bluemoonseu

Sean menghela nafasnya ketika menatap bangunan yang khas dengan warna putih yang tengah dipijaknya sekarang ini. Kalau mau jujur, Sean pun sama seperti Arasy, ia tak suka dengan rumah sakit.

Datang ke sini selain untuk memeriksakan kandungan Arasy adalah hal yang paling dihindarinya. Namun sekarang ini, saat harusnya ia bersama dengan Arasy datang empat hari lagi, ia justru harus datang ke sini lebih awal. Akibat berita yang sempat buat jantungnya seperti berhenti sejenak.

Arasy, lelaki tersayangnya, terjatuh disaat kandungannya sudah berumur hampir genap empat puluh minggu. Sean tak tahu bagaimana kondisi Arasy sekarang ini.

Kakinya ia langkahkan menuju IGD, dimana ibunya berkata bahwa beliau sudah berada di sana. Benar saja, di sana telah ada ibunya dengan Keane yang menangis di pelukan sang nenek.

“Keane..” lelaki kecil yang mendengar suara ayahnya itu segera menghampiri Sean. Merasa makin sedih dengan keadaan sang putra, Sean menggendongnya, membiarkan lelaki kecil itu menangis di pelukannya.

“Mi, udah ada kabar?”

“Belum, Yan. Yang nolongin Arasy bilang tadi kalau mereka juga baru sampai di rumah sakit sepuluh menit yang lalu.”

Sean menghela nafasnya. Ia menepuk nepuk punggung jagoan kecilnya yang bergetar. “Keane, jagoannya dad. Berhenti dulu nangisnya yuk?” ia berkata.

“Hiks! Papi jatuh terus berdarah hiks! Dad, Keane takut. Tadi papi nggak sengaja ditabrak kenceng sama adik kecil terus jatuh, hiks!”

“Papi sama baby nggak akan kenapa-kenapa, Keane,” katanya. Walaupun Sean sendiri juga tak yakin dengan ucapannya, ia hanya berdoa dalam hati supaya Arasy juga bayinya baik-baik saja.

Demi Tuhan, membiarkan Arasy mempertahankan kandungannya saja, dokter berkata itu sudah beresiko, apalagi sekarang ini Arasy justru terjatuh dan apa kata Keane tadi? Berdarah?

Sean memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini.

Tak sampai lima menit, seorang dokter keluar dari ruangan. Sean —sambil menggendong Keane— segera menghampirinya.

“Keluarga Arasy?”

“Saya suaminya, dokter.”

Sang dokter mengangguk dan meminta Sean masuk ke dalam. Sebelum itu, Sean juga membujuk Keane untuk tinggal bersama sang nenek yang untungnya langsung dituruti oleh sang putra.

Di dalam sana, Sean segera menghampiri sang suami yang tengah memejamkan mata, “Sayang, sayang, kakak disini.”

Arasy membuka matanya ketika mendengar suara Sean. “Kak Se..”

Sang dokter menjelaskan keadaan Arasy termasuk ketika lelaki manis itu sempat pingsan setelah terjatuh tadi. Para medis berkata bahwa lebih baik Arasy melakukan operasi saat itu juga, lagipula bayinya pun sudah cukup siap untuk dilahirkan.

“Apa keduanya akan baik-baik saja?”

“Kami tidak dapat memastikannya, tapi kami akan berusaha.”

Sean menatap Arasy yang juga tengah menatapnya dengan senyum, “Rasie nggak papa, Kak.”

“Kamu inget janji kamu sama kakak, kan, sayang?”

Sang lelaki manis mengangguk. Iya.

Sean tak mau memungkiri, ia pun ragu dengan ini. Sean juga ingin anaknya cepat lahir. Namun dalam keadaan Arasy yang seperti ini, Sean merasa ragu. Segala ketakutan akan apa yang terjadi selanjutnya seakan berlari menghampirinya, mengeroyok pikirannya.

Arasy meyakinkan Sean bahwa dirinya akan baik-baik saja, namun apakah iya?

Arasy sudah berjanji bahwa ia akan ada di dekat Sean apapun keadaannya, Arasy berjanji bahwa ia tak akan meninggalkan Sean, ia akan ada bersama Sean dalam setiap langkahnya.

Sebelumnya, Sean percaya. Sean percaya bahwa Arasy baik-baik saja. Tapi saat dihadapkan dengan ini, lelaki itu tetap merasa takut. Apa yang akan terjadi selanjutnya masih begitu gelap bagi Sean maupun Arasy.

“Kak Sean, Rasie okay.”

Dua kata yang selalu Arasy ucapkan saat Sean merasa khawatir itu membuat Sean makin merasa sesak.

Ia dekatkan wajahnya pada Arasy dan berikan kecupan di puncak kepalanya, “Rasie inget semua janji Rasie ke kakak kan? Rasie bakal ada di setiap langkah kehidupan kakak. Rasie janji bakal tepatin itu semua?” ia berbisik.

“Iya, Kak Se. Rasie juga berjuang, kakak juga temenin Rasie ya?”

“Pasti sayang, pasti.”

Satu kecupan lagi di puncak kepala Arasy sebelum Sean menatap dokter dan mengangguk, menyetujui saran dokter sebelumnya.


Selama hampir 1 jam menunggu Arasy di depan ruangannya, —sebab ia tak diperbolehkan untuk turut masuk menyaksikan operasinya— Sean juga ibunya dan Kalan menghela nafas lega saat sang dokter keluar dari ruang operasi.

Sang dokter meminta Sean memakai pakaian sterilnya sebelum akhirnya diminta masuk ke dalam.

Ketika salah seorang suster menyerahkan satu gumpalan kecil di dalam selimut untuk digendong oleh Sean, lelaki itu menahan nafasnya.

Perempuan.

Bayinya dan juga Arasy berjenis kelamin perempuan. Sean merasakan bahagia yang membuncah kala melihat sosok kecil dalam pelukannya. Setelah sembilan bulan lamanya, ia menunggu kehadiran sang bayi, setelah melewati berbagai macam cobaan, sang bayi akhirnya di sini. Di dalam pelukannya.

“Hai, sayang..” lelaki itu memberi sapa, buat si bayi menggeliat dalam gendongannya.

Sean bahagia, namun ada satu hal yang menahan kebahagiaannya. Keadaan Arasy.

Maka, selepas menyerahkan sang bayi pada suster, Sean mendekat ke arah dokter juga sosok tercintanya.

“Rasie..” lelaki manis yang selama ini mengisi hari-harinya, memejamkan mata. Alat pembantu pernafasan menutupi wajahnya, nafas Sean tercekat melihat keadaan Arasy. Lelaki itu tatap sang dokter meminta sebuah penjelasan.

“Bayi anda sudah lahir, anda sudah menggendongnya tadi. Tapi, keadaan suami anda, maaf. Pendarahan yang sebelumnya terjadi sebab terjatuh juga komplikasi dalam kandungannya menyebabkan suami anda seperti ini,” sang dokter berkata.

“Kami sudah berusaha semampu kami, jantung suami anda sempat berhenti berdetak ditengah proses operasi. Dan suami anda harus kami nyatakan koma. Kami tidak bisa mengetahui kapan ia akan sadar.” Bagai disambar petir di siang hari, tubuh Sean melemas mendengarnya. Kebahagiaan yang sempat dirasakannya kala menggendong sang putri berasa direnggut begitu saja.

Pun di saat bertemu dengan sang ibu, Sean segera memeluknya, memeluk wanita yang selama ini menjadi sandarannya dari kecil hingga ia menikah. “Mami.. Rasienya Sean.”

Sang wanita paruh baya sudah mendengar apa yang terjadi dari dokter. Ia peluk tubuh putranya. “Rasie pasti baik-baik aja, Sean.”

“Mami tahu darimana, Mi? Mami, ini salah Sean. Kalau Sean nggak sibuk sama kerjaan Sean, mungkin Rasie sekarang baik baik aja.. mungkin bayi bayi kita juga bakal baik-baik saja.”

Keane yang tengah berada dalam gendongan Kalan menatap sang ayah dengan sendu. Matanya yang telah sembab karena menangisi Arasy juga wajahnya yang penuh air mata menandakan lelaki kecil itu juga merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Sean, ayahnya.

“Dad..” tangan kecilnya menunjuk ke arah Sean yang masih dalam peluk ibunya. Kalan yang mengerti segera bawa si lelaki kecil mendekat, membiarkan Sean memeluk Keane.

“Arasy koma bukan berarti dia nggak selamat, Yan. Lo percaya sama dia. Arasy udah janji sama lo kalo dia gabakal pergi, maka dia bakal nepatin.”

Dan Sean hanya bisa berharap apa yang dikatakan Kalan adalah benar.

Ketika Sean juga Arasy baru sampai di depan kelas, Sean sudah disambut dengan tubrukan dari sang putra. Membuat lelaki itu sedikit tersentak sebelum tersenyum ketika tahu siapa yang langsung memeluknya erat tadi.

