam hati aku. I love you, Jeremy.”

Setelahnya, Jeremy tersenyum, ia memberikan satu kecupan di puncak kepala Jingga dengan sayang. “Terima kasih juga, sayang. I love you more.”

Amour et Bonheur French words that mean 'Love and happiness'

Selepas dari backstage untuk bertemu dengan Avenir, akhirnya tepat pada pukul 16.30 Jingga keluar dari sana dan mencari tempat duduk untuk melihat keempat- ah bukan ketiga teman dan satu orang yang dicintainya untuk tampil di konser perdana mereka.

Matanya mencari-cari sampai akhirnya ia bertemu tatap dengan kedua kakak dan adik yang sekarang akrab dengannya, Ankasa juga Kayana. Keduanya memanggil Jingga untuk duduk di tengah-tengah mereka. Dan tentu saja Jingga menurutinya, ia duduk di barisan pertama.

“Lo udah siap?”

Jingga mengernyitkan kening mendengar pertanyaan dari Ankasa, Siap? Siap apa sih yang sedari tadi dibicarakan oleh Hendra juga Ankasa?

“Siap apa sih, Kak?” Ankasa tidak menjawab, Kayana pun juga diam kala Jingga menatapnya.

'Yaelah dikacangin mulu gue hari ini' batinnya sedikit miris.

Namun tak mau mengambil pusing, Jingga menyamankan duduknya. Waktu terasa begitu cepat, sebab sekarang Avenir sudah muncul di panggung menyanyikan beberapa lagu-lagunya yang tentu sudah tak asing lagi bagi Jingga.

Sebab Jingga sudah melihat mereka latihan beberapa kali dulu.

Jingga menikmatinya, menikmati penampilan Avneir yang tak pernah sekalipun mengecewakannya. Noah, Aidan, Hendra, dan juga Jeremy selalu berhasil membuat dirinya juga para penonton yang lain terpukau.

Terlebih lagi Jeremy.

Sang gitaris yang beberapa bulan ini dekat dengan Jingga itu, berhasil membuat Jingga terpukau. Terlebih ketika Jeremy tak sekalipun melepas pandangan dari Jingga selama tampil. Jika pun ia memutus kontak mata dengan Jingga, Jeremy hanya akan melihat gitarnya.

Hingga sampai di penghujung acara, tepat pada pukul setengah tujuh, selepas Avenir menjawab beberapa pertanyaan dari penonton yang ditulis di kertas sebelum mereka masuk ke gedung ini, Jingga dan semua yang lain dikejutkan dengan penampilan tambahan.

Bukan, bukan penampilan tambahan yang membuat mereka terkejut. Namun kini, Jeremy yang biasanya hanya akan memainkan gitarnya, berdiri di tempat Noah, sang vokalis, sedangkan Noah dan yang lainnya hanya duduk, ya walau mereka tetap memegang alat musiknya sendiri-sendiri.

Jingga terkejut, tentu saja. Lelaki itu bisa menyanyi? Yah.. walau Jingga yakin semua orang pasti bisa bernyanyi, namun Jeremy? Selama beberapa bulan saling mengenal, ini hal yang baru bagi Jingga.

“Hai? Kaget ya gue pegang mic dan gitar bersamaan? Nggak pernah lihat gue nyanyi kan ya?” Jeremy berkata sambil terkekeh.

“Jujur, gue juga gugup nih mau nyanyi. apalagi gue diliatin sama orang tercantik setelah mami gue. Tuh di depan gue persis.”

“CHEEESYYYY!!” Noah menyahut dari belakang. Jingga? Jangan ditanya, lelaki manis itu sudah memerah sempurna wajahnya, bersyukur pada penerangan yang remang-remang, wajah memerahnya tak begitu kelihatan.

Jeremy terkekeh. “Okay, di penghujung acara ini, sebelum kita tutup konsernya, gue mau kasih penampilan khusus buat Jingga, Jingga Aksara, cowok yang cuma kenal gue beberapa minggu udah bikin gue jatuh cinta. Lucu gak sih? Hahahaha, But i'm not surprised, tho, gue gak kaget kalau gue jatuh cinta secepet itu sama dia. Siapa coba yang enggak? Bahkan Noah aja tergila-gila sama Jingga.”

“Eh iya bener lo, Jer! Jingga i love you!!” Noah kembali berteriak, namun setelahnya ia mendapat pukulan di kepalanya dari Aidan dan diikuti tawa Hendra. Memang tidak bisa serius.

“Hahahaha, maklumin aja ya, lo pada gak kaget lagi kan ya sama avenir begini?”

“Ekhm, jadi, mulai sekarang?”

Sorakan dari kursi penonton menandakan bahwa Jeremy harus memulainya. Menarik nafasnya, Jeremy mulai memainkan gitar, diikuti dengan permainan musik dari member Avenir lainnya.

Suara lelaki itu, lembut. Jingga tak mau berbohong, Jingga jatuh cinta pada suara berat nan lembut milik Jeremy. Bagaimana untuk mendeskrepsikannya, Jingga tak tahu, tapi satu Jingga jatuh cinta kepada semua yang ada di Jeremy. Entah suara, wajah, maupun kebaikan hati dan kelembutan lelaki itu.

Singkatnya, ia jatuh, pada Jeremy dan tak berniat untuk bangkit maupun mencoba untuk duduk, intinya, cintanya pada Jeremy akan seperti ini tak akan pernah berkurang atau menghilang sama sekali.

Dan kala memasuki akhir lagu, Jeremy turun dari panggungnya, ia mendekat ke arah Jingga yang masih duduk dan menariknya untuk berdiri.

Baby, i'm here To ask you something Please, stay by my side Be mine, only mine

Tak ada lagi yang dinyanyikan, hanya instrumental dari ketiga member Avenir yang lain.

“Jingga.”

Jingga menatap Jeremy yang memegang mikrofon, dihadapannya. Lirik pada akhir lagu itu, membuat Jingga sadar, apa yang tengah dilakukan lelaki itu sekarang. Jingga kelu, ia tak dapat berbicara.

Lelaki manis itu hanya menunduk, tak mau menatap Jeremy yang sedari tadi menatapnya dengan dalam. Jingga tak berniat untuk mendongak. Namun, semua itu, keinginannya percuma, sebab Jeremy meraih dagunya untuk menatap lelaki itu.

“Jingga Aksara.”

“H-hm?”

Jeremy terkekeh, “Aku tahu, ini cheesy banget, dan kamu pasti malu diginiin di depan semua orang. Tapi, Jingga, aku mau semua orang, aku mau seluruh dunia tahu kalau kamu itu cinta juga bahagianya aku. Kaya yang aku nyanyiin di lagu tadi, tanpa kamu aku itu kaya boneka tanpa jiwa, lebih tepatnya kaya orang tanpa jiwa. Jingga, I know it's so cheesy dan mungkin sedikit kekanakan, tapi please, be mine, Jingga. Only mine, only Jeremy Theodore's

Tempat itu hening sekarang, menunggu jawaban dari mulut Jingga.

Memberanikan diri, Jingga tatap Jeremy. Ia mendekat kearah lelaki itu, berjinjit, mendekatkan indra pembicaranya tepat di mikrofon Jeremy, berhadapan dengan Jeremy dengan wajah mereka pada jarak 5 centi meter.

I loved you first, Jeremy. Dan kamu masih tanya jawaban aku?”

Seketika sorakan memenuhi tempat dimana Avenir tampil. Jeremy dengan segera bawa Jingga ke dalam pelukan. “I love you too.” ucapnya.

Can we say that, Jingga fall first but Jeremy fall harder?

“ARASY!”

Arasy terlonjak kaget kala mendengar teriakan seseorang memanggil namanya. Lelaki manis yang awalnya sibuk memakan es krimnya itu langsung berdiri dari duduknya dan menatap ke arah suara.

