bluemoonseu

“Lo ikut-ikutan gue ya?!”

Gideon memejamkan matanya ketika seruan Audey terdengar. Baru saja ia ingin menyapa lelaki manis itu, belum-belum sudah disemprot saja.

“Ikutan lo apa, sih?” Gideon menatap Audey yang tengah memasang sabuk pengamannya, “Ya itu tweet lo, ikut-ikutan ngepost foto kaya gue.”

“Iya, gue ikut-ikutan. Kan gue mau dapet kabar dating sama lo, sapa tau bisa gue pacarin beneran.”

“Halah.”

Gideon terkekeh gemas dalam hati saat melihat semburat merah di pipi Audey. Aduh, rasanya Gideon ingin peluk lelaki itu erat-erat. Wajah dan mulutnya selalu saja mengatakan sesuatu yang bertentangan.

“Gue jalan nih?”

“Huum, jalanin aja.”

“Apanya? Hubungan kita?”

Audey menghela nafasnya lelah, ia melirik kearah Gideon yang sudah tertawa geli menatap kearahnya.

Jujur saja, Audey memang ingin memukul kepala lelaki di dekatnya ini. Namun ia juga tak mau memungkiri bahwa hatinya menghangat setiap Gideon berbicara padanya.

“Gideoooon!”

“Iya-iya maaf, gue jalan sekarang.”

Perjalanan mereka —yang sebenarnya jauh— terasa begitu dekat sekarang ini. Sebab selama perjalanan mereka mengobrol banyak.

Entah dari cerita Audey soal ayah dan ibunya yang membuat Gideon misuh-misuh sebal, tentang persiapan comeback Breve yang akan diumumkan sebulan lagi, dan yang lainnya.

Mereka selalu memiliki topik untuk dibicarakan dan Audey yang memang biasanya merasa canggung dengan orang baru merasa bersyukur karena itu. Gideon selalu memiliki cara untuk membuat suasana diantara mereka terasa hangat.

“Makan disini aja nggak papa ya?”

Audey menoleh kearah restoran yang ditunjuk oleh Gideon, ia kemudian mengernyit heran oleh pertanyaan lelaki itu. “Ya nggak papa dong, emang kenapa?”

“Ya nggak tau gue tanya aja. Takutnya lo nggak nyaman makan di tempat yang nggak fancy.”

Audey terkekeh, “Gue nggak kaya gitu kali, Gad. Gue gak pernah masalahin makanan kok. Toh, hari ini gue ikut lo makan malam kan karena emang gue mau hang out sama lo. Bukan karena gue mau makan makanan mahal dan habisin uang lo.”

Gideon tersenyum mendengar ucapan lelaki aries itu.

Setelahnya, ia mengajak Audey untuk turun dan masuk ke dalam restoran tersebut. Gideon meminta ruangan private untuk keduanya. Mengingat mereka berdua adalah public figure dan pasti akan banyak papparazi atau fans di sekitar situ.

“Gue udah ngasih tau lo belum? Anaknya pemilik agensi gue nanti bakal kerja di agensi, loh,” Gideon bercerita. Ia mencomot satu kentang goreng di atas meja mereka dan memakannya sembari menunggu Audey menjawab.

“Oh iya? Kapan?”

“Sebulanan lagi kayanya. Deket-deket tanggal Breve comeback.” Audey mengangguk-angguk mendengarnya.

“Kakak gue baru lulusan kemarin sih. Gue udah cerita kan kalo mama minta uang lagi buat pesta graduationnya kakak?”

Gideon mengangguk. “Ya gitudeh, mana biayanya yang diminta kakak gue gak murah lagi buat pesta. Capek gue sebenernya, Gad.”

You're doing great, Audey. Gue nggak bisa berbuat apa-apa kalo soal keluarga lo jadi gue disini bakal jadi tempat lo buat buang semua keluh kesah lo, ya?”

Audey mengangguk dan tersenyum, “Makasih.” Tentu saja Gideon membalas senyumnya.

Begitu makanan yang dipesan datang, keduanya makan dalam diam. Walau begitu, keduanya sesekali melempar senyum ketika tangan mereka tak sengaja bersentuhan di atas meja.

Hal kecil seperti itu selalu membuat keduanya berdebar.

“Btw, Audey.”

“Hm?”

“Gue mau ngomong bentar boleh?” Selepas makan malam mereka telah selesai, Gideon membuka percakapan terlebih dahulu.

“Ya boleh? Bagus dong kalau lo ngomong?”

“Gue mau ngomong serius sama lo, maksudnya.”

Audey mengangguk dan tersenyum. Ia mungkin terlihat tenang, namun dalam hatinya ia sudah banyak bertanya-tanya. Apa yang akan dilakukan oleh salah satu member Breve itu?

“Coba lo berdiri sini depan gue.”

Audey menurut saja. Ia berdiri di hadapan Gideon, masih dengan senyum manisnya. Setelahnya, Gideon mengambil kedua tangan Audey — yang tadinya di samping tubuh lelaki itu— dan mengenggamnya erat.

“Lo keringetan. Tangan lo basah.” celetuk Audey saat merasakan hangatnya tangan Gideon.

Gideon menunjukkan cengirannya sebelum akhirnya ia mengambil nafas panjang. “Ada beberapa yang mau gue bilang ke lo hari ini dan gue mau lo dengerin gue dari awal sampai akhir, ya?”

“Okay.”

“Pertama, selamat buat kesuksesan album lo yang baru ini, Harmony. Gue beneran bangga banget sama lo. Lo bisa bawain semua acara selama promosi lo dengan baik ditengah-tengah berbagai macam ucapan dari orang tua lo. Makasih banyak udah jadi sehebat ini.”

Ini bukan pertama kalinya Audey mendengat kata 'hebat' keluar dari bibir Gideon. Namun ia selalu merasakan hangat ketika mendengarnya.

Rasa hangat di relung hatinya itu berhasil menarik bibirnya untuk tersenyum hangat ke arah si lelaki taurus di hadapannya.

“Kedua, lo cantik banget hari ini, Audey. I mean, lo selalu cantik sih, tapi hari ini lo cantik banget banget banget. Bahkan malaikat aja nggak bisa ditandingin sama cantiknya lo.”

Kedua pipi Audey menghangat. Ditambah tatapan dalam dari Gideon untuknya. Ah, kaki Audey rasanya tak sanggup lagi untuk berdiri sebab ucapan cheesy dari lelaki taurus itu.

“Ketiga, yang terakhir juga, Gue cinta lo. Jadi, ayo pacaran sama gue?”

Tubuh Audey mendadak kaku mendengar ajakan dari Gideon. Tak pernah ia bayangkan bahwa Gideon akan mengungkapkan perasaannya hari ini.

Sebenarnya Audey sudah tahu bahwa Gideon menyimpan perasaan untuknya sedari bulan lalu. Begitu pula sebaliknya. Audey juga menyimpan perasaan untuk lelaki itu.

Jika Audey hanya terdiam, maka Gideon sudah berdiri di sana dengan segala pemikiran buruknyam Bagaimana jika ia ditolak lalu hubungannya dengan Audey menjadi renggang?

“Itu— maksud gue— gue tau ini mendadak banget tapi gue—ekhem, aduh tolong jangan jauhin gue waktu lo tau—”

Cup

Gideon terdiam “Lo cerewet banget sih. Gue mau.”

“Hah?”

Audey menaikkan satu alisnya mendengar reaksi dari Gideon. Ia terkekeh pelan, merasa gemas pada Gideon ditengah segala rasa malunya.

Sebenarnya sih, dalam hati ia sudah merutuki dirinya sendiri yang berani sekali untuk mendaratkan kecupan di bibir.. ekhm.. pacar barunya. Tapi daripada ia mendapat ejekan dari Gideon lebih baik ia bersikap seperti ini saja.

“Audey— lo terima gue? Beneran? Terus tadi lo cium gue? Hah?”

“Iya, serius.”

“Gue nggak mimpi?”

“Lo mau gue pukul dulu buat buktiin?”

“Serius?”

Audey menggeleng dan menghela nafasnya sebelum menunjukkan senyum paksa. Ia menarik hidung mancung Gideon dengan gemas.“Iyaaa sayaaang! Kita pacaran sekarang. Gue pacar lo, lo pacar gue. Audey punyanya Gad, Gad punyanya Audey. Oke?”

Gideon menatap Audey yang tengah tersenyum manis. Ah, semburat merah di pipi lelaki itu menambah kadar manis di wajah Audey.

Maka setelahnya, Gideon membawa Audey ke pelukan erat, pelukan yang ia berikan untuk menunjukkan rasa bahagia juga rasa gemasnya.

“Aku sayang kamu, Audey.”

“Aku juga sayang kamu, Gad, hehe.”

Pacar gue gemes banget!

“Hart.. angkat gue please.”

Audey bergumam sedari tadi, menunggu teleponnya terhubung. Sesekali lelaki aries itu menghapus air mata yang keluar dari matanya.

Hal—

“Hart! Gue— Gue nggak tahu mau ngapain lagi.” Begitu nada sambung yang terdengar di telepon tak terdengar lagi, Audey langsung berbicara. Pikirannya terlalu kalut, segala curahan hatinya yang ia kirim di chatroomnya dengan sang ibu tidak diindahkan oleh wanita yang melahirkannya itu.

Kenapa harus Audey yang mengalami ini semua?

“Gue capek, Hart. gue mau pergi aja yang jauh dari mama, papa, sama kakak. Gue capek.”

Sembari sesenggukan, Audey mengambil telepon rumahnya yang berada di nakas dan membawanya ke pojok ruangan.

Lelaki manis itu duduk di sana, meringkuk, sembari menekuk lututnya untuk dipeluk dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang gagang telepon yang tersambung dengan kabel pada badan teleponnya.

“Hart, barusan mama ngechat gue lagi. Dia minta uang lagi buat kakak gue. Gue nolak awalnya.. tapi mama malah bawa bawa soal pendidikan gue lagi. Gue capek baca itu semua, Hart.”

Audey menghela nafasnya, sedikit heran mengapa Hart tak menenangkan dirinya seperti biasa. Namun ia tak mengindahkan rasa bingungnya. Ia ingin mencurahkan semua perasaannya, pada seorang yang mengerti akan dirinya.

“A-akhirnya.. Gue keluarin semua keluh kesah gue ke mama. Gue bilang gue kangen sama mereka, gue bilang gue kangen sama semua afeksi mereka ke gue. Gue bilang gue mau capai mimpi gue. Toh, tanpa gue kuliah, tanpa gue masuk ke perguruan tinggi gue bisa kan?” Audey berhenti sejenak menghapus air matanya.

