Happy Birthday, Love!

cw // kiss scene song recommendation; • Perfect by Ed SheeranA Thousand Years by Christina Perri

“Udah selesai chat sama mamanya, hm?”

Arasy yang tengah mematikan ponselnya menoleh kearah Sean, yang duduk di sofa kamar mereka, dan kemudian mengangguk.

“Udaah! Nanti mau telpon lagi katanya.. ngg.. sama papa tunggu papa selesai mandi sama sarapan!” ucap Arasy sembari duduk di sebelah Sean, mengambil tangan kakak kesayangannya itu untuk kembali melingkari tubuhnya.

Cuddle di atas sofa pagi-pagi buat lepas kangen, begitu Arasy menyebutnya.

“Mau begini terus sampai nanti waktunya dinner, ya sayang?”

“Iya!”

“Kangen banget sama kakak ya, hm?”

“Banget banget banget! Rasy seneng deh, kakak mulai bulan depan udah kerja di sini nggak pergi-pergi lagi.”

Ngomong-ngomong tentang itu, benar, Sean sudah bulatkan keputusan bahwa ia akan melepas tugas untuk keluar negeri dan menyerahkan semua itu ke manager tiap divisi perusahaan.

“Iya sayang, maaf ya? Kita hampir setahun menikah kakak baru punya waktu buat kamu bulan depan nanti,” ucap lelaki tampan milik Arasy itu sambil mengusak sayang kepala Arasy yang bersandar di dadanya.

“Nggak papa, Kak Se. Rasy paham kok, kakak udah kerja keras buat sampai ke titik ini dan pasti susah buat hilangin kebiasaan itu ya?”

Sean terkekeh, “Iya, susah. Tapi selama ini kakak coba kok, sayang. Semenjak nikah sama kamu kakak nggak sesibuk waktu masih lajang, dan kakak bersyukur kamu masih mau tunggu kakak dengan sabar. Makasih ya sayang?”

Mendengarnya, Arasy cemberut. Lelaki manis itu terharu. Mau berapa kali suaminya ini berucap terima kasih? Perlu Sean tahu, bahwa ia merasa emosional kala Sean mengucapkan terima kasih dan maaf padanya. Bahkan saat membaca surat surat dari Sean tadi saja air matanya mengalir deras.

Arasy merasa begitu dicintai oleh lelakinya. Ya walau memang sih, Sean mencintainya, dan hanya dirinya sejak lelaki tampan itu hidup di dunia.

Perlukah Arasy bersyukur bisa menjadi cinta yang pertama juga terakhir dari Sean? Oh tidak perlu bertanya lagi, lelaki manis itu tak pernah lupa untuk mengucapkan rasa syukurnya kepada Tuhan dalam setiap doanya, mengucapkan terima kasih karena telah memberikan Sean ke dalam hidupnya sebagai pendamping.

“Kakak jangan ngomong makasih ke Rasy lagi, ya? Kak Se tau nggak sih, Rasy selalu mau nangis kalau Kakak bilang itu ke Rasy.”

Sean tertawa, dengan gemas ia bawa si lelaki manis ke dalam pelukan erat. Entah bagaimana caranya, lelaki manis ini selalu dapat membuat Sean jatuh cinta berkali-kali.

“Ih kakak ih! Nggak bisa nafas Rasynya!”

Melepas pelukan, tawa Sean meledak. Lucu sekali suami kecilnya ini.

“Mana sini? Nggak bisa nafas nanti kakak kasih nafas kakak ke kamu.”

“EH?”

Pipinya yang tadi telah memerah kini tambah memerah. Lucu sekali.

“Hahahaha gemes banget sih kamu! Sini peluk dulu sini sayangnya kakak!” Sean menarik Arasy kembali ke dalam pelukan, bukan pelukan erat yang buat Arasy tak dapat bernafas seperti tadi. Namun, Sean kembali bawa tubuh kecil Arasy ke posisi mereka di awal.

Posisi mereka yang begitu manis dengan Sean duduk bersandar pada bagian belakang sofa dan Arasy disebelahnya sambil memeluk Sean, menyandarkan kepalanya ke dada Sean, dengan kedua kakinya berada di atas paha milik suaminya. Posisi yang membuat keduanya mudah untuk saling bertatap mata.

“Apa? Kenapa lihatin kakak gitu, hm?”

Arasy menggeleng pelan, lelaki manis itu hanya mau menatap wajah Sean, suaminya yang begitu ia rindukan.

“Nggak papa, Rasy sayang kakak.”

Sean terkekeh, ia mendaratkan bibirnya ke bibir Arasy, memberikan kecupan gemas.

“Kakak lebih sayang kamu, Rasy.”

Keduanya melempar senyum satu sama lain. Menyelami netra pasangannya itu sembari dalam hati berucap syukur, syukur, dan syukur. Sebab Tuhan telah memberikan mereka kebahagiaan yang tiada taranya kala dipertemukan dengan satu sama lain.