Kalan dan Sean ada di sana. Arasy tahu, Kalan lah yang memanggilnya tadi. Maka dari itu sekarang sahabat Sean itu merasakan pukulan di kepalanya dari Sean — sebab membuat Arasy kaget. —

“Kak Se!!” Arasy menaruh cup es krimnya dan melambai dengan ceria ke arah Sean. Segera, Sean pun mendekat kearah Arasy dan memeluknya erat.

Sudah sebulan lebih semenjak dirinya pulang untuk ulang tahun Arasy dan kini akhirnya ia bisa memeluk tubuh kecil Arasy lagi sekarang. Sean rindu, begitu juga dengan Arasy..

“Kakak kangen banget, sayang.”

“Aku lebih kangen,” Arasy berbisik di telinga Sean pelan, merasakan kehangatan dari pelukan Sean, suaminya.

“Heh, udah dulu please, banyak paparazi, entar tiba-tiba ada berita 'Sean Anderson dan suaminya bermesraan di bandara', gue yang ribet.”

Memang dasar Kalan.


Memasuki rumahnya dan Arasy, Sean tersenyum bahagia. Ia merasa senang, sekarang ia bisa tidur di rumah ini — rumah yang dibelinya sewaktu ia mendapat penghasilan pertamanya dahulu — bersama dengan Arasy setiap harinya.

“Kak Se mandi dulu, Rasie aja yang beresin barangnya kakak.”

“Eh? Jangan sayang, kamu istirahat aja okay? Jangan kecapekan.”

Sean menghentikan Arasy yang mau membawa kopernya ke dalam kamar. Sean tak mau cintanya kelelahan.

“Ih! Kak Seee!”

Sean terkekeh, ia melepas jasnya kemudian membawa Arasy ke dalam pelukan. Masih dengan posisi sama, ia bawa tubuh mereka untuk duduk di sofa ruang keluarga.

“Nggak boleh kecapekan, sayang. Babiesnya daddy ini masih kecil masa mau diajak buat beres-beres?” Sean berucap, menaruh tangannya di perut Arasy yang masih terasa rata.

Arasy bergidik geli merasakan tangan Sean di perutnya. Apalagi ketika mendengar Sean mengajak bayi di perutnya berbicara, Arasy merasakan kupu-kupu di perutnya. Hatinya menghangat.

“Kak Sean, kakak kan juga capek pasti habis perjalanan jauh,” Arasy mengelus lembut kepala Sean yang sekarang tenggelam di perutnya, sambil sesekali memberikan kecupan di sana.

“Kakak nggak capek. Mana ada kata capek kalo mau ketemu kamu sama babies?”

Arasy tersenyum. Tak mengerti lagi, bagaimana bisa Sean selalu membuatnya seperti ini. Jatuh hati.

“Kak Se, kakak mandi dulu ya? Nanti beres-beresnya berdua aja gimana?”

“Oke, kakak beres beres ¾-nya kamu ¼-nya aja,” Sean berucap, ia mengecup sekali lagi perut Arasy setelahnya pergi meninggalkan lelaki manisnya duduk di sana untuk mandi, sebelum ia mendengar protes dari mulut lelaki manis itu.

“IHHH MANA BISA BEGITU!”

Kan.

Hari ini rasanya begitu cepat, entah bagaimana sekarang keduanya telah selesai dengan kegiatan — beres-beres-barang-Kak-Se —mereka.

“Kak Se, udah mau bobo?”

Netra Sean yang awalnya memejam, kini terbuka. Menatap kearah lelaki manis yang berada di pelukannya, yang kini menatapnya dengan tatapan lucu.

“Kenapa?”

“Rasie mau ngobrol sambil dipeluk. Tapi kalo kakak ngantuk bobo aja, besok aja Rasie baru ngobrol.”

Sean tertawa, ia mengeratkan pelukannya dengan Rasie, membawa lelaki manisnya untuk lebih dekat pada tubuhnya.

“Mau ngobrol apa, hm?” tanya Sean, ia mengelus lembut rambut berwangi bayi milik Arasy.

“Ngga, Rasie cuma mau bilang makasih aja ke Kak Se.”

“Hm? Kenapa?”

Arasy melepas pelukan, ia menegakkan tubuhnya untuk bersandar di sandaran kasur, mengajak Sean untuk melakukan hal sama dengan dirinya. Dan tentu saja Sean mengikutinya.

“Kenapa? Kamu kenapa suruh kakak duduk? Mau bicara serius yaaa gemesnya kakak ini, hm?”

Arasy tersenyum dan menggeleng, tetapi setelahnya ia merebahkan tubuhnya di kaki Sean, menenggelamkan wajahnya di perut Sean dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sean.

Ah, lelaki itu mau tiduran di pangkuannya? Gemas sekali.

“Hey? Hahahaha gemes banget sih kamu tuh. Tapi apa badannya nggak sakit hm?”

Arasy mendongak dan menggeleng, “Enak gini.”

Sean tertawa. Ia mengelus surai Arasy sekali lagi kemudian berucap, “Kamu tahu nggak, sayang? Kakak seneng banget bisa pulang sekarang dan temenin kamu. Maaf ya sayang? Kakak terlalu sibuk selama ini, bahkan waktu kamu tahu kamu bawa babies kakak nggak bisa pulang. Rasie kakak tahu kata maaf ini nggak cukup buat menebus semua kesabaran kamu selama nikah sama kakak. Tapi kakak serius, kakak minta maaf sama kamu, karena nggak bisa selalu ada di deket kamu seperti kamu yang selalu ada di deket kakak.”

Arasy menegakkan tubuhnya di pangkuan Sean, ia memeluk leher kakak kesayangannya itu dan mengecup pipinya.

“Kalau gitu, kata terima kasih Rasie ke kakak karena udah pilih Rasie juga nggak akan pernah cukup. Rasie berterima kasih banyak ke Kakak karena kakak pilih Rasie sebagai pasangan hidup kakak, karena kakak jadiin Rasie sebagai alesan kakak kerja keras selama ini. Kak Sean nggak akan pernah tahu seberapa bersyukurnya Rasie bisa punya kakak sebagai suami Rasie.”

Sean tersenyum mendengarnya, hatinya menghangat. Dengan lembut ia bawa wajah Arasy untuk menatapnya. “Kamu juga nggak akan tahu seberapa bersyukurnya kakak punya kamu, sayang. Setiap malam, kakak berdoa, berterima kasih sama Tuhan karena udah bawa kamu ke hidup kakak, nggak pernah sekalipun nama kamu kakak lewatkan di doa. Kakak sayang— ah enggak, kakak cinta kamu, Arasy. Sangat cinta,” Sean berhenti sejenak.

“Ditambah, sekarang ada buah cinta kita di perut kamu. Kakak nggak tahu lagi harus bersyukur berapa kali karena itu. Terima kasih banyak, sayang,” lanjut Sean, ia menempelkan keningnya dengan kening Arasy. Menatap mata berbinar milik Arasy yang selama ini selalu buatnya jatuh berkali-kali.

“Arasy Anderson.”

“Hm?”

“Terima kasih, karena udah jadi rumah buat kakak. Terima kasih karena udah jadi tempat kakak berpulang. Thank you for being Sean's home, Arasy.”

Menatap dalam sekali lagi ke netra Arasy, Sean jauhkan kening keduanya untuk bawa tengkuk Arasy mendekat. Satu detik setelahnya, bibir mereka bertemu. Keduanya memejamkan mata, mengecap segala rasa manis dari bibir pasangannya sambil mengucapkan syukur dalam hati.

Terima kasih untuk hari ini, sebab hari ini Sean pulang ke rumahnya. Bukan negara atau rumah mewah miliknya

Namun Arasy.

