Elio Gaige

Gabriel berjalan pelan ketika menemukan satu ruangan dengan lima kurcaci berjaga di depannya. Lelaki itu yakin bahwa Elio berada di dalam sana. Namun bagaimana caranya mengubah fokus kurcaci itu saat dirinya sekarang hanya seorang diri?

Mama, mama tadi cerita soal kurcaci. Gab baru dengar soal itu. Jadi, menurut mama, apa kesukaan kurcaci?

Gabriel, sayang. Para kurcaci itu paling tidak suka tempatnya diusik. Mereka pintar, mereka bisa mempelajari sesuatu dengan cepat. Tapi, para kurcaci sangat mudah kehilangan fokusnya. Bersiul lah, nyanyikan sebuah lagu dari situ. Mereka sangat menyukai nada-nada.

Ingatan Gabriel terlempar pada percakapannya dengan sang ibu 10 silam. Gabriel tersenyum. Menuruti apa yang diingatnya dari sang ibu, ia bersiul setelahnya sembari tatap kelima kurcaci yang tengah berjaga. Ketika kurcaci itu mulai celingukan, Gabriel maju perlahan. Kelima kurcaci itu lantas berpencar mencari sumber suara. Sedikitnya, Gabriel bersyukur lorong istana tersebut tengah sepi sehingga suaranya menggema dimana-mana.

“Dasar kurcaci.”

Gabriel segera berlari masuk ke dalam ruangan yang tadi dijaga ketat oleh para kurcaci. Benar saja, di sana ia temukan seorang lelaki mungil yang dikurung. “Elio?” Ia memanggil pelan, memastikan. Berhasil, sosok yang tengah dikurung itu berbalik dan membulatkan mata melihat sosok di hadapannya.

“Kamu.. mirip Bunda Agatha,” kata yang pertama kali didengar oleh Gabriel dari sosok Elio. Merdu,batinnya.

Gabriel tanpa sadar tersenyum. Ia tatap sekitarnya dan temukan satu kunci tergantung di dinding. Dengan cepat, ia ambil kunci itu dan membuka gembok dari kurungan yang berisi Elio di dalamnya.

Ketika Elio telah keluar dari tempatnya dikurung, Gabriel menunduk sekilas, berikan hormat pada si putra ratu. “Gabriel Fabregas, anda pasti pernah mendengar nama belakang saya.”

Sosok Elio itu menggeleng sambil tersenyum manis, “Bukan hanya nama belakang kamu. Aku sudah berkali-kali dengar nama depan kamu juga, Gabriel. Nice to meet you. Juga.. terima kasih.”

Gabriel membalas senyumnya, “Sama-sama,” katanya sambil menatap ruang tempat Elio berada ini. Ketika matanya menemukan suatu benda, ia mengernyit. “Kamu pasti pernah lihat yang mirip itu di istana,” suara Elio kembali terdengar, buat Gabriel menoleh. Lelaki manis itu memang benar, ia pernah melihat benda tersebut di istana. “Itu benda yang dipakai mama aku dan mama kamu buat mengubah boneka kayu jadi seorang manusia, juga sebaliknya.”

“Mereka...”

“Para kurcaci itu cerdas, Gabriel. Mereka belajar sesuatu dengan cepat karena memang demikian bunda dan mama menciptakannya. Walau tidak sehebat buatan bunda, para kurcaci itu berhasil membuat benda tersebut. Maka dari itu kurcaci di sini terus bertambah banyak.”

Gabriel mendekat ke arah meja dimana alat tersebut diletakkan, diikuti oleh Elio. “Ini, mesin ini adalah mesin biasa. Aku yakin kamu mempelajari ini di awal awal,” Elio menunduk, ia menunjuk mesin yang berada di dalam benda pengubah wujud tadi.

Si lelaki taurus mengikutinya, ia juga turut menatap mesin yang ditunjuk oleh si lelaki manis. “Benar,” katanya membenarkan ucapan Elio barusan.

Elio menyunggingkan senyumnya, ia menoleh ke arah Gabriel, menatap wajah putra teman ibunya yang sempurna bahkan dari samping sekalipun. Gabriel menyadarinya, lelaki itu menoleh dan keduanya bertemu tatap. Ini bukan pertama kali mata mereka bertemu, namun kali ini Gabriel rasa detak jantungnya berdetak tidak normal. Netra indah milik Elio yang berada hanya lima centi saja dari netranya itu berhasil membawanya tenggelam.

Cantik.

Hati dan pikirannya terus mengulang satu kata tersebut.

Sadar ditatap sedemikian dalam oleh Gabriel, Elio memerah. “Gab—” baru saja ia mau berucap, suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan mereka. Lamunan Gabriel pun pecah di sana.