Drrrt!

“Yaampun Rasy kaget!”

Sean tertawa keras setelahnya, suara deringan ponsel milik Arasy membuat kegiatan -mari-saling-tatap- itu terhenti. “Lihat dulu gih, itu siapa?”

Arasy mengangguk, ia berdiri untuk mengambil ponselnya di meja sebelah sofa dan menatap nama si penelpon.

“Oh papa sama mama udah selesai sarapan!”

“Yaudah angkat dulu sini ke sebelah kakak. Kakak mau sapa mama papa juga.”


Benar kata orang kalau waktu berlalu begitu cepat bersama orang yang kamu sayangi. Terbukti sekarang, setelah hampir ber jam-jam menghabiskan waktu dengan cuddling di sofa dan di kasur, mereka kini sudah berada di mobil milik Sean. Menuju restoran tempat mereka akan makan malam.

“Kak Se, masih jauh ya?”

Sean yang tengah menyetir menatap ke arah Arasy sekilas. Lelaki manis itu memainkan tangannya yang tidak memegang setir – sebab tadi ditarik oleh Arasy untuk digenggam – dengan bosan.

“Masih 15 menit lagi, sayang. Bosen ya? Mau setel lagu?”

“Lagunya pinkfong yah, boleh?”

Sean terkekeh, ia kemudian mengangguk. Memang dasar anak kecil, batinnya sembari sesekali menatap Arasy yang sibuk menyambungkan ponselnya dengan bluetooth di mobil Sean.

“Udah kesambung?”

“Mhmm! Bentar kak mau carii!”

Sean mengangguk, ia kembali fokus pada jalanan di depannya, membiarkan Arasy sibuk dengan lagunya.

Sedari tadi, Sean berpikir bahwa lagu dengan suara anak-anaklah yang akan memenuhi mobilnya, namun tidak, rupanya Arasy memasang lagu yang lain.

A Thousand Years, milik Christina Perri.

“Nggak jadi pake lagu pinkfong, hm?”

“Nggak! Suasananya lagi romantis!”

Sean tertawa, dan kala mobilnya berhenti pada rambu lalu lintas. Ia menatap Arasy yang duduk di sebelahnya. Lelaki manis itu memejamkan matanya, menikmati suara milik Christina Perri yang mengalun di dalam sana.

“Arasy.”

“Hm? Iya Kak Se?” jawab yang dipanggil sambil membuka mata, menatap Sean.

Tanpa ijin, Sean mendekat. Ia memberikan sebuah kecupan manis di bibir milik Arasy. “I love you,” bisiknya. Lalu kembali Sean memejamkan mata dan mendaratkan bibirnya di atas bibir Arasy, melumatnya pelan dengan singkat. “I'm so happy to have you in my life, Arasy,” bisiknya lagi sebelum mendaratkan kecupan di puncak kepala lelaki manisnya.

Arasy terkejut, tentu saja. Diberikan ciuman juga ucapan cinta tiba tiba dan setelahnya si pelaku hanya tersenyum, kembali fokus pada jalanan — padahal belum sempat Arasy membalas ciumannya — membuat Arasy begitu malu, jantungnya berdebar kencang.

Meski ini bukan kali pertama Sean menyatukan bibir mereka, namun tetap saja. Arasy malu!

“Kak Se..”

“Hm? Kenapa? Malu ya?”

Tentu saja, Arasy malu dirinya diejek seperti itu. Maka dengan pelan ia menggeleng – tak mau mengakui.

“Rasy nggak malu.”

“Terus kamu panggil kakak mau apa, hm?”

Hening sejenak. Arasy menundukkan kepalanya. Membuat Sean menoleh sekilas kemudian terkekeh. “Hei kenapa? Sini lihat kakak,” ucapnya.

Satu menit berkutat dengan pikirannya sendiri, Arasy mendongak setelahnya. Dengan secepat kilat ia berdiri dari duduknya dan mengecup pipi Sean, membuat lelakinya membulatkan mata terkejut.

“Rasy love you too, Kakak sayang!”

Sean hanya dapat terkekeh gemas setelahnya. Suami kecilnya memang paling menggemaskan!


Sepi. Satu kata yang dibatin oleh Arasy begitu dirinya memasuki restoran bersama dengan Sean.

“Kak?”

“Hm?” Sean yang baru mendudukkan dirinya di depan Arasy selepas menarikkan kursi untuknya menjawab dengan gumaman.

“Restorannya sepi banget yah?” Matanya menatap ke sekitar, benar, hanya beberapa waiters saja di sana yang tengah sibuk di bar.

“Kakak cuma mau berduaan sama kamu.”

“Kakak pasti habisin banyak buat ulang tahun Rasy ya..”

“Ini pertama kalinya kamu ulang tahun sebagai suami kakak, sayang. Kakak mau ulang tahun kamu yang pertama bersama kakak ini spesial.”