Sean memang sudah semenjak lama menemukan rumah untuk hatinya. Namun sekarang ini hati Sean sudah resmi berpulang sekali lagi.

Bukan hanya pada Arasy. Tetapi pada Keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan terasa lebih lengkap.

Selamat datang ke rumah, Sean Anderson!

Seperti kata Jeremy tadi, dia menjemput Jingga ke rumahnya setelah Jingga mengijinkan.

Kini pasangan — yang belum jadi — itu telah sampai di depan rumah Jeremy, bersama dengan Jingga yang terus menggenggam jemari lelakinya dengan erat.

“Oh hai! Udah dateng juga akhirnya kamu Jingga!” Ibu Jeremy menyambut di depan rumah selepas Jeremy membunyikan bel.

“Iya tuh, bahan-bahannya juga udah Jeremy beliin nih. Mama sama Jingga dulu ya?” ucap Jeremy menyodorkan tas belanja di tangannya yang berisi bahan bahan kue yang diminta sang mami.

“Emang kamu mau pergi lagi, Jer?”

“Eoh.. iya. Tadi Avenir minta kumpul sebentar. Bentar aja kok,” Jeremy menjawab pertanyaan sang mami kemudian menoleh kearah Jingga, “Kamu nggak papa aku tinggal bentar?”

Jingga yang sedari tadi diam mengangguk, “Ngga papa, Jer. Sekalian aku temenin tante.”

“Yaudah aku berangkat dulu ma. Dah sayang!”

Jeremy berpamitan pada sang ibu kemudian lanjut kepada Jingga. Ia mengusak kepala lelaki manis itu sebelum kembali masuk ke dalam mobilnya.

“Eyy, itu mukanya merah kenapa hm?”

“Tanteeee.”

“Hahahaha gemes banget sih ini calon mantunya tante. Ayo masuk-masuk, tante ngga sabar mau buat cookies bareng kamu!”

Seharian ini sedari jam menunjukkan pukul 11 sampai sekarang pukul 3, Jingga habiskan waktunya di rumah Jeremy.

Membuat cookies, membantu mami membersihkan rumah, dan terkadang juga duduk mengobrol mengenai hal-hal kesukaan keduanya sampai ke masa kecil Jeremy.

Kecanggungan yang dibayangkan Jingga sebelumnya benar benar tidak ada mengingat ibu dari Jeremy ini selalu membawa suasana yang baik. Jingga bahagia bisa dekat dengan mami.

“Eh? Kenapa itu senyum-senyum sendiri?”

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Jingga yang telah selesai mandi — sebab dipaksa oleh mami dan dipinjamkan baju milik Jeremy — mendongak kala mendengar suara Jeremy. Ia berada di kamar milik lelaki itu, mami yang memintanya untuk beristirahat di sana.

“Oh hai, Jer!”

Jeremy terkekeh, ia duduk di sebelah Jingga sambil menaruh kantung plastik kecil di pangkuan lelaki manis itu. “Ini apa?” tanyanya.

“Tadi anak-anak beli cupcakes di dekat studio Avenir. Masih sisa jadi aku bawa deh pulang, mereka bilang suruh kasih kamu aja sekalian coba.”

Jingga mangut-mangut. Kalau boleh jujur, hatinya menghangat. Semenjak mengenal Avenir, Jingga paham bagaimana rasanya diberi kasih sayang oleh seorang sahabat, ya walau biasanya Hendra selalu mencurahinya dengan kasih sayang — dengan perkataan pedas dan kasarnya — tapi tetap saja mengenal Avenir hidup Jingga berubah.

Ketiga orang dengan karakter berbeda yang dikenalnya pada masa kuliah ini membawa banyak kebahagiaan juga suka dan duka dalam hidupnya. Jingga banyak belajar.

“Kok ngelamun?”

“Ah, enggak. Makasih ya.”

“Apa?”

“Cupcakesnya?”

Jeremy tertawa. Setelahnya lelaki itu menyingkirkan kantung plastik di pangkuan Jingga. Ia merebahkan dirinya di sofa kamar dengan paha Jingga sebagai bantal.

“Gimana tadi sama mami?”

“Seru banget!! Kamu tau Jer? Tadi tante lucu banget dia salah masukin warna ke adonan malah jadi warna hitam. Jadinya warna hitam itu di bake terus kita buat ulang lagi deh adonannya buat cookies yang mau kita buat awalnyaa, seru banget! Terus tadi di tengah tengah mama aku sempet nelfon, dia ngobrol sama mami kamu. Lucu deh dengerinnya. Jugaaa, tadi mami cerita cerita soal masa kecil kamu, kamu mimpi jadi ini jadi itu. Keren!”

Jeremy hanya mendengarkan. Sebuah kesenangan sendiri baginya Jingga bercerita seperti ini. Suara lembut dan riangnya selalu menjadi satu hal yang ingin Jeremy dengarkan.

“Gitu.. seneng dong?”

“Seneng banget lah? Kamu nggak perlu nanya! Aku kira aku bakal canggung sama tante, tapi ternyata enggak! Hehe.”

Jeremy ikut terkekeh, ia ulurkan tangannya keatas dan mengelus tengkuk Jingga dengan lembut. “Aku seneng kalau kamu seneng.”

Ucapannya yang spontan itu berhasil membuat Jingga memerah. Hei, apa apaan lelaki itu?

“I-ih kamu apaan?”

Jeremy tertawa. “Stop ketawanya! Tadi sama Avenir ngapain aja?”

“OH IYA!” Jingga terlonjak kaget kala Jeremy berteriak sambil mengubah posisinya menjadi duduk.

“Jer astaga! Santai!”

“Hahaha maaf, aku terlalu semangat.”

Jingga mengangguk. “Jadi apa?”

Jeremy bawa tubuh Jingga berhadapan dengannya. “Tadi aku sama Avenir diskusi soal beberapa hal dan akhirnya kita setuju.”

“Mhm, setuju soal apa?”

“Avenir bakal ngadain konser sendiri!”

“Hah?”

cw // kiss scene song recommendation; • Perfect by Ed SheeranA Thousand Years by Christina Perri

“Udah selesai chat sama mamanya, hm?”

Arasy yang tengah mematikan ponselnya menoleh kearah Sean, yang duduk di sofa kamar mereka, dan kemudian mengangguk.

“Udaah! Nanti mau telpon lagi katanya.. ngg.. sama papa tunggu papa selesai mandi sama sarapan!” ucap Arasy sembari duduk di sebelah Sean, mengambil tangan kakak kesayangannya itu untuk kembali melingkari tubuhnya.

Cuddle di atas sofa pagi-pagi buat lepas kangen, begitu Arasy menyebutnya.

“Mau begini terus sampai nanti waktunya dinner, ya sayang?”

“Iya!”

“Kangen banget sama kakak ya, hm?”

“Banget banget banget! Rasy seneng deh, kakak mulai bulan depan udah kerja di sini nggak pergi-pergi lagi.”

Ngomong-ngomong tentang itu, benar, Sean sudah bulatkan keputusan bahwa ia akan melepas tugas untuk keluar negeri dan menyerahkan semua itu ke manager tiap divisi perusahaan.

“Iya sayang, maaf ya? Kita hampir setahun menikah kakak baru punya waktu buat kamu bulan depan nanti,” ucap lelaki tampan milik Arasy itu sambil mengusak sayang kepala Arasy yang bersandar di dadanya.

“Nggak papa, Kak Se. Rasy paham kok, kakak udah kerja keras buat sampai ke titik ini dan pasti susah buat hilangin kebiasaan itu ya?”

