bluemoonseu

Suara bel yang berbunyi pada toko bunga berhasil mengalihkan pandangan Kala yang sebelumnya fokus pada rangkaian bunga di hadapannya.

Welcome to Glaucous Flow—”

Ketika Kala mendongakkan kepalanya, salamnya terhenti. Keenan ada di sana. Memang sih, Kala tahu jika temannya ini akan ke toko bunganya hari ini.

Tapi, siapa yang mengira apabila penampilan Keenan ketika kesini akan berbeda dengan apa yang dikirimkan oleh lelaki itu di kolom chat mereka beberapa jam lalu?

Keenan terlihat.. ekhm.. tampan, dengan balutan kaos putih lengkap dengan jeans yang pas di tubuh pria tersebut. Agaknya udara hari ini sedikit panas hingga kemeja si pria terpaksa dilepas.

“Kie? kamu udah balik?”

Si lelaki yang dipanggil namanya tadi mengangguk dan menarik kursi untuk duduk di hadapan Kala. “Gue malah agak telat dari jam janjian kan? Gue tadi ditarik sama Abra Jovan disuruh nemenin makan. Padahal nanti gue mau ngajak makan lo.”

“Jovan?”

Keenan mengangguk, “Temen gue, nanti gue kenalin kalau ada waktu.”

“Okay.” Kala mengangguk kemudian kembali fokus pada rangkaian bunga yang tengah dirangkainya sedari tadi. “Jadi kamu mau beli bunga apaan, Kie?”

“Rekomendasi lo?”

“Buat apa bunganya?”

“Kok kepo?” Kala menarik nafasnya kemudian menatap Keenan. “Kan kamu minta rekomendasi, aku pukul nih!” katanya jengkel sembari memegang gunting besar yang dipakainya untuk membersihkan bunga.

“Weitss, santai. Gue mau kasih bunga.. buat mama gue.”

Kala menganggukkan kepalanya sebentar, “Mawar?”

“Terlalu basic.”

“Kalau Barberton Daisy?” Kala mengambil salah satu bunga di dekatnya dan menunjukkannya pada Keenan. “Gerbera, atau Barberton daisy ini memang masih jarang yang pakai sebagai hadiah buat ibu. Bisa dibilang juga jarang banget.”

Kala tersenyum saat bunga di tangannya diambil oleh Keenan, “Tapi menurut buku-buku yang aku baca, Gerbera ini nyimpen banyak banget filosofi. Salah satunya buat mengungkapkan perasaan sejati, sama kaya kasih sayang seorang ibu ke anaknya.

“Aku ambil yang warna kuning sama putih, karena warna kuning itu melambangkan keceriaan. Aku yakin sosok kamu yang penuh ceria sama gembira nggak jauh-jauh dari sosok mama kamu. Dan putih, putih melambangkan murni dan tulusnya kasih sayang ibu kepada keluarganya, papa kamu, kakak kamu, sama kamu.”

You know your parts so well, Kala.”

Well, I've done my homework, hehe.”

Keenan tersenyum gemas sembari menatap Kala. “Ini yang gue butuhin, makasih, Kala.”

“Mau aku rangkaiin sekalian?”

“Boleh?”

Kala mengangguk “Iya, boleh. Sini bantu aku cari wrapping yang cocok sama bunga kamu.”

Kala berdiri dari tempatnya duduk dan menatap beberapa bunga yang ada di sana. Tak menyadari bahwa Keenan tatap dirinya sedari tadi dengan pandangan berkaca-kaca.

“Kie? Kalau ini gimana..?” Kala membalik tubuhnya dan membulatkan matanya dikala menemukan Keenan tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kie? Kamu ngga papa?” Kala menaruh wrapping paper nya di salah satu kursi dan mendekat pada Keenan.

“Kal..”

“Iya Keenan, aku disini.”

Can i hug you?

Kala tersenyum teduh, ia merentangkan tangannya dan bawa Keenan masuk ke dalam pelukan. Kala tidak tahu, apa yang terjadi pada Keenan saat ini, yang ia tahu, lelaki itu membutuhkan bantuannya, membutuhkan dukungannya.

Dukungan hangat layaknya dukungan yang selalu Keenan berikan kepadanya.

Everything's gonna be okay, Kie,” Kala berkata, memberikan elusan di punggung lelaki tersebut.

Lima menit Kala biarkan si pria jangkung mendekapnya erat. Keenan tidak menangis, tidak juga mengatakan apa-apa. Ia hanya diam di pelukan Kala.

“Gue takut, Kal,” Keenan berkata selepas pelukan mereka.

“Kenapa?”

“Mama gue.. koma. Udah 1,5 tahun mama gue di rumah sakit. Gue kangen. Semua penjelasan lo tadi, semua perkataan lo soal mama gue, semuanya bener. Mama gue sosok yang ceria, mama gue orang yang paling tulus yang pernah gue kenal. Semua yang ada di gue sekarang, itu semua karena mama.”

Kala terhenyak, “Kenapa kamu ngga cerita, Kie?”

Keenan tersenyum, ia hapus air matanya yang ada di sudut mata, “Gue gak mau lo juga terbebani sama masalah gue disaat masalah lo juga lebih berat dari gue, Kal.”

Kala menatap Keenan. Mengingat pria itu lebih tinggi darinya, ia berjinjit untuk hapus setitik air mata di netra pria yang berhasil buatnya jatuh cinta itu. Selepasnya, ia tersenyum teduh dan elus pipi Keenan.

Kala tahu ini mungkin melebihi batasnya, tapi Kala tak peduli kali ini.

“Kie, ini bukan masalah berat mana atau ringan mana. Nggak ada namanya masalah berat atau ringan. Kie, kamu selalu mau aku cerita ke kamu, tapi kenapa kamu juga ngga pernah cerita ke aku? Kamu takut masalah kamu ganggu aku, tapi gimana sama kamu? Gimana kalau masalahku ganggu kamu? Apa kamu ngga mikir begitu, Kie?”

“Hati kamu terbuat dari apa sampai kamu bisa kaya gini, hah? Kie, aku pernah ngelewatin masalah kaya kamu, dan aku paham rasanya. Aku yakin, mama kamu pasti sembuh, Kie. Ayo kamu juga harus berjuang buat kuat disaat mama kamu juga berjuang untuk bangun.”

Keenan memejamkan matanya saat Kala mengelus pipi tirusnya.

“Kie, aku ngga pinter berkata-kata. Tapi kamu bisa jadiin aku tempat cerita, Kie. Jangan pendam masalah kamu sendiri. Kamu bilang ke aku setiap orang punya masalah sendiri dan itu hak kamu buat ceritain atau enggak. Dan sekarang aku udah tahu, maka dari itu aku nggak akan diem aja.”

Keduanya bertatapan tepat di netra masing-masing. Dan tepat saat itu kedua cupid yang ditugaskan untuk menyatukan keduanya tadi melempar panahnya pada Keenan.

Kedua cupid itu tahu, Keenan tak akan menyadari perasaannya secepat itu, namun biarlah Keenan menyadari perasaannya sendiri.

Dengan sedikit bantuan mereka, tentu saja.

Jantung pria itu berdebar kencang disaat netra milik Kala yang penuh dengan bintang dapat ia tatap dengan jelas.

Indah.

“Ayo saling menguatkan. Kamu rindu ibu kamu, kamu bisa peluk aku. Aku nggak berniat gantiin ibu kamu tapi..

selama nunggu beliau sadar, biarin aku gantiin itu, Kie. Kamu bisa cerita ke aku soal semua masalahmu, soal semua keluhanmu seperti kamu cerita ke ibu kamu. Aku tahu mungkin rasanya beda karena kamu nggak sayang aku—”

Greb!

“Siapa bilang gue nggak sayang sama lo, Kal? Gue sayang, gue sayang sama lo. Banget. Lo sahabat gue, Kal.”

Kala tersenyum dan balas pelukan Keenan. “Everything's gonna be okay, Kie. I'm here.

Setidaknya ini yang dapat ia lakukan untuk Keenan, tak peduli dengan perasaannya yang mungkin akan makin besar, Kala akan tetap melakukannya.

Sebab baginya, kebahagiaan lelaki yang berjasa baginya ini lebih penting dibanding kisah cintanya yang mungkin saja bertepuk sebelah tangan

warn! mention of murder

Keduanya duduk diam di atas karpet rumah. Sedari tadi pandangan Star masih pada Graviel yang hanya tersenyum canggung.

“Jadi? Nama kamu yang sebenarnya?”

“Aric. Alaric Graviel.”

Star menghela nafasnya mendengar itu, pantas saja nama Graviel tidak asing, ternyata benar kata Hector bahwa Graviel adalah sebuah nama kerajaan dan kini ia tengah memijakkan kaki di sana.

Star ingat sekarang soal Graviel. Saat masih kanak-kanak, ia kerap kali dibawa oleh sang ayah untuk berkunjung ke kerajaan ini. Namun satu yang ia tahu dan begitu ingat, Kerajaan Graviel memiliki dua pangeran dan tak ada yang bernama Alaric diantaranya.

“Kamu sungguh pangeran Graviel, anak kandung Raja?”

“Kamu meragukanku?”

Star tak mau berbohong, ia mengangguk. “Aku tak pernah tahu ada nama kamu di daftar pangerannya.”