“Gue bisa sukses, gue bisa buktiin kalau tanpa nilai yang bagus gue pun bisa ada di titik ini sekarang. Sama lo, sama temen-temen gue. Tapi kenapa mama papa nutup mata soal itu? Kenapa mereka benci sama gue, Hart? Padahal selama ini gue juga banyak kirim uang ke mereka. Gue— gue nggak paham.”

Seluruh ucapan ibu dan ayahnya saat ia dibandingkan dengan kakaknya soal betapa pintar kakaknya kembali terngiang di telinga Audey. Kemarahan ayah dan ibunya saat ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi demi mencapai mimpinya berputar di kepalanya bagai kaset rusak.

Audey tidak paham. Siapa yang salah disini? Dirinya? Ayah ibunya? Atau mungkin kakaknya?

Audey tidak mengerti harus menyalahkan siapa. Ia hanya mau mencapai mimpinya, dan ia sudah buktikan pada kedua orang tuanya bahwa ia bisa.

Namanya sudah mulai di kenal oleh banyak orang, dan ia bahagia.

Ia berpikir, adakah setidaknya sedikit rasa bangga dalam diri ayah dan ibunya untuk dirinya? Adakah rasa bangga dalam diri mereka kala melihat Audey diatas panggung, kala ia bernyanyi dengan bebas diiringi sorakan orang-orang pendukungnya?

Audey lelah dibandingkan dengan kakaknya. Bukankah setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing? Ini pilihan Audey, dan Audey sudah berhasil sampai di titik ini. Apakah masih perlu ia dibandingkan sebab ia tidak sepintar kakaknya?

“Gue capek, Hart. Gue capek hidup dibawah kepinteran kakak gue. Gue capek hidup dibawah ekspetasi mereka bahwa gue bakal lanjut ke perguruan tinggi dan jadi pinter kaya kakak.”

Audey berhenti berbicara, ia mulai merasa bingung sebab tak mendapat respon apa-apa dari seberang. Menghapus seluruh air matanya, Audey mulai berbicara kembali dengan suara seraknya, “Halo?”

Dapat Audey dengar seseorang di seberang berdehem. “Ekhem, iya, hai, sorry.”

Audey tertegun. Yang ditelponnya bukanlah Hart.

“Hart..?”

Gue bukan Hart. Maaf karena gue nggak nyela lo dari tadi, gue nggak enak waktu lo nangis kaya gitu, dan gue juga nggak enak matiin telpon gitu aja. Juga, I'm sorry you had to go through all of that.”

Audey memejamkan matanya, ia malu. Dengan pelan ia pukul kepalanya dan memaki dirinya sendiri dalam hati, 'Adey bodoh!'

Lelaki aries itu berdehem canggung, “Ekhem, maaf, gue nggak sadar gue salah sambung. Maaf ya.”

Dapat Audey dengar lelaki di seberang sana terkekeh ringan, “Harusnya lo nggak usah minta maaf. Gue nggak papa dengerin semuanya kok. Lo nggak papa?” ketara sekali nada kekhawatiran di sana.

“Eum..”

Oh iya gue bodoh banget. Aduh maaf, pertanyaan gue salah banget, ya?

Audey tak tahu harus mengucapkan apa pada lelaki itu. Tapi sepertinya ia harus berterima kasih sebab lelaki di seberang teleponnya itu membuatnya tertawa sekarang.

“Gue nggak papa kok. At least, gue harus terlihat nggak papa. Iya kan?”

Hening. Audey terkekeh sebelum memutuskan untuk membuka percakapan lagi.

“Btw, kayanya nggak sopan deh kalau kita gini tanpa tahu nama satu sama lain.”

Lelaki di seberang berdehem singkat. Audey tersenyum mengetahui bahwa lelaki itu tengah menyembunyikan rasa malunya.

“Gue Audey, Audey Grayvesone.”

Dan setelahnya Audey dapat dengar sesuatu terjatuh dari sana. “Hey, lo nggak papa?” tanyanya lagi.

Bentar. Bentar. Lo Audey? Audey Grayvesone? Dari AL Entertaiment?

“Lo kenal gue?”

Lelaki di seberang sana menggumamkan 'oh my god' sebelum akhirnya kembali berdehem.

Astaga, siapa sih nggak kenal lo?

Okay. Sekarang Audey sedikit merasa takut apabila lelaki diseberang itu akan menyebarkan soal keluarganya setelah ini. Mengingat Audey menceritakan hampir semua keluhannya di telpon tadi.

Bagaimana jika orang yang sekarang di teleponnya ini adalah penggemar yang memiliki obsesi berlebihan pada dirinya? Atau mungkin malah salah seorang dari anggota papparazzi yang suka menyebar kehidupan pribadi para idolanya?

Mengetahui sebab Audey terdiam, lelaki di seberang kembali berkata, “Tenang aja, gue nggak akan sebar, gue masih waras buat mikir kalo setiap public figure punya persoalannya masing-masing. Gue cuma nggak mengira aja lo melalui itu semua, Audey. Lo hebat.

Audey merasakan relung hatinya menghangat. Pertama kalinya ia mendengar itu secara langsung selain dari Hart. “Gue.. belum tau nama lo.”

Gue rasa lo kenal gue, deh. Gue Ambrosius Gideon, member Breve. Kita pernah ketemu beberapa kali di music show.

“Gideon.. Gad?!”

Iya itu nama panggung gue.” Lelaki itu terkekeh. Sedang Audey masih menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia sedikitnya bersyukur bahwa member Breve itulah yang menerima teleponnya.

Btw.” Mendengar lelaki di seberangnya berbicara, Audey menegakkan tubuhnya mendengarkan.

Lo butuh orang buat dengerin lo?

Audey mengangguk, yang tentu saja tak dapat dilihat oleh Gideon di seberang. “Emang kenapa?” tanya lelaki aries itu.

Lo bisa berkeluh kesah ke gue, Audey. Gue tahu lo punya Hart Hart itu buat lo curhat. Tapi gue bersedia kalau lo butuh seorang yang lain buat cerita.

“Huh?” Lelaki diseberang telponnya itu terkekeh mendengar ucapan bingung Audey.

Sini kasih ID lo ke gue, Audey. Ayo kenal lebih deket lagi. Ekhem, maksud gue— ayo temenan.

Antara mereka kini terasa hening. Sejak Sean mengajak Arasy untuk pulang bersamanya, entah bagaimana keadaan diantara mereka menjadi begitu canggung.

Tidak dipertemukan dan berbicara sampai seminggu lebih membuat mereka sedikit canggung. Ah bukan Sean yang canggung, hanya Arasy tepatnya.

Arasy rindu Sean, Arasy rindu lelakinya. Namun semua rasa bersalah juga kehilangannya membuat ia ingin menutup dirinya sendiri. Terbiasa dengan menyimpan segalanya sendiri membuat Arasy merasa sulit untuk mengungkapkan segala keluhannya.

“Sayang.” Arasy menoleh. Sean tersenyum lembut dan menghapus sisa air mata di pipi Arasy.

“Kakak boleh cerita sekarang?”

Dengan kaku Arasy mengangguk. Mempersiapkan hatinya untuk mendengar segala keluh kesah dari suaminya yang mungkin saja makin membuatnya merasa bersalah.

“Kehilangan. Kamu tau? Kakak sudah dua kali mengalami kehilangan. Sosok papi juga anak kita.”

Arasy tercekat. Benar, Sean kehilangan sang ayah beberapa bulan yang lalu.

“Kalau boleh jujur, sayang. Kakak benci kata itu. Kakak benci kalau harus berpisah sama orang yang kakak sayang. Kakak akan lebih memilih mereka pergi meninggalkan kakak ke tempat yang lain dan bukan ke sisi Tuhan. Setidaknya kakak masih bisa melihat mereka bahagia, melihat senyum mereka. Tapi enggak, bukannya itu yang selama ini kakak alami, tapi kakak justru dihadapin sama kehilangan yang lain. Yang maksa kakak buat merasa ikhlas biarin mereka bahagia di dunia mereka yang lain.”

Arasy terdiam mendengarnya, ia tatap Sean yang masih tersenyum menatap dirinya. Bagaimana bisa?

Benar, apabila dipikir oleh Arasy, Sean pun sama lelah dengan dirinya. Tapi bagaimana bisa lelaki itu menunjukkan bahu tegarnya di hadapannya? Bagaimana bisa Sean menguatkan dirinya disaat Sean pun juga sama terlukanya?

Dan bagaimana bisa Sean selalu sabar dan tetap menghadapi dirinya yang seperti ini disaat dirinya pun juga dilanda rasa lelah yang tak dapat dideskripsikan oleh kata-kata?

“Kak Se.. jangan senyum, hiks! Kakak bisa nangis kalau kakak mau.”

“Kakak udah capek nangis sayang. Toh, air mata kakak nggak akan bawa mereka semua kembali dan justru buat kamu sedih.”

“Tapi nangis bikin kakak lega.”

Sean mengambil tangan Arasy dan mengecupnya. Tepat pada tanda lahir miliknya. “Lihat kamu di sini, di sebelah kakak, udah cukup bikin kakak lega, Rasy.”

Setelahnya Arasy terisak. Sean begitu mencintainya. Perkataan lelaki itu benar adanya, Sean memberikan Arasy seluruh dunianya.

“Maafin Rasy, Kak Se..”

“Nggak ada yang perlu dimaafin, sayang.” Sean tersenyum lembut. Ia memberikan kecupan pada puncak kepala Arasy.

“Tapi.. kerja sama kakak.. gagal..”

Sean membulatkan mata, Arasy tahu soal itu? Soal gagalnya kerja sama yang sudah ia kerjakan begitu lama?

“Kamu tau?”

“Rasie denger. Maaf ya Kak Se, kalau Rasie ngga cerita ke mami waktu itu, pasti kakak masih dapet kerja samanya.” Arasy menunduk

Sean menghela nafasnya, ia kemudian dengan lembut ia tangkup pipi kanan Arasy dan bawa lelaki itu menatapnya.

“Karena itu kamu nggak mau cerita ke kakak? Karena itu kamu takut mau cerita?”

Diamnya Arasy, membuat Sean paham. Iya, itu salah satu alasannya.

“Kakak juga bohong sama Rasie.”

“Maaf, waktu itu kakak nggak mau buat Rasie kepikiran. Apalagi Rasie habis nangis. Kakak nggak suka lihat Rasie merasa bersalah.”

“Tapi Rasie tetep ngerasa bersalah, Kak Se..”

“Okay sekarang waktunya Rasie beritahu kakak, apa yang Rasie pikirin selama ini, hm?”

Arasy mendekat kearah Sean, ia melepas tangkupan tangan Sean di pipinya dan kemudian masuk ke dalam dekapan lelaki tampan itu.

“Boleh.. sama peluk kakak?”

“Kamu nggak perlu tanya untuk dapet pelukan dari kakak, Rasy.” Sean membalas pelukan Arasy dan mengelus kepalanya lembut. “Jadi?”