Sean terkekeh, “Iya, susah. Tapi selama ini kakak coba kok, sayang. Semenjak nikah sama kamu kakak nggak sesibuk waktu masih lajang, dan kakak bersyukur kamu masih mau tunggu kakak dengan sabar. Makasih ya sayang?”

Mendengarnya, Arasy cemberut. Lelaki manis itu terharu. Mau berapa kali suaminya ini berucap terima kasih? Perlu Sean tahu, bahwa ia merasa emosional kala Sean mengucapkan terima kasih dan maaf padanya. Bahkan saat membaca surat surat dari Sean tadi saja air matanya mengalir deras.

Arasy merasa begitu dicintai oleh lelakinya. Ya walau memang sih, Sean mencintainya, dan hanya dirinya sejak lelaki tampan itu hidup di dunia.

Perlukah Arasy bersyukur bisa menjadi cinta yang pertama juga terakhir dari Sean? Oh tidak perlu bertanya lagi, lelaki manis itu tak pernah lupa untuk mengucapkan rasa syukurnya kepada Tuhan dalam setiap doanya, mengucapkan terima kasih karena telah memberikan Sean ke dalam hidupnya sebagai pendamping.

“Kakak jangan ngomong makasih ke Rasy lagi, ya? Kak Se tau nggak sih, Rasy selalu mau nangis kalau Kakak bilang itu ke Rasy.”

Sean tertawa, dengan gemas ia bawa si lelaki manis ke dalam pelukan erat. Entah bagaimana caranya, lelaki manis ini selalu dapat membuat Sean jatuh cinta berkali-kali.

“Ih kakak ih! Nggak bisa nafas Rasynya!”

Melepas pelukan, tawa Sean meledak. Lucu sekali suami kecilnya ini.

“Mana sini? Nggak bisa nafas nanti kakak kasih nafas kakak ke kamu.”

“EH?”

Pipinya yang tadi telah memerah kini tambah memerah. Lucu sekali.

“Hahahaha gemes banget sih kamu! Sini peluk dulu sini sayangnya kakak!” Sean menarik Arasy kembali ke dalam pelukan, bukan pelukan erat yang buat Arasy tak dapat bernafas seperti tadi. Namun, Sean kembali bawa tubuh kecil Arasy ke posisi mereka di awal.

Posisi mereka yang begitu manis dengan Sean duduk bersandar pada bagian belakang sofa dan Arasy disebelahnya sambil memeluk Sean, menyandarkan kepalanya ke dada Sean, dengan kedua kakinya berada di atas paha milik suaminya. Posisi yang membuat keduanya mudah untuk saling bertatap mata.

“Apa? Kenapa lihatin kakak gitu, hm?”

Arasy menggeleng pelan, lelaki manis itu hanya mau menatap wajah Sean, suaminya yang begitu ia rindukan.

“Nggak papa, Rasy sayang kakak.”

Sean terkekeh, ia mendaratkan bibirnya ke bibir Arasy, memberikan kecupan gemas.

“Kakak lebih sayang kamu, Rasy.”

Keduanya melempar senyum satu sama lain. Menyelami netra pasangannya itu sembari dalam hati berucap syukur, syukur, dan syukur. Sebab Tuhan telah memberikan mereka kebahagiaan yang tiada taranya kala dipertemukan dengan satu sama lain.

Drrrt!

“Yaampun Rasy kaget!”

Sean tertawa keras setelahnya, suara deringan ponsel milik Arasy membuat kegiatan -mari-saling-tatap- itu terhenti. “Lihat dulu gih, itu siapa?”

Arasy mengangguk, ia berdiri untuk mengambil ponselnya di meja sebelah sofa dan menatap nama si penelpon.

“Oh papa sama mama udah selesai sarapan!”

“Yaudah angkat dulu sini ke sebelah kakak. Kakak mau sapa mama papa juga.”


Benar kata orang kalau waktu berlalu begitu cepat bersama orang yang kamu sayangi. Terbukti sekarang, setelah hampir ber jam-jam menghabiskan waktu dengan cuddling di sofa dan di kasur, mereka kini sudah berada di mobil milik Sean. Menuju restoran tempat mereka akan makan malam.

“Kak Se, masih jauh ya?”

Sean yang tengah menyetir menatap ke arah Arasy sekilas. Lelaki manis itu memainkan tangannya yang tidak memegang setir – sebab tadi ditarik oleh Arasy untuk digenggam – dengan bosan.

“Masih 15 menit lagi, sayang. Bosen ya? Mau setel lagu?”

“Lagunya pinkfong yah, boleh?”

Sean terkekeh, ia kemudian mengangguk. Memang dasar anak kecil, batinnya sembari sesekali menatap Arasy yang sibuk menyambungkan ponselnya dengan bluetooth di mobil Sean.

“Udah kesambung?”

“Mhmm! Bentar kak mau carii!”

Sean mengangguk, ia kembali fokus pada jalanan di depannya, membiarkan Arasy sibuk dengan lagunya.

Sedari tadi, Sean berpikir bahwa lagu dengan suara anak-anaklah yang akan memenuhi mobilnya, namun tidak, rupanya Arasy memasang lagu yang lain.

A Thousand Years, milik Christina Perri.

“Nggak jadi pake lagu pinkfong, hm?”

“Nggak! Suasananya lagi romantis!”

Sean tertawa, dan kala mobilnya berhenti pada rambu lalu lintas. Ia menatap Arasy yang duduk di sebelahnya. Lelaki manis itu memejamkan matanya, menikmati suara milik Christina Perri yang mengalun di dalam sana.

“Arasy.”

“Hm? Iya Kak Se?” jawab yang dipanggil sambil membuka mata, menatap Sean.

Tanpa ijin, Sean mendekat. Ia memberikan sebuah kecupan manis di bibir milik Arasy. “I love you,” bisiknya. Lalu kembali Sean memejamkan mata dan mendaratkan bibirnya di atas bibir Arasy, melumatnya pelan dengan singkat. “I'm so happy to have you in my life, Arasy,” bisiknya lagi sebelum mendaratkan kecupan di puncak kepala lelaki manisnya.

Arasy terkejut, tentu saja. Diberikan ciuman juga ucapan cinta tiba tiba dan setelahnya si pelaku hanya tersenyum, kembali fokus pada jalanan — padahal belum sempat Arasy membalas ciumannya — membuat Arasy begitu malu, jantungnya berdebar kencang.

Meski ini bukan kali pertama Sean menyatukan bibir mereka, namun tetap saja. Arasy malu!

“Kak Se..”

“Hm? Kenapa? Malu ya?”

Tentu saja, Arasy malu dirinya diejek seperti itu. Maka dengan pelan ia menggeleng – tak mau mengakui.

“Rasy nggak malu.”

“Terus kamu panggil kakak mau apa, hm?”

Hening sejenak. Arasy menundukkan kepalanya. Membuat Sean menoleh sekilas kemudian terkekeh. “Hei kenapa? Sini lihat kakak,” ucapnya.

Satu menit berkutat dengan pikirannya sendiri, Arasy mendongak setelahnya. Dengan secepat kilat ia berdiri dari duduknya dan mengecup pipi Sean, membuat lelakinya membulatkan mata terkejut.

“Rasy love you too, Kakak sayang!”

Sean hanya dapat terkekeh gemas setelahnya. Suami kecilnya memang paling menggemaskan!


Sepi. Satu kata yang dibatin oleh Arasy begitu dirinya memasuki restoran bersama dengan Sean.

“Kak?”

“Hm?” Sean yang baru mendudukkan dirinya di depan Arasy selepas menarikkan kursi untuknya menjawab dengan gumaman.

“Restorannya sepi banget yah?” Matanya menatap ke sekitar, benar, hanya beberapa waiters saja di sana yang tengah sibuk di bar.

“Kakak cuma mau berduaan sama kamu.”