Grav— ah, bukan— Alaric, pria itu tersenyum mendengarnya. “Evan sama Alfredo. kamu pasti lebih sering denger nama mereka.”

Benar. Star mengangguk.

“Evan adalah kakakku, dan Fred, dia kembaranku. Alasan kamu nggak pernah dengar tentang aku adalah karena aku sempat tidak tinggal di Graviel.”

Star tatap wajah sendu Alaric dan kemudian genggam tangannya, tak peduli jika Aric mungkin merasa tidak nyaman, Star hanya ingin menenangkan. “Biarkan aku mengenalmu lebih jauh, Aric. Bolehkah?”

“Aku akan bercerita padamu,” dan itu Star anggap sebagai iya.


Tak ada yang menarik dari hidup Alaric. Jika menurut cerita ibunya dulu, ia dan ibunya sempat berada di hutan bagian tenggara —tempat dimana Grazweith berada— selama hampir lima belas tahun.

Entah wabah penyakit apa yang menyerang keduanya, yang pasti sang ibu berkata bahwa itu berbahaya bagi rakyat. Yang pasti saat itu, tempat yang mereka tinggali adalah hutan Grazweith. Rumah yang disediakan oleh raja dan ratu Grazweith adalah tempat dimana ia dan ibunya tinggal selama lima belas tahun hidupnya.

Ketika akhirnya ia dan sang ibu dibawa kembali ke Graviel, Alaric menolak untuk tinggal. Ia memilih untuk tetap berada dalam rumah di hutan tempat ia besar, hutan yang sudah menjadi rumahnya. Menjadi keluarga kerajaan adalah hal yang sangat Alaric jauhi kala itu. Ia sempat merasa kecewa pada keluarganya.

Mengapa saat ia diasingkan tak ada satupun yang memberi kabar atau sekedar mengirim surat?

Mengapa ia harus menahan semua kesakitan itu bersama sang ibu sementara mungkin saja kedua saudaranya hidup berbahagia di istana?

Alaric memang hidup dengan baik, namun kehangatan keluarga tak pernah ia rasakan selain dari ibunya.

Dan selama hidup di sana, Alaric diberitahu oleh sang ibu soal pria manis yang merupakan anak dari temannya.

Alastair.

Pria kecil itu dulu pertama kali dilihatnya saat ia masih berusia delapan tahun. Sosok seceria bunga matahari yang ditanam sang ibu di depan rumah mereka itu selalu buat Alaric tersenyum kala lihat tingkahnya.

Walau Alaric melihatnya dari jauh, ia selalu turut rasakan kebahagiaan si pria kecil yang ia kenal dengan nama Star itu.

Alaric tumbuh dengan belajar bahwa bahagia adalah sederhana. Seperti yang dilihatnya dari Star, dimana pria kecil itu dulu selalu tersenyum kala temukan rubah atau hewan lainnya, maupun berry-berry juga apel, Alaric jadi bersyukur atas keadaannya dulu.

Dan kebahagiaan pria taurus itupun sederhana. Melihat Star —si pria secerah bintang, yang dulu ibunya tunjuk sebagai anak temannya— bahagia, ia pun bahagia.

Maka dari itu Alaric selalu usahakan kebahagiaan Star meski dalam diam.

Contohnya disaat pria manis itu bersedih dan lari ke hutan dahulu, Alaric selalu mencari rubah dan mendekatkan rubah itu pada si pria manis. Atau di saat si pria manis menangis saat kepergian ibunya, Alaric berada di sana. Ia turut rasakan sedih. Maka, ia tinggalkan sekeranjang apel tepat di depan jendela kamar pria manis itu.

Star tak menyadarinya selama ini.

Pun ketika akhirnya ia memutuskan untuk bekerja untuk istana —karena merasa bosan. Menjadi pemburu hewan di hutan dan membawanya ke istana untuk dihidangkan.

Alaric, walau ia telah sembuh dari sakitnya, tak pernah mencoba untuk mendekati Star.

Hingga akhirnya takdir bermain.

Ia mendapat tugas untuk membunuh si pangeran yang selama ini ia jagai. Alaric tentu tahu dengan begitu baik perangai Selir juga istrinya. Alhasil ia setuju untuk melakukannya dan melindungi pangeran manisnya.

Alaric tak akan pernah mau jika bintangnya kehilangan cahaya yang selama ini selalu ia tunggu-tunggu terangnya.

Dalam diamnya ia selalu lindungi Star, ia dibantu oleh kembarannya untuk mematai semua rencana ratu. Tak ada yang lebih membahagiakan dari keberhasilannya untuk jagai si pria manis itu saat ini.

Dan pria pemburu sekaligus pangeran kedua dari Graviel itu justru mendapat balasannya disaat ia tak mengharapkan apapun. Ia berhasil buat si pangeran jatuh cinta akan tingkahnya.

Takdir sebelumnya memang jahat bagi Alaric. Namun sekarang Alaric sadari. Semua itu bawa sebuah kebahagiaan yang tiada taranya di masa sekarang.


“Jadi kamu yang waktu itu kirim apel di depan jendela aku? Waktu ibunda tiada?”

“Iya, kamu benar.”

Sedetik kemudian, Alaric dapat sebuah pelukan dari Star. Pria manis itu menangis dalam pelukan si pangeran kedua. Dalam hatinya ia bersyukur ia memiliki sosok yang selalu jagai ia dalam diam.

Ia juga tak lupa ucapkan banyak syukur sebab sosok yang dimaksud Alaric tempo hari adalah dirinya. Sosok yang dicintai Alaric dengan sangat.

“Thank you, Aric. Hiks!”

“Hei, Hei kenapa malah nangis?” Alaric tertawa kecil, ia jauhkan tubuh Star dari pelukannya dan tangkup kedua pipinya.

Ini tidak adil, Alaric membatin dalam hati. Bahkan ketika Star menangis, dirinya masih tetap bersinar secerah bintang.

“Aku.. aku.. hiks!”

“Yakk! Hahahaha,” Alaric usak kepala si pria manis dengan gemas. Keadaan disana hening setelahnya, hanya ada suara Star mencoba menghentikan tangisan.

Lantas, setelah tangisnya berhenti, Star mendapar satu pertanyaan di kepalanya, “Aric.”

“Hm, ya?”

“Kamu udah kembali ke istana Graviel, diperkenalkan ke semua orang?”

Alaric mengangguk, “Kemarin lusa. Waktu kamu tanya aku main ke rumah ini atau enggak, makanya aku jawab ngga bisa.”

“Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak daridulu aja kamu diperkenalkan? Kamu juga butuh keadilan kan?”

“Jujur aku nggak mau karena enggak nyaman. Tapi setelah aku pikir. Ada baiknya juga diperkenalkan, jadi aku setuju.”

Star mengernyit. Tentu saja diperkenalkan ke semua orang sebagai pangeran adalah hal yang baik. Pangeran macam apa yang mau menyembunyikan dirinya dari para rakyat?

Paham kebingungan Star, Alaric pun melanjutkan. “Aku itu nggak suka dikenal banyak orang. Aku lebih suka diam aja, aku bakal selalu penuhi tugasku dalam diam. Tapi akhirnya aku mau karena..” Alaric berhenti sejenak sebelum melanjutkan,

“Karena aku nggak mau kamu —yang secerah bintang dan seceria bunga matahari— menikah dengan orang yang hanya dikenal sebagai pemburu,” Alaric tersenyum kala Star berikan tatap tak paham.

“Aku mau menikahi kamu. Makanya aku memperkenalkan diri, supaya suamimu nanti memiliki status yang jelas. Kamu mau kan?”

“Eh? Apa?” Star membelalakkan mata mendengar pertanyaan itu. Rasanya kupu-kupu berterbangan di perutnya kala mendengar kata suami juga menikah keluar dari mulut Alaric.

“Iya. Apa kamu mau menikah sama aku, Star?”

warn! murder, mention of death

Star bersenandung sembari menyapu rumahnya —atau lebih tepatnya rumah milik Graviel yang ia tinggali hampir seminggu ini. Benar, baru seminggu. Star jatuh cinta secepat itu pada Graviel.

Dan ia sadar bahwa ia tak bisa mengharapkan cinta dari pria taurus itu. Pria itu sudah memiliki cintanya sendiri. Seorang yang baginya sangat beruntung.

Namun, baru sibuk dengan sapunya, tiba-tiba ketukan dipintu terdengar. Lantas, Star tanggalkan alat bersih-bersihnya itu dan membuka pintu, berharap bahwa itu adalah Graviel yang sudah berjanji akan datang hari ini.

“Eh?” itu yang digumamkan oleh Star kala bukan Graviel lah yang ia temukan. Tamu yang menghampirinya adalah dua orang wanita tua dengan badan bungkuk lengkap dengan sekeranjang apel.

Sedikitnya, Star merasa bingung. Bukankah seharusnya tidak ada yang tahu akan rumah ini? Rumah milik Graviel ini berada di dalam hutan, jauh dari pemukiman.

“Apa anda ada perlu dengan pemilik rumah ini?” Star bertanya sopan.

“Sebenarnya kami menjual apel, kami baru saja pulang bekerja dari kebun apel dan kami melewati rumah ini.. kami lelah jadi kami pikir mungkin kami dapat berehat sejenak sembari jual apel ini.”