“Dad! Keane kangen!”

“Hahahaha, hai jagoan! Maaf ya tadi pagi dad berangkat sebelum Keane bangun,” ucapnya sembari bawa si kecil ke dalam gendongan.

“Keane ngga kangen papi?”

“Kangen Papi Rasie jugaaa!”

Arasy terkekeh. Ia merapikan surai hitam Keane yang berantakan sembari masih sunggingkan senyum.

“Eh, walinya Keane ya?” Keduanya masih sibuk mendengarkan cerita Keane mengenai sekolah ketika salah seorang guru menghampiri mereka. Arasy sontak menoleh dan mengangguk, “Benar, Bu.”

Si guru memberi senyum ramah sebelum akhirnya menunjukkan tempat duduk untuk Sean juga Arasy. “Tempatnya Keane ada di sana ya.”

“Baik bu, terima kasih, ya.”

Sean juga Arasy kemudian duduk di tempat yang sudah disediakan, sementara Keane kembali duduk di karpet mini yang menemaninya selama ini di sekolah. “Nyaman nggak duduknya, sayang?” Sean bertanya pada Arasy setelah membantu suaminya itu untuk duduk.

Arasy menoleh dan tersenyum ke arah Sean sebelum menunjukkan anggukan, “Nyaman, Kak Se. Kakak duduk juga, gih. Rasie pengen senderan.”

Sean menuruti, lelaki itu duduk bersila. Setelahnya, Arasy langsung menyenderkan kepalanya di bahu sang suami, yang dibalas dengan lingkaran tangan di perut buncitnya. “Ngantuk?”

“Engga, Kak Se. Rasie pinggangnya pegel doang.”

“Nanti malam kakak pijetin, mau?” tanya si lelaki berbisik.

“Huum.”

Keduanya duduk dengan nyaman di tempat yang disediakan sembari sesekali tersenyum ramah pada orang tua teman Keane yang turut hadir. Rasanya menyenangkan bagi Sean juga Arasy untuk menghadiri acara seperti ini, mereka bahagia dapat melihat proses belajar mengajar yang diikuti oleh putra mereka.


Keane, your turn.”

Yes, Mrs. Ahn!

Rupanya, acara sekolah Keane hari ini adalah untuk mempererat hubungan orang tua juga anak. Sang guru telah menjelaskan hari ini bahwa para orang tua akan dipanggil untuk mengetahui bagaimana proses belajar mengajar di kindegarten tersebut sekaligus untuk bermain bersama anak-anak mereka.

Setelah melewati beberapa jam yang menyenangkan dimana para siswa dan orang tua diikutkan dalam permainan— yang tentu saja lebih banyak diikuti oleh Sean sebab Arasy tengah dalam kondisi mengandung selama tujuh bulan, kini sebagai acara penutup setiap siswa diminta maju untuk menceritakan keseruan hari ini.

Arasy dan juga Sean —yang melihat Keane sudah berdiri di depan kelas— bertepuk tangan, mereka tersenyum lebar untuk memberikan semangat pada si lelaki kecil kesayangan mereka.

“Hai! Ini Keane!”

Arasy menyenderkan kepalanya kembali di bahu Sean sembari mendengarkan. Tentu saja Sean langsung menyambutnya, lelaki itu mengenggam erat tangan Arasy dan mengelusnya lembut.

“Hari ini seru banget buat Keane. Bisa main bareng dad sama papi di sekolah itu seru banget, apalagi tadi dad banyak menang,” si lelaki kecil tertawa di depan kelas, undang senyum gemas dari orang dewasa yang ada di sana termasuk kedua orang tuanya.

“Keane nggak tahu harus bilang apalagi sama dad sama papi. Mungkin, kalau dad sama papi nggak bawa Keane buat tinggal bareng mereka dulu, Keane bakal sendirian sekarang. Keane mau bilang makasih sama papi sama dad, karena udah dateng hari ini terus main sama Keane. Keane seneng banget tadi. Keane sayang dad sama papi rasie, sayang juga sama dedek bayi!”

Katakan apa yang harus Arasy juga Sean lakukan sekarang. Untuk anak seumuran Keane, lelaki kecil itu sudah cukup pintar dalam berkata-kata. Lelaki kecil itu dapat buat Arasy juga yang lain terharu mendengarnya.

Siapa yang tidak tahu mengenai Arasy juga Sean yang mengangkat Keane menjadi seorang anak? Mereka semua telah tahu mengenai hal itu. Dan mengejutkan bagi mereka, mereka dapat melihat kasih sayang yang besar dari Keane untuk Sean dan Arasy.

Artinya, Keane selama ini merasakan kasih sayang yang tiada duanya dari pasangan itu, kan?

Mereka yang mendengarnya hanya dapat tersenyum haru. Pun ketika sang guru meminta Keane untuk memeluk kedua orang tuanya, Keane langsung berlari dan peluk keduanya bersamaan.

“Keane sayang papi sama dad.”

Ucapan itu memang sudah dari kemarin Arasy dengar, namun lagi, Arasy menitikan air matanya mendengar ucapan sederhana dari Keane.

“Papi, Keane salah ngomong? Kenapa papi nangis?”

Arasy menggeleng, ia peluk Keane dengan erat dan membisikan kata kata sayang di telinga lelaki kecil itu. Sean yang menatap keduanya hanya tersenyum lembut, tak mau memungkiri bahwa hatinya menghangat melihat pemandangan di hadapannya.

“Papi sayang banget sama Keane.”

“Hei udah, kalian nggak lagi di rumah,” Sean berkata dengan senyum lebar. Ia sungguh gemas melihat keduanya, namun mengingat sekarang mereka masih dalam ruang kelas, Sean terpaksa menghentikan.

Semua yang menatap keluarga kecil itu sedari tadi pun ikut menghangat hatinya. Tidak pernah ada yang bisa mengalahkan cinta orang tua kepada anak-anaknya, Keane juga Sean dan Arasy membuktikan bahwa perkataan itu adalah benar.

Kasih sayang juga cinta Sean dan Arasy berhasil membawa Keane kembali dalam kehidupan yang penuh dengan tawa dan kehangatan.

“Keane panggil aku apa tadi?” Arasy menunjuk dirinya sendiri, memastikan dirinya tidak salah mendengar ucapan sang putra.

“Papou.. Keane salah pengucapannya, ya?”

Arasy tak dapat tidak tersenyum mendengar itu. Ia berdiri dari duduknya dan bawa Keane dalam pelukan. Hatinya berangsur-angsur hangat mendengar panggilan Keane kepadanya barusan.

“Keane udah anggap papou itu orang tuanya Keane?”

Si lelaki kecil menggeleng, “Papou sama dad itu orang tuanya Keane dari dulu. Maaf papou, Keane selalu panggil kalian berdua uncle, buat kalian sedih.”

“Keane, papou sama dad nggak masalahin itu, sayang. Cukup kamu bahagia aja bareng kita berdua, itu udah buat papou sama dad bahagia. Thank you, Keane.”

Si lelaki kecil balas pelukan ayahnya. “Tapi papou.. Keane punya satu permintaan, boleh?” tanyanya berbisik.

“Apa itu, sayang?”

“Keane boleh panggil papou pakai 'papi'? Dari dulu Keane mau panggil itu ke papa tapi papa nggak suka.”

Arasy sontak tertawa, ia lepas pelukannya dengan Keane dan berikan kecupan di pipi gembilnya. “Boleh dong, kalau gitu sekalian aja dedek nanti panggilnya papi.”

“Papi Rasie..”

“Iya, sayang.”

“Keane sayang sama papi,” katanya sembari berikan kecupan balasan di pipi Arasy. Setelahnya lelaki kecil itu juga menunduk dan berikan kecupan si perut buncitnya, “Kakak juga sayang sama dedek bayi.”

“Kita lebih sayang sama kamu, Keane.”

“Eh apanih peluk-pelukan nggak ngajak daddy?”

“Dad!”

“Eh?”

Sean terbengong sejenak kala Keane berlari ke arahnya dengan semangat dibarengi dengan panggilan dari Keane yang berbeda dari biasanya. Namun Sean tak tunjukan itu lama-lama, ia segera bawa Keane ke dalam gendongannya dan mengecup pipi lelaki kecil itu. “Itu makanannya kenapa ditinggal, hm?”

“Soalnya dad dateng, Keane mau sambut dulu.”

Sean menatap Arasy yang tersenyum kearahnya sembari menganggukkan kepala —mengisyaratkan bahwa apa yang didengarnya sekarang ini adalah sungguhan, Keane sungguh memanggilnya dengan sebutan daddy.

“Jagoannya, dad. Makasih banyak, sayang.”


“Kakak katanya nanti malem baru pulang?”