Arasy diam sebentar sebelum melanjutkan. “Kak Se kehilangan kerja sama gara-gara Rasie curhat ke mami. Rasie merasa bersalah sama kakak makanya Rasie pergi. Rasie takut lihat kakak, Rasie terus ngerasa bersalah. Juga, Rasie kehilangan bayi kita. Maaf Rasie nggak bisa jaga dia baik-baik. Kak Se udah siapin segala bentuk persiapan buat dia bahkan sebelum dia genap masuk bulan ke dua. Kakak pasti sayang sama dia tapi Rasie buat dia pergi. Maaf.. Rasie takut mau lihat kakak selama ini. Rasie takut harus muncul di depan kakak dengan rasa bersalah. Rasie takut sama semua suara di kepala Rasie yang bilang ini dan itu.”

Sean diam mendengarkan, biarkan Arasy menyelesaikan segala ceritanya baru ia akan menyangkal semua pemikiran milik Arasy itu.

“Rasie ngerasa bersalah kalau Kak Se selalu bersikap kuat di depan Rasie. Kakak selalu pasang bahu kakak di deket Rasie buat Rasie jadiin sandaran disaat bahu kakak sendiri udah nggak kuat buat nahan semua beban yang kakak alami selama ini. Kak Se kenapa nggak marah sama Rasie karena Rasie selalu nyusahin kakak? Kenapa kakak selalu bujuk Rasie, sabar sama Rasie? Rasie sakit lihatnya, kakak kasih Rasie semua rasa hangat juga bahagia tapi Rasie nggak bisa bales itu.”

Ah, jadi selama ini.. itu yang menyebabkan Arasy menjauhinya? Tak mau menatapnya? Rasa bersalah?

Sean melepas pelukan Arasy dan kemudian menangkup kembali pipi Arasy. “Rasie tau nggak? Kerja sama itu memang penting buat kakak, tapi itu semua nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Iya kakak ngerasa bersalah sama pekerja di kantor karena mereka udah kerja lama banget buat itu, tapi balik lagi sayang. Semua itu nggak ada artinya kalau kamu sedih. Iya kan?” Sean berhenti sejenak.

“Selama ini kakak kerja buat kebahagiaan kamu, tapi kalau kakak kerja kamunya lagi sedih, apa kakak bisa lanjutin itu? Enggak.”

Sean tersenyum, ia mengecup bibir Arasy sejenak sebelum melanjutkan, “Soal bayi kita. Rasie tahu kan kalau hidup dan mati seseorang semua sudah ditulis sama yang diatas? Kita kehilangan baby bukan karena Rasie yang nggak hati hati. Selama ini Rasie udah lakuin yang terbaik buat jaga dia.”

“Apa Rasie sama baby yang ada di perut Rasie juga bakal selamat, Kak Se?”

Sean terdiam. Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya yang lain, Arasy mengingatkannya akan itu.

Akan kemungkinan terburuk yang dikatakan dokter padanya atas hilangnya bayi mereka.

“Kalian bakal selamat, sayang.”

“Rasie ngga papa kalau Rasie pergi, asal baby yang diperut Rasie sekarang bisa lihat dunia. Bisa ngerasain gimana rasanya disayang sama kakak.”

Sean menahan nafasnya mendengar itu. Ia melepas tangkupannya kemudian mengenggam kedua tangan Arasy. “Kalian berdua.. pasti selamat. Kakak pastiin kalian berdua selamat.”

“Kenapa Kak Se yakin? Rasie aja—”

“Karena Rasie nggak akan pernah ninggalin kakak, kan?” Sean memotong ucapan Arasy.

“Rasie bilang kakak itu juga rumah Rasie. Rasie nggak akan bisa pergi dari kakak.”

Arasy menunduk. Ia tahu soal diagnosis dokter mengenai dirinya juga sang bayi.

Arasy memang baik-baik saja semenjak kehilangan salah satu bayinya. Ia hanya merasakan mual dan pusing, sama halnya dengan yang dialami oleh orang-orang yang tengah mengandung pada umumnya.

Tapi bagaimana apabila diagnosis dokter benar? Kalau boleh jujur, Arasy tak akan sanggup meninggalkan Sean dan anaknya sendiri. Arasy juga ingin merasakan bagaimana bayi di perutnya nanti akan bertumbuh dewasa.

“Sayang, kita bersama kan? Kita berdua akan berjuang bersama. Kamu nggak akan kenapa-napa, baby juga nggak akan kenapa-napa.”

Arasy mendongak dan mengangguk mantap. Ia kini memiliki Sean, Sean memiliki dirinya. Apa yang lebih baik dari itu?

Bahu Sean memang tidak sekuat itu, namun bersama Arasy di dekatnya, Sean pun akan tetap berjuang. Begitupun sebaliknya.

Sebab begitukan cara cinta mereka bekerja? Mendukung satu sama lain, berada di dekat satu sama lain dalam keadaan apapun, bahagia dan bersedih bersama.

Arasy menyadari. Pun juga Sean, bahwa bukan hanya ikatan pernikahan yang menyatukan mereka. Namun sebuah ikatan jiwa juga pemikiranlah yang akan membuat mereka makin bersatu.

Malam itu, keduanya berjanji pada satu sama lain bahwa mereka akan ada di sana, di samping pasangan mereka untuk menjadi pundak bagi satu sama lain, selalu berbagi kesenangan maupun kesedihan, dan saling mendukung entah apapun kondisinya.

Sebab Sean adalah rumah bagi Arasy dan sebaliknya, Arasy adalah rumah bagi Sean.

Dan apa yang lebih indah daripada itu?

Setelah hampir bermenit-menit berkutat dengan pikirannya sendiri, Arasy akhirnya memutuskan untuk menghampiri Sean ke ruang kerjanya. Tak pernah sekalipun Arasy temukan Sean melamun seperti ini selain pada saat sang ayah tiada. Lelaki manis itu khawatir.

“Kak?”

Sean menoleh kala Arasy memanggilnya, lelaki itu sunggingkan sebuah senyum kecil setelahnya, “Kamu belum tidur?” tanyanya retoris. “Sini,” lelaki taurus itu memanggil setelahnya.

Arasy mengikuti permintaan Sean, ia berjalan tanpa suara ke samping Sean yang tengah menatap halaman belakang rumah mereka – yang dapat terlihat melalui balkon ruang kerja Sean- lalu ikut diam di sana. Memandangi objek yang dilihat oleh Sean sekarang ini.

Hanya suara anginlah yang terdengar selama beberapa menit sampai akhirnya Sean mengeluarkan suara, “Gimana perasaan kamu sekarang?”

I'm okay.

No, you're not. Rasie kamu bisa cerita sama kakak.”

Arasy merenung. Kalau boleh jujur, Arasy senang. Sean mau memahaminya selama ini, selalu bertanya bagaimana perasaannya, memberinya ruang kala ia butuh waktu sendiri. Namun Arasy juga selalu merasa bersalah, Sean selalu seperti ini padanya namun ia tak bisa melakukan hal yang sama dan malah justru membuat lelaki itu repot.

Arasy membenci dirinya yang seperti itu, ia benci sifat di dalam dirinya.

“Rasie okay.”

“Mau sampai kapan Rasie bilang Rasie okay kalau sebenernya pikiran Rasie dipenuhi sama sesuatu yang jelek? Yang bikin Rasie sedih? Rasie, kakak nggak tahu apa yang ada di pikiran kamu sekarang, kakak nggak tahu gimana perasaan yang kamu rasain sekarang. Kakak cuma tahu kamu lagi nggak okay. Mana Rasienya kakak yang ceria? Mana Rasienya kakak yang selalu semangat waktu lihat kakak?”

Arasy menunduk. Tak menjawab.

“Kakak bawa kamu pulang, kakak seneng kakak berhasil, tapi ternyata kamunya kaya gini, kakak sedih, sayang. Arasynya kakak yang selalu senyum yang selalu pakai emoji lucu waktu chat kakak, kemana?”

Ingin rasanya Arasy menjawab bahwa ia benci dirinya yang itu, ia benci segala sifat yang ada di dirinya, namun ia memilih tak menjawabnya, hati Arasy sakit mendengar ucapan Sean. Mau berapa kali lagi ia akan menyakiti hati lelakinya? Mau berapa kali lagi ia akan membuat Sean sedih?

Alasan Arasy menghindari percakapan panjang dengan Sean beberapa hari setelah ia pulang kemarin adalah ini. Arasy tak mau tambah membenci dirinya, Arasy tak mau menambah luka.

Walau tanpa disadarinya ia juga menambah luka di hati dengan diamnya.

“Arasy-”

“Kak Se, kakak mau apa dari Rasie?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar di benak Arasy. Apa yang diingini lelaki itu sebenarnya? Arasy sudah di rumah sekarang. Bukankah Sean harusnya merasa senang? Kenapa lelaki itu masih merasa sedih?

“Huh?”

“Rasie udah di rumah.”

Ah, Sean mengerti.

“Kakak mau kesedihan kamu, Rasie.”

Arasy mendongak, menatap Sean yang tengah menatapnya dengan senyum lembut dan netra penuh cintanya.

“Huh?” Sean mengangguk, ia taruh tangannya di pipi tembam milik Arasy dan mengelusnya perlahan.

“Kakak mau kesedihan kamu. Kakak mau kamu berbagi kesedihan kamu ke kakak, bilang apa yang ada di pikiran kamu, apa yang buat hati kamu sedih dan sakit ke kakak.”

“Kak Sea-”

“Iya, kakak memang minta kamu pulang. Tapi Rasie, apa kamu benar-benar udah pulang?”

Arasy tak mengerti. Apa maksudnya? Ia benar ada di sini dan artinya ia sudah pulang, bukan?

“Bukan pulang ini yang kakak mau Rasie. Kakak emang berhasil bawa kamu balik ke rumah tapi apa kakak berhasil bawa hati kamu pulang ke rumahnya? Apa kakak berhasil bawa kamu pulang yang benar-benar pulang?” Sean berhenti sejenak, “Raga kamu ada di sini, bareng kakak. Tapi pikiran kamu.. dimana?”

“Rasie, kakak mau kamu pulang ke kakak. Kakak mau kamu bilang semua keluhan kamu semua kesedihan kamu ke kakak. Jadiin kakak sebagai rumah kamu Rasie.” Sean melepas tangannya, ia menatap ke atas, menatap ke arah langit yang dipenuhi dengan bintang.

“Rasy inget apa janji kita waktu nikah?” tanyanya. Buat keduanya -entah secara sadar atau tidak – menerawang ke hari pernikahan mereka.

“Kakak janji sama Tuhan kalau kakak bakal ada di samping kamu dalam keadaan sedih dan juga senang, begitupun sebaliknya. Tapi Rasie, kalau kamu nggak ijinin kakak buat itu, kamu nggak ijinin kakak buat ada di samping kamu sebagai rumah, gimana kakak bisa menepati janji kakak yang satu itu?”