Star bergumam paham, ia anggukkan kepalanya sebelum melihat sekeranjang apel di tangan kedua wanita itu. “Tapi saya masih memiliki beberapa apel di dalam.”

Star tak berbohong, apel yang diambilkan oleh Graviel tempo hari masih ada di dalam. Yah, walau hanya tinggal sedikit.

“Kami yakin, anda akan menyukai apel ini. Apel ini begitu manis, kami menanamnya sendiri. Anda bisa mencobanya, nak.”

Salah satu wanita mengambil apel merah di keranjangnya dan berikan itu pada Star. Star tentu saja mengambilnya. Ia tumbuh dengan segala pelajaran etika dan sopan santun, para gurunya mengajarkan bahwa apa yang sudah disodorkan kepadanya, tak boleh untuk di tolak.

“Terima kasih, bibi.”

“Makanlah nak, kamu pasti lelah. Apel kami akan membuat tenaga kamu kembali.”

Star tersenyum dan mengangguk. Ia mengelap apel itu dengan bajunya sebelum bersiap melahap apel merah di tangannya.

Sret!

“Astaga!”

Belum sempat apel itu masuk ke dalam mulut si pangeran manis, sebuah panah menancap tepat di buah apel di tangan Star dan apel itu terjatuh di tanah. Ketiganya segera menoleh, menatap darimana panah tersebut datang.

Seperti dejavu bagi si pria aries, Graviel berada di sana. Busur yang masih berada di depan tubuhnya menandakan bahwa panah tadi datang dari dirinya. “Gav?”

Pria yang dipanggil Gav itu mengambil satu panah di belakang tubuhnya dan memasangnya di busur sebelum ia bergerak maju mendekat pada Star. “Aku tahu siapa kalian berdua, buka penutup kepapa kalian.”

Kedua wanita itu tak bergeming. Star lantas taruh tangannya di bahu Graviel, “Mereka hanya mengantar apel, Gav.”

No, mereka bukan hanya mengantar apel. Buka penutup kepala kalian, ini perintah pangeran kedua Graviel. Kalian berada di sini, jadi sudah kewajiban untuk menuruti perintahku.”

Star membelalakkan mata. Ia tutup mulutnya dengan kedua tangan mendengar kalimat dari pria di hadapannya.

Dan yang lebih mengejutkan bagi Star adalah ketika kedua wanita itu buka penutup kepalanya. Itu sang Selir juga Vivian. Star makin merasa bodoh. “Ibu.. Kak Vivian..”

Pria yang memegang panah itu segera mengisyaratkan pada orang-orang yang sedari tadi menunggu di belakang semak-semak untuk tangkap keduanya.

Sang selir juga Vivian berhasil dipegangi, mereka berdua berteriak meminta di lepaskan sedangkan Star mendekat pada keduanya, mengabaikan Graviel yang sedari tadi ingin menghentikan.

“Ibu, kakak,” Star memanggil, buat kedua wanita itu berhenti memberontak dan menatap si pria aries sengit.

“Apalagi?! Kamu nggak puas hidup dengan baik? Kamu sekarang mau buat kami menderita?!” Vivian berteriak pada Star.

“Kakak pikir kakak menderita? Kalau gitu gimana sama aku?” Star berhenti sejenak, “Ibu bunuh ibunda beberapa tahun lalu, terus ayahanda juga ibu bunuh beberapa minggu lalu. Sekarang aku sendiri, Bu. Dan ibu sama kakak coba bunuh aku karena takhta?”

“Itu karena kalian tidak adil pada kami berdua!”

“Tidak adil apanya, Ibu, Kak? Karena ayahanda nggak angkat ibu jadi ratu? Bu, Ayahanda menghargai posisi ibunda sebagai ratunya. Mungkin bisa ayah angkat ibu jadi ratunya, tapi kalau pilihan ayah tidak artinya tidak, Bu. Siapa yang mau hidup berdampingan secara terpaksa?”

“Tapi tetap aja kami menderita, Star! Kamu hidup bahagia selama ini, sedangkan aku?! Ayahanda lebih sayang padamu!”

Star menggeleng, “Ayahanda juga sayang sama Kakak. Setiap kami berdua pergi, kakaklah yang dipikirkan beliau pertama kali. Apa yang kakak suka, apa yang mau kakak beli jika kakak di situ.”

“Kalau kakak sama ibu bilang Star bahagia.. iya, Star bahagia, dulu. Sebelum ibunda pergi. Aku nggak punya siapa-siapa selain ibunda dan ayahanda, apa biaa aku dibilang bahagia? Aku dapat gelar pangeran, aku akan memegang takhta, apa ibu dan kakak pikir aku akan bahagia? Enggak, Bu, Kak.”

“Takhta itu nggak ada apa-apanya di mata aku. Ibu dan kakak bisa ambil kalau kakak mau. Mahkota yang selalu ayah juga ibunda pakai itu cuma aksesoris. Menjadi raja dan ratu bukan kekuasaan yang harus dipikirkan, Bu. Tapi bagaimana rakyat bisa sejahtera dibawah kepemimpinan kita. Dan jika ibu atau kakak bersedia mengambil itu, ambil.”

“Karena bagi aku, keluarga aku lebih penting, Ibu. Ibu boleh ambil takhta aku tapi tolong jika iya, kembalikan kedua orang tuaku..”

Star mengeluarkan semua isi hatinya di hadapan saudaranya yang tersisa. Tak mau berbohong, Star sakit hati. Ia tak ingin memberi sanksi pada keduanya, namun keduanya telah melakukan hal yang tak dapat dibilang biasa saja. Mereka membunuh kedua orang tuanya, Star tak akan pernah memaafkan itu sampai kapanpun.

“Star..”

“Bawa kakak sama ibu ke tempat yang semestinya,” Star berkata pada pengawal, tak mengira bahwa keduanya akan menuruti.

Selepas kepergian keduanya bersama pengawal yang dibawa oleh si pria taurus, Star menoleh pada pria yang tengah menatapnya sendu dengan datar selepas hapus air matanya.

“Dan kamu,” Star menunjuk pada Graviel, “Kamu hutang penjelasan sama aku, Pangeran Kedua dari Graviel,” perintahnya sembari tekankan panggilannya pada si pria.

Dan itu berhasil buat pangeran kedua itu bergidik ngeri.

Senyum si pangeran terkembang kala ia tatap perkebunan apel di hadapannya. Rasanya ia telah lama sekali tak lihat apel dari pohonnya.

“Kamu suka?”

Star berikan anggukan semangat kala Graviel tanyakan hal itu. Sosok mungil —yang sedari tadi berdiri di dekat Graviel sembari tatap perkebunan apel di hadapannya dengan semangat— itu menoleh kepada pohon-pohon apel dengan Graviel bergantian. Seakan meminta ijin pada pria itu untuk memijakkan kaki mendekat.

“Apa yang kamu tunggu? Petik apelnya, Star,” Graviel berkata. Ia terkekeh kecil lihat wajah semangat si pangeran.

“Aku ngga mau petik. Coba kamu panah apel di pohon itu sampai jatuh, Gav!”

Graviel menatap salah satu pohon yang ditunjuk oleh Star. Lantas ia menganggukkan kepala dengar permintaan si manis. Pria taurus itu ambil panah juga busurnya, mengarahkan itu pada pohon tadi.

Tak lama setelah panah dilepaskan, beberapa apel pada pohon tersebut jatuh. Maka dengan segera, Star berlari mendekat dan ambil beberapa apel tersebut.

Ia angkat kedua tangannya yang masing-masing memegang satu apel dan menggerakannya senang. Seolah tunjukkan pada Graviel bahwa ia mendapat apel yang tadi dipanah oleh pria itu. “Banyak banget!” Dapat Graviel dengar pekikan Star ketika pria manis itu berlari kembali kearahnya dan masukan apel pada keranjang yang ia bawa.

“Mau lagi?”

Star anggukkan kepala dengan semangat dengar pertanyaan Graviel, ia menunduk dan ambil satu apel dari keranjang, “This one must be soooo good,” begitu gumaman yang di dengar Graviel.

Namun, belum sempat Star masukan apel itu ke dalam mulut, Graviel menariknya dari tangan Star. Si pria taurus taruh busurnya di tanah dan bersihkan apel itu dengan jubahnya.

Selepas dirasa bersih, ia berikan itu pada Star dengan senyum bulan sabit, “Nah, sekarang sudah bersih. Kamu bisa memakannya.”

Lantas si pangeran Grazweith menunduk, sembunyikan senyum dalam diamnya dari Graviel —yang sebenarnya percuma karena Graviel sudah tersenyum lebar lihat wajah Star— kala mendapat perlakuan manis dari si pria pemburu yang menolongnya.

“Thank you..” ia bergumam sebelum menggigit apel merahnya.

Sedangkan Graviel hanya balas dengan senyum sebelum kembali ambil busurnya dan jatuhkan beberapa buah apel lagi untuk si pangeran.


“Jadi kebun ini.. milikmu?”

“Iya, lebih tepatnya milik keluarga,” Graviel gigit satu apelnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan, “Tapi aku yang biasanya ambil apel dari sini.”

Keduanya kini duduk di pohon terbesar di kebun apel tersebut. Sudah hampir tiga puluh menit dan Star masih tidak bosan memakan apel yang ada di keranjang. Bagi Star rasanya lebih sedap jika dimakan bersama seseorang, apalagi yang sekarang ini bersamanya adalah seorang yang dapat dibilang berjasa untuk hidupnya.