“Kalan bilang suruh lanjut besok aja, soalnya khawatir sama kamu. Eh waktu kakak balik malah kakak dapet kejutan. Apa yang kamu khawatirin tadi nggak bener kan?”

Arasy tersenyum, ia mengangguk. Tangannya ia pakai untuk elus puncak kepala Keane yang tengah anteng dalam pangkuan Sean, menonton kartun.

“Keane.”

“Iya, papi?”

Sean tersenyum mendengar panggilan Keane pada Arasy. Tak pernah Sean sangka awalnya bahwa hari ini adalah hari dimana Keane akan merubah panggilannya kepada mereka berdua, dirinya juga Arasy.

“Keane bahagia sama Dad sama Papi?”

Si kecil menoleh ke belakang. Ia tatap kedua orang tuanya kemudian mengangguk, “Keane seneng banget punya dad sama papi!”

“Dad sama papi juga seneng punya Keane. Makasih ya udah mau jadi anaknya daddy sama papi?” lanjut Arasy, buat si lelaki kecil menggeleng pelan, “Papi jangan makasih sama Keane. Keane yang harusnya bilang makasih sama papi sama dad. Makasih udah mau rawat Keane! Keane sayang kalian berdua, banyak banyak!”

Baik hati Sean juga Arasy menghangat mendengar itu. Keduanya memberikan kecupan di pipi Keane dengan penuh kasih sayang.

“Kita lebih sayang sama Keane.”

Kini Arasy mengerti, bahwa benar adanya jika usaha yang dilakukannya tak akan sia-sia. Arasy mungkin tadi meragukan kebaikan dirinya sebagai seorang 'orang tua' pengganti, tapi sekarang Arasy tahu bahwa apa yang dilakukannya ini sudah baik.

Arasy dan Sean, keduanya mungkin belum sempurna sebagai sepasang orang tua, keduanya masih belajar untuk menjadi lebih baik. Baik kepada pasangan mereka juga kepada keluarga kecilnya. Tapi satu yang mereka tahu, segala usaha mereka tak akan pernah sia-sia nantinya.

Benar kata Sean tadi, Arasy tak butuh sebuah panggilan yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang ayah, rasa sayang Keane kepadanya, segala yang ia lakukan, itu sudah cukup menunjukkan posisinya dalam hidup Keane. Jika tidak sebagai ayah, setidaknya Arasy dan Sean adalah seorang yang berharga untuk lelaki kecil itu.

Namun, jika Arasy dan Sean justru mendapatkannya, mendapatkan panggilan dari Keane, mereka bersyukur.

Yang penting sekarang ini bagi keduanya adalah bahwa Keane bahagia berada dalam rengkuhan mereka. Ketika tahu bahwa Keane baik-baik saja di antara mereka, Sean dan Arasy tak memerlukan yang lainnya.

Tak peduli bahwa Keane tak memiliki darah keduanya, Keane tetap putra mereka, yang akan mereka sayangi juga rawat, dan didik dengan sepenuh hati hingga ia dewasa.

Sean tersenyum kala netranya tangkap sosok Arasy yang tengah mengaduk susu miliknya di dapur. Rasanya semangat dalam diri Sean kembali begitu saja ketika tahu bahwa Arasy ada di sana ketika ia lelah dengan pekerjaannya.

“Sayang,” Sean memanggil. Kakinya ia langkahkan menuju sosok suami manisnya —yang langsung menoleh kala mendengar suaranya tadi.

“Kak Se, udah pulang?”

Sean mengangguk menjawabnya. Ia menerima pelukan hangat dari sosok papou dari anak-anaknya itu dan berikan satu kecupan hangat di puncak kepala Arasy.

“Keane udah tidur?”

“Mhm, tadi kan kakak udah tanya ke aku.”

Arasy berjalan ke belakang tubuh Sean dan membantu lelakinya melepas jas. “Biar kakak aja yang taruh ke tempat cucian, sayang.”

“Kakak mandi aja, gih. Habis itu temenin Keane bobo. Rasy masih harus cuci piring dulu.”

Mendengarnya, Sean menggeleng. Ia berlutut di hadapan Arasy, menyamakan tingginya dengan perut si lelaki manis dan mengecupnya. “Udah malem, sayang. Kamu tidur aja. Baby pasti juga ngantuk, iya kan jagoannya dad?” ucapnya, menujukan bit terakhir pada si bayi yang berada dalam perut Arasy.

“Kakak ih, nurut aja kenapa sih sekali-sekali? Biar aku cuci dulu piringnya, kakak mandi, nanti kan selesainya pasti barengan.”

“Kita cari maid aja buat ngurusin kerjaan rumah ya, sayang? Dedek udah besar gitu, kamu juga kan nemenin Keane.”

Sekali lagi si lelaki manis menggeleng. Ia tarik tubuh sang suami untuk berdiri dan kecup pipinya, “aku dari awal kita menikah juga udah minta sama kakak jangan pakai maid di rumah. Rasy bisa, Kak Se.”

“Tapi—”

Sanggahan Sean terhadap ucapan Arasy terhenti ketika kamar mereka dibuka dengan kencang. Keduanya segera menuju kamar dan temukan putra mereka menangis di depan sana.

“Sayang? Keane? Kenapa?” Arasy berjalan mendekat diikuti Sean. Sean segera bawa si balita ke dalam gendongan dan mengusap kepalanya pelan.

“Jagoannya dad kenapa hm? Kok nangis?”

Arasy turut memberikan usap pada punggung Keane. Ia hapus air mata si balita dan tersenyum menenangkan. “Minum dulu ya? Keane mau minum?” Arasy ambil satu gelas dan mengisi air dari dispenser yang berada di depan kamarnya juga Sean.

Setelah dirasa tenang, Keane —masih dalam gendongan Sean— dibawa olehnya ke ruang keluarga dan duduk di sana.

Si balita yang kini sudah berada dalam pangkuan 'daddy'nya, menatap Sean juga Arasy bergantian. “Kenapa, Keane?” Arasy memberikan tanya.

Keane justru menggeleng. Lelaki kecil itu menenggelamkan wajahnya pada dada Sean, memeluk pinggang lelaki itu. “Hey? Kenapa? Cerita sama dad sama papou.”

“Mobil.. mama.. papa, Keane mimpi,” si balita menjawab.

Arasy dan Sean tidak bodoh untuk mengerti apa yang tengah dialami oleh Keane setelah mendengar ucapannya. Mimpi mengenai kecelakaan beberapa hari lalu tentu saja masih terus membayangi si balita.

“Keane, keane sekarang di sini sama dad sama papou. You'll be alright, sayang.”

“Hiks, Keane takut.”

“Sshh.. it's okay, jagoan. Coba sini lihat dad,” Sean berkata. Ia bawa wajah mungil di pangkuannya untuk tatap wajahnya. Lelaki tampan itu hapus air mata yang kembali mengalir dan berikan senyum tipis —senyuman yang sedari dulu juga selalu berhasil menenangkan Arasy.

“Keane sekarang punya dad juga papou. Keane juga punya mama sama papa Keane yang selalu di hati Keane. Jangan nangis lagi, okay? Masa jagoan nangis?”

Arasy mengusap surai lelaki kecil itu dengan sayang. “Iya, masa jagoan nangis? Ngga takut dilihat adik? Keane mau jadi kakak loh. Nanti sebelum tidur, kita berdoa ya sayang? Supaya mimpinya Keane yang jelek pergi jauh. Ya?”

Keane mengangguk. Ia tatap perut Arasy yang sudah membuncit dan menunjuknya. Arasy mengerti, “Kak Keane mau main sama adik? Sebelum bobo?”

“Boleh.. pap— uncle?”

Sean dan Arasy saling melempar senyum, “Boleh dong. Keane masih mau tidur di kamar papou sama dad?”

“Keane takut tidur sendiri.”

“Yaudah, Keane tidur bareng kita berdua lagi malem ini ya? Nanti main sama dedek.”

Si balita mengangguk mendengar ucapan Sean. Setelah itu tubuh kecilnya dibawa oleh Sean kembali masuk ke dalam kamar. Tentu saja setelah keduanya menemani Arasy menghabiskan susunya.

Thank you, uncle..” dapat Sean dengar lelaki kecil— yang tengah digendongnya— itu berbisik di dekat telinganya.

Everything for you, prince.

Gabriel berjalan pelan ketika menemukan satu ruangan dengan lima kurcaci berjaga di depannya. Lelaki itu yakin bahwa Elio berada di dalam sana. Namun bagaimana caranya mengubah fokus kurcaci itu saat dirinya sekarang hanya seorang diri?

Mama, mama tadi cerita soal kurcaci. Gab baru dengar soal itu. Jadi, menurut mama, apa kesukaan kurcaci?

Gabriel, sayang. Para kurcaci itu paling tidak suka tempatnya diusik. Mereka pintar, mereka bisa mempelajari sesuatu dengan cepat. Tapi, para kurcaci sangat mudah kehilangan fokusnya. Bersiul lah, nyanyikan sebuah lagu dari situ. Mereka sangat menyukai nada-nada.