Benar, Arasy sadar akan janjinya satu setengah tahun yang lalu. Dimana ia berjanji akan berada di samping Sean dalam keadaan apapun.

Jujur, kalau Arasy ditanya, apa Sean menepati janjinya yang itu? Maka jawabannya adalah iya. Sean menepatinya.

Selama ini Sean selalu berada di dekatnya, mendengarkan segala keluh kesahnya. Bahkan ditengah kesibukan lelaki itu, Sean selalu menyempatkan diri untuk selalu ada di dekatnya, menghiburnya, membuat moodnya kembali.

Dan itu membuat Arasy tersadar suatu hal. Bukan Sean yang tak menepati janjinya, tapi dirinya. Sean pun selama ini menyimpan banyak kesedihan tetapi lelaki itu selalu tersenyum padanya, bersikap kuat di depannya.

Tapi kenapa ia justru mengabaikan lelaki itu? Lelaki yang selama ini selalu ada di sampingnya, menjadi tempatnya untuk bersandar. Lelaki yang akan selalu menerima dirinya dalam keadaan apapun, kondisi apapun.

“Rasie, sayang, apa semua perilaku kakak selama kita menikah ini.. belum cukup buat nunjukkin kalau kakak cinta sama kamu?” lirih Sean. Ucapannya barusan berhasil mencubit hati Arasy. Matanya memburam oleh air mata.

Tidak, Arasy tahu bahwa Sean mencintainya, pun perilaku lelaki tampan itu berkali kali membuatnya merasa istimewa. Diperlakukan layaknya seorang raja, diberi sebuah kehidupan yang begitu indah tak ada tandingannya.

Arasy sendiri tidak paham apa yang terjadi pada pemikirannya. Sebuah rasa bersalah yang tak ada habisnya selalu muncul di benaknya saat ia menatap Sean. Sean berkata itu semua tidak apa-apa tapi apa iya hati suaminya itu benar-benar tidak apa-apa?

Ia tak mengerti. Segala bentuk perilakunya selalu saja menyakiti hati Sean. Sean menyayanginya, dari beberapa tahun lalu. Sean berjuang demi dirinya, namun apa yang ia berikan kepada lelaki tampan itu?

Rasa khawatir, cemas, dan juga kesedihan?

Arasy merasa malu. Disaat Sean memberikannya seluruh dunia, seluruh kebahagiaan, kenapa dirinya hanya bisa memberikan sebuah rasa sakit?

“Kak Se, cinta kakak sama Rasie, perilaku kakak dama Rasie, semuanya itu cukup.”

“Tapi kenapa, sayang? Kenapa kamu nggak mau bagi keluh kesah kamu ke kakak? Kamu nggak percaya sama kakak?” Sean bertanya, menatap mata Arasy.

“Rasie... Percaya sama kakak.”

No, you're not.

Arasy menggeleng, air matanya mengalir deras. “Aku percaya sama Kak Se. Aku percaya. Aku..” ia menggantungkan ucapannya, ragu.

“Apa? Kamu apa, sayang?” Sean bertanya lirih.

“Aku nggak percaya sama aku. Aku benci diriku sendiri, Kak Se. Aku benci kenapa aku kaya gini. Kenapa Rasie harus kaya gini, Rasie ngga suka. Hiks!”

Sean diam menatap lelaki manisnya.

“Kakak selalu kasih semua ini ke Rasie, Rasie selalu bahagia sama kakak, tapi kenapa Rasie nggak pernah bisa kasih itu buat Kak Se? Kenapa kakak malah selalu sedih, selalu repot, juga selalu kecewa sama Rasie?” Tatapan lelaki manis itu kembali memburam, ia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menangis tersedu di sana.

“Hiks.. Rasie benci diri rasie sendiri.”

Sean sendiri diam, ia tak menyangka selama ini Arasy seperti ini.

“Siapa bilang kamu kasih kakak rasa kecewa, Rasie?”

“Siapa yang bilang kalau kamu selalu bikin kakak sedih?”

“Siapa juga yang bilang bahwa kakak selalu repot karena kamu?”

“Rasie, kamu itu bahagianya kakak kamu dunianya kakak. Seluruh pusat kehidupan kakak ada di kamu juga anak kita, keluarga kecil kita. Nggak pernah sekalipun kakak berpikir kalau kamu itu sumber kesedihan kakak selama ini. Kamu itu sumber kebahagiaan kakak. Gimana bisa kamu mikir kaya gitu, hm?”

Sean kecewa pada dirinya sendiri. Kesibukannya, perilakunya selama ini berhasil membuat Arasy seperti ini.

Perlahan, ia rengkuh diri Arasy dan membawa lelaki manis itu menangis di bahunya. Arasy tentu tak menolak ia meremas baju yang dikenakan Sean, menahan rasa sakit yang ada di hatinya sekarang ini.

“Kakak cinta sama Rasie.”

“Hiks.. Kak Se..”

Sean tersenyum, ia mengelus surai Arasy dengan lembut. “Kakak sadar, kita berdua belum sepenuhnya bersatu ya?”

Arasy menggeleng keras. “Udah! Hiks!”

“Rasie, kita memang bersatu sama ikatan pernikahan. Kita bahkan udah mau punya seorang anak. Tapi pikiran kamu belum milik kakak, semua keluhan kamu nggak kamu bagi ke kakak. Padahal kita menikah bukan untuk berkeluarga tapi juga untuk berbagi keluh kesah, kan?”

“Tapi Kak Se juga nggak pernah bagi keluh kesah kakak ke aku.”

Sean terkekeh, sejujurnya ia tak butuh berkeluh kesah. Hanya dengan menatap wajah lelaki manis itu, hanya dengan menatap senyum milik Arasy. Segala kesusahannya hilang entah kemana.

Jika begitu, bagaimana bisa Arasy berkata bahwa ia membawa kesedihan dalam hidup Sean?

“Kakak udah cukup bahagia lihat senyuman kamu.”

Arasy melepas pelukan, ia menatap Sean yang tersenyum lembut padanya. Sekarang bilang pada Arasy, seberuntung apa dirinya bisa memiliki Sean sepenuhnya?

“Rasie tetep suka kalau kakak juga berbagi ke Rasie. Rasie juga mau penuhin janji Rasie ke Tuhan. Rasie juga mau jadi tempat kakak buat keluh kesah.” lirihnya.

Sean melebarkan senyumnya, tak mau memungkiri dirinya bahagia mendengar ucapan Arasy. Perlahan ia angkat tangannya dan menghapus sisa air mata di wajah Arasy.

“Kalau gitu, Rasie juga cerita ke kakak ya? Apa yang rasie pikirin. Kakak juga bakal cerita tentang semua ke kamu. Ayo pulang bersama kali ini, sayang.”

Arasy memandang langit penuh bintang yang berada di atasnya sekarang ini. Berada di kolam renang rumahnya dengan suasana sepi buatnya merasa lebih tenang.

“Hai baby, apa kamu bisa lihat papou dari sana? Lihat saudara kamu yang ada di perut papou?” Arasy bertanya, masih menatap langit bertaburan bintang di atasnya.

Arasy memejamkan matanya kala angin berhembus meniup surainya dan juga beberapa pohon di sana. Kakinya yang berada di dalam kolam ia ayunkan pelan, merasakan ombak kecil yang dibuat olehnya dari air kolam renang.

'Babies, karena papou ada di sini bareng kalian berdua, satu diatas langit dan satu di perut papou, papou mau tanya. Papou harus apa sekarang? Papou ngelakuin banyak kesalahan sama daddy kalian berdua. Gimana caranya papou bisa lihat daddy kalian? Papou selalu ngerasa bersalah,' ia bergumam dalam hati sembari mengelus perutnya, membuka mata dan mendongak menatap langit malam hari itu.

Arasy berkali kali menghela nafasnya, ia rindu saat semuanya baik-baik saja.

Tanpa Arasy sadari, sedari tadi Sean berada di sana menatap dirinya yang tengah menatap kearah langit.

Lelaki itu juga ikut menatap langit malam yang ditatap Arasy sekilas dan ia tersenyum kecil saat netranya menangkap dua cahaya yang bersinar terang di sana. Mungkin itu adalah ayah dan malaikat kecilnya.

'Apa kalian bahagia di sana? Aku rindu.'

“Sean?”

Sean tersentak kala bahunya ditepuk oleh ayah mertuanya, “Pa, udah pulang?”

“Udah barusan. Kenapa nggak dihampiri Rasynya?”

Sean tersenyum kecil, menatap tubuh mungil suaminya yang berada di pinggir kolam renang, “Rasy belum mau bicara sama Sean papa, Sean takut kalau Rasy lagi pengen sendiri.”

“Gimana kalo enggak? Sean, kamu nggak akan pernah tahu apa yang ada di pikiran orang kalau kamu cuma diem. Papa tahu kamu udah berusaha buat ajak Rasie komunikasi selama ini dan Rasie masih diem. Mumpung kaya gini, Yan. Mumpung Rasienya lagi di luar ajak bicara. Kamu pasti kangen juga kan sama Rasy?”

Sean tatap wajah manis milik Arasy. Apa Sean rindu? Tentu saja. Sean rindu, sangat rindu. Sudah seminggu lebih ia tak berbicara pada Arasy, tak menatap wajah lelaki manis itu.

“Kangen banget, pa. Sean kangen sama Rasy.”

Si pria paruh baya terkekeh, “Papa nggak tahu apa yang lagi kalian alamin, dan papa nggak mau ikut campur. Papa yakin Sean bisa selesaiin ini.”

“Iya pa.”

“Yaudah samperin gih anaknya, papa mau ke mama.”

“Iya pa, makasih banyak.”

Sang papa tersenyum dan mengangguk. Ia memberikan satu tepukan semangat di bahu milik Sean. Lelaki paruh baya itu percaya pada menantunya dan merasa bersyukur bahwa Seanlah seseorang yang menjadi pendamping putra manisnya.

Sepeninggalan sang ayah mertua, Sean berjalan pelan menuju Arasy.

Arasy yang sebelumnya memejamkan mata, membuka matanya kembali ketika merasa ada seseorang di sebelahnya. Ketika ia menoleh ia terbelalak menemukan Sean tengah tersenyum sembari mendongak menatap langit.

“Kak Se..” gumamnya.

“Langitnya indah ya malam ini?” Sean bertanya, ia menoleh, menatap Arasy yang masih menatapnya. Arasy tak menjawabnya.

“Apa kamu tenang lihat langit kaya gini?”

Lelaki manis itu perlahan mengangguk, buat Sean tersenyum. “Kamu apa kabar? Hati kamu?”

I'm okay.”

Totally okay?

No.