“Kakak pasti habisin banyak buat ulang tahun Rasy ya..”

“Ini pertama kalinya kamu ulang tahun sebagai suami kakak, sayang. Kakak mau ulang tahun kamu yang pertama bersama kakak ini spesial.”

Arasy tersenyum manis, hatinya menghangat. Kehadiran Sean di sini saja sudah terasa spesial baginya, apalagi dinner hanya berdua di restoran besar nan klasik yang berada di kota mereka? Tak pernah sekalipun Arasy membayangkan ulang tahunnya akan seperti ini.

Makan malam itu terasa romantis. Iringan musik dari biola bersama aroma mawar yang terpasang di tengah meja mereka.

Arasy tak dapat mengekspresikan perasaannya lagi, apalagi saat Sean terkadang menyuapi dirinya dan membersihkan noda makanan di mulutnya. Jantungnya berdebar kencang, hatinya menghangat.

“Arasy..” Sean memanggil, ia menaruh tangannya di atas tangan Arasy. Keduanya telah selesai dengan makan malam, namun tak berniat untuk pulang.

“Iya, Kak Se?”

Sean tidak menjawab setelahnya, melainkan lelaki itu berdiri dari duduknya, membawa dirinya ke depan Arasy yang masih duduk di kursinya, dan memasangkan sebuah kalung di leher Arasy.

“Kak.. ini apa?”

One of your birthday gift,” Sean berucap singkat. Setelahnya ia berlutut dengan satu kaki di hadapan Arasy, memegang tangan lelaki manis itu, mengusap cincin pernikahan mereka yang terpasang indah di jari manis Arasy.

“Terima kasih ya sayang? Sudah hadir di dunia dan bawa kebahagiaan buat semua orang. Terima kasih sudah jadi seorang Arasy yang disukai semua orang. Di hari bertambahnya usia kamu yang ke 23 ini, bersama kakak, kakak mau kesayangan kakak ini selalu sehat. Kakak mau kesayangan kakak ini selalu bahagia. Tiap doa yang kakak panjatkan, kakak akan selalu menyebut nama Arasy, mendoakan kebahagiaan kamu setiap harinya. Arasy, selamat ulang tahun. Kakak cinta kamu.”

Arasy tak dapat menahannya lagi, tangisnya pecah. Ia langsung tarik Sean untuk berdiri dan memeluk lelaki itu erat.

“M-makasih kakak! Hiks! Rasy cinta kakak juga! Makasih banyaaak hiks!”

“Eii, kakak bilang apa soal hari ini hm? Nggak boleh nangis di hari yang bahagia— ah bukan bahagia aja, kakak nggak mau, ada air mata jatuh dari mata Rasy, okay?” ucap Sean, menangkup pipi Arasy dan menghapus air mata lelaki manis itu dengan ibu jarinya.

“Hiks.. okay.”

Sean terkekeh, ia kembali bawa Arasy ke dalam pelukan. Entah sudah pelukan keberapa hari ini ya?

“Sayang.”

“Iya, Kak Se?” Arasy melepas pelukan Sean dan mendongak, menatap suaminya itu. Menyelami netra milik Sean yang selama ini dapat ia hitung jari berapa kali sejak pernikahan mereka ia lihat secara langsung seperti ini.

Arasy tak pernah bosan menatap netra milik Sean, begitu juga sebaliknya.

Entah bagaimana bisa atau siapa yang memulai, bibir keduanya kembali bertemu. Sean memulai setelahnya, lelaki itu melumat lembut bibir Arasy, mengecap rasa manis yang sebenarnya tidak nyata namun memabukkan pada bibir milik cintanya, berkata dalam hatinya bahwa ia bersyukur, bersyukur memiliki Arasy di dalam hidupnya. Arasy membalasnya, tentu saja. Ia memejamkan matanya, merasakan setiap pergerakkan bibir sang suami di bibirnya. Tangan Sean juga entah sejak kapan sudah melingkar di pinggang ramping milik lelaki manisnya, menarik Arasy untuk semakin dekat padanya.

“I love you,” bisik Sean, sekali lagi, setelah mereka melepas ciuman mereka. Jarinya terangkat untuk mengusap bibir Arasy.

Arasy tak menjawab, ia menunduk malu. Bukan pertama kalinya Sean seperti ini, namun inilah yang selalu ia lakukan selepas mereka mengecap rasa manis pada bibir masing-masing, apalagi sekarang mereka berada di tempat umum.. ya walau restorannya sepi sih, tapi kan ada beberapa waiters yang berlalu lalang.

Melihat kelakuan Arasy, Sean tersenyum kecil. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga si lelaki manis dan berbisik, bukan ucapan cinta, hanya memanggil nama Arasy dengan marga keluarganya. “Hey, Arasy Anderson.”

Tubuh lelaki manis itu menegang, ia mendongak perlahan, menatap Sean – yang juga tengah menatapnya – dengan wajah memerah sempurna.

“I-iya?”

“Ayo dansa sama kakak sampai malam tiba.”

Rea tak dapat mendeskrepsikan perasaannya sekarang ini, bahagia, haru, semua berkumpul menjadi satu. Terlebih di saat sebuah tangan melingkari pinggangnya, mengejutkan dirinya yang sekarang tengah berada di balkon kamarnya, menatap kearah bulan yang tampak bulat sempurna.

Bulannya indah. Begitu kata Jaden tadi, maka Rea pun memutuskan untuk memandang benda yang dikatakan indah oleh lelaki yang dicintainya itu.

Selama lima tahun saling mengenal, tak pernah sekalipun ia melihat sisi lain seorang Jaden Bartels. Sosok tinggi yang selalu buatnya kesal -walau juga membuatnya jatuh cinta- itu selalu menunjukan sifat jenakanya di hadapan Rea.

Tapi disini, di kerajaan Quaver, salah satu kerajaan di Rhythm, Rea melihat sosok Jaden yang lain. Sosok yang dewasa, sosok yang melakukan apa saja demi kebahagiaan sekitarnya, sosok yang membuat Rea merasa aman dan merasa terlindungi.

Ah, tapi mau bagaimanapun juga sifatnya, Jaden selalu berhasil buatnya jatuh cinta.

“Rea..” lelaki yang memeluk pinggangnya itu mengeluarkan suara. “Hm?”

“Lo.. bahagia?”

Pertanyaan dari Jaden itu membuat Rea melepaskan tangan Jaden dari pinggangnya untuk berbalik menghadap si lelaki tampan. Malam ini, Jaden mengenakan busana putihnya, baju tidur khas kerajaan, yang berhasil membuat Rea berdebar hanya dengan menatap penampilannya.

“Bareng sama lo di sini? Gue bahagia, Jaden. Bahagia banget sampai rasanya gue mau nangis.”

Jaden tersenyum, ia tatap netra berbintang milik Rea yang dulu selalu ia kagumi -meski di dalam diam. “Rea,” panggilnya.

“Ya?”

“Gue juga bahagia. Gue bahagia bisa ngelakuin ini semua bareng sama lo. Gue bahagia bisa perjuangin lo di dunia ini dan berakhir dengan happy ending seperti yang lo mau.”

Rea tersenyum, “Jaden, ayo dansa sama gue.”


Malam itu, tanpa iringan musik, keduanya berdansa di balkon istana, ah tepatnya di balkon kamar sang ratu Quaver. Tangan kekar milik Jaden melingkar dengan apik di pinggang Rea, sedang tangan milik Rea melingkar di leher milik lelakinya.

Keduanya tak membutuhkan sebuah iringan musik, sebab sekarang, mereka hanya mau bersama dalam hening, mensyukuri hal yang terjadi sekarang. Bagaimana mereka dibawa ke dunia yang lain di mana mereka berperan sebagai sepasang suami istri yang mau berpisah dan menyelamatkan pernikahan keduanya dengan rencana yang dapat dibilang asal-asalan.