Si pangeran mungil anggukkan kepala dengar ucapan Graviel. Ia tatap wajah pria di sampingnya yang tengah memakan apelnya dengan tenang. Entah bagaimana, Graviel selalu berhasil buat Star kagumi parasnya. Rahang tegas, hidung nan mancung, manik bulan sabit, serta rambut hitam legam, berhasil buat sosok Graviel terlihat begitu tampan.

Bukan hanya di mata Star saja, karena pria mungil itu yakin banyak sekali yang akan kagumi paras si pemburu apabila tatap wajahnya.

Kerasa dengan tatapan dari si pangeran, Graviel menoleh dan keduanya bertemu tatap. Tak mengerti apa yang terjadi, keduanya justru pecah dalam tawa ketika manik keduanya bertemu.

Tak ada yang lucu, tapi mereka tetap tertawa bersama. Tak menyadari bahwa ada perasaan yang perlahan mulai tumbuh besar dalam diri mereka masing-masing kepada satu sama lain.

“Kamu masih mau di sini?” Graviel berikan tanya setelah tawanya reda. Ia tatap wajah manis Star yang istirahatkan kepalanya di batang pohon sembari pejamkan mata.

Mendengar itu, Star mengangguk dengan posisi yang masih sama, “Tempat ini nyaman. Aku suka.”

“Tapi daripada berdiam diri..” Graviel menggantung ucapannya, buat Star segera buka mata dan menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Si pria itu berdiri dari duduknya dan bersihkan jubahnya yang kotor oleh tanah. Ia ambil busur panahnya yang tergeletak dan mengangkatnya sedikit.

“Bagaimana jika aku ajari kamu buat memanah? Jadi nanti jika kamu ingin apel, kamu bisa ambil sendiri di sini.”

“Eh?”


“Hei! Yak! Bukan kaya gitu, Star!”

“Hei! Jangan asal dilempar!”

Teriakan frustasi Graviel terdengar beberapa kali kala melihat si pangeran lemparkan panahnya tapi tak pernah berhasil. Dan terakhir, pria aries itu justru letakkan busurnya ke tanah dan lempar panahnya dengan tangan. Ini berhasil membuat Graviel memijat keningnya, merasa frustasi.

Namun ketika Star malah membalikan tubuhnya dan berikan senyum lucu pada Graviel, Graviel mau tak mau langsung luluh. “Aku nggak tahu gimana caranya, waktu lihat kamu rasanya gampang. Waktu coba.. it's not like what i expected, hehe.”

“Sini kubantu.”

Graviel maju beberapa langkah hingga tubuhnya tepat dibelakang Star. Ia ambil busurnya di tanah dan meminta Star untuk memegang itu sedang ia memegang tangan si pangeran, mengarahkan arah tangan si pria manis agar dapat memanah objeknya dengan tepat.

“Kamu lihat pohon mana yang mau kamu panah. Waktu udah pas sama objek kamu, lepas panahnya kuat-kuat,” Graviel berkata, sembari gerakan tangannya yang berada di atas tangan Star.

Si pemburu tak menyadari bahwa seseorang yang sekarang berada di depannya itu kini tengah bersusah payah tahan nafasnya. Posisi Graviel sudah seperti memeluknya dari belakang, kulit mereka yang bersentuhan juga buat Star merasa malu. Namun Graviel tak menyadarinya.

“Kamu mau jatuhin apel yang itu kan?” Graviel arahkan tangan Star pada salah satu apel di pohon dan kemudian mengaba-aba pangeran manis itu, “Lepas!”

Sret!

Apel tersebut jatuh. Star lantas menoleh ke belakang —masih dengan kondisi wajah yang memerah sempurna— dan tatap Graviel yang tengah tersenyum.

“Sekarang coba sendiri.”

“Okay..”

Star dengan perlahan menoleh kembali ke depan dan tarik busurnya.

Namun, karena kepalang lemas sebab perilaku si pemburu tadi, bukannya menuju ke pohon apel, panah yang ia lepaskan justru membusur ke tanah dan jatuh tak jauh dari kaki mungil si pangeran.

“Hehehe, Gav, susah..”

warn! murder attempt , mention of death

Star menghela nafasnya ketika ia masukan alat komunikasinya ke dalam jubah. Ia lanjutkan kegiatannya untuk memetik berry yang disukai oleh sang selir istana —yang kerap kali ia panggil ibu— itu.

“Aku jadi rindu ibunda, andai ibunda ada di sini, mungkin ibunda udah marah ke aku karena keranjangnya yang udah penuh selalu tiba-tiba kosong separuh,” Star tersenyum kecil kala bayangan masa kecilnya bersama sang ibu terlintas di kepala.

“Mau berapa kali juga Hector yakinin aku, aku nggak sendirian, aku tetep ngerasa sendirian,” Star bergumam sembari petik satu buah berry dari pohonnya.

Namun sedetik kemudian, sebuah panah tertancap di pohon berry tersebut, disusul satu panah lainnya. Star berjengit kaget, calon pemimpin dari Grazweith itu refleks menoleh ke belakang, ke asal panah tersebut datang.

Dari tempatnya berdiri, ia lihat dengan jelas netra tajam milik si pemanah yang tengah menatap kearahnya. Tangan si pemanah hampir meloloskan satu panah lagi sebelum akhirnya Star membelalak kaget. Pria manis itu tinggalkan keranjang berrynya di bawah tanah.

“Anda siapa?” Star bertanya, sedikit waspada dengan bersiap-siap lari apabila panah di tangan si pemanah lolos lagi di dekatnya.

“Seseorang yang ditugaskan untuk membunuhmu.”

Netra Star membesar, terkejut, “A-anda—”

Sret!

Satu panah terlepas tepat di samping telinga Star sebelum pria manis itu selesaikan perkataannya. Tubuh Star bergetar, ia merasa takut juga kalut. Apabila ia berlari sekarang, bisa saja pria di hadapannya kembali lepaskan panah dan membunuhnya dari belakang.

Maka Star putuskan untuk diam, ia menelan ludahnya kasar sebelum mendekat kepada si pemanah. “Tolong, turunkan panahmu.”

“Untuk apa aku lepas panahku hanya karena kamu meminta?” Si pemanah mengambil panah dari balik tubuhnya dan kembali mengarahkannya pada Star.

“P-panahmu..”

“Baik, jika aku turunkan panahku. Apa yang kudapat?”

Star menelan ludahnya kembali, “Kamu bisa meminta apapun padaku. Aku akan kabulkan.”

Si lawan bicara menyeringai, ia turunkan panahnya dan kemudian mendekat pada si pangeran. Ia berikan bisikan pada telinga pria manis itu. “Termasuk mengabulkan keinginanku untuk menikah denganmu?”

“Hah?”


“Jadi kamu cuma bercanda?”

Selepas berucap soal menikahi tadi, si pemanah akhirnya duduk di salah satu batang pohon yang tumbang sembari menjelaskan ucapannya pada Star, bahwa ucapannya tadi hanyalah bercanda. Kini jusru Star turut duduk dan bertanya. Entahlah, rasanya pria tadi tidak akan membunuhnya.

Tawa si lelaki yang tadi melepas panah pada Star terdengar, “Iya aku hanya bercanda,” ia berkata sembari ulurkan tangannya, “Aku Graviel. Kamu bisa memanggilku Gav.”

Star tatap tangan di hadapannya dengan ragu baru setelahnya ia beranikan diri membalas uluran tangannya. “Star.”

“Ya, aku tahu kamu.”

Star menggigit bibirnya setelah mendengar itu, ia tatap lagi wajah pria di hadapannya dengan ragu, “Kamu tadi bercanda.. apa ucapanmu soal membunuhku juga bercanda?”

Mendengar pertanyaan Star, lelaki bernama Graviel itu tersenyum lembut, “Aku memang ditugaskan untuk membunuhmu.”

Star menahan nafasnya, “Dan kamu akan lakukan itu?”

“Aku membebaskanmu. Asal kamu tahu, aku selama ini selalu memburu hewan. Untuk memburu seorang manusia? Kurasa itu sedikit menyeramkan.”

“Tapi kamu tadi mencoba melemparkan panah padaku, Gav!”

“Tapi tidak kena kan?”

Star menghela nafasnya dan mengangguk pelan sembari tundukkan kepala. Namun satu pertanyaan muncul di kepalanya. Siapa yang meminta Gavriel untuk membunuh dirinya?

“Selir istana.”

“Huh?” Star mendongak, ia tatap tepat pada netra Gavriel yang juga tengah lakukan hal yang sama. Pria pemanah itu seakan balas pertanyaan di kepalanya.

“Selir Grazweith, dia memintaku untuk membunuhmu saat kamu di hutan dan membawa pulang jantungmu.”

“J-jantung?”

Graviel mengangguk, “Jantungmu sebagai pembuktian.”

Si pangeran Grazweith bersumpah, ia merinding. Bagaimana jika pemburu yang diminta oleh Selir adalah pemburu yang tak kenal kemanusiaan? Yang akan benar-benar membunuhnya?

“Kamu nggak akan lakuin itu kan?”