Lelaki kelahiran April itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada Arasy, melingkarkan tangannya di pinggang lelaki manis itu yang sedikit berisi. “Kamu bisa berkeluh kesah ke kakak, Rasie.”

Arasy tak menjawab. Membuat Sean paham Arasy sedang tak ingin membicarakannya. Maka ia mengganti topik.

“Kakak kangen kamu banget, tau. Kakak seneng akhirnya bisa lihat wajah kamu.”

“Kalau kakak boleh tahu.. Kenapa Rasie diemin kakak hm? Kakak sedih nggak denger suara kamu beberapa minggu ini,” lanjutnya.

Lelaki jangkung itu kembali mendongak menatap langit yang bertaburan bintang malam ini. “Kakak tahu berat banget karena kehilangan baby. Tapi sayang, pasti baby udah bahagia sekarang di sana. Kita nggak bisa terus berhenti di sini. Kita harus ikhlas sayang. Hidup kita terus maju,” katanya.

“Kak Se..” lelaki manis itu mengeluarkan suara, memanggil Sean setelah mendengarkan suaminya berbicara sedari tadi.

“Iya?”

“Kakak kenapa masih mau sama Rasie?”

Sean mengernyit. Apa-apaan pertanyaan lelaki itu?

“Kakak suami kamu, kita bersumpah di depan Tuhan, di depan orang tua kita, di depan banyak orang kalau kakak bakal selalu cinta sama kamu.”

“Kakak nggak benci sama.. Rasie?”

“Atas dasar apa kakak benci kamu sayang? Kakak sayang banget sama kamu.”

Melihat suami kecilnya hanya diam, Sean pun melanjutkan, “Kakak tahu kamu pasti mikir banyak soal baby kita yang gugur. Permintaan kakak selama ini juga susah buat kamu. Kakak tahu mungkin kamu masih takut, kamu masih ragu. Tapi karena kamu disini bareng kakak sekarang, kakak mau ajak kamu sekali lagi malam ini. Ayo pulang, sayang. Kakak kangen. Banget.”

“Rasie juga..”

“Juga apa? Kangen kakak?”

Arasy tak menjawab, ia memutuskan untuk menyandarkan kepalanya di bahu Sean, membiarkan jemari Sean mengelus surainya dengan sayang.

Perilaku Arasy ini sudah cukup menjadi jawaban untuk Sean atas pertanyaannya.

Iya, Arasy juga merindukan dirinya.

Keadaan selanjutnya adalah mereka sama sama diam, Sean masih terus memberikan afeksinya pada Arasy, mengelus surai lelaki itu dengan lembut, berharap bahwa Arasy mungkin akan berbicara soal diamnya dia malam ini. Atau mungkin.. Arasy berkata padanya bahwa Arasy akan ikut dengannya pulang ke rumah.

“Kak Se.” Sean tersenyum mendengar panggilan itu.

“Iya, sayang? Kamu butuh sesuatu?” Arasy menggeleng. Ia tidak butuh sesuatu. Melainkan ia ingin berkata pada Sean bahwa ia ingin pulang.

Arasy rindu rumahnya dengan Sean, Arasy rindu melihat Sean setiap harinya. Namun saat akan bersuara, lelaki itu ragu. Dia merasa takut.

Bagaimana jika ia pulang Sean justru mengalami hal yang sama?

Bagaimana jika saat ia pulang ia justru membuat Sean kerepotan?

Arasy ingin menyuarakan keinginannya untuk pulang, tetapi segala pemikiran buruk yang hinggap di kepalanya sedari beberapa minggu ini begitu jahat.

Ketika netranya bersitatap dengan Sean pun, ia temukan sebuah sirat kerinduan di sana, ia sadar, rasa rindunya pada Sean terbalas tak kalah besarnya. Arasy mungkin bisa menjauh dari Sean begitu lama, mendiami lelaki itu. Tapi ini tak menutupi fakta bahwa Arasy mencintai Sean, ia selalu merindukan lelaki itu di setiap detik dalam hidupnya.

Tetapi sekali lagi, lelaki itu takut. Ia membenci dirinya yang manja, ia benci segala sifatnya yang selalu buat Sean mungkin saja kerepotan.

Arasy berkelahi dengan segala pemikirannya, di satu sisi ia ingin pulang, ia rindu Sean. Tetapi di sisi lain, ia menakutkan segala apa yang akan terjadi apabila ia terus berada di dekat Sean, bersikap manja dan menyebalkan yang mungkin bisa saja buat Sean kerepotan.

Namun hari ini, lelaki manis itu tak mau tenggelam dalam kebenciannya. Segala bentuk bujukan Sean kepadanya selama ini terputar dengan baik di kepalanya. Juga, ketika Sean jatuh sakit sebab kelelahan. Arasy tak mau mengelak bahwa ia tahu. Ia tahu kalau Sean kelelahan sebab bekerja lalu dilanjut dengan membujuknya.

Maka begitu, saat Sean berada di sini. Sean sudah dapat ia pandang dengan kedua matanya, ia memutuskan untuk mengikuti Sean pulang, menuruti permintaan lelaki itu. Ia ingat dirinya pun masih memiliki banyak kewajiban yang harus dijalankannya dalam rumah tangganya.

Juga, rasa rindunya yang membuncah saat melihat Sean sekarang ini, membuat Arasy ingin selalu berada di dekat lelaki itu.

Arasy berpikir bahwa tak apa jika dirinya selalu dikelilingi oleh pemikirannya yang jahat, asal dirinya dapat selalu memastikan bahwa Sean baik-baik saja.

Setidaknya Sean berada di dekatnya, ia dapat melihat Sean dan Sean bahagia Arasy didekatnya. Bukan begitu?

“Ayo pulang, Rasie mau pulang ke rumah sama kakak.”

Arasy tak dapat berkata-kata dikala Sean memberitahunya apa yang terjadi. Ia masih berada di ruang perawatan, sebab tadi sempat pingsan akhirnya dokter menyarankan agar Arasy tinggal di rumah sakit untuk semalam.

“Sayang,”

Mendengar panggilan lembut dari Sean, Arasy yang tadinya menunduk menoleh menatap tepat pada mata sang suami. Sean mungkin terlihat baik-baik saja, tapi Arasy tahu mata lelaki itu berkata lain. Ada luka yang lelaki itu tak pernah suarakan demi dirinya, demi kebahagiaannya.

“Kak Se, hiks!”

Sean berdiri dari duduknya, ia bawa Arasy dalam pelukan, mengelus kepalanya dengan sayang, “Sayang, kita nggak bisa ngelawan yang namanya takdir dari Tuhan, sayang. Baby pergi karena Tuhan lebih sayang sama dia,” Sean berkata, namun itu tidak menenangkan Arasy sama sekali.

Bagaimana perasaan orang tua ketika kehilangan anaknya? Sakit.

Arasy ingin meminta maaf berkali-kali kepada Sean, kepada bayi yang masih ada di kandungannya, kepada bayinya yang gugur. Arasy ingin ucapkan sebanyak mungkin kata maaf pada mereka.

Maaf kepada Sean karena dia selalu merepotkan, membuat lelaki itu selalu sibuk dan maaf kepada bayi yang berada di kandungannya karena ia kehilangan saudara kembarnya, juga maaf kepada bayinya yang gugur karena ia tak dapat melihat dunia, merasakan kehangatan dan cinta dari semua orang tersayangnya.

Arasy ingin meminta maaf kepada semuanya, sebab ia tak bisa menjaga titipan dari Tuhan dengan begitu baik.

“Sayang,” panggil Sean sekali lagi, ia menangkup pipi Arasy dan menghapus air mata lelaki itu.

Dan saat itu pula Arasy bertemu tatap dengan Sean lagi, ia menemukan semua kesedihan dari mata Sean. Sarat sedih dan kelelahan sangat terlihat di netra suaminya.

“Maaf Kak Se, maafin Rasie. Rasie nggak bisa jaga baby baik-baik. Hiks!”

“Sayang, bukan kamu yang nggak bisa jaga baby baik-baik. Kamu udah jaga mereka dengan baik,” Sean berkata, menghapus air mata yang keluar dari mata Arasy, “Tapi sekali lagi sayang, kita nggak bisa ngelawan takdir Tuhan, kalau Tuhan bilang pergi, maka memang kita harus pergi. Rasie itu papou yang hebat, ya? Nggak boleh sedih lagi, baby diatas sana pasti sedih lihat papounya nangisin dia.”

Arasy melepas kedua tangan Sean dari pipinya dan kemudian menaruh kepalanya di pundak milik Sean, “Baby pergi... Baby di perut Rasie nggak punya temen sekarang.. Padahal Rasie udah bayangin mereka main bareng nanti, recokin aku sama kakak berdua..” lirihnya membuat hati Sean serasa tercubit.

Sean pun sama sebenarnya, ia sudah membayangkan banyak hal yang dapat ia lakukan dengan bayi-bayinya, ia membayangkan saat ia pulang kerja nanti kedua bayinya akan berlari, memeluk kakinya satu satu menghilangkan rasa lelahnya.

Namun sekali lagi, Sean tak bisa melawan apa yang sudah ditulis sebagai takdirnya.

Jika ia memang kehilangan maka ia harus ikhlas, Sean tahu akan ada rencana yang akan lebih baik lagi nantinya

Kalau boleh jujur, Sean pun sedih, hatinya berduka. Ia ingin menangis bertanya kepada Tuhan kenapa ada saja cobaan yang datang di keluarga mereka sekarang. Namun ia juga ingat bahwa ia memiliki Arasy yang lebih rapuh darinya, yang pasti akan merasa sangat kehilangan.

Belum lagi diagnosis dari dokter yang berkata bahwa kemungkinan besar kandungannya akan berdampak pada bayi mereka yang lain juga Arasy, buat keduanya makin sedih.

“Rasy, sayangnya mama..”

Arasy menjauhkan wajahnya dari pundak Sean kala mendengar suara ibunya. Melihat kedua orang tuanya mendekat, ia merentangkan tangan, meminta peluk dari keduanya.

Sedangkan Sean menghampiri ibunya, dan mendapat sebuah pelukan dari sang mami. “Mami..”

“Mami tahu Sean kuat ya? Papi pasti lagi jagain anak kamu di sana. Papi pasti seneng bisa ketemu cucunya. Tugas kita disini sekarang cuma lanjutin masa depan, Sean. Kamu sama Rasie, hidup kalian masih panjang. Jangan terpaku sama kehilangan ini, kalian harus terus maju.”

Mendengar bisikan sang mami, Sean menangis dalam diam di pelukan ibunya. Selain pelukan dari Arasy, pelukan ibunya lah yang ternyaman bagi Sean. Lelaki itu merasa lebih tenang.

“Papa, Rasie mau pulang ke rumah papa mama..”