Baik Jaden, maupun Rea merasa bahagia.

“Re,” di tengah keheningan itu Jaden keluarkan suara, memanggil sosok yang tengah berdansa bersamanya.

“Ya, Jaden?” gerakan mereka berhenti, atau lebih tepatnya Jaden yang menghentikan kegiatan berdansa mereka untuk menikmati wajah cantik Rea dibawah sinar bulan.

“Gue bukan orang yang sempurna, gue lahir dari keluarga yang broken home, mama gue pergi waktu gue masih kecil, gue selama ini tinggal sama papa. Dan tiba-tiba 7 tahun lalu, papa pergi ninggalin gue. Gue seorang diri, Re. Sampai akhirnya gue ketemu sama lo, Aldo, juga Macey di sebuah audisi musik. Turned out, ketiga orang yang gue kagumi waktu audisi jadi bandmates gue sekarang.”

Rea menatap Jaden dalam diam, tak pernah sekalipun ia tahu bagaimana kisah lelaki tampan itu sebelum ini. Sebab Jaden tak pernah bercerita, dan dirinya pun tak pernah mencoba untuk bertanya.

“Jade-”

“Dan di dalem band itu, gue jatuh cinta, Re. Sosok diri lo, Reaghan Aston, sosok yang dulu selalu sembunyi waktu ketemu gue, sosok yang cerewet banget yang selalu bikin band kita kerasa hidup, dan sosok yang selama ini selalu gue buat kesel, itu sosok yang bikin gue jatuh cinta. Rea, semalem sebelum gue sama lo dibawa ke sini, gue hampir nyerah, Re. Gue nyerah karena gue pikir gue nggak akan pernah dapetin hati lo,” Jaden berhenti sejenak.

“Tapi ternyata besoknya gue dibawa ke sini, bersama lo, dan gue tahu satu fakta, bahwa gue nggak jatuh sendirian. Gue bahagia, Re. Rasanya seumur hidup gue, gue gak pernah ngerasa sebahagia ini. Dan ini semua karena lo, makasih banyak, Rea. Makasih.”

“Jaden, gue juga bahagi-”

Jaden menaruh telunjuknya di bibir Rea, “Simpan ucapan bahagia lo untuk sekarang, Re. Gue mau lo ucapin rasa bahagia lo itu waktu Rea dan Jaden sebagai bandmates ini, juga udah bersatu jadi kita.”

Rea membelalak, ia tak bodoh, ia memahami apa perkataan Jaden. “Reaghan Aston, lo mau jadi pacar gue?”

Dan tentu saja, Rea tak akan menolaknya. “Lo masih tanya? Tentu aja gue mau, Jade. Gue juga cinta sama lo!”

Jaden terkekeh sebelum membawa Rea ke dalam pelukan. Di tengah pelukan itu, dapat Jaden juga Rea rasa tubuh mereka terasa ringan, itu membuat keduanya melepas pelukan. Rea tentu saja merasa panik, apa yang terjadi sekarang?

“Jade kita-”

“Ssh, lo liat.”

Rupanya sekarang adalah waktunya Jaden juga Rea kembali ke dunia mereka. Sebab, sesuatu yang ditunjukkan Jaden tadi adalah sosok Raja dan Ratu dari Quaver yang berada di balkon tempat mereka berada tadi.

Berpelukan dengan tangan sang raja mengelus lembut perut ratunya.

“Lo udah siap buat kembali?” bisik Jaden di telinga Rea.

“Kembali buat ngerasain jadi pacar seorang Jaden? Tentu aja gue lebih dari siap.”

Selepas Rea memberikan petunjuk jalan untuk menuju ke taman istana, Jaden pun akhirnya menemukan taman dimana Rea berada sekarang. Lelaki manisnya itu kini duduk di sebuah kursi bersama dengan jam pasir di tangannya.

“Re.”

Rea yang awalnya menunduk menatap jam di pangkuannya mendongak kala mendengar suara Jaden. Segera, lelaki manis itu berdiri dan memberikan jam pasir di tangannya kepada JAden.

“Lo udah siap, Re?”

Rea mengangguk. Setelahnya ia memegang tangan Jaden -yang tengah memegang bawah jam pasir tersebut. Mereka bertatapan sejenak baru setelahnya saling melempar senyum.

“Lo.. bareng gue?”

“Gue bakal selalu bareng sama lo, Rea.”

Setelahnya, mereka membalik jam tersebut, bersama. Memegang tangan satu sama lain.

Semenit kemudian, Keduanya membuka mata dan yang dilihat oleh mereka masih sama, mereka berada di taman istana, namun bedanya, kini jam pasir di tangan mereka menghilang.

“Kita udah balik ke bulan lalu?” Rea memberikan tanya.

Tapi Jaden pun tak tahu, apakah mereka berhasil kembali ke waktu sebelum Rea kehilangan bayinya?

Jaden menatap penampilan Rea dari atas hingga bawah, sampai akhirnya matanya menangkap sesuatu yang berbeda, “Re.. perut lo.”

Mendengar ucapan Jaden, Rea pun menatap kearah perutnya sendiri. Benar, perutnya sedikit membuncit. Rea dapat merasakan hatinya berdebar kencang, itu artinya ia dan Jaden berhasil kembali ke satu bulan lalu?

“Kita berhasil, Jade!”

Jaden tersenyum, ia mengangguk dan setelahnya mengusak kepala Rea dengan sayang, “Lo udah siap ngadepin ibunya Jaden?”

“Lo ngeraguin gue, Jade? Lo ngejorokkin gue ke dalam kolam aja gue lawan. Tenang aja, gue bakal lakuin apa aja supaya Rea dan Jaden di dunia ini punya happy ending.”

“Ya, Rea sama Jaden di dunia kita juga harus happy ending berarti.”

“Itu pas—”

“YANG MULIA!”

Awalnya, Rea juga Jaden saling tatap sambil melempar senyum tersentak kaget mendengar teriakan seseorang. Ah, rupanya itu salah satu dayang dari kerajaan – Rea dan Jaden tahu dari seragamnya.

“Ada apa?” Jaden memutar tubuhnya menatap sang dayang, sambil bertanya ia lingkarkan tangannya ke pinggang Rea, membawa lelaki tercintanya itu lebih dekat dengan tubuhnya.

“Ada Ibu Anda di dalam ruang singgasana. Beliau mencari Anda dengan Yang Mulia Rea.”

Rea dan Jaden melempar tatap lagi, ah, rupanya mereka terlempar pada masa dimana sang mantan ratu datang. Saling melempar senyum tanpa diketahui sang dayang, Rea dan Jaden berbicara dengan tatapan mereka.

“Kami akan menemuinya sebentar lagi, kau kembalilah.”

“Baik, Yang Mulia.”


“Ibu!”

Jaden memanggil dengan lantang ketika matanya menangkap sosok sang ibu. Dengan membawa Rea di gandengannya, Jaden berlari mendekat ke arah ibunya yang tengah duduk di singgasana milik Rea.

“Jaden, sayang, ibu rindu.”

Genggamannya dengan Rea terlepas kala si wanita paruh baya membawa Jaden dalam pelukan. Rea yang dibelakang Jaden hanya tersenyum melihatnya.

Jadi wanita inilah yang melenyapkan bayi Rea juga Jaden, sang pemimpin Quaver. Ugh, Rea sedikit muak melihat wajahnya.

“Ibu, tahu tidak? Rea tengah mengandung, Bu,” Jaden memberitahu, karena memang itu rencananya dengan Rea sekarang.

Wanita paruh baya itu melepas pelukan dan membelalakkan mata, ia menatap kearah Rea yang sedari tadi berdiri di belakang Jaden.

