Promise
Sean menghela nafasnya ketika menatap bangunan yang khas dengan warna putih yang tengah dipijaknya sekarang ini. Kalau mau jujur, Sean pun sama seperti Arasy, ia tak suka dengan rumah sakit.
Datang ke sini selain untuk memeriksakan kandungan Arasy adalah hal yang paling dihindarinya. Namun sekarang ini, saat harusnya ia bersama dengan Arasy datang empat hari lagi, ia justru harus datang ke sini lebih awal. Akibat berita yang sempat buat jantungnya seperti berhenti sejenak.
Arasy, lelaki tersayangnya, terjatuh disaat kandungannya sudah berumur hampir genap empat puluh minggu. Sean tak tahu bagaimana kondisi Arasy sekarang ini.
Kakinya ia langkahkan menuju IGD, dimana ibunya berkata bahwa beliau sudah berada di sana. Benar saja, di sana telah ada ibunya dengan Keane yang menangis di pelukan sang nenek.
“Keane..” lelaki kecil yang mendengar suara ayahnya itu segera menghampiri Sean. Merasa makin sedih dengan keadaan sang putra, Sean menggendongnya, membiarkan lelaki kecil itu menangis di pelukannya.
“Mi, udah ada kabar?”
“Belum, Yan. Yang nolongin Arasy bilang tadi kalau mereka juga baru sampai di rumah sakit sepuluh menit yang lalu.”
Sean menghela nafasnya. Ia menepuk nepuk punggung jagoan kecilnya yang bergetar. “Keane, jagoannya dad. Berhenti dulu nangisnya yuk?” ia berkata.
“Hiks! Papi jatuh terus berdarah hiks! Dad, Keane takut. Tadi papi nggak sengaja ditabrak kenceng sama adik kecil terus jatuh, hiks!”
“Papi sama baby nggak akan kenapa-kenapa, Keane,” katanya. Walaupun Sean sendiri juga tak yakin dengan ucapannya, ia hanya berdoa dalam hati supaya Arasy juga bayinya baik-baik saja.
Demi Tuhan, membiarkan Arasy mempertahankan kandungannya saja, dokter berkata itu sudah beresiko, apalagi sekarang ini Arasy justru terjatuh dan apa kata Keane tadi? Berdarah?
Sean memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini.
Tak sampai lima menit, seorang dokter keluar dari ruangan. Sean —sambil menggendong Keane— segera menghampirinya.
“Keluarga Arasy?”
“Saya suaminya, dokter.”
Sang dokter mengangguk dan meminta Sean masuk ke dalam. Sebelum itu, Sean juga membujuk Keane untuk tinggal bersama sang nenek yang untungnya langsung dituruti oleh sang putra.
Di dalam sana, Sean segera menghampiri sang suami yang tengah memejamkan mata, “Sayang, sayang, kakak disini.”
Arasy membuka matanya ketika mendengar suara Sean. “Kak Se..”
Sang dokter menjelaskan keadaan Arasy termasuk ketika lelaki manis itu sempat pingsan setelah terjatuh tadi. Para medis berkata bahwa lebih baik Arasy melakukan operasi saat itu juga, lagipula bayinya pun sudah cukup siap untuk dilahirkan.
“Apa keduanya akan baik-baik saja?”
“Kami tidak dapat memastikannya, tapi kami akan berusaha.”
Sean menatap Arasy yang juga tengah menatapnya dengan senyum, “Rasie nggak papa, Kak.”
“Kamu inget janji kamu sama kakak, kan, sayang?”
Sang lelaki manis mengangguk. Iya.
Sean tak mau memungkiri, ia pun ragu dengan ini. Sean juga ingin anaknya cepat lahir. Namun dalam keadaan Arasy yang seperti ini, Sean merasa ragu. Segala ketakutan akan apa yang terjadi selanjutnya seakan berlari menghampirinya, mengeroyok pikirannya.
Arasy meyakinkan Sean bahwa dirinya akan baik-baik saja, namun apakah iya?
Arasy sudah berjanji bahwa ia akan ada di dekat Sean apapun keadaannya, Arasy berjanji bahwa ia tak akan meninggalkan Sean, ia akan ada bersama Sean dalam setiap langkahnya.
Sebelumnya, Sean percaya. Sean percaya bahwa Arasy baik-baik saja. Tapi saat dihadapkan dengan ini, lelaki itu tetap merasa takut. Apa yang akan terjadi selanjutnya masih begitu gelap bagi Sean maupun Arasy.