Mendengar gumaman itu Sean melepas pelukannya setelah sebelumnya menghapus air mata — ia tak akan biarkan Arasy melihat air matanya —

“Loh kenapa? Kan Rasy harusnya sama suami Rasy?”

Arasy melirik Sean yang tengah menatapnya kemudian kembali menatap ibunya dan menggeleng. Ia merasa bersalah melihat Sean. Sakit rasanya melihat netra lelaki itu. Ia telah melakukan banyak kesalahan pada suaminya.

“Rasie mau pulang.”

Sang mama menatap Sean yang hanya tersenyum dan mengangguk, “Nggak papa mama, nanti kalo Sean kangen Rasie, Sean ke rumah mama. Biar Rasienya tenang dulu.”

Sean mendekat kearah Arasy dan mengecup sekilas pelipis lelaki manis itu, “Sembuhin dulu sakit kamu ya, sayang? Kakak nggak papa. Tapi nanti Rasie harus inget kalo Rasie masih punya kakak yang selalu tunggu Rasie, ya?” ucapnya kemudian menaruh tangannya di perut Arasy dan mengelusnya pelan.

'putri atau putra daddy di dalam sana, bilang sama papou jangan sedih ya? Saudaramu pasti udah ketemu sama grandpa disana' katanya dalam hati.

Kembali Sean mengecup puncak kepala Arasy baru setelahnya berdiri tegak. “Aku ke rumah dulu ma, pa, mi, mau ambilin baju Rasie. Rasie pasti ngga bawa baju banyak ke rumah mama kemarin kan?” katanya kemudian keluar dari kamar rawat milik Arasy.

Meninggalkan Arasy yang menatap punggung tegapnya dengan tatapan penuh arti.

Punggung tegap itu menanggung beban yang begitu banyak. Namun tak pernah sekalipun Arasy melihat lelaki itu mengeluh lelah di hadapannya.


Sean duduk di kursi penumpang, di samping Kalan yang berada di kursi kemudi sedari tadi.

“Lo oke?”

“Gue kehilangan anak gue dan lo masih tanya gue oke apa nggak? Rasie jauhin gue dari kemarin, lo pikir gue oke? Nggak, Lan,” kata lelaki itu, menyandarkan kepalanya pada kursi. Memijat keningnya yang terasa sakit.

“Sean..” Kalan, lelaki itu tahu. Sean adalah sahabatnya sedari mereka berada di sekolah menengah. Segala keluh kesah Sean, Kalan tahu semuanya.

“Jalanin aja mobilnya, gue nggak papa.”

Berbekal Alamat yang dikirimkan oleh Dariel melalui ponsel milik Arasy tadi, Sean beserta Kalan menelusuri jalan menuju lokasi tersebut, tempat dimana Arasy mengikuti acara reuni – makan makan dengan teman-teman kuliahnya.

Begitu mata Sean menangkap nama restoran yang sama dengan nama yang tertulis di ponselnya, ia meminta kalan untuk menepi. Lelaki itu segera keluar dari mobilnya setelah mobil terparkir dengan sempurna diikuti dengan Kalan.

“Arasy,” lelaki itu bergumam pelan kala ia menemukan tubuh Arasy berada di sofa. Bersama dengan lelaki seumuran lelaki manis itu yang Sean tebak bernama Dariel.

Segera, Sean mendekat dan menatap wajah Arasy, wajah yang sudah hampir empat hari tidak dilihatnya, wajah yang begitu Sean rindukan. “Kenapa bisa gini?”

“Gue nggak tahu, Kak. Tadi gue lagi nyambut temen-temen yang lain, gue tinggal Rasynya dia bilang nggak papa. Yaudah gue tinggalin. Waktu gue balik dia udah di lantai sama hapenya kebuka di roomchat punya lo. Jadi gue chat lewat situ aja suruh lo ke sini,” jelas Dariel.

“Terus lo nya nggak langsung bawa ke rumah sakit gitu?” Kalan menyerobot, ia kesal melihat Arasy justru dibiarkan di sofa restoran bukannya di bawa ke rumah sakit.

“Temen gue yang bawa mobil lagi ambil barang ketinggalan, Kak. Gue nunggu ojol pasti lebih lama lagi.”

Sean menghela nafasnya, ia kemudian berdiri dari posisinya dan memutuskan untuk menggendong Arasy jika saja Kalan tak menghetikannya, “Heh! Lo lemes gitu ntar jatuh berdua malah berabe, Yan!”

Sean tak mendengarkan, ia menaruh tangannya di bawah lutut dan punggung milik Arasy, mengangkat lelaki kesayangannya dengan Bridal Style, “Gue bisa, ayo ke rumah sakit sekarang,” katanya kemudian berlari ke depan.

Sesampainya di mobil, Sean membawa Arasy ke tempat duduk penumpang di belakang, membiarkan lelaki manis itu duduk di pangkuannya dengan kepala bersandar di dadanya.

“Kamu kenapa sih, sayang, hm? Kakak khawatir banget sama kamu dari kemarin,” gumamnya pelan sembari mengelus pipi Arasy dengan tangannya yang bebas – yang tidak dipakainya untuk menahan tubuh Arasy dari belakang.

“Yan-”

“Buruan, Lan.”

Kalan yang baru masuk ke mobil mengangguk, ia pun juga khawatir melihat lelaki manis sahabatnya itu seperti ini. Sean sedikitnya bersyukur sekarang sudah hampir malam, jalan di sana tidak begitu ramai hingga mereka dapat sampai di rumah sakit dengan cepat.

“Kak Se..” Sean yang sedari tadi menatap jalan menunduk kala rungunya mendengar suara milik Arasy.

“Sayang? Sayang, Rasie, mana yang sakit hm?” Sean menggenggam tangan bertanda lahir milik Arasy dan mengelusnya lembut. Membuat lelaki manis yang merasa nyaman tersebut menyembunyikan wajah di dada milik Sean, menangis di sana.

Ditengah rasa sakit kepalanya yang mendera, ia rindu bau milik suaminya.

“Sayang, hei, kenapa? Mana yang sakit sayang? Beritahu kakak.”

“Pusing, Kak Se. Dingin,” gumamnya lemas.

“Lan, bawa mobilnya cepetin,” perintahnya sembari mengambil selimut yang sengaja ia taruh di mobilnya untuk menutupi tubuh Arasy.

“Sebentar sayang, kita hampir sampai ke rumah sakit, ya?”

Sedang Arasy hanya mengangguk memejamkan mata, kepalanya terasa sakit dan perutnya terasa bergejolak.


tw // miscarriage

“Bagaimana, dokter?”

Dokter yang baru saja keluar dari tirai tempatnya memeriksa keadaan Arasy menghela nafas. Ia meminta Sean untuk duduk dan berbicara dengannya.

Dokter tersebut menunjukkan hasil usg milik Arasy kepada Sean, jika usg yang diberikan oleh Arasy dulu, Sean dapat melihat adanya dua janin di sana, sekarang hanya satu yang dapat dilihatnya dari foto di tangan dokter. Apakah..?

“Seperti yang bisa anda lihat, janin kembar kalian satunya tidak terdeteksi,” Dokter menjelaskan, membuat Sean menahan nafasnya sejenak.

Vanishing twins syndrome, kejadian ini biasa terjadi di kandungan kembar, sebenarnya. Penyebab adanya vanishing twins syndrome pun belum dapat diketahui penyebabnya hingga sekarang walau sering terjadi, para ahli bilang bahwa ini dapat terjadi karena adanya kelainan kromosom pada bayi. Ini pun tidak berdampak apa-apa pada yang mengandung juga bayi yang satunya. Tapi-”

“Tapi bagaimana dokter?”

“Kehamilan pada laki-laki masih termasuk sesuatu yang asing bagi kita, kan? Jika biasanya vanishing twins syndrome pada kandungan wanita yang masih berusia satu hingga tiga bulan tidak akan berisiko besar, maka pada laki-laki berbeda.”

Sean tidak sebodoh itu untuk tidak memahami bahwa Arasynya tengah dalam bahaya. Apakah selama ini tidak cukup cobaan untuk mereka? Selama satu tahun pernikahan, mereka harus dipisahkan oleh jarak dan sekarang setelah mereka bersama cobaan juga tetap datang pada mereka.

“Apa ada kemungkinan terburuk dari ini?” Sean selipkan sebuah arti dalam pertanyaannya, dan dokter mengerti.

“Tentu saja ada, Tuan. Walau ini mungkin tidak berefek selama masa kehamilan, tapi nanti pasti ada komplikasi di trimester akhirnya.”

Dan jika begini, artinya Sean dan Arasy hanya dapat berharap bahwa Tuhan masih berbaik hati kepada mereka untuk merasakan hangatnya kasih sayang keluarga kecil mereka nanti. Bukan begitu?

Sean menatap tirai yang menutupi tempat dimana Arasy berbaring dengan khawatir. Bagaimana caranya memberitahu lelaki manis itu?


p.s : Aku cuma baca soal Vanishing twins syndrome pada perempuan di internet dan yang lainnya demi keperluan cerita, aku ngarang. Maaf kalo ada salah kata. Please, don't take it seriously ya guys, tia.

“Kakak, ditaruh dulu handphone-nya, ih! Sini makan!”

Sean yang tengah memainkan ponselnya mendongak, menatap Arasy yang sudah lengkap dengan apron dan juga spatula di tangan. Lelaki manis itu memang sudah memasak untuk lauk makan siang, namun setelah Sean sampai di rumah, tiba-tiba Arasy bilang ia ingin membuat cupcake untuk Sean.

“Kamu juga jangan buat dulu cupcakes nya. Belum makan nasi kan? Sini kakak suapin sekalian,” ucap Sean sambil duduk di salah satu kursi meja makan, memperhatikan Arasy yang mengambilkan lauk pauk untuk ditaruh ke piringnya.

“Hei, kok dikacangin?”

Arasy merenggut kala Sean menarik hidungnya, “Kak Se! Kan Rasy lagi fokus naruh makanan, ih!” katanya, memukul telapak tangan Sean yang kini sudah berada di atas meja.

“Makanya kalo suami ngajak kamu ngomong tuh jangan dikacangin.”

“Kak Se nyebelin banget ternyata yah!” serunya sambil menatap Sean sinis.

Selama ini, Arasy tak pernah merasakan ini, ia tak pernah berada di dekat Sean selama berminggu-minggu lamanya.

Dan satu yang Arasy baru tahu, kakak kesayangannya ini memiliki sifat usil yang buat dirinya selalu ingin melayangkan pukulan – apabila tidak ingat bahwa lelaki jangkung itu adalah lelaki yang sudah mengucap janji dengannya di hadapan Tuhan, yang berarti lelaki itu ialah suaminya.

Atau mungkin.. Arasy seperti ini karena bayi yang tengah berada di perutnya, ia tak bisa mengendalikan emosinya dengan baik.