“M-mengandung?”

“Mhm, iya ibu! Ibu pasti senang kan? Rea akan memberikan Quaver penerus takhta!”

Dapat Rea juga Jaden lihat sang wanita tersenyum, bukan senyum tulus atau bahagia, tapi terpaksa. Sekarang Rea dan Jaden paham jalan ceritanya, kisah mengenai perceraian Raja dan Ratu Quaves yang diceritakan oleh Aldo tentu tidak lengkap. Tapi kini, mereka bisa menebak jalan ceritanya.

Maka kedua lelaki berstatus bandmates itu di sini, akan mengubah alur kisahnya. Supaya Rea juga Jaden, tidak akan berpisah. Baik di dunia mereka maupun di dunia tempat mereka berada sekarang.


Seminggu sudah terhitung sang ibu mertua berada di istana. Yang Rea ketahui, wanita yang melahirkan Jaden itu kini bersikap baik padanya.

Ah, jadi rencana wanita itu seperti ini.. Meyakinkan Rea bahwa dirinya sudah menerima Rea sebagai menantu kemudian dengan liciknya menaruh racun di makanannya.

Selama seminggu ini, sang ibu mertua selalu menyiapkan makanan di dapur untuk Rea, dengan dalih bahwa wanita itu ingin Rea memakan makanan yang sehat supaya cucunya akan terlahir dengan sehat pula.

Rea mengawasinya, tentu saja. Ia tak pernah sekalipun melepas pandangannya dari wanita paruh baya itu. Tak akan ia biarkan ibu mertuanya berhasil membunuh bayi yang sekarang ada di kandungannya.

“Jade, hari ini kayanya ibu lo bakal naruh racunnya deh. Abisnya itu gerak geriknya mencurigakan banget.”

“Ya lo tenang aja, Re. Jalanin semuanya sesuai rencana kita. Gue di samping lo.”

Benar adanya dugaan Rea, wanita itu kini dengan diam-diam menaruh sesuatu pada makanan Rea. Rea melihatnya, sebab selama seminggu ini lelaki manis itu selalu mengintip ke arah dapur, tempat dimana sang ibu mertua membuat makanan untuknya.

Dan hari ini, ada bubuk yang dicampur dalam makanannya.

“Rea, sayang? Sini duduk, makanannya udah matang.”

Berlagak baru kembali dari taman, Rea tersenyum kearah sang ibu mertua yang menaruh makanan di meja tempatnya makan.

Sungguh sebenarnya Rea tak mau berbohong, makanan yang dibuat ibu dari raja Quaver itu terlihat begitu menggiurkan. Rea pun makan dengan lahap seminggu ini -setelah memastikan itu aman untuknya, tentu saja-.

“Terima kasih, Bu,” ucapnya sambil duduk di kursi.

“Sama-sama, Sayang.”

Rea tersenyum miring menatap makanannya, It's time to play, katanya dalam hati.

Lelaki manis itu mengubah senyum miringnya menjadi cemberut, ia menatap ibu mertuanya dengan sendu. “Ibu..”

“Re? Kenapa? Kamu tidak suka makanannya?”

Rea menggeleng, “Makanan ibu selalu enak, tetapi aku ingin Jaden yang makan makanan ini..”

“Rea, ini makanan untu—”

“Ibu, Ibu, masa ibu nggak mau menuruti menantunya yang ngidam sih. Lagian Jaden juga rindu sama makanan buatan ibu.”

Ucapannya terpotong oleh Jaden yang tiba-tiba masuk ke ruang makan. Raja dari Quaver itu duduk di samping Rea dan memberikan kecupan pada lelaki manisnya.

Ah itu memang kecupan untuk siapa yang melihatnya, tetapi sebenarnya Jaden memberikan sebuah bisikan kepada Rea. “Lo tenang aja, gue udah minta makanannya di tuker waktu tadi ibu keluar dapur.”

Rea tersenyum.

“Jadi ratunya Jaden ini lagi ngidam, hm?” Jaden mengelus perut Rea, ia kemudian menunduk, menyamakan wajahnya di depan perut Rea. “Tenang aja ya sayangnya papa? Papa turutin kemauan kamu,” lanjutnya kemudian memberikan kecupan di perut Rea.

Terkejut dengan perilaku manis Jaden, Rea memukul pelan punggung lelaki itu. Ayolah, kenapa Jaden harus bersikap semanis ini di tengah rencana mereka?

Kan Rea jadi malu.

“Jaden ih! Ada ibu.”

Jaden tertawa, ia kemudian menegakkan tubuhnya dan menatap kearah sang ibu. “Bu, nanti buatkan lagi buat Rea ya? Ini buat Jaden, lagian ibu sih, buat makanan cuma buat menantunya doang, anaknya dilupain.”

Jaden terkekeh dalam hati melihat wajah panik sang ibu. Dengan diam, ia genggam tangan Rea di bawah meja. Mengelusnya sebagai isyarat bahwa semua akan baik-baik saja

“Jaden, ibu buatkan lagi aja buat kamu ya? Itu buat Rea.”

Rea mendecih pelan.

Sang ibu mertua tidak mau anaknya celaka, namun ia membunuh anak putranya.

Rea bertanya-tanya, apakah wanita itu tak berpikir bagaimana perasaan Rea dan Jaden dikala kehilangan bayi mereka? Kenapa harus dengan meracuni bayi kecil itu?

Seminggu bersama dengan bayi Raja dan Ratu Quaver di kandungannya, vokalis Rhythm itu merasakan hal yang berbeda. Ia sekarang sedikit tahu, bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang menanti putranya, bagaimana perasaan seorang ibu yang melindungi putranya lebih dari ia melindungi dirinya sendiri.

Terbesit sedikit harapan di benak Rea. 'Bisakah aku merasakan ini nanti di dunia ku? Bersama dengan Jaden tentunya.'

“Aku mau ini, Bu. Lagian adik bayi juga maunya Jaden makan makanan Rea kan?”

Lamunan Rea terpecah mendengar jawaban dari Jaden. Ia mendongak, menatap wajah Jaden yang tengah duduk di sebelahnya sambil memandang sang ibu.

“Jaden ibu tidak mau kamu makan makanan Rea.”

“Kenapa?”

Ruangan itu terasa hening seketika.

“Ibu, kenapa Jaden nggak boleh makan makanan Rea? Memangnya ibu masukin apa ke makanan Rea?”

Rea terkekeh mendengar ucapan Jaden yang to the point, sebab itu membuat wanita paruh baya yang duduk di hadapan mereka membeku, tak dapat berkata apa-apa.

“Jaden.. ya sudah nggak papa, biar aku makan aja, ibu udah susah susah buat untuk aku.”

“Sayang, kamu mau putra kita nggak keturutan maunya? Aku sih nggak mau. Udah, nggak papa, nanti ibu kan bisa masak lagi buat kamu, ibu mana bisa biarin menantunya kelaparan, iya kan bu?”

Jaden kemudian mengambil garpu dan kemudian menusuk sayuran yang ada di piring milik Rea, memakannya dengan hati-hati.

Dari sudut matanya ia pandang wajah panik sang ibu. Oh ini lucu sekali, Jaden terkekeh dalam hati.

Setelah memakan sesuap sayuran itu, Jaden menaruh garpunya.

Ia tersenyum menatap wajah sang ibu yang penuh keringat dingin.

“Kenapa ibu berkeringat? Takut ya bu? Kalau Jaden keracunan makanan buatan ibu?”

Wanita itu membelalak. “J-jaden apa maksud kamu ibu nggak paham.”

Jaden berdiri, ia juga turut menarik Rea untuk berdiri dan memeluk pinggang rampingnya yang terasa berisi.

