Memories of Him

Hari ke 210. Sebagaimana telah dituliskan oleh Chenle di akun rant miliknya.

Hak pertama yang dilihat Chenle saat bangun tidur adalah sang papa yang tengah duduk sambil menangis memandangi figura foto keluarganya — dirinya, sang baba, dan sang papa.

Maka Chenle berikan peluk ke pada papanya itu. “Papa, papa lihat baba dimana pagi ini?” tanyanya selepas pelukan itu.

Si lelaki kelahiran april itu menunjuk cermin di dekat tangga. Matanya berkaca, “Hari ini, tepat tiga tahun babamu nggak ada, Le. Papa takut harus lihat bagaimana kejadian itu.”

Tak hanya Chenle, Jeno pun mengerti. Kegiatan yang dilihatnya dilakukan oleh Renjun semenjak 7 bulan lalu itu adalah memori dari suami manisnya.Bagaimana dahulu lelaki manis itu menjalani kehidupannya 7 bulan sebelum ia meninggalkan dunia.

“Papa..”

“Le, apa papa nggak akan lihat baba di sini lagi setelah ini? Kalau boleh jujur—” Jeno menghentikan ucapannya, “Papa udah terbiasa dengan kehadiran memori baba kamu di sini.”

Chenle tak bisa menjawab apa-apa disaat seperti ini. Maka ia hanya dapat memeluk kembali tubuh sang papa. “Papa, nanti kita ke makamnya baba ya?”


tw // accident

Jeno melihatnya. Jeno melihat dengan jelas bagaimana kejadian yang berhasil merenggut nyawa Renjun.

Tubuh suami manisnya itu terpental begitu jauh dari tempatnya menyebrang. Jeno yang melihat itu merasa jiwanya direnggut saat itu juga.

Hari itu, dimana Renjun kecelakaan, Jeno tak ada di sana. Lelaki manis itu sendirian.

“Papa, papa!”

Jeno merasa Chenle memanggilnya. Dengan wajah yang sudah basah oleh air mata ia tersadar dari lamunannya, ia hendak berlari menuju tempat dimana ia melihat Renjun terkapar, namun Chenle menghentikan. “Papa!”

“Baba kamu disana le. Baba kamu kecelakaan. Papa mau kesana.”

“Papa itu cuma memori baba, pa!”

“Lele baba kamu, hiks, Le. Baba kamu kesakitan di sana.”

“Papa, hiks. Tolong pa. Baba udah nggak ada. Yang papa lihat itu cuma memori baba, Pa!”

“Lele, baba kamu, hiks.”

Chenle menarik Jeno ke dalam pelukan. Tak peduli mereka berada di trotoar sebuah jalan raya, keduanya menangis di pelukan satu sama lain.

Bagaimana bisa mereka tak ada di samping Renjun saat Renjun kesakitan seperti itu tiga tahun yang lalu?

“Papa harusnya temenin baba kamu dulu, Le. Mungkin kalau gitu, baba kamu masih ada sama kita sekarang. Lele, hiks, maaf. Maaf karena papa buat baba pergi tinggalin kita.”

Chenle semakin menangis di pelukan sang papa, ia menggeleng. “Bukan papa yang buat baba nggak ada. Kita nggak bisa nentuin kematian seseorang papa, hiks. Baba udah bahagia, Pa.”

Baru kali ini Chenle melihat papanya menangis begitu. Sang papa yang dahulu selalu ia lihat sebagai sosok yang kuat dan selalu melindunginya juga sang baba, kini dilihatnya begitu rapuh semenjak kepergian sang baba.

“Papa rindu baba, Le. Papa rindu. Papa mau lihat baba, papa mau minta maaf atas semuanya.”

Chenle menegakkan tubuh sang papa. Ia menghapus air mata milik Jeno dan berkata, “Kita ke makam baba ya, Pa?”

Jeno mengangguk, ia juga tangkup wajah Chenle dan menghapus air mata putranya dengan ibu jari. “Kamu mirip banget sama baba, Chenle.”


“Renjun-ah.”

Jeno tersenyum menatap nisan makam Renjun. “Apa kabar? Kamu bahagia di sana?”

“Renjun-ah. Lee Renjun. Makasih atas kehadiran kamu di samping aku selama ini, dari semasa kita masih jadi pelajar sampai kita berkeluarga. Aku berterima kasih banyak. Aku juga mau minta maaf, sayang. Maaf karena saat itu aku nggak ada di samping kamu. Saat kamu lagi kesakitan, aku nggak ada di sana. Aku minta maaf.”

Chenle mendengarkan semuanya dengan baik. Air matanya kembali mengalir selepas mendengar perkataan papanya untuk sang baba.

“Renjun, tunggu aku di sana ya, sayang?”

Chenle mendekat, ia peluk tubuh sang papa dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu sang papa. “Baba pasti bahagia dan bersyukur punya papa.”

Jeno menggeleng, ia menatap nisan milik Renjun. “Bukan. Harusnya papa yang bersyukur punya baba kamu di samping papa.”

“Baba bakal selalu ada di hati papa, Pa,” Chenle berkata. Dalam hatinya juga ia ucapkan segala kata maaf dan terima kasih pada sang baba. Kasih sayang dari sang baba yang berhasil membuatnya tumbuh dengan baik, didikan dari sang baba yang berhasil menjadikannya pribadi yang begitu kuat, semua itu ia tanamkan dengan baik dalam hatinya.

Jeno mengangguk mendengar Chenle. Ia ikhlaskan sepenuhnya kepergian Renjun.

Biarlah ia menjalani tugasnya di sini dengan baik baru setelahnya ia susul Renjun dengan tenang.

Keduanya hanya diam di depan makan Renjun sampai keduanya merasakan sebuah angin di sana. Keduanya tersenyum di tengah wajah memerahnya. Renjun hadir di sana, bersama mereka.

Hai papa, hai Chenle, apapun yang terjadi, baba bakal selalu ada di hati kalian. Makasih sudah datang hari ini ya? Hiduplah dengan bahagia. Saat waktunya nanti, kita akan berkumpul bersama lagi bertiga.