Nightmare

Sean tersenyum kala netranya tangkap sosok Arasy yang tengah mengaduk susu miliknya di dapur. Rasanya semangat dalam diri Sean kembali begitu saja ketika tahu bahwa Arasy ada di sana ketika ia lelah dengan pekerjaannya.

“Sayang,” Sean memanggil. Kakinya ia langkahkan menuju sosok suami manisnya —yang langsung menoleh kala mendengar suaranya tadi.

“Kak Se, udah pulang?”

Sean mengangguk menjawabnya. Ia menerima pelukan hangat dari sosok papou dari anak-anaknya itu dan berikan satu kecupan hangat di puncak kepala Arasy.

“Keane udah tidur?”

“Mhm, tadi kan kakak udah tanya ke aku.”

Arasy berjalan ke belakang tubuh Sean dan membantu lelakinya melepas jas. “Biar kakak aja yang taruh ke tempat cucian, sayang.”

“Kakak mandi aja, gih. Habis itu temenin Keane bobo. Rasy masih harus cuci piring dulu.”

Mendengarnya, Sean menggeleng. Ia berlutut di hadapan Arasy, menyamakan tingginya dengan perut si lelaki manis dan mengecupnya. “Udah malem, sayang. Kamu tidur aja. Baby pasti juga ngantuk, iya kan jagoannya dad?” ucapnya, menujukan bit terakhir pada si bayi yang berada dalam perut Arasy.

“Kakak ih, nurut aja kenapa sih sekali-sekali? Biar aku cuci dulu piringnya, kakak mandi, nanti kan selesainya pasti barengan.”

“Kita cari maid aja buat ngurusin kerjaan rumah ya, sayang? Dedek udah besar gitu, kamu juga kan nemenin Keane.”

Sekali lagi si lelaki manis menggeleng. Ia tarik tubuh sang suami untuk berdiri dan kecup pipinya, “aku dari awal kita menikah juga udah minta sama kakak jangan pakai maid di rumah. Rasy bisa, Kak Se.”

“Tapi—”

Sanggahan Sean terhadap ucapan Arasy terhenti ketika kamar mereka dibuka dengan kencang. Keduanya segera menuju kamar dan temukan putra mereka menangis di depan sana.

“Sayang? Keane? Kenapa?” Arasy berjalan mendekat diikuti Sean. Sean segera bawa si balita ke dalam gendongan dan mengusap kepalanya pelan.

“Jagoannya dad kenapa hm? Kok nangis?”

Arasy turut memberikan usap pada punggung Keane. Ia hapus air mata si balita dan tersenyum menenangkan. “Minum dulu ya? Keane mau minum?” Arasy ambil satu gelas dan mengisi air dari dispenser yang berada di depan kamarnya juga Sean.

Setelah dirasa tenang, Keane —masih dalam gendongan Sean— dibawa olehnya ke ruang keluarga dan duduk di sana.

Si balita yang kini sudah berada dalam pangkuan 'daddy'nya, menatap Sean juga Arasy bergantian. “Kenapa, Keane?” Arasy memberikan tanya.

Keane justru menggeleng. Lelaki kecil itu menenggelamkan wajahnya pada dada Sean, memeluk pinggang lelaki itu. “Hey? Kenapa? Cerita sama dad sama papou.”

“Mobil.. mama.. papa, Keane mimpi,” si balita menjawab.

Arasy dan Sean tidak bodoh untuk mengerti apa yang tengah dialami oleh Keane setelah mendengar ucapannya. Mimpi mengenai kecelakaan beberapa hari lalu tentu saja masih terus membayangi si balita.

“Keane, keane sekarang di sini sama dad sama papou. You'll be alright, sayang.”

“Hiks, Keane takut.”

“Sshh.. it's okay, jagoan. Coba sini lihat dad,” Sean berkata. Ia bawa wajah mungil di pangkuannya untuk tatap wajahnya. Lelaki tampan itu hapus air mata yang kembali mengalir dan berikan senyum tipis —senyuman yang sedari dulu juga selalu berhasil menenangkan Arasy.

“Keane sekarang punya dad juga papou. Keane juga punya mama sama papa Keane yang selalu di hati Keane. Jangan nangis lagi, okay? Masa jagoan nangis?”

Arasy mengusap surai lelaki kecil itu dengan sayang. “Iya, masa jagoan nangis? Ngga takut dilihat adik? Keane mau jadi kakak loh. Nanti sebelum tidur, kita berdoa ya sayang? Supaya mimpinya Keane yang jelek pergi jauh. Ya?”

Keane mengangguk. Ia tatap perut Arasy yang sudah membuncit dan menunjuknya. Arasy mengerti, “Kak Keane mau main sama adik? Sebelum bobo?”

“Boleh.. pap— uncle?”

Sean dan Arasy saling melempar senyum, “Boleh dong. Keane masih mau tidur di kamar papou sama dad?”

“Keane takut tidur sendiri.”

“Yaudah, Keane tidur bareng kita berdua lagi malem ini ya? Nanti main sama dedek.”

Si balita mengangguk mendengar ucapan Sean. Setelah itu tubuh kecilnya dibawa oleh Sean kembali masuk ke dalam kamar. Tentu saja setelah keduanya menemani Arasy menghabiskan susunya.

Thank you, uncle..” dapat Sean dengar lelaki kecil— yang tengah digendongnya— itu berbisik di dekat telinganya.

Everything for you, prince.