“Yaudah, yaudah, maaf ya sayang? Sini duduk sebelah kakak. Kakak suapin, mau?”

Masih dengan merenggut sebal, lelaki manis itu duduk di sebelah Sean. lengkap dengan apron yang masih terpasang di tubuh rampingnya.

Usia kandungannya masih sekitar 6 minggu, omong-omong.

“Mau di suapin, hm?”

Arasy tidak mengangguk ataupun menggeleng, lelaki manis itu hanya membuka mulutnya, ia melantunkan A panjang, sebagai isyarat bahwa ia menerima suapan dari Sean. Perilakunya ini berhasil buat Sean gemas sendiri.

“Kak Se,” Arasy memanggil setelah ia mengunyah makanannya, buat Sean menghentikan suapan.

“Hm?”

“Buat cupcakes bareng Rasy, yuk?”

“Eh?” Sean menatap jam yang melingkar di tangannya, dan dengan begitu saja, Arasy paham kalau suaminya memiliki kegiatan penting setelah ini.

Sebenarnya sih, Arasy sangat ingin bisa masak berdua bersama Sean, namun ia tak mau membuat lelakinya harus repot. Walau Sean sudah kembali, lelaki itu kan juga punya kewajiban di perusahaannya, dan Arasy rasa, Arasy tak punya hak untuk meminta Sean libur sejenak dari kantor.

Lelaki itu pasti sudah melakukan banyak untuknya, dan Arasy tak mau membuat Sean makin repot karena permintaannya. Toh, tadi Sean kembali kan juga hanya untuk makan siang.

“Eum.. Ngga jadi deh, heh. Kak Se berangkat aja ke kantor. Nanti waktu pulang cupcakes nya tinggal di makan,” katanya tersenyum.

“Rasie?”

“Rasie tau Kak Se sibuk kok, engga deh, jangan tinggalin kerjaan kakak demi keinginan Rasie, Rasie tahu kerjaan kakak lebih penting,” ucapnya menunduk, menghindari tatapan mata Sean.

“Sayang,” Sean memanggil, ia tangkup kedua pipi Arasy dan mengelusnya lembut, membawa wajah lelaki manis itu untuk menatapnya. “Kata siapa? Siapa yang bilang kalau kerjaan kakak lebih penting daripada kamu?”

Jujur saja, hati Sean sakit. Sudah setahun lebih ia menikah dengan Arasy, namun ia tak pernah berhasil buat lelaki manisnya percaya. Entah sudah berapa kali Arasy memendam semuanya sendiri, soal kesibukan juga pekerjaannya, Arasy selalu berkata tidak papa, padahal Sean tahu bahwa Arasy tidak pernah baik-baik saja dengan kesibukannya.

Pun, Sean juga telah berjanji pada dirinya sendiri, juga pada Arasy, bahwa ia tak akan sesibuk itu lagi. Sean memiliki tanggung jawab lain selain pekerjaannya. Ia pun juga harus menjadi suami juga ayah yang baik untuk Arasy. dan calon anak-anaknya.

“Kak Se, Rasy paham kakak sibuk, kakak udah bangun semuanya dari awal, dan Rasy ngga bisa egois.”

“Rasy, sayang. Kamu nggak egois hanya karena minta kakak, suami kamu, buat nemenin kamu di rumah. Justru kakak yang egois selama ini, sayang. Kakak selalu pentingin pekerjaan kakak, jarang pulang, dan bikin kamu jadi nggak percaya sama kakak kaya gini. Maaf.”

“Aku percaya Kak Se!”

Sean tersenyum, ia majukan wajahnya dan kecup kening Arasy, “Kalau gitu percaya juga sama ucapan kakak kalau kamu lebih penting dari semua pekerjaan kakak, ya? Keluarga kecil kita, kakak, kamu, juga calon bayi-bayi kita, itu semua paling penting buat kakak.”

I love you..” cicit Arasy kala mendengar Sean. Lelaki manis itu melingkarkan lengannya ke perut Sean, menenggelamkan wajahnya di dada lelakinya.

I love you more, sayang.

Sean balas peluk Arasy, ia mengecup puncak kepala suaminya berkali-kali, menunjukkan seberapa sayang dirinya akan Arasy.

“Kakak nggak akan berangkat lagi, ya? Kita masak bareng, mau?”

“KAK SE SERIUS?”

“Serius dong, jadi kakak perlu ngapain nih, Sayang?”

“Nanti Rasy kasih tahu di dapur, hehe. Ayooooo!” Arasy menarik tangan Sean untuk menuju dapur.

Membuat lelaki itu kelabakan dan mengambil ponselnya di meja sebelum tubuhnya tertarik oleh Arasy ke dapur.

“Sabar, sayang, sabar, aduh. Kakak kabarin Kalan dulu kalo kakak nggak balik ke kantor.”

“Oh iya, Kamu sama kakak juga belum makan hey! Ayo makan dulu!”

“Hehehehe, oh iyaa! Lupa Rasy nyaa!”

Hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi Azure. Kembalinya sang putri mahkota yang disayangi seluruh penduduk dan juga kembalinya Azure seperti semula. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada itu.

Ditambah kini, semua penduduk dikumpulkan oleh Alan di satu tempat untuk merayakan ini semua sekaligus memberikan sedikit hadiah pada.. ekhm, si pemuda elf yang sempat menggantikan Alan selama beberapa hari.

“Atas nama Azure, aku, Alano Evandrey mengucapkan terima kasih kepada seluruh penduduk Azure atas kepercayaan kalian semua kepadaku selama ini. Termasuk, secara pribadi aku berterima kasih kepada Herold dan Edward yang telah membantu aku beberapa hari ini,” Alan berkata, ia tersenyum memandang seluruh orang yang ada di sana, dari kalangan peri, elf, maupun hewan, semua berada di sana.

“Dan Chasel, kamu yang membantu kami semua selama beberapa hari ini. Sebagai ucapan terima kasih, kamu sekarang akan berada di istana, sebagai penasehat kerajaan.”

Pemuda elf yang awalnya berada di sebelah Edward itu membelalak tak percaya. Ia tak menyangka sang raja akan memberikannya kepercayaan seperti ini. “Y-Yang Mulia, ini adalah kehormatan bagi saya.”

Alan tersenyum, “Kamu pantas mendapatkan itu, Chasel. Jika bukan karenamu, mungkin saat ini semuanya tidak seperti ini. Maka dari itu, terima kasih.” Chasel tersenyum senang, ia menatap ke arah Edward yang langsung berikan usakkan bangga pada pemuda yang dari beberapa tahun ini menjadi muridnya.

Selepas berkata pada Chasel, Alan menoleh kearah Earl yang berada di dekatnya sembari menggendong Eve. “Juga..” Alan menggantung ucapannya, ia menarik sang ratu untuk lebih dekat dengannya, menatapnya penuh cinta. “Terima kasih padamu, Earl, ratuku. Jika bukan karenamu berada di sisi selama ini, mungkin aku tidak akan seperti ini. Terima kasih karena telah hadir dan membawa banyak kebahagiaan untukku.”

Tepuk tangan memenuhi tempat para penduduk Azure berkumpul. Mereka semua berbahagia melihat raja dan ratunya. Terlebih Herold yang saat ini telah menahan teriakkannya sambil memberikan pukulan pada tubuh sahabat elfnya. “Yak! Tenanglah sedikit, Herold.”

“Ini terlalu membahagiakan untuk kureaksikan dengan tenang. Akh, mereka adalah yang terbaik.”

Edward memutar bola matanya, ia kemudian kembali menatap ke arah Alan yang tengah berikan kecupan di pelipis Earl kemudian pada putri kecilnya. Edward senang tentu saja, ia dan Herold sudah bersama dengan Alan semenjak lelaki itu masih belia. Tak ada yang dapat ia syukuri selain kehadiran Earl di Azure sekarang ini.

“Karena kalian sudah di sini, juga Earl berada di sini. Aku akan mengumumkan sesuatu yang mungkin masuk sebagai berita buruk bagi kalian. Aku tidak bermaksud untuk merusak kebahagiaan ini tapi..” Alan menggantung ucapannya.

Semua mengernyitkan dahi, termasuk Earl.

“Aku ingin meminta maaf atas keputusan mendadak ini, sebelumnya. Untuk kebaikan Azure.. aku memutuskan untuk menutup seluruh pintu masuk ke Azure. Termasuk pintu masuk dari kerajaan Fuchsia”


Alan tengah menatap langit malam dengan bulan yang bulat sempurna malam ini ketika ia merasakan pelukan dari belakang tubuhnya. Earl, ratunya itu menyandarkan kepala pada punggungnya.

“Sayang? Eve sudah tertidur?”

Alan dapat merasakan anggukan di belakang tubuhnya. “Memikirkan apa? Soal penutupan pintu masuk di Azure?” si lelaki yang lebih mungil mengeluarkan suara, membubuhkan tanya pada rajanya.

Tak ada jawaban, dan Earl artikan itu sebagai iya. Maka, lelaki dari Fuchsia itu melepas pelukan, ia berpindah ke sebelah Alan yang masih menatap benda langit tersebut.

“Apakah bulan itu lebih menarik daripada pertanyaan ratumu ini, hm?” Earl terkekeh, ia menyentuh pipi Alan dengan lembut, membawa Raja Azure itu untuk menatap ke arahnya.

Ketika netra mereka bertemu, Earl elus dengan lembut pipi sang raja, lengkap dengan senyum meneduhkan yang khas darinya. “Dengar, Alan, aku tahu keputusan ini sudah kamu pikir baik-baik. Selama ini, semua yang terjadi di Azure adalah sebab orang asing yang masuk ke sini.”

“Tapi keluargamu...”

“Aku tentu saja akan merindukan grandma, mom, juga dad. Tapi sekarang aku ini berada di Azure, sebagai pendamping Raja Azure. Untuk kebaikan seluruh penduduk Azure, aku tidak apa-apa.”

Benar, Earl tahu apa yang dipikirkannya sekarang ini. Sedari tadi, Alan merasa kalut dengan keputusannya yang satu ini. Menutup seluruh pintu masuk ke Azure berarti ia juga harus menutup pintu masuk dari Fuchsia, tempat dimana Earl masuk ke Azure untuk pertama kalinya. alan tidak mau, namun ini demi kebaikan mereka semua.

“Earl, sayang-”

“Jika rindu grandma aku bisa menghubunginya, Alan. Tenang saja.”

“Terima kasih.” Alan tak tahu lagi harus berapa kali ia berterima kasih pada ratunya, semua yang dilakukan Earl untuk Azure, bahkan lebih banyak daripadanya.

“Hei, Alano.”

“Hm?”

“Aku mencintaimu, Alan. Apapun keputusanmu, aku percaya itu yang terbaik.”