Si pria kembali menggeleng, “Sudah kukatakan aku tidak membunuh manusia. Mungkin aku akan mengambil jantung hewan untuk kubawa ke istana,” ucapnya sembari mengedikkan bahu.

“Tapi itu artinya.. aku tidak bisa kembali ke istana.”

“Kau benar. Jika kau kembali, bisa saja aku yang dibunuh. Atau mungkin kita berdua?”

Star bergidik. Namun setelahnya kembari kerucutkan bibir, buat si lawan bicara terbengong sebentar saksikan cepatnya perubahan ekspresi si pangeran. “Kenapa?” ia bertanya.

“Minggu depan adalah penobatanku sebagai pemimpin kerajaan. Jika mereka tahu aku mati.. apa yang akan mereka lakukan?”

“Aku.. tidak tahu.”

Star kembali menghela nafasnya. Ia berpikir mungkin para petinggi istana akan temukan solusi untuk itu. Star tidak mau pergi dengan cepat, ia masih mau hidup dan berikan banyak kebahagiaan bagi rakyatnya, sama seperti yang ayahanda nya lakukan.

“Setidaknya aku masih hidup. Mungkin aku akan membangun satu rumah kosong di sini. Di bagian hutan yang tidak diketahui siapapun selain aku dan ibundaku yang telah tiada.”

“Bagaimana jika tinggal di salah satu rumahku? Aku.. mempunyai dua rumah di daerahku. Mungkin kamu bisa menempati salah satunya.”

Sontak, Star tatap pria —yang dengan enteng menawarinya untuk tinggal di rumahnya— yang ada di hadapannya, tengah mendongak sembari pejamkan mata, menikmati hembusan angin yang datang pada keduanya.

Tampan, batin Star begitu netranya bertemu dengan sisi samping wajah si pemburu suruhan selir ayahandanya.

Hari ini, tepat tanggal dua puluh tiga Juli. Seperti yang Jeno katakan di saat dirinya melamar Renjun bulan lalu, mereka akan menikah hari ini.

Setelah satu bulan kemarin keduanya sibuk menyiapkan pernikahan —ya walau hanya tinggal beberapa saja karena Jeno telah menyiapkan semuanya sedari lama— akhirnya hari yang keduanya tunggu tiba juga.

Semuanya berjalan lancar hingga akhir acara, dimulai dari pengucapan janji suci beserta banyak ritual lainnya. Baik Jeno juga Renjun menjalani itu semua dengan bahagia, meski ada rasa gugup dalam hati.

Hingga saat waktunya mereka berdua saling berucap kata-kata untuk satu sama lain, disinilah Jeno berniat menjawab semua pertanyaan Renjun yang semalam lelaki manis itu tanyakan.

Saat giliran Jeno untuk berucap, pria taurus itu genggam tangan suaminya. Renjun terlihat begitu cantik dengan setelan jas berwarna hitam dan putih, cocok dengan warna rambutnya sekarang ini, hitam. Jeno tunjukkan senyum manisnya, ia tatap tepat pada netra milik Renjun sebelum dekatkan mic ke bibirnya.

“Huang— ah bukan. Lee Renjun,” Jeno memanggil, buat jantung Renjun berdetak kencang, wajah ayunya memerah, buat Jeno gemas sendiri.

Pria taurus itu kemudian tatap para tamu, “Semalam, dia tanya satu pertanyaan ke saya,” ucapnya sebelum kembali menatap Renjun.

Have you found a right partner? Itu yang Renjun tanya. Sampai sekarang, saya belum sempat menjawab. Maka dari itu sekarang saya akan menjawabnya di hadapan kalian semua, di saat lelaki manis ini sudah menjadi suami saya.”

Jeno tersenyum kembali pada Renjun, berikan senyum bulan sabitnya yang selalu jadi favorit Renjun, “Kamu tanya gitu ke aku. Kamu tanya apakah aku udah ketemu sama seseorang yang tepat atau belum, Kamu tanya apakah kamu udah cocok buat jadi pasangan aku.”

“Renjun, sejujurnya aku bingung waktu kamu tanya. Karena jawabannya udah kelihatan. Aku udah jadiin kamu sebagai suami aku besoknya, aku udah lamar kamu, apa kamu perlu tanya itu? Aku mikir gitu semalem. Tapi aku tahu kamu nggak akan puas dengan itu.”

“Semalem, sebelum aku jawab kamu. Aku inget-inget semua kenangan kita. Aku inget-inget apa semua yang udah kamu lakuin ke aku. Kamu udah relain segala hal demi aku, Renjun. Kamu udah korbanin banyak waktu juga tenaga kamu buat aku.”

“Kamu tahu? Semalam aku rangkum semua apa yang kamu lakuin buat aku. Kamu bisa baca itu nanti, karena itu rahasia kita berdua,” Jeno terkekeh setelahnya, buat Renjun ikut tersenyum walau tak dapat dipungkiri, lelaki manis itu terharu. Matanya menjelaskan semua.

“Satu yang bakal aku jawab di sini. Alasan aku bilang 'aku udah ketemu sama satu orang yang tepat sebagai pasangan aku, dan itu kamu.' adalah karena kamu adalah kamu

“Maksudnya, aku sebenernya nggak perlu alasan buat bilang kalau kamu itu orang yang tepat buat aku, Renjun. Karena di saat aku lihat kamu, waktu aku tatap mata kamu, aku tahu kalau kamu orangnya. Satu-satunya orang yang bakal temenin aku sepanjang hidup aku.”

“Tapi, karena kamu tanya apa alasannya, makanya aku jawab kesimpulan dari semua alasan aku. Karena kamu itu rumah Renjun. You feels like home— ah enggak. You're home. Mau berapa kali aku pergi, aku akan balik ke kamu. Waktu aku jatuh, kamu akan selalu jadi tempat aku nangis. Waktu aku bahagia, kamu jadi tempat aku melampiaskan. Kamu selalu punya cara kamu sendiri buat tunjukin cinta kamu ke aku, kamu punya cara kamu sendiri buat bikin aku ngerasain cinta. Kamu satu-satunya selain mama, papa, dan kakak aku, yang aku percaya.”

“Jadi kalau kamu tanya, Have i found a right partner? maka jawabannya iya. Aku udah ketemu sama kamu maka itu jawaban aku. Iya.”

Jeno tersenyum melihat air mata Renjun mulai turun dari mata cantiknya. Ia mendekat dan beri kecupan di puncak kepala Renjun sebelum berbisik, “Hari bahagia kita, aku nggak mau ada air mata turun dari mata indah kamu, sayang. Pandanya Nono nggak boleh nangis. Nanti beneran mirip panda, hehe.”

Lantas Renjun terkekeh mendengar itu, ia hapus air matanya dan peluk suaminya singkat. “Thank you.”

Setelahnya Renjun mengambil mic dari tangan Jeno. Ia mau memeluk Jeno lama-lama tapi ia sadar ia belum berikan perkataannya untuk Jeno. Tidak seperti Jeno, Renjun lebih memilih untuk menatap para tamu. Ia malu. Tapi Jeno paham, lelaki itu justru tersenyum gemas ketika lihat tangan sang suami pegang mic dengan sedikit bergetar.

“Aku— aku ngga tahu harus bilang apa sama Jeno selain makasih. Selama ini, hampir beberapa tahun kita pacaran, Jeno selalu buat aku ngerasa dicintai. Walau seringkali kita berdua dihadapin sama masalah-masalah, baik kecil maupun besar, aku bersyukur kita berdua bisa selesaiin itu semua.”

“Sebulan lalu, tanggal dua puluh tiga Juni, Jeno baru ngelamar aku,” Renjun tersenyum, ia melirik ke arah Jeno yang juga tersenyum padanya. Mengisyaratkan pria aries itu untuk melanjutkan.

“Jujur, aku kaget. Itu semua terlalu tiba-tiba. Jeno waktu itu tanya sama aku di chat. Apa semua perilaku aku sudah cukup buat nunjukkin cinta aku ke kamu? dia tanya begitu. Jujur, kalau ditanya kaya gitu pasti aku jawabnya iya.

“Jeno itu, waktu pertama kali deketin aku, dia bener-bener to the point. Pertama kali, dia minta nomor telepon, terus setiap hari aku di hubungin. Dia ajak aku telponan, tanya-tanya soal hal favorit aku. Sampai suatu hari dia akhirnya bilang dia mau deketin. Aku kaget banget waktu itu. Mana waktu di telpon dia masih bisa bilang ‘hehe’ ke aku.”

Seluruh tamu juga keluarga tertawa, begitu pula dengan Jeno. Pria itu teringat bagaimana konyolnya ia ketika mengajak Renjun untuk kenal lebih dekat lagi. Namun ia bersyukur, ia berhasil buat si manis itu jatuh cinta padanya.

“Tapi akhirnya kita deket sendiri, dan dari waktu itu sampai sekarang, Jeno ngga pernah berhenti buat tunjukkin cintanya ke aku. Jeno selalu kasih aku semua cintanya, Jeno selalu ada di sana, di samping aku, waktu aku butuh. Dan aku mau makasih banget ke Jeno, semua cinta yang udah dia kasih ke aku itu banyak banget. Jeno buat aku selalu inget sama baba, baba selalu lindungin aku dari kecil sama cintanya, dan Jeno juga lakuin yang sama kaya baba.”