Ingatan Gabriel terlempar pada percakapannya dengan sang ibu 10 silam. Gabriel tersenyum. Menuruti apa yang diingatnya dari sang ibu, ia bersiul setelahnya sembari tatap kelima kurcaci yang tengah berjaga. Ketika kurcaci itu mulai celingukan, Gabriel maju perlahan. Kelima kurcaci itu lantas berpencar mencari sumber suara. Sedikitnya, Gabriel bersyukur lorong istana tersebut tengah sepi sehingga suaranya menggema dimana-mana.

“Dasar kurcaci.”

Gabriel segera berlari masuk ke dalam ruangan yang tadi dijaga ketat oleh para kurcaci. Benar saja, di sana ia temukan seorang lelaki mungil yang dikurung. “Elio?” Ia memanggil pelan, memastikan. Berhasil, sosok yang tengah dikurung itu berbalik dan membulatkan mata melihat sosok di hadapannya.

“Kamu.. mirip Bunda Agatha,” kata yang pertama kali didengar oleh Gabriel dari sosok Elio. Merdu,batinnya.

Gabriel tanpa sadar tersenyum. Ia tatap sekitarnya dan temukan satu kunci tergantung di dinding. Dengan cepat, ia ambil kunci itu dan membuka gembok dari kurungan yang berisi Elio di dalamnya.

Ketika Elio telah keluar dari tempatnya dikurung, Gabriel menunduk sekilas, berikan hormat pada si putra ratu. “Gabriel Fabregas, anda pasti pernah mendengar nama belakang saya.”

Sosok Elio itu menggeleng sambil tersenyum manis, “Bukan hanya nama belakang kamu. Aku sudah berkali-kali dengar nama depan kamu juga, Gabriel. Nice to meet you. Juga.. terima kasih.”

Gabriel membalas senyumnya, “Sama-sama,” katanya sambil menatap ruang tempat Elio berada ini. Ketika matanya menemukan suatu benda, ia mengernyit. “Kamu pasti pernah lihat yang mirip itu di istana,” suara Elio kembali terdengar, buat Gabriel menoleh. Lelaki manis itu memang benar, ia pernah melihat benda tersebut di istana. “Itu benda yang dipakai mama aku dan mama kamu buat mengubah boneka kayu jadi seorang manusia, juga sebaliknya.”

“Mereka...”

“Para kurcaci itu cerdas, Gabriel. Mereka belajar sesuatu dengan cepat karena memang demikian bunda dan mama menciptakannya. Walau tidak sehebat buatan bunda, para kurcaci itu berhasil membuat benda tersebut. Maka dari itu kurcaci di sini terus bertambah banyak.”

Gabriel mendekat ke arah meja dimana alat tersebut diletakkan, diikuti oleh Elio. “Ini, mesin ini adalah mesin biasa. Aku yakin kamu mempelajari ini di awal awal,” Elio menunduk, ia menunjuk mesin yang berada di dalam benda pengubah wujud tadi.

Si lelaki taurus mengikutinya, ia juga turut menatap mesin yang ditunjuk oleh si lelaki manis. “Benar,” katanya membenarkan ucapan Elio barusan.

Elio menyunggingkan senyumnya, ia menoleh ke arah Gabriel, menatap wajah putra teman ibunya yang sempurna bahkan dari samping sekalipun. Gabriel menyadarinya, lelaki itu menoleh dan keduanya bertemu tatap. Ini bukan pertama kali mata mereka bertemu, namun kali ini Gabriel rasa detak jantungnya berdetak tidak normal. Netra indah milik Elio yang berada hanya lima centi saja dari netranya itu berhasil membawanya tenggelam.

Cantik.

Hati dan pikirannya terus mengulang satu kata tersebut.

Sadar ditatap sedemikian dalam oleh Gabriel, Elio memerah. “Gab—” baru saja ia mau berucap, suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan mereka. Lamunan Gabriel pun pecah di sana.

“Bagaimana ini?”

Gabriel menatap tempat dimana Elio dikurung tadi. Ia dapat melihat dengan samar ada pintu yang berwarna sama dengan dinding di sana. “Maaf,” ia berucap pelan sebelum akhirnya melingkarkan tangan di pinggang Elio, menariknya masuk ke dalam kurungan tadi, bersama.

“Gab apa yang—”

“Sshh.. diamlah. Sebentar.”

Gabriel lepas jubah hitamnya. Ia gunakan itu untuk bersembunyi- mengingat warna jubahnya pun tak jauh berbeda dengan dinding di sana. Tepat saat itu, seorang kurcaci masuk sambil menggerutu, “pantas saja ribut sekali daritadi, pasukan Areseus menyerang. Para kurcaci menjadi habis sebagian.”

Baik Gabriel —yang tengah mengintip— maupun Elio menatap kurcaci tersebut yang berjalan menuju tempat penyimpanan.

“Kaummu itu memang menyusahkan!” Kurcaci itu menatap Elio dengan sinis.

Si kedua pangeran menahan senyum gelinya melihat itu.

Sosok kurcaci itu mengambil satu kotak berisi boneka dan menaruhnya di meja. Ia mengutak-atik mesin yang tadi dibicarakan oleh Gabriel dan Elio. Ketika tahu apa yang dilakukan oleh si kurcaci, mata Elio membola. Kurcaci itu membuat pasukan yang lain. “Gab—”

Gabriel dari balik jubahnya menaruh telunjuk di bibir. Ia berikan sekrup di tangannya pada Elio, sekrup yang diambilnya dari benda yang tengah digunakan oleh si kurcaci. “Ini.. kapan?” Elio berbisik.

“Sebelum aku menarikmu masuk ke kurungan lagi.”

“Sekrup ini..”

“Bagian penggerak.”

Elio hampir tertawa mendengar ucapan Gabriel barusan. Namun ia sadar dan ubah tawanya menjadi senyum geli. Ia berbalik dan melihat sosok kurcaci yang tengah menaruh satu boneka kayu di alat tersebut.

“Akh!” Bukannya menuju pada boneka di bawahnya, bagian pengeluar sihir pada alat tersebut justru berbalik dan mengubah kurcaci tadi kembali menjadi sebuah boneka.

Gabriel keluar dari jubahnya dan tersenyum melihat itu. “Gabriel kamu hebat!” Lelaki manis dihadapannya berceletuk.

“Belum saatnya kita saling memuji, Elio. Sekarang biar aku membuka ini. Kita keluar dari sini. Terlalu berbahaya jika lewat depan pasti banyak yang terjaga,” Gabriel tunjukkan pintu yang tadi dilihatnya.

“Gabriel ini lantai tujuh!”

“Lantas?”

“Kita akan jatuh!”

Gabriel terkekeh, ia menggeleng dan membuka pintu tersebut. “Tidak akan,” katanya. Dengan sigap, ia lingkarkan tangannya di pinggang Elio kembali setelah bergumam maaf. Lelaki taurus itu bersiap melompat, mengabaikan Elio yang sudah berteriak sedari tadi. “Gabriel! Astaga jangan! Kita nanti jatuh!”

Dalam sekejap mata, lelaki itu melompat turun, buat Elio dipelukannya berteriak takut. Ketika si lelaki manis tak merasakan adanya gravitasi yang menarik keduanya, ia buka mata dan menatap Gabriel.

“Lihat? Kita nggak jatuh.”

Elio menatap ke bawah, ia tengah berada di atas seekor pegasus bersama dengan Gabriel yang memangkunya. Wajahnya lantas memerah, ia bergeser dari pangkuan lelaki itu dan duduk di depan Gabriel, buat si lelaki taurus terkekeh gemas. Dari tempatnya, dapat Elio lihat ada Irvine, Paige, juga Noe, juga Elvis di atas pegasus yang lain. Keempatnya tengah tersenyum ke arahnya dan Gabriel.

“Eliooo aku rindu!” Rengekan Paige itu berhasil alihkan Elio dari rasa malunya. Ia terkekeh. Belum sempat membalas satu panah mengarah ke atas, ke arah pegasus Elio juga Gabriel walau akhirnya meleset.

“Nanti dulu saling melepas rindunya. Sekarang kita balik ke istana dan aktifkan semua mesin di Aureseus,” Gabriel berucap.

“Tapi kunci—”

“Ada padaku.” Elio mengangguk, ia menoleh ke ketiga temannya, “Sekalian nanti kita aktifkan penghancur di dunia kurcaci.”

“Tapi, Elio? Kamu yakin?”

“Ini yang terbaik, Irvine. Nanti kita bangun kembali negeri itu.”

Aludra, tempat dimana Gabriel kecil selalu menghabiskan waktu bersama sang ibu juga Darell, teman ibunya.

