The Park

tw// accident , death

“Bener kan uang kakak tuh uang Rasie? Terus kenapa sih, ih!”

Sean hanya terkekeh saja mendengar gerutuan Arasy selepas lelaki manis itu bertukar pesan dengan sang ibu.

Begitu menggemaskan ditambah pipi Arasy yang terlihat makin gembul karena ia menggerutu sambil menggigit waffle di tangannya.

“Nanti keselek sayang, makan dulu ya bener ah.”

Arasy menoleh dan mengerucutkan bibir. Ia memberikan kerucut waffle di tangannya ke tangan Sean. “Kakak aja yang makan, aku kenyang.”

“Kakak ngga suka, Rasie. Habisin dong, tinggal sedikit nih.”

“Suapin aaa~”

Sean tentu dengan senang hati menyuapi suami manisnya. Arasy makan dengan tenang dari tangan Sean sampai telinganya mendengar suatu benturan. Ia menghentikan makannya dan menoleh kepada Sean.

“Kakak denger nggak?”

“Iya, kayanya ada kecelakaan, Sayang. Kita ke sana ya?”

Arasy mengangguk. Waffle yang sudah tinggal bungkusnya itu dibuang oleh Sean dan keduanya berjalan cepat menuju jalan raya di dekat taman.

Benar saja di sana sudah ramai. Di seberang jalan ada mobil yang sudah ringsek, dipenuhi dengan asap-asap.

Mereka meninggal di tempat.

Tolong jangan ada yang mendekat sampai polisi datang!

Dapat keduanya dengar ucapan-ucapan orang di sana yang mengatakan sang korban telah meninggal di tempat kejadian juga larang-larangan untuk mereka yang disana. Namun samar-samar dapat Arasy dengar ada tangisan dari dalam mobil itu.

Lelaki manis itu melepas genggamannya dengan Sean. Ia mendekat ke arah mobil yang sudah ringsek— mengabaikan Sean yang mengejarnya, mencoba menghentikan.

“Sayang!”

“Kan tadi udah pada dibilangin jangan ngedeket dulu sebelum ada polisi. Kamu tuh kenapa nekat?” Sean berkata ketika dirinya sudah berada di dekat Arasy. Keduanya kini berada di dekat mobil korban kecelakaan tersebut.

Sean akan membawa Arasy jauh dari sana jika saja Arasy tidak melihatnya dengan tatapan berkaca.

“Kak Se ada anak kecilnya,” adunya lirih. Ia dapat melihat jelas korban di dalam sana.

“Kak Se tolongin, dia nangis, hiks!”

Sean membelalakkan mendengarnya. Ia juga mendengar tangisan samar-samar itu dari dekat. Mengabaikan larangan seseorang tadi, Sean menunduk dan membuka pintu mobil yang terbalik itu.

Lelaki berkelahiran april itu terbatuk kala disambut oleh asap. Ia kemudian dapat melihat jelas korban di dalam sana. Pasangan dengan darah dimana mana. Juga, seorang balita di gendongan sang ibu — yang sudah tak bernyawa— yang tengah menangis.

Arasy menutup mulutnya melihat itu. Kala Sean berhasil membawa balita tersebut dan menggendongnya menjauh, Arasy menangis lega. Ia mengambil bayi itu dari gendongan Sean dan memeluknya.

“Nggak papa, nggak papa, kamu disini sama aku. Cup cup cup.”

“Pak, maaf. Terima kasih sudah menyelamatkan anak ini, sebelumnya. Tolong bawa dia menjauh sementara kami mengevakuasi kedua orang tuanya.”

Sean dan Arasy mengangguk. Ia membawa anak itu ke seberang jalan, tempat dimana mobil mereka terparkir, dan mendudukkan anak itu di jok belakang sembari mengecek keadaannya.

“Kamu nggak papa? Ada yang luka? Ada yang sakit?” Arasy yang duduk disebelah anak itu bertanya.

“Hiks.. mama..”

“Nggak papa sayang, sama aku dulu ya?” Arasy menenangkan. Mengabaikan perutnya yang terasa sedikit keram sebab banyak bergerak sedari tadi.

“Shh..”

“Perut kamu ngga papa?” Sean bertanya khawatir, Arasy mengangguk menjawabnya.

Sean yang tengah berjongkok di depan balita— yang didudukkan menghadap pintu mobil yang terbuka— tersebut, menghapus air matanya.

“Hei, masa jagoan nangis? Sini lihat uncle. Ada yang sakit nggak?” Sean bertanya setelahnya.

Anak itu menggeleng pelan menjawab Sean.

“Nama kamu siapa, hm?”

“Keane.”

Sean menatap Arasy yang berada di atas mobil— di belakang lelaki kecil bernama Keane itu— dan keduanya melempar senyum lega sebab anak itu menjawab setelahnya.

“Okay. Keane harus tenang ya? Disini dulu sama uncle.”

Balita itu mengangguk. Ia menghapus air matanya dan kemudian menoleh kebelakang, dimana Arasy berada. Lelaki manis itu kemudian melempar senyum.

“Hai, sayang,” sapanya sembari mengusak rambut Keane, sementara tangannya yang lain mengelus perutnya yang tadi sempat keram.

Arasy sedikit bersyukur sang bayi bisa diajak bekerja sama di keadaan genting seperti ini.

“Baby.”

“Iya ada baby di sini, Keane tahu?” Arasy menjawab gumaman si balita.

Keane yang mulai tenang dari sesenggukan nya itu mengangguk. Ia menatap perut buncit milik lelaki manis itu dengan lucu.

Sean yang sudah berdiri hanya tersenyum melihat keduanya dari luar. Rasanya hatinya menghangat melihat lelaki manisnya mau bersikap seperti ini.

“Permisi, Pak. Ibu dari anak yang tadi sudah dibawa ke rumah sakit terdekat oleh polisi dan ambulan.”

Sean mengangguk, “Saya akan susul ke sana.”