Arasy tersenyum manis, hatinya menghangat. Kehadiran Sean di sini saja sudah terasa spesial baginya, apalagi dinner hanya berdua di restoran besar nan klasik yang berada di kota mereka? Tak pernah sekalipun Arasy membayangkan ulang tahunnya akan seperti ini.

Makan malam itu terasa romantis. Iringan musik dari biola bersama aroma mawar yang terpasang di tengah meja mereka.

Arasy tak dapat mengekspresikan perasaannya lagi, apalagi saat Sean terkadang menyuapi dirinya dan membersihkan noda makanan di mulutnya. Jantungnya berdebar kencang, hatinya menghangat.

“Arasy..” Sean memanggil, ia menaruh tangannya di atas tangan Arasy. Keduanya telah selesai dengan makan malam, namun tak berniat untuk pulang.

“Iya, Kak Se?”

Sean tidak menjawab setelahnya, melainkan lelaki itu berdiri dari duduknya, membawa dirinya ke depan Arasy yang masih duduk di kursinya, dan memasangkan sebuah kalung di leher Arasy.

“Kak.. ini apa?”

One of your birthday gift,” Sean berucap singkat. Setelahnya ia berlutut dengan satu kaki di hadapan Arasy, memegang tangan lelaki manis itu, mengusap cincin pernikahan mereka yang terpasang indah di jari manis Arasy.

“Terima kasih ya sayang? Sudah hadir di dunia dan bawa kebahagiaan buat semua orang. Terima kasih sudah jadi seorang Arasy yang disukai semua orang. Di hari bertambahnya usia kamu yang ke 23 ini, bersama kakak, kakak mau kesayangan kakak ini selalu sehat. Kakak mau kesayangan kakak ini selalu bahagia. Tiap doa yang kakak panjatkan, kakak akan selalu menyebut nama Arasy, mendoakan kebahagiaan kamu setiap harinya. Arasy, selamat ulang tahun. Kakak cinta kamu.”

Arasy tak dapat menahannya lagi, tangisnya pecah. Ia langsung tarik Sean untuk berdiri dan memeluk lelaki itu erat.

“M-makasih kakak! Hiks! Rasy cinta kakak juga! Makasih banyaaak hiks!”

“Eii, kakak bilang apa soal hari ini hm? Nggak boleh nangis di hari yang bahagia— ah bukan bahagia aja, kakak nggak mau, ada air mata jatuh dari mata Rasy, okay?” ucap Sean, menangkup pipi Arasy dan menghapus air mata lelaki manis itu dengan ibu jarinya.

“Hiks.. okay.”

Sean terkekeh, ia kembali bawa Arasy ke dalam pelukan. Entah sudah pelukan keberapa hari ini ya?

“Sayang.”

“Iya, Kak Se?” Arasy melepas pelukan Sean dan mendongak, menatap suaminya itu. Menyelami netra milik Sean yang selama ini dapat ia hitung jari berapa kali sejak pernikahan mereka ia lihat secara langsung seperti ini.

Arasy tak pernah bosan menatap netra milik Sean, begitu juga sebaliknya.

Entah bagaimana bisa atau siapa yang memulai, bibir keduanya kembali bertemu. Sean memulai setelahnya, lelaki itu melumat lembut bibir Arasy, mengecap rasa manis yang sebenarnya tidak nyata namun memabukkan pada bibir milik cintanya, berkata dalam hatinya bahwa ia bersyukur, bersyukur memiliki Arasy di dalam hidupnya. Arasy membalasnya, tentu saja. Ia memejamkan matanya, merasakan setiap pergerakkan bibir sang suami di bibirnya. Tangan Sean juga entah sejak kapan sudah melingkar di pinggang ramping milik lelaki manisnya, menarik Arasy untuk semakin dekat padanya.

“I love you,” bisik Sean, sekali lagi, setelah mereka melepas ciuman mereka. Jarinya terangkat untuk mengusap bibir Arasy.

Arasy tak menjawab, ia menunduk malu. Bukan pertama kalinya Sean seperti ini, namun inilah yang selalu ia lakukan selepas mereka mengecap rasa manis pada bibir masing-masing, apalagi sekarang mereka berada di tempat umum.. ya walau restorannya sepi sih, tapi kan ada beberapa waiters yang berlalu lalang.

Melihat kelakuan Arasy, Sean tersenyum kecil. Ia mendekatkan bibirnya pada telinga si lelaki manis dan berbisik, bukan ucapan cinta, hanya memanggil nama Arasy dengan marga keluarganya. “Hey, Arasy Anderson.”

Tubuh lelaki manis itu menegang, ia mendongak perlahan, menatap Sean – yang juga tengah menatapnya – dengan wajah memerah sempurna.

“I-iya?”

“Ayo dansa sama kakak sampai malam tiba.”