“Bagaimana ini?”

Gabriel menatap tempat dimana Elio dikurung tadi. Ia dapat melihat dengan samar ada pintu yang berwarna sama dengan dinding di sana. “Maaf,” ia berucap pelan sebelum akhirnya melingkarkan tangan di pinggang Elio, menariknya masuk ke dalam kurungan tadi, bersama.

“Gab apa yang—”

“Sshh.. diamlah. Sebentar.”

Gabriel lepas jubah hitamnya. Ia gunakan itu untuk bersembunyi- mengingat warna jubahnya pun tak jauh berbeda dengan dinding di sana. Tepat saat itu, seorang kurcaci masuk sambil menggerutu, “pantas saja ribut sekali daritadi, pasukan Areseus menyerang. Para kurcaci menjadi habis sebagian.”

Baik Gabriel —yang tengah mengintip— maupun Elio menatap kurcaci tersebut yang berjalan menuju tempat penyimpanan.

“Kaummu itu memang menyusahkan!” Kurcaci itu menatap Elio dengan sinis.

Si kedua pangeran menahan senyum gelinya melihat itu.

Sosok kurcaci itu mengambil satu kotak berisi boneka dan menaruhnya di meja. Ia mengutak-atik mesin yang tadi dibicarakan oleh Gabriel dan Elio. Ketika tahu apa yang dilakukan oleh si kurcaci, mata Elio membola. Kurcaci itu membuat pasukan yang lain. “Gab—”

Gabriel dari balik jubahnya menaruh telunjuk di bibir. Ia berikan sekrup di tangannya pada Elio, sekrup yang diambilnya dari benda yang tengah digunakan oleh si kurcaci. “Ini.. kapan?” Elio berbisik.

“Sebelum aku menarikmu masuk ke kurungan lagi.”

“Sekrup ini..”

“Bagian penggerak.”

Elio hampir tertawa mendengar ucapan Gabriel barusan. Namun ia sadar dan ubah tawanya menjadi senyum geli. Ia berbalik dan melihat sosok kurcaci yang tengah menaruh satu boneka kayu di alat tersebut.

“Akh!” Bukannya menuju pada boneka di bawahnya, bagian pengeluar sihir pada alat tersebut justru berbalik dan mengubah kurcaci tadi kembali menjadi sebuah boneka.

Gabriel keluar dari jubahnya dan tersenyum melihat itu. “Gabriel kamu hebat!” Lelaki manis dihadapannya berceletuk.

“Belum saatnya kita saling memuji, Elio. Sekarang biar aku membuka ini. Kita keluar dari sini. Terlalu berbahaya jika lewat depan pasti banyak yang terjaga,” Gabriel tunjukkan pintu yang tadi dilihatnya.

“Gabriel ini lantai tujuh!”

“Lantas?”

“Kita akan jatuh!”

Gabriel terkekeh, ia menggeleng dan membuka pintu tersebut. “Tidak akan,” katanya. Dengan sigap, ia lingkarkan tangannya di pinggang Elio kembali setelah bergumam maaf. Lelaki taurus itu bersiap melompat, mengabaikan Elio yang sudah berteriak sedari tadi. “Gabriel! Astaga jangan! Kita nanti jatuh!”

Dalam sekejap mata, lelaki itu melompat turun, buat Elio dipelukannya berteriak takut. Ketika si lelaki manis tak merasakan adanya gravitasi yang menarik keduanya, ia buka mata dan menatap Gabriel.

“Lihat? Kita nggak jatuh.”

Elio menatap ke bawah, ia tengah berada di atas seekor pegasus bersama dengan Gabriel yang memangkunya. Wajahnya lantas memerah, ia bergeser dari pangkuan lelaki itu dan duduk di depan Gabriel, buat si lelaki taurus terkekeh gemas. Dari tempatnya, dapat Elio lihat ada Irvine, Paige, juga Noe, juga Elvis di atas pegasus yang lain. Keempatnya tengah tersenyum ke arahnya dan Gabriel.

“Eliooo aku rindu!” Rengekan Paige itu berhasil alihkan Elio dari rasa malunya. Ia terkekeh. Belum sempat membalas satu panah mengarah ke atas, ke arah pegasus Elio juga Gabriel walau akhirnya meleset.

“Nanti dulu saling melepas rindunya. Sekarang kita balik ke istana dan aktifkan semua mesin di Aureseus,” Gabriel berucap.

“Tapi kunci—”

“Ada padaku.” Elio mengangguk, ia menoleh ke ketiga temannya, “Sekalian nanti kita aktifkan penghancur di dunia kurcaci.”

“Tapi, Elio? Kamu yakin?”

“Ini yang terbaik, Irvine. Nanti kita bangun kembali negeri itu.”