“Ibu, ibu pikir Jaden sama Rea nggak tahu? Ibu masukin sesuatu ke makanan Rea buat celakain Rea sama bayi kita?”

Rea kemudian melanjutkan, “Ibu tahu? Sepandai pandainya tupai melompat pasti bakal jatuh juga. Ibu, mau seberapa keras ibu coba buat celakain aku dan bayi di kandunganku juga sembunyiin itu semua, pasti bakal ketahuan. Rea tahu bu, ibu nggak suka Rea jadi menantu ibu, tapi apa dengan celakain bayi Rea, ibu bisa ubah takdir? Nggak bisa, Bu.”

Lelaki manis itu menarik nafas sejenak. “Karena nama Jaden sama Reaghan udah di tulis buat selalu bersama. Nggak akan ada yang bisa pisahin kita, meskipun itu ibu,” ucapnya kemudian menatap kearah Jaden dengan penuh cinta.

“Mungkin iya, perlakuan ibu ini bisa buat Jaden sama Rea cerai, karena nggak ada yang tahu kedepannya gimana. Tapi kalau takdir udah berkata bahwa Rea dan Jaden adalah pasangan, maka itu nggak bisa diganggu gugat. Jaden pasti kembali ke Rea, Rea pasti kembali ke Jaden.”

Tujuan keduanya di sini adalah untuk menyelamatkan pernikahan Rea dan Jaden juga bayi mereka. Walau mereka tahu, sang raja dan ratu bisa saja kembali bersama lagi nanti setelah bercerai, tapi mereka menyelesaikannya sekarang.

Sebab, Rea dan Jaden tak mau, ada satu kata pun mengenai perpisahan di antara keduanya.

Rea dan Jaden akan selalu bersama, tak peduli di dunia mana mereka berada.

“Ibu, apa ibu pernah pikir gimana perasaan aku sama Rea kalau kita kehilangan satu sama lain? Atau gimana perasaan aku sama Rea kalau bayi kita dibunuh? Terlebih yang bunuh adalah orang terdekat aku?” Jaden berkata.

“Ibu pasti tahu rasanya, ibu itu seorang ibu, ibu nggak mau anak ibu terluka. Dan sekarang Jaden sama Rea lakuin itu, Bu. Kita melindungi bayi kita berdua dan juga pernikahan kita,” lanjut sang raja dengan mantap. Ia genggam dengan erat tangan Rea, berkata dalam hati bahwa ia akan melindungi lelaki manis itu, tak peduli apapun yang terjadi. Sebab Jaden mencintainya, mencintai Rea, lebih dari Jaden mencintai dirinya sendiri.

“J-Jaden, R-Rea.. I-ibu minta maaf, tolong maafkan ibu yang sudah jahat pada Rea selama ini..”

Negeri ini, mereka kenal dengan nama Rhythm. Sama seperti yang lainnya, Rhythm mempunyai beberapa daerah yang salah satunya adalah Quaver yang terletak di pusat juga yang terluas di negeri ini.

Ia yang dipilih menjadi pemimpin Quaver ialah Jaden. Jaden Bartels, bersama dengan istrinya Rea. Reaghan Aston. Atau yang kini sudah Jaden ubah marganya menjadi Reaghan Bartels.

Quaver begitu maju dengan Jaden sebagai rajanya. Setiap desa yang berada di Quaver selalu berkecukupan. Tak hanya itu saja keramahan juga kebaikan penduduk Quaver pun telah tersebar kesana kemari. Jika ada yang bertanya, daerah mana yang paling diidamkan oleh penduduk Rhythm maka mereka akan menjawab dengan lantang bahwa mereka ingin berada di Quaver bersama dengan Jaden dan Rea sebagai pemimpinnya.

Kebahagiaan penduduk Quaver tak sampai situ saja. Beberapa bulan lalu, tepat ketika ulang tahun sang raja, mereka mendapatkan sebuah kabar bahagia.

Penerus takhta sang raja sudah hadir.

Iya, ratu mereka mengandung.

Rasanya begitu membahagiakan. Baik untuk penduduk Quaver maupun Jaden juga Rea.

Kehadiran bayi di kandungan Rea dianggap membawa banyak keberuntungan bagi Quaver. Bagaimana tidak? Semenjak kehadiran calon penerus takhta itu, tanah Quaver makin subur, nama Quaver makin dikenal dimana-mana.

Sungguh membahagiakan.

Namun naas, kebahagiaan itu harus berakhir dua bulan setelahnya. Kerajaan tiba-tiba mengumumkan bahwa sang ratu, Rea, meminta untuk bercerai.

Juga, bahwa calon penerus takhta mereka, kini sudah tidak ada.


“Rea, tak bisakah kamu pikirkan sekali lagi, sayang? Aku mencintaimu, sangat..”

Keputusan Rea sudah bulat. Ia mau bercerai. “Maaf, Jaden. Tapi nggak, aku mau bercerai.”

“Re-”

Keduanya kini berada di taman kerajaan. Matahari yang menyengat seharusnya membuat mereka merasa hangat. Namun tidak, siang ini, udara di Quaver terasa panas bagi penduduknya. Sebuah kabar perceraian yang begitu tiba-tiba, membuat kerajaan itu dirundung pilu.

Tak ada hangat seperti biasa, hanya dingin yang terasa. Kerajaan itu tak lagi bahagia, hanya muram durja yang ada.

“Jaden, apa kamu pikir kehilangan adalah hal yang biasa? Aku kehilangan putraku, Jaden. Putra kita. Dan karena apa? Ibumu! Selama ini ibumu tak pernah suka padaku, Jaden! Ia tak mau menerima ku dengan alasan aku seorang lelaki, yang tak dapat berikan seorang penerus takhta. Tapi ketika aku dapat memberikanmu seorang anak, apa yang aku dapat? Ibumu justru meracuniku, membunuh putraku yang bahkan belum melihat dunia. Kamu pikir aku akan terima?!”

Kembali ingatan Rea dipaksa untuk kembali ke kejadian seminggu lalu. Ibu mertuanya berlagak menerima dirinya, namun tidak. Semua lagak baik yang diberikan wanita paruh baya itu pada Rea hanyalah akal-akalan untuk membawa kehancuran dalam pernikahan keduanya.

3 hari penuh Rea tak sadarkan diri sebab racun yang ditaruh ibu mertuanya dalam makanan yang dimakannya dan ketika ia terbangun, ia mendapat kejutan yang begitu menyakitkan.

Bayi yang dua bulan ini ia jaga dengan baik. Bayi yang ia idam-idamkan kehadirannya. Bayi yang melengkapi pernikahannya dengan Jaden dan juga yang bawa kebahagiaan bagi penduduk Quaver kini telah pergi meninggalkan mereka semua.

Rea marah, namun apa yang dapat ia lakukan?

Jaden sudah memutus hubungannya dengan sang ibu, namun apakah itu dapat membawa bayi mereka kembali? Tidak.

Mendengar perkataan Rea, Jaden hanya bisa menunduk. Benar, ini semua salah ibunya. Ia malu kepada istrinya.

Ketika begini, Jaden pun tak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya diam, menatap punggung Rea yang perlahan mengecil, meninggalkan kamar keduanya, menuju sebuah kamar kecil yang ada di kerajaan – yang akan ditinggalinya sampai sidang perceraiannya dengan Jaden selesai.

Selama hampir 10 tahun menikah, tak pernah sekalipun sang ibu terima Rea dengan lapang dada. Jika biasanya Rea hanya akan menerima, kini tak lagi.

Bagaimana perasaan seorang ibu apabila putranya direnggut?

“Rea, sayang, maafkan aku. Aku tak bisa menjaga kamu, menjaga putra kita dari ibu. Sayang.. aku benci ibu.”