Ketika si lelaki taurus itu melangkahkan kakinya masuk ke tempat tersebut, ia tahan nafasnya. Interior milik Aludra yang begitu khas dengan mesin mesin buatan tangan itu adalah suatu hal yang Gabriel rindukan. Semenjak sang ibu tiada dua tahun yang lalu, Gabriel tak pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Ini pertama kalinya.

“Gabriel!” Suara Darell terdengar ketika Gabriel memasuki ruangan. Lelaki taurus itu mendekat kepada Darell dengan senyum tipisnya. “Kak, apa kabar?”

“Baik.” Teman sang ibu itu mengeluarkan sebuah benda dari bawah mejanya, menunjukkan benda itu pada Gabriel. “Aku buat ini, Gab. Ini kotak musik— ah bukan juga, aku nggak tahu nyebutnya apa karena ini nggak berbentuk kotak musik. Intinya, benda-benda di sini harusnya bisa berputar kalau musiknya main. Tapi ini nggak bisa.”

“Aku udah lama nggak pegang begini sejak satu tahun lalu..” gumamnya.

“Aku yakin kamu masih bisa, Gab. Coba dulu.”

Gabriel mengangguk, ia tatap benda yang berada di hadapannya. Benda-benda yang tidak bisa berputar yang dikatakan oleh Darell itu, Gabriel perhatikan juga mainkan berkali-kali hingga ia temukan akar masalahnya.

“Kak, kamu sambungin benda-benda kecil ini sama pusat geraknya pakai apa? Pusatnya juga.. dimana?”

“Aku pakai tali yang biasa aku pakai buat sambungin benda dari pusatnya, Gab.”

“Berarti ada tali yang putus di sini, boleh aku bongkar?”

Darell tersenyum, ia mengangguk dengan yakin. “Silahkan.”

Lelaki taurus itu mengerjakkan pekerjaannya dengan rapih, buat Darell tak dapat untuk tidak tersenyum bangga melihat salah satu putra temannya itu. Gabriel yang dahulu sering sekali merecokinya juga sang ibu ketika tengah mengerjakkan sesuatu, kini sudah tumbuh menjadi sosok yang tampan.

“Udah kak, coba.”

Lamunan Darell akan masa lalu terpecah ketika Gabriel membuka suara. Seulas senyum nampak dari wajahnya kala alat pembuat musik itu telah bekerja dengan benar. Darell tepuk bahi Gabriel dengan bangga, “Kamu memang seperti mamamu, Gab.”

Gabriel tertawa kecil. Ucapan sahabat ibunya memang benar. Jika kedua saudaranya lebih menyukai sesuatu yang normal, maka tidak dengan Gabriel. Lelaki taurus ini selalu tertarik dengan minat sang ibu. Mesin-mesin, perhitungan, dan lainnya yang berhubungan dengan itu.

Namun tentu saja, ia masih jauh dari sang ibu. Masih banyak yang belum ia pelajari dan ketahui hingga saat ini.

“Oh iya, Kak.”

“Hm?”

“Soal kunci—”

“Kakak udah bilang, kakak nggak mau beritahu kamu, Gab.”

Gabriel menghela nafasnya, membuat Darell tersenyum geli. “Udah kamu jalan jalan di Aludra aja sana, kangen pasti kan?”

“Banget. Yaudah aku mau lihat-lihat Aludra aja sekalian cari angin. Kakak kalau butuh apa-apa telfon atau chat aja ya?”

“Iya, Gab.”

Gabriel pamit untuk keluar dari ruangan yang lebih tua. Meninggalkan Darell yang tersenyum samar sebelum menoleh ke arah burung hantunya yang sedari tadi ribut mengeluarkan suaranya—seakan memberitahu Darell sesuatu yang akan ditemui oleh lelaki taurus itu.

“Gabriel sudah dewasa, Wade. Mungkin sudah waktunya dia tahu dunia ibunya.”


Lelaki tengah dari ketiga bersaudara itu melangkahkan kaki menuju tangga yang ditemuinya di Aludra. Gabriel rasa, ia tak pernah naik ke atas sana, maka ia putuskan untuk naik ke atas, menuntaskan rasa penasaran juga rasa rindunya akan bangunan ini.

Lorong yang panjang dan sepi tak membuat langkahnya berhenti. Gabriel merasa ada sesuatu di sana, sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia terus berjalan maju dan kala netranya tangkap sebuah cahaya, ia memincing.

Lorong panjang dan gelap tadi berujung pada sebuah lubang tanpa pintu yang mengarah pada suatu tempat dengan langit yang cerah lengkap dengan matahari yang bersinar terang. “Tempat apa? Sekarang sudah malam, tapi kenapa di sana masih terang?” Si lelaki taurus bergumam.

Kakinya terus melangkah maju, masuk ke dalam tempat yang masih terang— di saat jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul delapan malam— itu.

Sret!

Baru saja Gabriel masuk ke dalam sana, sebuah panah sudah terlempar ke arahnya. Beruntung refleksnya baik sehingga panah itu tertancap pada dahan pohon yang berada tepat di sebelah lubang yang menyambungkan Aludra dengan tempat yang dipijaknya sekarang ini.

Ketika membuka mata, dapat Gabriel lihat di depannya, seorang pemuda dengan pakaian khas seorang pengawal kerajaan tengah mengarahkan anak panah lain kepadanya.

Who are you?!

tw// accident , death

“Bener kan uang kakak tuh uang Rasie? Terus kenapa sih, ih!”

Sean hanya terkekeh saja mendengar gerutuan Arasy selepas lelaki manis itu bertukar pesan dengan sang ibu.

Begitu menggemaskan ditambah pipi Arasy yang terlihat makin gembul karena ia menggerutu sambil menggigit waffle di tangannya.

“Nanti keselek sayang, makan dulu ya bener ah.”

Arasy menoleh dan mengerucutkan bibir. Ia memberikan kerucut waffle di tangannya ke tangan Sean. “Kakak aja yang makan, aku kenyang.”

“Kakak ngga suka, Rasie. Habisin dong, tinggal sedikit nih.”

“Suapin aaa~”

Sean tentu dengan senang hati menyuapi suami manisnya. Arasy makan dengan tenang dari tangan Sean sampai telinganya mendengar suatu benturan. Ia menghentikan makannya dan menoleh kepada Sean.

“Kakak denger nggak?”

“Iya, kayanya ada kecelakaan, Sayang. Kita ke sana ya?”

Arasy mengangguk. Waffle yang sudah tinggal bungkusnya itu dibuang oleh Sean dan keduanya berjalan cepat menuju jalan raya di dekat taman.

Benar saja di sana sudah ramai. Di seberang jalan ada mobil yang sudah ringsek, dipenuhi dengan asap-asap.

Mereka meninggal di tempat.

Tolong jangan ada yang mendekat sampai polisi datang!

Dapat keduanya dengar ucapan-ucapan orang di sana yang mengatakan sang korban telah meninggal di tempat kejadian juga larang-larangan untuk mereka yang disana. Namun samar-samar dapat Arasy dengar ada tangisan dari dalam mobil itu.

Lelaki manis itu melepas genggamannya dengan Sean. Ia mendekat ke arah mobil yang sudah ringsek— mengabaikan Sean yang mengejarnya, mencoba menghentikan.

“Sayang!”

“Kan tadi udah pada dibilangin jangan ngedeket dulu sebelum ada polisi. Kamu tuh kenapa nekat?” Sean berkata ketika dirinya sudah berada di dekat Arasy. Keduanya kini berada di dekat mobil korban kecelakaan tersebut.

Sean akan membawa Arasy jauh dari sana jika saja Arasy tidak melihatnya dengan tatapan berkaca.

“Kak Se ada anak kecilnya,” adunya lirih. Ia dapat melihat jelas korban di dalam sana.

“Kak Se tolongin, dia nangis, hiks!”

Sean membelalakkan mendengarnya. Ia juga mendengar tangisan samar-samar itu dari dekat. Mengabaikan larangan seseorang tadi, Sean menunduk dan membuka pintu mobil yang terbalik itu.

Lelaki berkelahiran april itu terbatuk kala disambut oleh asap. Ia kemudian dapat melihat jelas korban di dalam sana. Pasangan dengan darah dimana mana. Juga, seorang balita di gendongan sang ibu — yang sudah tak bernyawa— yang tengah menangis.

Arasy menutup mulutnya melihat itu. Kala Sean berhasil membawa balita tersebut dan menggendongnya menjauh, Arasy menangis lega. Ia mengambil bayi itu dari gendongan Sean dan memeluknya.

“Nggak papa, nggak papa, kamu disini sama aku. Cup cup cup.”

“Pak, maaf. Terima kasih sudah menyelamatkan anak ini, sebelumnya. Tolong bawa dia menjauh sementara kami mengevakuasi kedua orang tuanya.”

Sean dan Arasy mengangguk. Ia membawa anak itu ke seberang jalan, tempat dimana mobil mereka terparkir, dan mendudukkan anak itu di jok belakang sembari mengecek keadaannya.