Perkataan Earl itu buat hatinya menghangat. Maka tanpa ragu, ia bawa sang ratu ke dalam pelukan erat. “Aku lebih mencintaimu, Earl. Aku lebih mencintaimu,” ucapnya kemudian melonggarkan pelukan, menatap wajah Earl yang tak pernah berhenti ia kagumi.

“Kalau begitu, percaya pada ratumu ini, Yang Mulia. Aku tidak papa dengan keputusanmu ini.”

Netra mereka bersibobrok sekali lagi, perlahan Alan mendekatkan wajahnya, mengecup sekali lagi ranum ratunya, “Terima kasih,” katanya. Kembali ia menyatukan bibirnya dan Earl ke dalam pagutan mesra. Menggambarkan perasaan kasih dan sayang mereka mereka dalam ciuman lembut di bibir pasangannya.

You have no idea how grateful i am to have you and Eve, Earl.

And you have no idea either how grateful i am to be your queen, Alano

Ketika keempatnya sampai pada Azure, mereka segera masuk ke dalam istana, tempat dimana Eve berada sekarang.

Kala netra Alan dan Earl menangkap Eve di gendongan Chasel, segera keduanya berlari dan membawa sang putri dalam dekapan. “Eve.. baba rindu padamu,” Earl berkata sambil mengecup pipi putri kecilnya.

Sedang Alan dibelakang tubuh Earl menatap wajah putrinya dengan bahagia. Ia usap pipi memerah milik Eve yang tengah menatapnya dengan lucu sekarang ini.

Sama dengan Earl, Alan pun rindu dengan putri kecilnya.

Puas memandangi wajah ayu putrinya itu, Alan mendongak. Menatap ke arah mereka yang berada di singgasana. Saat menemukan satu orang asing yang berada di pegangan pengawal, ia mengernyit, setelahnya menatap Chasel, meminta penjelasan pada pemuda yang sempat membantunya beberapa hari ini.

“Chasel?”

“Lebih baik biar Zelene saja yang menjelaskan, Yang Mulia.”

Earl yang mendengar nama Zelene segera mendongak, ia mencari sosok wanita yang katanya sempat ditolak oleh Azure itu dengan tatapan bertanya. Entah apa pertanyaan yang Earl berikan dari tatapan itu, tak ada yang tahu.

Sebab di benak sang Ratu Azure sekarang, banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Zelene.

“Zelene? Bisakah kau jelaskan?” Alan bertanya, yang dijawab anggukan oleh Zelene.


Zelene melangkahkan kakinya masuk ke depan salah satu pintu masuk ke Azure dengan pelan.

Sebenarnya wanita itu tahu bahwa Azure tidaklah seperti kerajaannya, sudah pasti ada penjaga di pintu masuk kerajaan ini. Maka sebelum ia masuk, ia menghubungi Chasel dan meminta pemuda itu untuk membawanya masuk.

Chasel, pemuda elf itu adalah seorang yang dekat dengan Zelene dan juga Eigenlicht. Sebab pernah sekali, Chasel tersesat ke dalam sana dan Zelene menolongnya.

“Apa yang membawamu ke sini huh?” Pemuda elf itu berikan tanya pada sang ratu.

“Kemarin raja dan ratumu ke Eigenlicht untuk mencari putri mereka.”

“HUH? MEREKA KE KERAJAANMU?”

“Kau tidak tahu?”

Chasel menggeleng, sang raja tak pernah mengucapkan ke mana mereka akan mencari putri mahkota. Jika saja Chasel tahu bahwa raja ratu serta kedua kakak dekatnya itu akan menuju ke Eigenlicht, Chasel pasti akan menghentikan mereka. Karena tak mungkin Eigenlicht melakukan hal itu.

“Lalu mau apa kau kesini?”

“Kudengar, Azure kekurangan air. Maka dari itu aku bersama dengan beberapa peri Eigenlicht memutuskan untuk berkunjung dan membantu sedikit.. yah aku tahu kekuatan kami memang masih jauh di bawah Azure. Tapi peri Eigenlicht telah belajar lebih banyak soal air. Jadi, antarkan aku ke raja dan juga ratumu.”

“Raja dan Ratu belum kembali, Zelene. Eve belum ditemukan.”

“Huh?” Zelene mengernyitkan dahi, apakah kedua — ah keempatnya sekarang tengah mencari keberadaan Eve di kerajaan lain? Atau mereka masih berada di Eigenlicht?

“Tapi aku tahu kau mau membantu, jadi aku mengajakmu untuk masuk. Kita berdoa saja nanti saat mereka kembali, Azure sudah lebih baik atas bantuanmu dan Eve sudah ditemukan.”

Maka dengan bantuan Chasel, Zelene dapat masuk ke dalam. Zelene pamit pada Chasel untuk berjalan-jalan sebentar melihat Azure sedangkan Chasel meminta ijin untuk kembali ke istana sebab dirinya pun mendapat tugas dari sang raja dan ratu.

Wanita Eigenlicht itu menemukan suatu gua di dekat istana. Gua yang sama dengan gua dimana Earl dan Alan temukan tiara dan kalung milik Eve.

Ketika masuk ke dalamnya, tentu Zelene terheran. Sebab gua ini sepenuhnya berwarna hitam, sama seperti gua di Eigenlicht – namun tanpa cahaya biru yang melengkapi. Sedangkan setahu Zelene, hanya Eigenlicht lah yang memiliki gua seperti ini dan hanya mereka penduduk Eigenlicht lah yang dapat mengubah gua menjadi warna hitam seperti ini. Pertanyaannya sekarang, untuk apa penduduk Eigenlicht melakukan ini ke Azure?

What happened to this cave? Tidak mungkin gua di Azure seperti ini.”

Zelene masuk makin dalam sampai akhirnya ia mendengar sesuatu. Suara tangisan.

Langkah wanita itu menuju asal suara dan terkejut ketika temukan seorang bayi di sana.

Bersama seorang yang sangat ia kenal.

“Merlette?”


“Dan begitulah, setelahnya aku mengurungnya dan memanggil Chasel untuk ke gua ini. Ternyata bayi ini adalah putri kalian berdua.”

Alan dan Earl membelalakan matanya, “Jadi..?”

“Benar, selama ini Eve berada di sana.”

“Dan bayi yang kami lihat di istana Eigenlicht adalah..?”

Zelene terkekeh sinis, ia kemudian melirik wanita yang berada di pegangan pengawal Azure itu. “Kalian tanyakan saja pada wanita itu, apa yang dia lakukan.”


Namanya Merlette, salah seorang peri dari Eigenlicht. Ia tak memiliki sihir, ia memang mempunyai sayap yang sempurna, namun sayapnya tak memiliki sihir seperti peri lainnya.

Kerap kali peri tersebut dilempari kata-kata ejekan oleh beberapa peri lainnya. Merlette kesal.

Hingga akhirnya, Merlette mengetahui Alan. Seorang dari Azure, yang sosoknya dielu elukan oleh setiap peri di sana. Sosok yang hebat, sosok yang sangat tampan.

Pernah sekali ia mendengar sebuah perkataan dari seorang peri Eigenlicht mengenai Alan.

Raja Alan, dari Azure itu, kamu tahu kan? Ia pernah berkata bahwa bukan kelebihan seseoranglah yang dinilai dalam hidup. Maka jangan pernah berkecil hati sebab kamu tidak seperti yang lain. Karena di setiap kekurangan kamu itu, ada sebuah kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, sebuah keajaiban yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Begitu ucap salah seorang peri kala itu, berhasil membuat Merlette sedikit lebih percaya diri karena kekurangannya.

Maka dengan keberanian penuh, peri itu masuk ke dalam Azure. Ia menyelinap untuk melihat sosok Alan yang dikaguminya dan ia justru mengetahui apabila Alan sudah akan memiliki seorang putri dari ratunya.

Rasa kesalnya makin menjadi-jadi kala ia sempat melihat Alan memperlakukan ratunya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sesuatu yang tak pernah Merlette rasakan semenjak usia belia.

“Alan, putri kita akan lahir sebentar lagi, kamu mau memberinya nama apa?” tanya Earl kala itu, yang didengar oleh Merlette — yang bersembunyi tepat di samping jendela kamar raja dan ratu Azure tersebut.

“Eve. Cheverly Evandrey. Aku ingin dia lembut hati sepertimu dan ia akan bawa keajaiban bagi Azure.”

Merlette tersenyum mendengarnya, “Justru putrimu lah yang nantinya akan membawa bencana bagi Azure.”

Dengan itu, maka setelah putri Alan juga Earl lahir, ia kembali ke Azure.

Dengan tongkat yang dicurinya dari kediaman Zelene, ia menyerap beberapa air di daerah Azure secara perlahan. Pikirnya itu akan membuat Alan juga Earl kebingungan.

Dan benar ia berhasil buat keduanya kebingungan.

Maka di keadaan seperti itu, Merlette dapat menyamar menjadi salah seorang peri Azure dan membawa putri Alan dan Earl pergi dari sana pada saat yang tepat.

Ah bukan pergi dari sana, lebih tepatnya bersembunyi. Mengubah sebuah gua di sana menjadi hitam, menyerap air dan yang lain dengan tujuan untuk membuat Alan dan Earl mengira Zelene, sang ratunya lah yang melakukan semua itu — ini adalah hal yang pas, sebab siapa yang tidak tahu bahwa Zelene pernah ditolak oleh Azure?

Marlette menggunakan itu untuk mengadu domba. Ia senang melihat Zelene — yang selalu buatnya iri hati sebab segala kemahirannya — mendapat masalah.

Rencananya adalah ketika Alan dan Earl lengah, maka ia akan masuk ke dalam Azure, mengambil semua sihir di kerajaan itu, dan menjadikan Alan miliknya. Hanya miliknya.

Sama seperti yang pernah dilakukan Eleanor.

Lubang kecil di gua itulah yang menjadi tempatnya untuk keluar masuk mencari bahan pangan untuk tetap bertahan. Ketika Alan juga Earl ke gua saat itu, ia bersembunyi dengan jubah hitam khas Eigenlicht yang dimilikinya — yang berwarna sama dengan gua hitam tersebut.

Sungguh, Alan dan Earl tak mengerti. Bagaimana bisa seorang Merlette berpikir untuk melakukan ini? Terlebih lagi bagaimana bisa Alan dan Earl terjebak? Peri itu bahkan membuat ilusi dirinya sendiri yang tengah membawa Eve di istana Eigenlicht supaya Alan dan Earl tetap di sana.

“Sekarang beritahu aku, bagaimana kita bisa mengembalikan Azure, huh?” Herold berucap sebal pada wanita peri disebelahnya saat mendengar alasan tersebut.

Mau berapa kali sihir di Azure mau di ambil untuk mendapat cinta Alan? Benar-benar gila.

“Aku.. tidak tahu soal itu. Maaf.”

Alan dan Earl menghela nafasnya mendengar itu. Sekarang bagaimana?