Aludra
Aludra, tempat dimana Gabriel kecil selalu menghabiskan waktu bersama sang ibu juga Darell, teman ibunya.
Ketika si lelaki taurus itu melangkahkan kakinya masuk ke tempat tersebut, ia tahan nafasnya. Interior milik Aludra yang begitu khas dengan mesin mesin buatan tangan itu adalah suatu hal yang Gabriel rindukan. Semenjak sang ibu tiada dua tahun yang lalu, Gabriel tak pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Ini pertama kalinya.
“Gabriel!” Suara Darell terdengar ketika Gabriel memasuki ruangan. Lelaki taurus itu mendekat kepada Darell dengan senyum tipisnya. “Kak, apa kabar?”
“Baik.” Teman sang ibu itu mengeluarkan sebuah benda dari bawah mejanya, menunjukkan benda itu pada Gabriel. “Aku buat ini, Gab. Ini kotak musik— ah bukan juga, aku nggak tahu nyebutnya apa karena ini nggak berbentuk kotak musik. Intinya, benda-benda di sini harusnya bisa berputar kalau musiknya main. Tapi ini nggak bisa.”
“Aku udah lama nggak pegang begini sejak satu tahun lalu..” gumamnya.
“Aku yakin kamu masih bisa, Gab. Coba dulu.”
Gabriel mengangguk, ia tatap benda yang berada di hadapannya. Benda-benda yang tidak bisa berputar yang dikatakan oleh Darell itu, Gabriel perhatikan juga mainkan berkali-kali hingga ia temukan akar masalahnya.
“Kak, kamu sambungin benda-benda kecil ini sama pusat geraknya pakai apa? Pusatnya juga.. dimana?”
“Aku pakai tali yang biasa aku pakai buat sambungin benda dari pusatnya, Gab.”
“Berarti ada tali yang putus di sini, boleh aku bongkar?”
Darell tersenyum, ia mengangguk dengan yakin. “Silahkan.”
Lelaki taurus itu mengerjakkan pekerjaannya dengan rapih, buat Darell tak dapat untuk tidak tersenyum bangga melihat salah satu putra temannya itu. Gabriel yang dahulu sering sekali merecokinya juga sang ibu ketika tengah mengerjakkan sesuatu, kini sudah tumbuh menjadi sosok yang tampan.
“Udah kak, coba.”
Lamunan Darell akan masa lalu terpecah ketika Gabriel membuka suara. Seulas senyum nampak dari wajahnya kala alat pembuat musik itu telah bekerja dengan benar. Darell tepuk bahi Gabriel dengan bangga, “Kamu memang seperti mamamu, Gab.”
Gabriel tertawa kecil. Ucapan sahabat ibunya memang benar. Jika kedua saudaranya lebih menyukai sesuatu yang normal, maka tidak dengan Gabriel. Lelaki taurus ini selalu tertarik dengan minat sang ibu. Mesin-mesin, perhitungan, dan lainnya yang berhubungan dengan itu.
Namun tentu saja, ia masih jauh dari sang ibu. Masih banyak yang belum ia pelajari dan ketahui hingga saat ini.
“Oh iya, Kak.”
“Hm?”
“Soal kunci—”
“Kakak udah bilang, kakak nggak mau beritahu kamu, Gab.”
Gabriel menghela nafasnya, membuat Darell tersenyum geli. “Udah kamu jalan jalan di Aludra aja sana, kangen pasti kan?”
“Banget. Yaudah aku mau lihat-lihat Aludra aja sekalian cari angin. Kakak kalau butuh apa-apa telfon atau chat aja ya?”
“Iya, Gab.”
Gabriel pamit untuk keluar dari ruangan yang lebih tua. Meninggalkan Darell yang tersenyum samar sebelum menoleh ke arah burung hantunya yang sedari tadi ribut mengeluarkan suaranya—seakan memberitahu Darell sesuatu yang akan ditemui oleh lelaki taurus itu.
“Gabriel sudah dewasa, Wade. Mungkin sudah waktunya dia tahu dunia ibunya.”
Lelaki tengah dari ketiga bersaudara itu melangkahkan kaki menuju tangga yang ditemuinya di Aludra. Gabriel rasa, ia tak pernah naik ke atas sana, maka ia putuskan untuk naik ke atas, menuntaskan rasa penasaran juga rasa rindunya akan bangunan ini.
Lorong yang panjang dan sepi tak membuat langkahnya berhenti. Gabriel merasa ada sesuatu di sana, sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia terus berjalan maju dan kala netranya tangkap sebuah cahaya, ia memincing.
Lorong panjang dan gelap tadi berujung pada sebuah lubang tanpa pintu yang mengarah pada suatu tempat dengan langit yang cerah lengkap dengan matahari yang bersinar terang. “Tempat apa? Sekarang sudah malam, tapi kenapa di sana masih terang?” Si lelaki taurus bergumam.
Kakinya terus melangkah maju, masuk ke dalam tempat yang masih terang— di saat jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul delapan malam— itu.
Sret!
Baru saja Gabriel masuk ke dalam sana, sebuah panah sudah terlempar ke arahnya. Beruntung refleksnya baik sehingga panah itu tertancap pada dahan pohon yang berada tepat di sebelah lubang yang menyambungkan Aludra dengan tempat yang dipijaknya sekarang ini.
Ketika membuka mata, dapat Gabriel lihat di depannya, seorang pemuda dengan pakaian khas seorang pengawal kerajaan tengah mengarahkan anak panah lain kepadanya.
“Who are you?!“