“Kamu nggak papa? Ada yang luka? Ada yang sakit?” Arasy yang duduk disebelah anak itu bertanya.

“Hiks.. mama..”

“Nggak papa sayang, sama aku dulu ya?” Arasy menenangkan. Mengabaikan perutnya yang terasa sedikit keram sebab banyak bergerak sedari tadi.

“Shh..”

“Perut kamu ngga papa?” Sean bertanya khawatir, Arasy mengangguk menjawabnya.

Sean yang tengah berjongkok di depan balita— yang didudukkan menghadap pintu mobil yang terbuka— tersebut, menghapus air matanya.

“Hei, masa jagoan nangis? Sini lihat uncle. Ada yang sakit nggak?” Sean bertanya setelahnya.

Anak itu menggeleng pelan menjawab Sean.

“Nama kamu siapa, hm?”

“Keane.”

Sean menatap Arasy yang berada di atas mobil— di belakang lelaki kecil bernama Keane itu— dan keduanya melempar senyum lega sebab anak itu menjawab setelahnya.

“Okay. Keane harus tenang ya? Disini dulu sama uncle.”

Balita itu mengangguk. Ia menghapus air matanya dan kemudian menoleh kebelakang, dimana Arasy berada. Lelaki manis itu kemudian melempar senyum.

“Hai, sayang,” sapanya sembari mengusak rambut Keane, sementara tangannya yang lain mengelus perutnya yang tadi sempat keram.

Arasy sedikit bersyukur sang bayi bisa diajak bekerja sama di keadaan genting seperti ini.

“Baby.”

“Iya ada baby di sini, Keane tahu?” Arasy menjawab gumaman si balita.

Keane yang mulai tenang dari sesenggukan nya itu mengangguk. Ia menatap perut buncit milik lelaki manis itu dengan lucu.

Sean yang sudah berdiri hanya tersenyum melihat keduanya dari luar. Rasanya hatinya menghangat melihat lelaki manisnya mau bersikap seperti ini.

“Permisi, Pak. Ibu dari anak yang tadi sudah dibawa ke rumah sakit terdekat oleh polisi dan ambulan.”

Sean mengangguk, “Saya akan susul ke sana.”

Hari ke 210. Sebagaimana telah dituliskan oleh Chenle di akun rant miliknya.

Hak pertama yang dilihat Chenle saat bangun tidur adalah sang papa yang tengah duduk sambil menangis memandangi figura foto keluarganya — dirinya, sang baba, dan sang papa.

Maka Chenle berikan peluk ke pada papanya itu. “Papa, papa lihat baba dimana pagi ini?” tanyanya selepas pelukan itu.

Si lelaki kelahiran april itu menunjuk cermin di dekat tangga. Matanya berkaca, “Hari ini, tepat tiga tahun babamu nggak ada, Le. Papa takut harus lihat bagaimana kejadian itu.”

Tak hanya Chenle, Jeno pun mengerti. Kegiatan yang dilihatnya dilakukan oleh Renjun semenjak 7 bulan lalu itu adalah memori dari suami manisnya.Bagaimana dahulu lelaki manis itu menjalani kehidupannya 7 bulan sebelum ia meninggalkan dunia.

“Papa..”

“Le, apa papa nggak akan lihat baba di sini lagi setelah ini? Kalau boleh jujur—” Jeno menghentikan ucapannya, “Papa udah terbiasa dengan kehadiran memori baba kamu di sini.”

Chenle tak bisa menjawab apa-apa disaat seperti ini. Maka ia hanya dapat memeluk kembali tubuh sang papa. “Papa, nanti kita ke makamnya baba ya?”


tw // accident

Jeno melihatnya. Jeno melihat dengan jelas bagaimana kejadian yang berhasil merenggut nyawa Renjun.

Tubuh suami manisnya itu terpental begitu jauh dari tempatnya menyebrang. Jeno yang melihat itu merasa jiwanya direnggut saat itu juga.

Hari itu, dimana Renjun kecelakaan, Jeno tak ada di sana. Lelaki manis itu sendirian.

“Papa, papa!”

Jeno merasa Chenle memanggilnya. Dengan wajah yang sudah basah oleh air mata ia tersadar dari lamunannya, ia hendak berlari menuju tempat dimana ia melihat Renjun terkapar, namun Chenle menghentikan. “Papa!”

“Baba kamu disana le. Baba kamu kecelakaan. Papa mau kesana.”

“Papa itu cuma memori baba, pa!”

“Lele baba kamu, hiks, Le. Baba kamu kesakitan di sana.”

“Papa, hiks. Tolong pa. Baba udah nggak ada. Yang papa lihat itu cuma memori baba, Pa!”

“Lele, baba kamu, hiks.”

Chenle menarik Jeno ke dalam pelukan. Tak peduli mereka berada di trotoar sebuah jalan raya, keduanya menangis di pelukan satu sama lain.

Bagaimana bisa mereka tak ada di samping Renjun saat Renjun kesakitan seperti itu tiga tahun yang lalu?

“Papa harusnya temenin baba kamu dulu, Le. Mungkin kalau gitu, baba kamu masih ada sama kita sekarang. Lele, hiks, maaf. Maaf karena papa buat baba pergi tinggalin kita.”

Chenle semakin menangis di pelukan sang papa, ia menggeleng. “Bukan papa yang buat baba nggak ada. Kita nggak bisa nentuin kematian seseorang papa, hiks. Baba udah bahagia, Pa.”

Baru kali ini Chenle melihat papanya menangis begitu. Sang papa yang dahulu selalu ia lihat sebagai sosok yang kuat dan selalu melindunginya juga sang baba, kini dilihatnya begitu rapuh semenjak kepergian sang baba.

“Papa rindu baba, Le. Papa rindu. Papa mau lihat baba, papa mau minta maaf atas semuanya.”

Chenle menegakkan tubuh sang papa. Ia menghapus air mata milik Jeno dan berkata, “Kita ke makam baba ya, Pa?”

Jeno mengangguk, ia juga tangkup wajah Chenle dan menghapus air mata putranya dengan ibu jari. “Kamu mirip banget sama baba, Chenle.”


“Renjun-ah.”

Jeno tersenyum menatap nisan makam Renjun. “Apa kabar? Kamu bahagia di sana?”

“Renjun-ah. Lee Renjun. Makasih atas kehadiran kamu di samping aku selama ini, dari semasa kita masih jadi pelajar sampai kita berkeluarga. Aku berterima kasih banyak. Aku juga mau minta maaf, sayang. Maaf karena saat itu aku nggak ada di samping kamu. Saat kamu lagi kesakitan, aku nggak ada di sana. Aku minta maaf.”

Chenle mendengarkan semuanya dengan baik. Air matanya kembali mengalir selepas mendengar perkataan papanya untuk sang baba.

“Renjun, tunggu aku di sana ya, sayang?”

Chenle mendekat, ia peluk tubuh sang papa dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu sang papa. “Baba pasti bahagia dan bersyukur punya papa.”

Jeno menggeleng, ia menatap nisan milik Renjun. “Bukan. Harusnya papa yang bersyukur punya baba kamu di samping papa.”

“Baba bakal selalu ada di hati papa, Pa,” Chenle berkata. Dalam hatinya juga ia ucapkan segala kata maaf dan terima kasih pada sang baba. Kasih sayang dari sang baba yang berhasil membuatnya tumbuh dengan baik, didikan dari sang baba yang berhasil menjadikannya pribadi yang begitu kuat, semua itu ia tanamkan dengan baik dalam hatinya.

Jeno mengangguk mendengar Chenle. Ia ikhlaskan sepenuhnya kepergian Renjun.

Biarlah ia menjalani tugasnya di sini dengan baik baru setelahnya ia susul Renjun dengan tenang.

Keduanya hanya diam di depan makan Renjun sampai keduanya merasakan sebuah angin di sana. Keduanya tersenyum di tengah wajah memerahnya. Renjun hadir di sana, bersama mereka.

Hai papa, hai Chenle, apapun yang terjadi, baba bakal selalu ada di hati kalian. Makasih sudah datang hari ini ya? Hiduplah dengan bahagia. Saat waktunya nanti, kita akan berkumpul bersama lagi bertiga.

Sebenarnya bukan hal yang baru lagi bagi Audey untuk berkumpul bersama dengan Breve dan juga Hart. Namun hari ini semuanya berbeda.

Audey tak tahu harus berapa kali lagi ia berucap syukur atas kehadiran mereka semua di sampingnya.

“Hei, ngelamunin apa?” Audey tersentak ketika mendengar suara Gideon. Lelaki manis itu menoleh dan menemukan kekasihnya tengah tersenyum lembut.

“Aku tahu ini susah buat kamu, sayang. Lepas dari mereka yang bareng sama kamu dari awal kamu hadir di dunia, itu susah banget. Dan aku seneng, demi kebahagiaan kamu, kamu lepasin diri dari mereka. It's a big step for you. Ini langkah yang besar buat menuju ke kebahagiaan kamu, kan?”