Kali ini, Renjun berbalik menatap Jeno, ia beranikan diri tatap mata Jeno sebelum berucap. “Maka dari itu, aku bersyukur. Aku bersyukur bisa punya kamu di hidup aku, Jen. Makasih udah perlakuin aku layaknya seorang raja disaat aku sadar ngga seharusnya aku terima itu semua. Tapi makasih, aku selalu mensyukuri semua yang kita jalani. Aku cinta kamu, Lee Jeno.”

And i love you more, Lee Renjun.”

Tepuk tangan memenuhi aula tempat dimana pernikahan Renjun juga Jeno diadakan. Ibu keduanya bahkan sudah menangis mendengarkan ucapan anak-anaknya kepada satu sama lain. Mereka semua merasakan seberapa besar cinta satu sama lain, dan mereka bersyukur keduanya sudah bersatu sekarang ini.

Saat keduanya hampiri orang tua mereka, mereka mendapatkan sebuah pelukan bangga. Tak ada hari yang lebih membahagiakan dari hari ini bagi Jeno juga Renjun.

Mereka berdua bersyukur memiliki satu sama lain, mereka berdua berterima kasih atas eksistensi satu sama lain, dan mereka berdua melengkapi satu sama lain. Bagi keduanya, cinta mereka adalah sempurna, sama seperti janji mereka tadi, mereka akan tetap menjaga cinta itu untuk bersinar sampai akhir hayat mereka nantinya.

Happy Wedding, Lee Jeno and Huang Renjun.

Positif.

Begitu kata dokter tadi. Sean juga Arasy tak dapat menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang ini. Bahagia, senang, haru, juga khawatir.

Selama dalam perjalanan pulang, baik Sean juga Arasy tak mengeluarkan suara. Mobil mereka hanya dipenuhi suara-suara dari obrolan Keane juga Kaylee. Sean hanya tak tahu harus berkata apa pada Arasy.

Terima kasih? Selamat? Atau apa?

“Kak Se.”

Lamunannya terpecah ketika suara Arasy terdengar. Diikuti genggaman di tangannya yang memegang setir. “Hm?” Ia hanya menjawabnya dengan gumaman.

“Kak Se bahagia?”

Sean berdeham sejenak mendengar pertanyaan itu. Apakah Arasy perlu bertanya lagi soal kebahagiaannya? Bukankah itu sudah jelas sekali jawabannya?

Bahwa Sean bahagia, sangat bahagia. Saking bahagianya, lelaki itu tak tahu bagaimana harus merespon.

“Lebih dari bahagia, Rasie,” akhirnya ia menjawab, “kamu tanya apa kakak bahagia? Tentu aja kakak bahagia banget banget banget. Kakak sampai ngga tahu harus ngerespon apa.”

Arasy yang mendengarnya justru terdiam, “Rasie pikir, kakak nggak bahagia.”

“Atas dasar apa kakak nggak bahagia, sayang? Kita bakal punya baby lagi. Emang ada alasan buat kakak nggak bahagia?”

Arasy menggeleng, ia bergumam pelan namun masih sampai di telinga Sean, “Rasie pikir, kakak takut. Rasie kaya dulu. Waktu dulu bawa babies, Rasie lakuin banyak kesalahan ke kakak. Rasie gabisa jag—”

“Hei, maksud kamu apa ngonong gitu?” Sean menghentikan ucapan Arasy. Lelaki itu balas genggam tangan Arasy dan mengelusnya pelan, “Kamu nggak salah apa-apa dulu, sayang. Lagipula, kakak paham apa yang ada dipikiran kamu dulu, dan masalah itu udah selesai kan? Rasienya Kak Se sekarang beneran Rasie yang berbeda, kamu udah lakuin semua yang terbaik buat keluarga kecil kita.”

Arasy hanya diam. Maka Sean melanjutkan.

“Kakak bahagia sayang, makasih banyak ya? Tolong, jangan mikir yang aneh-aneh. Mana ada orang yang nggak suka kalau mau punya anak lagi? Nggak ada.”

“Makasih banyak ya, Kak Se. Makasih udah selalu bikin Rasie lebih baik.”

Arasy peluk lengan Sean yang tadi telapaknya ia genggam, tak peduli bahwa lelaki itu tengah menyetir dengan satu tangan. Tak peduli juga bahwa Sean akan merasa pegal.

Lelaki manis itu hanya mau salurkan rasa bahagianya, dan ia ingin Sean tahu betapa bersyukurnya ia sekarang ini.

“Tangan kakak pegel nggak?”

“Nggak papa, peluk aja. Pegel juga kakak gapapa asal kamunya seneng.”

Arasy tersenyum lebar, “Kak Se udah bilang makasih sama Rasie sekarang gantian Rasie ya?”

“Emang apa yang mau Rasie makasihin ke kakak? Kakak nggak ngelakuin apa-apa.”

Arasy menggeleng tak setuju, “No, kakak udah lakuin banyak buat kita semua. Jadi, makasih ya Kak Se? Makasih udah selalu ada di samping kita bertiga, makasih atas semua yang udah Kak Se lakuin ke keluarga kecil kita. Makasih udah selalu jadiin aku sama anak-anak sebagai rumah kakak buat pulang. Terakhir, makasih udah jadi rumah buat kita. Kakak itu rumah paling nyaman buat aku tinggal. Nggak akan pernah ada yang bisa gantiin.”

Hati Sean menghangat. Ia usak surai suami manisnya dengan lembut dan mengangguk, “Makasih juga udah jadi rumah kakak, sayang.”

Arasy kemudian menoleh ke belakang, dimana kedua putra dan putrinya tengah saling mengobrol seakan tak terganggu dengan lovey dovey kedua orang tuanya. “Keane Kaylee.”

Keduanya mendongak kompak, “Iya papi?”

“Papi sayang kalian,” katanya sambil terkekeh.

Keduanya kemudian mengangguk dengan semangat. “Kita juga sayang papi!” jawab keduanya kompak

“Dad enggak?” Sean ikut bertanya.

“Sayang dad juga! Sayang dedek, sayang Kaylee,” Keane menjawab. Sedangkan sang adik yang merasa bahwa ada satu nama belum disebut pun akhirnya ikut menjawab, “Sayang Kak Keane.”

Arasy tersenyum bangga. Begitu juga dengan Sean.

Kalau boleh berkata, ini bukanlah akhir dari kisah mereka. Sean dan Arasy, keduanya masih memiliki banyak hal yang harus mereka lakukan kedepannya. Pun juga masalahnya.

Masih banyak masalah kecil yang mungkin akan datang kepada keduanya. Namun, saat ini baik Sean maupun Arasy sudah mengerti.

Bahwa mereka berdua— ah bukan hanya mereka berdua tapi ber empat.. atau lima? Sean, Arasy, Keane, juga Kaylee, serta si calon bayi, mereka semua menjadi rumah bagi satu sama lain.

“Makasih udah jadi rumahnya dad sama papi ya, kalian berdua?”

“Rumah? Keane sama Kaylee kan manusia?”

Keane dan Kaylee mungkin tidak mengerti apa arti rumah yang kedua orang tuanya maksud tadi. Namun Arasy juga Sean yakin mereka akan paham seiring berjalannya waktu.

Setidaknya sekarang ini, mereka memiliki satu sama lain. Mereka akan saling mendukung satu sama lainnya. Tak peduli jika semua orang meninggalkan salah satunya, mereka akan tetap ada di sana, bersama, menjadi satu kesatuan yang utuh. Seperti janji Sean juga Arasy di dalam pernikahannya.

Sampai saat ini —dari awal mereka bersatu sampai sekarang anak-anak mereka sudah tumbuh dengan baik— semua itu tak ada yang pernah berubah.

Bagi Arasy, Sean adalah rumah. Begitu juga sebaliknya. Bagi Sean, Arasy adalah rumah.

Selamanya akan seperti itu.

Tidak akan ada yang tahu seberapa bahagianya Arasy ketika Keane menghampirinya yang telah memasak tadi dan berkata bahwa sang adik —Baby Kaylee atau yang biasa mereka panggil Baby Illie — berhasil menopang tubuhnya dengan kedua kaki.

Gadis kecil itu berdiri dengan kedua kakinya walau masih berpegangan pada kaki sang ayah.

Arasy segera tanggalkan masaknya dan masuk ke dalam playroom milik Keane —yang sekarang juga menjadi milik Kaylee. Ia memekik senang ketika melihat si bayi berusia tujuh bulan itu berdiri sambil memeluk kaki Sean.

“Kapan tadi mulai bisa berdiri?”

“Barusan aja, tadi kakak baru mau nyusul kamu ke bawah bentar. Terus Keane nya teriak ternyata berdiri itu si baby. Tadi hampir jatuh, cuma waktu kakak baru lari mau tangkep eh dianya udah duluan peluk kaki kakak.”

“Gemes banget!” Arasy memekik. Membayangkan bagaimana Kaylee memeluk kaki daddynya yang panik saat gadis kecil itu hampir jatuh. Ia angkat tubuh kecil si bayi ke dalam gendongan dan mengecup pipinya gemas.

Beberapa minggu terakhir memang si bayi sudah ingin berdiri, namun selalu Arasy yang menopangnya. Namun hari ini, ternyata Kaylee biaa berdiri sendiri. Tentu Sean, Arasy, bahkan Keane bahagia melihatnya.