“Kak Sean, Rasie okay.”
Dua kata yang selalu Arasy ucapkan saat Sean merasa khawatir itu membuat Sean makin merasa sesak.
Ia dekatkan wajahnya pada Arasy dan berikan kecupan di puncak kepalanya, “Rasie inget semua janji Rasie ke kakak kan? Rasie bakal ada di setiap langkah kehidupan kakak. Rasie janji bakal tepatin itu semua?” ia berbisik.
“Iya, Kak Se. Rasie juga berjuang, kakak juga temenin Rasie ya?”
“Pasti sayang, pasti.”
Satu kecupan lagi di puncak kepala Arasy sebelum Sean menatap dokter dan mengangguk, menyetujui saran dokter sebelumnya.
Selama hampir 1 jam menunggu Arasy di depan ruangannya, —sebab ia tak diperbolehkan untuk turut masuk menyaksikan operasinya— Sean juga ibunya dan Kalan menghela nafas lega saat sang dokter keluar dari ruang operasi.
Sang dokter meminta Sean memakai pakaian sterilnya sebelum akhirnya diminta masuk ke dalam.
Ketika salah seorang suster menyerahkan satu gumpalan kecil di dalam selimut untuk digendong oleh Sean, lelaki itu menahan nafasnya.
Perempuan.
Bayinya dan juga Arasy berjenis kelamin perempuan. Sean merasakan bahagia yang membuncah kala melihat sosok kecil dalam pelukannya. Setelah sembilan bulan lamanya, ia menunggu kehadiran sang bayi, setelah melewati berbagai macam cobaan, sang bayi akhirnya di sini. Di dalam pelukannya.
“Hai, sayang..” lelaki itu memberi sapa, buat si bayi menggeliat dalam gendongannya.
Sean bahagia, namun ada satu hal yang menahan kebahagiaannya. Keadaan Arasy.
Maka, selepas menyerahkan sang bayi pada suster, Sean mendekat ke arah dokter juga sosok tercintanya.
“Rasie..” lelaki manis yang selama ini mengisi hari-harinya, memejamkan mata. Alat pembantu pernafasan menutupi wajahnya, nafas Sean tercekat melihat keadaan Arasy. Lelaki itu tatap sang dokter meminta sebuah penjelasan.
“Bayi anda sudah lahir, anda sudah menggendongnya tadi. Tapi, keadaan suami anda, maaf. Pendarahan yang sebelumnya terjadi sebab terjatuh juga komplikasi dalam kandungannya menyebabkan suami anda seperti ini,” sang dokter berkata.
“Kami sudah berusaha semampu kami, jantung suami anda sempat berhenti berdetak ditengah proses operasi. Dan suami anda harus kami nyatakan koma. Kami tidak bisa mengetahui kapan ia akan sadar.” Bagai disambar petir di siang hari, tubuh Sean melemas mendengarnya. Kebahagiaan yang sempat dirasakannya kala menggendong sang putri berasa direnggut begitu saja.
Pun di saat bertemu dengan sang ibu, Sean segera memeluknya, memeluk wanita yang selama ini menjadi sandarannya dari kecil hingga ia menikah. “Mami.. Rasienya Sean.”
Sang wanita paruh baya sudah mendengar apa yang terjadi dari dokter. Ia peluk tubuh putranya. “Rasie pasti baik-baik aja, Sean.”
“Mami tahu darimana, Mi? Mami, ini salah Sean. Kalau Sean nggak sibuk sama kerjaan Sean, mungkin Rasie sekarang baik baik aja.. mungkin bayi bayi kita juga bakal baik-baik saja.”
Keane yang tengah berada dalam gendongan Kalan menatap sang ayah dengan sendu. Matanya yang telah sembab karena menangisi Arasy juga wajahnya yang penuh air mata menandakan lelaki kecil itu juga merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Sean, ayahnya.
“Dad..” tangan kecilnya menunjuk ke arah Sean yang masih dalam peluk ibunya. Kalan yang mengerti segera bawa si lelaki kecil mendekat, membiarkan Sean memeluk Keane.
“Arasy koma bukan berarti dia nggak selamat, Yan. Lo percaya sama dia. Arasy udah janji sama lo kalo dia gabakal pergi, maka dia bakal nepatin.”
Dan Sean hanya bisa berharap apa yang dikatakan Kalan adalah benar.