Audey mengangguk. “Aku memang sedih, tapi aku nggak mau bohong aku juga seneng. Bisa lepas dari mereka itu sesuatu yang nggak pernah aku pikirin sebelumnya.”

Gideon tersenyum lembut dan berikan kecupan di pipi Audey. “You did a very very great job.”

“Kamu bangga sama aku, Gad?”

“Lebih dari sekedar bangga, sayang. Kamu pun harus ingat kalau kamu masih punya keluarga. Aku, Ed, Cole, Hart, dan penggemar-penggemar kamu. Itu keluarga kamu. Keluarga kita.”

Audey mengangguk. Ia menyandarkan kepalanya di bahu tegap milik Gideon. Hatinya menghangat mengetahui sekarang ia di sini, berada di samping lelaki taurus itu, berada di antara semua orang yang selalu ada untuknya.

“Oh iya!” Audey tiba tiba menegakkan tubuhnya.

Membuat Gideon, Edrick, Hart, dan juga Cole menoleh ke arahnya. “Soal Breve, kalian beneran bakal keluar dari sana? Aku tadi baca dikit chat kalian..” tanyanya pelan.

Cole terkekeh kemudian mengangguk, “Beneran. Lagian mereka nggak pernah mikirin gimana artisnya kan? Buat apa bertahan di sana, Dey?”

Ed mengangguk setuju, “Bener! Juga, yang punya agensi itu orang yang jahat sama lo, gue gak terima! Gue boleh sukses tapi kalo salah satu keluarga gue masih merasa sakit. Gue nggak mau.”

Hati Audey menghangat. Ia melirik ke arah Gideon yang tersenyum ke arahnya. Lelaki taurus itu menaik turunkan alisnya menggoda Audey. “Apa?” tanya Gideon geli setelahnya.

Pipi Audey bersemu merah, ia kemudian menggeleng dan mengalihkan pandangan ke arah Hart, Edrick, dan juga Cole di hadapannya.

“Gue sayang banget sama lo semua, makasih.” ucapnya kemudian masuk ke dalam pelukan bersama ketiga orang tersebut.

“Lo tau, Dey? Gue tumbuh belajar kalo nggak pernah ada kata makasih diantara keluarga. Dan sekarang, gue gak mau ada kata makasih keluar lagi dari mulut lo,” Edrick berkata.

“Nah dengerin tuh, gue udah muak denger lo ngomong makasih tau gak?” Hart berkata, ia memukul dahi Audey hingga memerah.

“Heh, Hart pacar gue itu!” Melihat dahi kekasihnya memerah, Gideon menarik Audey lepas dari pelukan ketiga orang tersebut. Setelahnya, ia berikan elusan lembut di dahi kekasihnya.

“Sakit nggak?”

“Gue mukulnya pelan ya!”

“Tapi ini merah!”

Audey tertawa saja melihat manager juga kekasihnya berdebat. Ia kemudian memberikan kecupan di pipi Gideon. “Nggak sakit, sayang. Makasih ya?”

“Bisa nggak jangan mesra-mesraan di sini?” Edrick menatap keduanya datar.

Gideon kemudian menarik bahu Audey mendekat kearahnya, “Pacar gue ini, nggak papa dong?”

“Tapi kan nggak baik mesra-mesraan di tempat umum begitu!”

“Ini apartemennya Audey.”

Audey terkekeh mendengar perdebatan Gideon sekali lagi. Dalam tawanya, ia menatap kearah kekasihnya yang tengah berdebat dengan Edrick.

Rahang tegas, hidung yang mancung, side profile yang begitu sempurna, semua itu membuat Audey berhasil jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Entah bagaimana cara Audey bisa berterima kasih pada Gideon sekarang.

Berawal dari sebuah telepon salah sambung hingga kini Gideon menjadi kekasihnya, berada di dekatnya saat ia mengakhiri semua lukanya. Semua itu akan tersimpan rapi di ingatan Audey.

Tak akan pernah sekalipun Audey akan berhenti mensyukuri kehadiran Gideon di sampingnya sekarang ini.

Setelah puas menatap wajah sempurna kekasihnya, Audey menoleh ke arah Hart. Lelaki yang menjabat sebagai manager dan juga sahabatnya ini selalu ada di dekatnya sedari awal. Mengetahui bagaimana perjuangannya.

Ketika ia menatap Edrick juga Cole pun, ia merasa bersyukur. Kedua member Breve yang dikenalkan oleh Gideon padanya itu membawa warna sendiri dalam hidupnya. Cole dengan tawanya, Edrick dengan sifat randomnya. Benar-benar membuat Audey terhibur setiap kali.

“Lo ngelamun lagi, Dey.” Suara dari Cole berhasil memecah lamunan Audey.

“Gue nggak ngelamun, gue cuma lagi bersyukur dalam hati karena bisa punya lo semua. Gue beneran gak tahu harus berapa kali bilang ini. Tapi, makasih udah bikin gue ngerasain gimana rasanya kasih sayang keluarga yang udah lama nggak gue rasain. Gue ngerasa terlindungi sekarang, gue punya dinding buat gue bersandar, gue punya rumah tempat gue selalu pulang, itu karena lo semua. Gad, Hart, Ed, juga Cole.”

“Audey lo bikin gue nangis mulu hari ini ah! Hiks!” Edrick berkata. Ia memeluk Audey yang berada di hadapannya dengan erat.

Padahal sebelumnya ia tengah berdebat dengan Gideon. Tetapi lihatlah sekarang ia menangis. Audey sedikit heran.

“Udah ya, itu terakhir kalinya lo bilang makasih ke kita-kita!” Hart berkata pada Audey dengan suara seraknya yang dibalas cengiran. Lelaki itu terharu.

“Gue juga bersyukur bisa kenal lo, Audey.” Dan itu dari Cole yang dibalas senyuman manis dari lelaki aries itu.

“Makasih ya udah jadi orang yang hebat, sayang?” Gideon berkata terakhir, ia mengusak surai Audey — yang masih dipeluk oleh Edrick— dengan lembut.

Audey kini sadar bahwa bukan hanya orang yang berhubungan darah dengannya saja yang dapat dikatakan keluarga.

Mereka yang ada di samping Audey dalam keadaan apapun itulah yang dapat ia sebut keluarga. Seorang yang menyembuhkan dan membawa kebahagiaan, yang dapat ia jadikan rumah untuk selalu berpulang, itu yang dapat ia sebut keluarga.

Dan Audey sudah cukup bahagia dengan hidupnya sekarang ini. Terlepas dari keluarganya memang membuatnya sedih, namun ia tak mau memungkiri bahwa ada sedikit rasa kelegaan dalam dirinya bisa terlepas dari mereka.

Bukan berarti Audey akan melupakan seluruh jasa ayah, ibu, atau kakaknya. Audey hanya ingin menjauhkan diri dari segala yang membuat dirinya terluka. Ia akan tetap melihat mereka dalam diam, membantu mereka dalam diam. Karena bagaimanapun juga Audey menyayangi ayah ibu dan kakaknya.

Setidaknya, sekarang, keadaan seperti inilah yang terbaik untuk Audey.

“Okay guys, maaf gue merusak momen haru ini, tapi gue dikabarin Kak Kasha kalo foto Audey sama Gideon keluar dari gedung Sone kesebar.”

Haduh.

Audey berjalan menuju ke dalam agensi milik Gideon dengan sedikit tergesa. Lengkap dengan masker dan topinya, Audey masuk ke restoran yang tepat disamping agensi tersebut.

Kekasihnya tadi berkata bahwa ia akan menunggu Audey di restoran private — tempat para pekerja di Sone disediakan makan — untuk bertemu.

Namun sesampainya di sana, ia justru bertemu dengan Gad yang tengah diam di tempat duduknya dengan menunduk Apa yang dilakukan kekasihnya? Audey menerka-nerka dalam hati

“Gad?” Audey memanggil sembari melepas masker juga topinya.

Lelaki itu menoleh, ia segera menarik Audey untuk duduk di sebelahnya. Gideon menggumamkan kata 'maaf' sebelum akhirnya menundukkan kepala Audey dengan tangannya. “Apa sih? Kamu kenapa?”

“Dibelakang kursi ini ada papa sama kakak kamu. Tadi aku denger mereka nyebut nama kamu sama aku, makanya aku langsung nunduk, pas banget kamu dateng.”

“Hah?”

“Iy—” ucapan Gideon terpotong saat keduanya mendengar rengekan seorang wanita di belakang. Audey mengenal suara itu. Itu suara milik Audrey, kakaknya.

Papa jangan main handphone aja dong! Aku tuh nggak suka, pa, kalau Audey seneng sama Gideon!