Keempatnya berakhir di ruang bermain. Keane yang sibuk bermain dengan Kaylee dan Sean juga Arasy mengawasi. Sebenarnya Arasy sudah mau kembali, namun Sean menahannya. Meminta suami manisnya itu untuk bermain di sana saja —mumpung Sean juga mendapat hari libur.

Toh, makanan bisa mereka pesan dari luar nanti.

“Eh, sayang. Kakak dapet telpon. Kakak angkat dulu, ya?”

Arasy mengangguk. Sean segera berdiri dari duduknya dan menuju ke balkon playroom untuk mengangkat telpon dari Kalan. Pasti mengenai pekerjaan, begitu batin Arasy.

Lelaki manis itu menatap kedua malaikat tersayangnya yang tertawa riang. Namun baru saja Arasy mau memotret momen keduanya, ia justru dikagetkan dengan tangisan putrinya.

Segera ia berdiri dan menghampiri keduanya. Ia peluk putri kecilnya sembari elus surai hitamnya dengan sayang. “Keane ini tadi gimana kok bisa nangis? Sampai duduk depan box gini?”

“Ini papi, tadi papi tahu kan kita jalan ke deket boxnya Illie. Terus waktu Keane mau arahin Illienya balik ke tempat papi malah Illie lari terus jatuh. Maaf ya, papi?”

“Ya Tuhan, sayang.. ngga perlu minta maaf ya? Keane ngga salah. Hei, berhenti nangisnya ya? Illie kan pinter?” Arasy membujuk si gadis kecil. Ia tepuk-tepuk punggung Kaylee dengan sayang.

“Kit! Hiks,” (Sakit! Hiks) si gadis kecil justru makin menangis di pelukan Arasy. Manja.

Arasy sudah mengecek seluruh tubuh gempal si gadis dan leganya, ia tak temukan luka di sana. “Nggak ada yang merah atau yang luka kok, kaget ya illie ya?”

“Hiks!”

“Illie maaf..”

“Sssh, Keane ngga salah kok. Jangan minta maaf okay?”

“Kenapa ini Illie kok nangis?” Sean yang baru kembali dari mengangkat telpon segera angkat Kaylee ke dalan gendongan. Sementara Arasy langsung bawa Keane dalam pelukan. Tak mau rasa bersalah si lelaki kecil justru makin bertambah lihat adiknya makin menangis di pelukan sang daddy.

“Jatuh, dad.”

Sean memandang Kaylee khawatir, ia kecup pipi gembil putrinya yang memerah. “Mana yang sakit hm?”

Si gadis kecil tak menjawab dan makin terisak. Arasy sendiri bukannya khawatir malah menjadi gemas. Dasar manjanya daddy, begitu katanya dalam hati.

“Kamunya ngga ngelihatin ya tadi? Kok jatuh?” Sean yang sudah ambil duduk di dekat Arasy bertanya.

Mendengar itu tentu Arasy sedikit tersinggung, “Ya aku lihatin daritadi. Tapi baru mau aku foto tadi, akunya buka hape eh malah jatuh.”

“Makanya jangan kebanyakan main hapenya sayang, kalau lagi jaga anak-anak.”

Arasy menaikkan alisnya mendengar ucapan Sean. “Aku cuma mau foto mereka terus aku simpen di galeri hape. Emang salah? Aku juga ngga main yang lain, Kak. Cuma mau foto aja.”

“Biasanyakan kamu upload twitter dulu.”

Arasy kesal. Tentu saja. Ia memang suka menaruh foto-foto anak anaknya di aplikasi itu. Karena itu memang kebiasaannya. Tapi tadi Arasy baru mau membuka ponselnya untuk memotret dan Kaylee jatuh. Apakah salah? Arasy bahkan tidak tahu bahwa si gadis kecil lepas dari gandengan sang kakak.

Soal meng-uploadnya pada twitter, Arasy tidak berniat untuk itu. Arasy memang suka. Namun ia tahu disaat seperti apa ia dapat meng-upload foto-foto sang bayi dan di saat apa ia tidak bisa.

Dengan Sean berkata seperti itu, Arasy justru merasa tersinggung. Secara tidak langsung sang suami seakan menyalahkannya.

“Ya Rasie juga tahu kali kak harus upload waktu kapan. Kalau kaya gini juga, waktu Illienya masih belajar jalan ya Rasie gabakal upload. Rasie tadi baru mau buka hape terus Illie jatuh. Emang Rasie tahu kalo Illie mau jatuh? Enggak.” Arasy menatap Sean.

“Tapi kakak udah bilang kan sama kamu, sayang? Kurangin main hapenya.”

“Rasie udah ngurangin, Kak Se. Udah. Rasie cuma mau potret anak anak aja biar bisa jadi kenang-kenangan, emang salah?” Ia berkata sedikit menaikkan nada. Sadar bahwa mereka berdebat di hadapan Keane juga Kaylee, Arasy mendengus. Bahkan Kaylee sudah berhenti menangis dan menatap kedua orang tuanga bingung.

“Keane lepas dulu ya sayang? Papi mau masak,” ia berkata pada Keane di pelukannya yang langsung dituruti. Lelaki kecil itu takut melihat wajah sang papi.

“Aku tahu, harusnya aku jagain anak-anak tadi ngga usah pakai foto-foto. Maaf, akunya ngga becus jaga Kay,” ucapnya. Segera Arasy berdiri dan meninggalkan ketiganya di sana.

Arasy sedikit merutuki sifatnya yang mungkin kekanakan seperti ini, tapi tetap saja, Arasy tidak suka dengan ucapan Sean.

“Dad, papi..”

Menyesaku ucapannya pada lelaki tercintanya, Sean memijat keningnya pusing, “Maaf Keane sama Illie harus lihat dad sama papi berantem. Dad khawatir tadi lihat Illie nangis.”

Arasy tersenyum ketika tangannya digenggam erat oleh Sean saat lelakinya tengah menyetir. Rasanya sudah lama sekali ia tak duduk berdua bersama Sean di sini, di mobil milik Sean.

Tak mempedulilan tangan keduanya yang berkeringat, Sean tetap genggam tangan lelaki manisnya erat. “Kak, ini jadi jemput Keane sama baby Illie?”

Sean menatap Arasy sekilas kemudian menggeleng, ia tarik tangan Arasy dan tengah ia genggam mendekat ke wajahnya. Sean berikan kecupan di sana. “Mama sama papa yang anterin tadi katanya. Sekalian kakak suruh mereka makan di rumah.”

“Ohh.. okay. Aku nggak buka handphone dari kemarin,” ucapnya. Seharian kemarin Arasy menghabiskan waktu untuk bermain dengan Keane dan Kaylee hingga malam hari. Kemudian tadi pagi, ia mengobrol dengan Sean —sekaligus merengek meminta pulang.

“Kak Se besok kerja?”

“Iya, dari rumah.”

“Terus, Kak Kalan?”

“Emang Kalan kenapa? Kalan tetep kaya biasanya, sayang. Kakak dari rumah soalnya kamu juga pasti butuh kakak bantu jagain Illie sama Keane kan?”

Arasy mengangguk-angguk. Ia setuju. Tadinya ia pikir mungkin ia akan meminta sang ibu atau ibu mertuanya untuk membantu, namun ternyata Sean justru mengambil kerja dari rumah demi dirinya. Arasy bersyukur. Setidaknya biar ia belajar mengurus bayi kecil terlebih dahulu baru nanti ia akan menjaga kedua malaikatnya dan biarkan Sean bekerja seperti biasa.

“Terus kerjaan kakak yang kemarin tuh, udah beneran kan?”

“Udah kok, beres. Dana nya perusahaan ternyata memang diambil sama pekerja di sana, orang baru yang dipercaya di bagian keuangan. Tapi udah kok, udah dilaporin juga.”

“Kakak nggak minta ganti?”

“Tentu aja, dia harus ganti. Tapi dia minta waktu sampai mungkin dia bebas. Yaudah kakak nggak masalahin juga. Toh, kantor udah balik normal lagi.”

“Rasie bilang apa ke kakak? Kakak kan hebat! Kayanya cuma satu bulanan lebih dikit yah kakak selesaiin ini? Kak Se nya Rasie hebaaat!”

Sean menoleh ke arah lelaki manisnya yang juga tengah menatapnya dengan senyum manis. Jantungnya berdebar melihat bagaimana manisnya senyum Arasy.

Ia balas senyum lelakinya dan berikan satu kecup di pipi gembil Arasy. Setelahnya percakapan mereka di dalam mobil terasa begitu hangat. Dua minggu tidak saling bercakap-cakap, Sean memiliki banyak cerita yang ingin ia ceritakan pada sosok rumahnya.


“Hai, sayang. Welcome home!” Arasy sunggingkan senyum ketika sang ibu mertua yang baru datang berikan ia sebuah peluk. “Makasih, mami! Hehe!”

“Mana sini, anak kesayangannya papa? Peluk dulu!” Selepas selesai bercengkrama dengan ibu mertuanya, Arasy juga ganti memeluk sang ayah dengan erat. Dapat lelaki manis itu rasakan sebuah kecupan juga usapan lembut di punggungnya, “Anaknya papa, sekarang udah punya keluarga kecil. Rasienya papa— ah bukan, Rasienya Sean, kamu udah lewatin berbagai macam masalah dengan baik. Papa bangga lihat Arasy. Inget ya sayang? Papa sayang banget sama kamu.”

