Arrows in Berry Tree
warn! murder attempt , mention of death
Star menghela nafasnya ketika ia masukan alat komunikasinya ke dalam jubah. Ia lanjutkan kegiatannya untuk memetik berry yang disukai oleh sang selir istana —yang kerap kali ia panggil ibu— itu.
“Aku jadi rindu ibunda, andai ibunda ada di sini, mungkin ibunda udah marah ke aku karena keranjangnya yang udah penuh selalu tiba-tiba kosong separuh,” Star tersenyum kecil kala bayangan masa kecilnya bersama sang ibu terlintas di kepala.
“Mau berapa kali juga Hector yakinin aku, aku nggak sendirian, aku tetep ngerasa sendirian,” Star bergumam sembari petik satu buah berry dari pohonnya.
Namun sedetik kemudian, sebuah panah tertancap di pohon berry tersebut, disusul satu panah lainnya. Star berjengit kaget, calon pemimpin dari Grazweith itu refleks menoleh ke belakang, ke asal panah tersebut datang.
Dari tempatnya berdiri, ia lihat dengan jelas netra tajam milik si pemanah yang tengah menatap kearahnya. Tangan si pemanah hampir meloloskan satu panah lagi sebelum akhirnya Star membelalak kaget. Pria manis itu tinggalkan keranjang berrynya di bawah tanah.
“Anda siapa?” Star bertanya, sedikit waspada dengan bersiap-siap lari apabila panah di tangan si pemanah lolos lagi di dekatnya.
“Seseorang yang ditugaskan untuk membunuhmu.”
Netra Star membesar, terkejut, “A-anda—”
Sret!
Satu panah terlepas tepat di samping telinga Star sebelum pria manis itu selesaikan perkataannya. Tubuh Star bergetar, ia merasa takut juga kalut. Apabila ia berlari sekarang, bisa saja pria di hadapannya kembali lepaskan panah dan membunuhnya dari belakang.
Maka Star putuskan untuk diam, ia menelan ludahnya kasar sebelum mendekat kepada si pemanah. “Tolong, turunkan panahmu.”
“Untuk apa aku lepas panahku hanya karena kamu meminta?” Si pemanah mengambil panah dari balik tubuhnya dan kembali mengarahkannya pada Star.
“P-panahmu..”
“Baik, jika aku turunkan panahku. Apa yang kudapat?”
Star menelan ludahnya kembali, “Kamu bisa meminta apapun padaku. Aku akan kabulkan.”
Si lawan bicara menyeringai, ia turunkan panahnya dan kemudian mendekat pada si pangeran. Ia berikan bisikan pada telinga pria manis itu. “Termasuk mengabulkan keinginanku untuk menikah denganmu?”
“Hah?”
“Jadi kamu cuma bercanda?”
Selepas berucap soal menikahi tadi, si pemanah akhirnya duduk di salah satu batang pohon yang tumbang sembari menjelaskan ucapannya pada Star, bahwa ucapannya tadi hanyalah bercanda. Kini jusru Star turut duduk dan bertanya. Entahlah, rasanya pria tadi tidak akan membunuhnya.
Tawa si lelaki yang tadi melepas panah pada Star terdengar, “Iya aku hanya bercanda,” ia berkata sembari ulurkan tangannya, “Aku Graviel. Kamu bisa memanggilku Gav.”
Star tatap tangan di hadapannya dengan ragu baru setelahnya ia beranikan diri membalas uluran tangannya. “Star.”
“Ya, aku tahu kamu.”
Star menggigit bibirnya setelah mendengar itu, ia tatap lagi wajah pria di hadapannya dengan ragu, “Kamu tadi bercanda.. apa ucapanmu soal membunuhku juga bercanda?”
Mendengar pertanyaan Star, lelaki bernama Graviel itu tersenyum lembut, “Aku memang ditugaskan untuk membunuhmu.”
Star menahan nafasnya, “Dan kamu akan lakukan itu?”
“Aku membebaskanmu. Asal kamu tahu, aku selama ini selalu memburu hewan. Untuk memburu seorang manusia? Kurasa itu sedikit menyeramkan.”
“Tapi kamu tadi mencoba melemparkan panah padaku, Gav!”
“Tapi tidak kena kan?”
Star menghela nafasnya dan mengangguk pelan sembari tundukkan kepala. Namun satu pertanyaan muncul di kepalanya. Siapa yang meminta Gavriel untuk membunuh dirinya?
“Selir istana.”
“Huh?” Star mendongak, ia tatap tepat pada netra Gavriel yang juga tengah lakukan hal yang sama. Pria pemanah itu seakan balas pertanyaan di kepalanya.
“Selir Grazweith, dia memintaku untuk membunuhmu saat kamu di hutan dan membawa pulang jantungmu.”
“J-jantung?”
Graviel mengangguk, “Jantungmu sebagai pembuktian.”
Si pangeran Grazweith bersumpah, ia merinding. Bagaimana jika pemburu yang diminta oleh Selir adalah pemburu yang tak kenal kemanusiaan? Yang akan benar-benar membunuhnya?
“Kamu nggak akan lakuin itu kan?”
Si pria kembali menggeleng, “Sudah kukatakan aku tidak membunuh manusia. Mungkin aku akan mengambil jantung hewan untuk kubawa ke istana,” ucapnya sembari mengedikkan bahu.
“Tapi itu artinya.. aku tidak bisa kembali ke istana.”
“Kau benar. Jika kau kembali, bisa saja aku yang dibunuh. Atau mungkin kita berdua?”
Star bergidik. Namun setelahnya kembari kerucutkan bibir, buat si lawan bicara terbengong sebentar saksikan cepatnya perubahan ekspresi si pangeran. “Kenapa?” ia bertanya.
“Minggu depan adalah penobatanku sebagai pemimpin kerajaan. Jika mereka tahu aku mati.. apa yang akan mereka lakukan?”
“Aku.. tidak tahu.”
Star kembali menghela nafasnya. Ia berpikir mungkin para petinggi istana akan temukan solusi untuk itu. Star tidak mau pergi dengan cepat, ia masih mau hidup dan berikan banyak kebahagiaan bagi rakyatnya, sama seperti yang ayahanda nya lakukan.
“Setidaknya aku masih hidup. Mungkin aku akan membangun satu rumah kosong di sini. Di bagian hutan yang tidak diketahui siapapun selain aku dan ibundaku yang telah tiada.”
“Bagaimana jika tinggal di salah satu rumahku? Aku.. mempunyai dua rumah di daerahku. Mungkin kamu bisa menempati salah satunya.”
Sontak, Star tatap pria —yang dengan enteng menawarinya untuk tinggal di rumahnya— yang ada di hadapannya, tengah mendongak sembari pejamkan mata, menikmati hembusan angin yang datang pada keduanya.
Tampan, batin Star begitu netranya bertemu dengan sisi samping wajah si pemburu suruhan selir ayahandanya.