Audey terdiam mendengarnya. Ia menatap ke arah Gideon dengan tatapan sendunya. Lelaki taurus itu paham, dengan segera ia ambil tangan Audey dan mengenggamnya lembut.

Iya papa tau, sayang. Sebentar dulu ini papa lagi minta orang-orang papa buat nambahin jadwalnya Breve.

Netra Audey dan Gideon bertemu. Mereka bertatapan, melemparkan sarat kebingungan kepada satu sama lain.

Jangan pa! Ih, kasian banget sama mereka. Mending papa minta Kasha aja buat nyuruh Gideon nganterin aku terus. Biar waktunya sama Audey berkurang.

Mana bisa gitu, sayang? Papa kan juga kalo bisa manfaatin ini buat naikin nama agensi.

Ck! Papa tuh mikirnya agensi terus. Mikirin akunya kapan? Aku kan juga mau bahagia sama orang yang aku suka, Pa, Gideon!

Papa kemarin sudah suruh orang papa buat nabrak Audey waktu dia lagi jalan kan? Terus orang itu juga papa suruh peluk Audey biar Gad yang jalan sana kamu di tempat Audey syuting kemarin lihat dan salah paham. Itu memang nggak nunjukin kalau papa mikirin soal kebahagiaan kamu?

Audey yang mendengarnya mengeratkan genggaman tangannya pada Gideon. Begitu pula sebaliknya. Rupanya itu memang rencana dari Audrey dan Gideon hampir terjebak.

Rasanya, Audey ingin marah dan berteriak kesal. Tidakkah cukup selama ini kakaknya mengambil kasih sayang dari ayah dan ibunya? Kenapa harus Gideon yang ingin diambilnya?

Audey tahu sebenarnya ia tak perlu khawatir bahwa Gideon akan meninggalkannya. Sebab Gideon pun tidak akan mau bersama dengan kakaknya, dan ia percaya pada lelaki itu.

Tapi semua yang dilakukan kakak dan papanya ini keterlaluan.

Papanya selama ini memiliki sebuah agensi besar — yang menaungi Breve di bawahnya — yang artinya, keluarga mereka tidaklah kekurangan. Namun apa tujuan mereka meminta uang dari Audey?

Dan mereka juga mencoba menghancurkan hubungannya dengan Gideon? Audey rasa cara mereka benar-benar keterlaluan.

Ia bertanya dalam hati, apakah sulit bagi mereka untuk membiarkan Audey bahagia dengan dunianya?

Itu masih kurang, Pa! Aku nggak suka kalau Audey bahagia asal papa tau! Dan aku mau sama Gideon!

Audrey, papa nggak mau Audey terluka. Nggak ada orang tua yang mau lihat anaknya terluka, Audrey.

Huh, lucu sekali. Audey memutar bola matanya malas.

Tapi papa sama mama nggak mau ngakuin Audey selama ini dan itu udah buat Audey terluka, kan? Papa, papa sama mama tuh udah buat luka di hati Audey tau nggak?

Audrey, papa—

Kita udah sejauh ini pa! Audrey nggak suka kalau papa sama mama masih peduli sama Audey yang udah bikin kita malu kaya gitu! Papa udah terlanjur ngelukain dia maka lanjutin!

Sekarang gini, papa pilih aja, papa mau Audrey apa Audey? Kalo papa pilih Audey mending sekarang tinggalin Audrey disini. Tapi kalo papa pilih Audrey, ambil Gideon dari Audey sekarang. Biarin Audey sendiri!

Gideon rasa itu sudah cukup sekarang. Ia benar-benar muak mendengar itu dan ingin Audey turun tangan. Maka dari itu, ia berdiri duduknya. Berniat menghampiri meja kakak dan ayah kekasihnya, namun Audey — yang wajahnya sudah memerah menahan tangis — menahan tangannya dan menggeleng.

“Jangan..” lirihnya.

“Tapi mereka keterlaluan sama kamu, sayang.”

“Gad, jangan.”

“Aku nggak terima. Aku nggak terima mereka begitu ke kamu. Aku juga nggak terima mereka buat kita salah paham kemarin. Sekarang kamu ngomong ke mereka, Audey. Bilang kalau kamu juga punya hak buat bahagia, sayang. Ya?”

Melihat Anggukan pelan dari Audey, Gideon pun menarik tangan kekasihnya itu untuk berdiri dan membawanya ke meja kedua pasangan ayah dan anak itu.

“Papa,” Audey memanggil pelan.

“A-Audey?” Sang papa membelalakkan mata melihat putranya.

“Papa apa nggak cukup udah buat Audey kehilangan kasih sayang dari papa mama? Kenapa sekarang waktu Audey ngerasain kasih sayang lagi dari orang lain, papa justru mau buat Audey kehilangan itu lagi?” Audey bersuara, lirih.

Ia kemudian melirik ke arah kakaknya. “Audey salah apa sama kakak? Selama ini Audey selalu penuhin kebutuhan kakak, Audey tumbuh juga selalu ada di samping kakak. Kenapa kakak malah gini ke Audey? Audey nggak punya apa-apa kak. Kakak dapet kasih sayang dari papa mama, kakak dapet dukungan dari papa mama, sedangkan aku? Aku berjuang sendiri selama ini, kak. Aku nggak punya tempat buat aku keluh kesah selama aku kejar mimpi aku.”

“Audey apa—”

“Papa, semua luka yang selama ini papa kasih ke Audey rasanya sakit pa. Luka itu belum sembuh dan waktu Audey mau sembuhin itu, Audey justru tahu kenyataan soal papa sama kakak jauhin Gad dari Audey. Papa nambah luka itu lagi.”

“Audey..”

“Papa, aku ini anak papa, kan? Aku ini anak papa sama mama kan?” Ia bertanya, kemudian ia juga menatap ke arah kakaknya. “Audey ini saudara kakak kan? Tapi kenapa?”

“Gue kasih tau ke lo, Audey. Papa sama mama nggak pernah nganggep lo sebagai anaknya, kita nggak pernah nganggep lo sebagai keluarga sejak lo mutusin buat nggak nurutin kemauan papa,” Audrey berkata. Menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Audey mengangguk-angguk. Ia menghapus air matanya. “Okay kalo gitu mendingan Audey keluar dari keluarga ini sekalian.”

“Audey janga—”

“Ini kan yang papa mau? Hidup bahagia sama kakak dan mama? Untuk terakhir kali, Pa. Biarin Audey bahagia. Biarin Audey hidup buat Audey sendiri. Biarin Audey kerja buat Audey sendiri, bukan buat kalian. Biarin Audey capai mimpi Audey dan biarin Audey bahagia sama orang yang selalu dukung Audey, keluarga Audey yang sebenernya.”

Audey kemudian menatap kakaknya sekali lagi, “Kakak bisa ambil Gad kalo kakak mau.”

“Aku yang nggak mau, sayang. Tolong jangan pernah suruh aku pergi dari kamu.” Gideon yang sedari tadi mendengarkan bersuara. Ia membawa Audey ke dalam pelukannya.

Lelaki taurus itu kemudian menatap pasangan ayah dan anak dihadapannya

“Udah kan? Udah puas kalian semua gini ke Audey? Maaf, saya tahu ini bukan hak saya buat bicara. Tapi saya mau ngasih tau kalau Audey juga manusia. Audey punya hak buat nentuin bagaimana jalan hidupnya. Dan buktinya, Audey bisa sekarang, Audey capai mimpinya, dia bisa dikenal banyak orang tanpa dukungan dari orang terdekatnya. Kalian juga harus tahu, kalau Audey itu hebat banget.”

Gideon tersenyum lembut ke arah lelaki manis di pelukannya, ia menghapus air mata di mata lelaki yang dicintainya sebelum kembali menatap Audrey dan sang atasan.

“Saya kemarin salah karena nggak percaya sama Audey dan justru termakan omongan Mrs. Audrey. Karena itu saya minta maaf ke Audey. Dan mulai sekarang, tolong biarin Audey bahagia. Udah cukup buat air mata Audey keluar karena apa yang kalian lakuin.”

“Audey, maafin papa, papa—” sang papa menoleh ke arah Audey yang berada di pelukan Gideon.

“Maaf pa, Audey udah mutusin. Audey nggak mau kenal kalian lagi. Papa tenang aja, nama kalian bakal tetep bersih. Audey jamin itu,” Audey bersuara tanpa melihat papanya, ia menatap ke sudut restoran.

“Makasih pa, udah buat Audey ada di dunia ini, makasih buat semua kasih sayang papa dari Audey kecil sampai Audey remaja. Audey bersyukur.”

“Buat kakak makasih juga udah temenin Audey dari dulu.”

“Sampaiin juga ke mama, makasih karena udah lahirin Audey di dunia ini dan didik Audey sampai Audey besar.”

I'm sorry, Pa, Kak. Good bye,” Audey menoleh sekilas ke arah sang papa dan tersenyum sebelum menarik Gideon pergi dari sana.