“Rasie juga sayang papa,” Arasy eratkan pelukannya. Bersyukur ia menerima cinta yang begitu besar dari kedua orang tuanya juga keluarga suaminya.

“Mama enggak?”

“Juga sayang mama dong!” Arasy lepas peluknya dan tersenyum ke arah sang ibu yang tengah gendong Keane. Ia mendekat kepada keduanya dan kecup pipi Keane dengan sayang. “Keane suka di rumah grandma?”

“Uhum! Banyak mainan. Kata grandma itu punya papi rasie waktu kecil. Keane juga lihat banyak fotonya papi waktu kecil. Mirip sama Kay!”

Arasy tersenyum dan usak rambut Keane dengan sayang. “Kay dimana, Ma?”

“Di gendong Sean tuh tadi di depan.”

“Rasie ke depan dulu kalau gitu, Ma. Mau lihat Kaylee. Keane ikut papi nggak? Yuk?” Si lelaki kecil meminta turun dari gendongan mama dan menggandeng tangan papinya.

“Rasie ini mama sama mami pakai dapurnya buat masak, boleh?”

“Boleh dong! Rasie kangen masakan kalian berdua!” jawabnya sedikit berteriak karena memang jaraknya dengan sang ibu sudah agak jauh.

Arasy berjalan ke depan rumahnya, lebih tepatnya ke taman rumahnya juga Sean. Benar saja firasatnya, Sean berada di sana sambil gendong tubuh kecil sang bayi.”

“Kak Se, kenapa nggak masuk? Illie biar istirahat,” Arasy menepuk bahu sang suami, buat Sean menoleh.

“Tadi kakak habis angkat telpon terus mama papa sama mami dateng. Yaudah di sini dulu bentar tadi. Nih, mau gendong Illie?”

Arasy mengangguk, ia terima sang bayi kecil dalam rengkuhannya dan Sean angkat si lelaki kecil yang tadi digandeng oleh Arasy. Sean berikan kecupan di pipi Keane, “Hari ini udah tidur di rumah lagi, Keane seneng nggak?”

“Huum! Seneng banget, dad. Keane kangen juga dianter papi sama dad ke sekolah.”

“Eits, sementara nanti dad dulu yang anter ya? Biar papi kamu temenin Baby Illie di rumah. Nanti kalau babynya udah bisa diajak jalan-jalan, baru kita bertiga anterin Keane sekolah. Deal?”

“Deal, daddy!”

Sean tersenyum. Ia tatap Arasy yang menatap keduanya sedari tadi dengan senyum. Satu tarikan, Sean bawa tubuh Arasy —yang menggendong Kaylee— mendekat dan berikan satu kecupan di kening.

“Rasie bahagia?”

“Punya Kak Se, Keane, sama Illie? Bahagia dong!”

“Kalau Keane?”

“Keane juga seneng banget punya papi, dad, sama Baby Kay.”

“Baby Kay juga pasti seneng kan punya daddy kaya dad? Iya kan, sayaang?” Arasy mengelus pipi lembut sang bayi, buat bayi kecil Anderson itu tersenyum walau dengan mata tertutup. Arasy melebarkan senyum melihatnya. “Tuh, Illie juga bahagia!”

Mendengar juga melihatnya, Sean tersenyum lembut. “Kalau kalian bertiga bahagia, dad juga bahagia.”

Laki-laki yang kini sudah resmi menjadi seorang ayah dari dua — atau tiga?— orang anak itu berjalan cepat melewati lorong rumah sakit, menuju dalam kamar dimana lelaki tercintanya tidur selama ini.

Selepas mendapat pesan dari sang ibu dan ibu mertua bahwa Arasy telah bangun dari tidurnya, Sean buru-buru pergi dari kantor. Tak peduli lagi dengan teriakan Kalan tadi —yang menanyai dirinya yang terlihat kaget bercampur bahagia.

“Rasie.”

Pintu tersebut dibuka oleh Sean. Kala netranya bertemu tatap dengan lelaki manis yang tengah duduk di kasurnya sembari menggendong seorang bayi dan memeluk seorang lelaki kecil, jagoan mereka, hati Sean menghangat. Rasa lega berangsur-angsur datang pada lelaki tampan itu ketika ia tahu bahwa Arasy, hidupnya, masih ada di sana.

“Dad!” Suara lelaki kecil kesayangan keduanya terdengar. Ia lepas peluk dari sang papi dan menghampiri ayahnya yang lain —yang terdiam di depan pintu. “Daddy! Papi udah sadar, ayo peluk!”

Tangannya di tarik untuk mendekat. Ketika Sean sudah berada di depan Arasy, lelaki itu merasa emosional. Rasanya melegakan dapat melihat sosok Arasy membuka matanya. “Kak Se?”

Suara itu. Suara yang selama dua minggu ini Sean tunggu untuk dengar kembali. Tak mempedulikan kedua ibu yang tengah menatapnya, Sean peluk Arasy. Erat. Bersama dengan Kaylee —yang berada di gendongan Arasy— juga Keane.

“Kamu bangun, sayang. Kamu bangun,” ia berbisik serak. Ia berikan kecupan sayang berkali-kali di puncak kepala Arasy, mengabaikan satu tetes air mata yang keluar dari netranya sebagai tanda bahwa lelaki itu lega.

“Aku udah janji sama Kak Se. Aku nggak suka ingkar janji.”

Sean menghapus air matanya, ia tangkup wajah Arasy dan berikan kecupan di keningnya, sekali lagi. Melampiaskan rasa bahagia bercampur leganya.

“Dad, nangis. Hii~”

Suara dari Keane memecah keharuan diantara keduanya. Sean sontak menoleh dan tersenyum lebar kala sang putra tengah menunjuknya dengan senyum tak kalah lebar. Ia bawa sang putra dalam gendongan dan mengecup pipi gembulnya. “Dad kangen tidur bareng Keane.”

“Keane juga!”

Keduanya —Sean dan juga Keane di gendongannya— duduk di samping ranjang Arasy dan menatap bayi kecil yang tertidur nyaman di pelukan sang papi. “Cantik ya? Mirip kamu,” Sean berkata pada Arasy.

“Mhmm, Kaylee kan namanya? Kakak beneran turutin mau Rasie.”

Sean mengangguk. Ia tersenyum menatap Arasy yang menyentuh hidung kecil putri mereka, membuat bayi kecil itu menggeliat kecil. Lucu.

“Keane juga udah lihat dedek?” Arasy bertanya pada putra kecilnya yang dibalas anggukan semangat. “Huum! Sudah! Baby Kay lucu mirip papi banget, hehe.”

Arasy tertawa, ia memberikan satu kecupan sayang di pipi putranya. Buat Sean yang menatapnya sedari tadi makin tersenyum lebar.

Entah bagaimana Arasy dapat mengekspresikan perasaannya sekarang ini. Lelaki manis itu bahagia masih dapat menatap kedua lelaki yang mengisi hari-harinya selama ini, ditambah princess yang baru hadir dalam keluarga kecil mereka, Arasy bersyukur ia dapat menatap ketiganya. Merasakan kehangatan yang tiada kiranya kala melihat senyum orang orang tersayangnya mengembang.

Begitu pula Sean, selama dua minggu Arasy tertidur, Sean selalu berdoa dalam hati. Ia berharap bahwa Tuhan masih berbaik hati padanya, membiarkan dia menghidupi, membahagiakan keluarga kecilnya, yang mungkin belum dapat ia lakukan dengan baik sebelumnya. Rasa lega yang bercampur kebahagiaan yang Sean rasakan ini rasanya lebih melegakan dibanding ketika lelaki tampan itu tahu bahwa ia lulus dari kuliahnya, atau ketika ia menyelesaikan masalah di pekerjaannya.

Rasa lega Sean, lebih dari itu.

Ia tahu Arasy masih di sini, bersamanya. Bersama kedua buah hati mereka. Perasaannya tak dapat ia ekspresikan. Ia bahagia, lega, senang, juga merasa haru dan bersyukur.

Pun ketika Sean menatap Arasy merengkuh sang putri untuk pertama kalinya dengan senyum bahagia dan netra yang penuh rasa syukur. Sean tak bisa berkata-kata.

Baik Arasy juga Sean, keduanya merasa bahagia. Ketika netra mereka bertemu lagi, mereka saling melemparkan senyum. Tatapan Sean yang penuh dengan cinta ditambah dengan netra berbintang Arasy yang menandakan bahagianya lelaki manis itu. Oh, jangan lupakan juga celotehan manis Keane pada sang bayi di gendongan Arasy. Perpaduan yang sempurna.

“Kak Se, aku tepatin janji aku buat ada di samping Kak Se. Selalu ada di samping kakak. Kak Sean, makasih sudah mau sabar tunggu Rasie buat pulang. Makasih juga udah selalu jadi rumah buat aku juga anak-anak. Juga, thank you for loving me and our babies more than anything.

Mulai dari hari ini, kebahagiaan akan selalu menyambut keduanya. Meski keduanya tahu, akan ada masalah masalah kecil yang mereka hadapi lagi, mereka tak apa.

Asal bersama dengan Arasy, Sean tidak apa. Asal bersama dengan Sean, Arasy siap menghadapi semuanya, bahkan batu besar sekalipun.

Because, that's the way their love works.