Apples Field and You
Senyum si pangeran terkembang kala ia tatap perkebunan apel di hadapannya. Rasanya ia telah lama sekali tak lihat apel dari pohonnya.
“Kamu suka?”
Star berikan anggukan semangat kala Graviel tanyakan hal itu. Sosok mungil —yang sedari tadi berdiri di dekat Graviel sembari tatap perkebunan apel di hadapannya dengan semangat— itu menoleh kepada pohon-pohon apel dengan Graviel bergantian. Seakan meminta ijin pada pria itu untuk memijakkan kaki mendekat.
“Apa yang kamu tunggu? Petik apelnya, Star,” Graviel berkata. Ia terkekeh kecil lihat wajah semangat si pangeran.
“Aku ngga mau petik. Coba kamu panah apel di pohon itu sampai jatuh, Gav!”
Graviel menatap salah satu pohon yang ditunjuk oleh Star. Lantas ia menganggukkan kepala dengar permintaan si manis. Pria taurus itu ambil panah juga busurnya, mengarahkan itu pada pohon tadi.
Tak lama setelah panah dilepaskan, beberapa apel pada pohon tersebut jatuh. Maka dengan segera, Star berlari mendekat dan ambil beberapa apel tersebut.
Ia angkat kedua tangannya yang masing-masing memegang satu apel dan menggerakannya senang. Seolah tunjukkan pada Graviel bahwa ia mendapat apel yang tadi dipanah oleh pria itu. “Banyak banget!” Dapat Graviel dengar pekikan Star ketika pria manis itu berlari kembali kearahnya dan masukan apel pada keranjang yang ia bawa.
“Mau lagi?”
Star anggukkan kepala dengan semangat dengar pertanyaan Graviel, ia menunduk dan ambil satu apel dari keranjang, “This one must be soooo good,” begitu gumaman yang di dengar Graviel.
Namun, belum sempat Star masukan apel itu ke dalam mulut, Graviel menariknya dari tangan Star. Si pria taurus taruh busurnya di tanah dan bersihkan apel itu dengan jubahnya.
Selepas dirasa bersih, ia berikan itu pada Star dengan senyum bulan sabit, “Nah, sekarang sudah bersih. Kamu bisa memakannya.”
Lantas si pangeran Grazweith menunduk, sembunyikan senyum dalam diamnya dari Graviel —yang sebenarnya percuma karena Graviel sudah tersenyum lebar lihat wajah Star— kala mendapat perlakuan manis dari si pria pemburu yang menolongnya.
“Thank you..” ia bergumam sebelum menggigit apel merahnya.
Sedangkan Graviel hanya balas dengan senyum sebelum kembali ambil busurnya dan jatuhkan beberapa buah apel lagi untuk si pangeran.
“Jadi kebun ini.. milikmu?”
“Iya, lebih tepatnya milik keluarga,” Graviel gigit satu apelnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan, “Tapi aku yang biasanya ambil apel dari sini.”
Keduanya kini duduk di pohon terbesar di kebun apel tersebut. Sudah hampir tiga puluh menit dan Star masih tidak bosan memakan apel yang ada di keranjang. Bagi Star rasanya lebih sedap jika dimakan bersama seseorang, apalagi yang sekarang ini bersamanya adalah seorang yang dapat dibilang berjasa untuk hidupnya.
Si pangeran mungil anggukkan kepala dengar ucapan Graviel. Ia tatap wajah pria di sampingnya yang tengah memakan apelnya dengan tenang. Entah bagaimana, Graviel selalu berhasil buat Star kagumi parasnya. Rahang tegas, hidung nan mancung, manik bulan sabit, serta rambut hitam legam, berhasil buat sosok Graviel terlihat begitu tampan.
Bukan hanya di mata Star saja, karena pria mungil itu yakin banyak sekali yang akan kagumi paras si pemburu apabila tatap wajahnya.
Kerasa dengan tatapan dari si pangeran, Graviel menoleh dan keduanya bertemu tatap. Tak mengerti apa yang terjadi, keduanya justru pecah dalam tawa ketika manik keduanya bertemu.
Tak ada yang lucu, tapi mereka tetap tertawa bersama. Tak menyadari bahwa ada perasaan yang perlahan mulai tumbuh besar dalam diri mereka masing-masing kepada satu sama lain.
“Kamu masih mau di sini?” Graviel berikan tanya setelah tawanya reda. Ia tatap wajah manis Star yang istirahatkan kepalanya di batang pohon sembari pejamkan mata.
Mendengar itu, Star mengangguk dengan posisi yang masih sama, “Tempat ini nyaman. Aku suka.”
“Tapi daripada berdiam diri..” Graviel menggantung ucapannya, buat Star segera buka mata dan menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Si pria itu berdiri dari duduknya dan bersihkan jubahnya yang kotor oleh tanah. Ia ambil busur panahnya yang tergeletak dan mengangkatnya sedikit.
“Bagaimana jika aku ajari kamu buat memanah? Jadi nanti jika kamu ingin apel, kamu bisa ambil sendiri di sini.”
“Eh?”
“Hei! Yak! Bukan kaya gitu, Star!”
“Hei! Jangan asal dilempar!”
Teriakan frustasi Graviel terdengar beberapa kali kala melihat si pangeran lemparkan panahnya tapi tak pernah berhasil. Dan terakhir, pria aries itu justru letakkan busurnya ke tanah dan lempar panahnya dengan tangan. Ini berhasil membuat Graviel memijat keningnya, merasa frustasi.
Namun ketika Star malah membalikan tubuhnya dan berikan senyum lucu pada Graviel, Graviel mau tak mau langsung luluh. “Aku nggak tahu gimana caranya, waktu lihat kamu rasanya gampang. Waktu coba.. it's not like what i expected, hehe.”
“Sini kubantu.”
Graviel maju beberapa langkah hingga tubuhnya tepat dibelakang Star. Ia ambil busurnya di tanah dan meminta Star untuk memegang itu sedang ia memegang tangan si pangeran, mengarahkan arah tangan si pria manis agar dapat memanah objeknya dengan tepat.
“Kamu lihat pohon mana yang mau kamu panah. Waktu udah pas sama objek kamu, lepas panahnya kuat-kuat,” Graviel berkata, sembari gerakan tangannya yang berada di atas tangan Star.
Si pemburu tak menyadari bahwa seseorang yang sekarang berada di depannya itu kini tengah bersusah payah tahan nafasnya. Posisi Graviel sudah seperti memeluknya dari belakang, kulit mereka yang bersentuhan juga buat Star merasa malu. Namun Graviel tak menyadarinya.
“Kamu mau jatuhin apel yang itu kan?” Graviel arahkan tangan Star pada salah satu apel di pohon dan kemudian mengaba-aba pangeran manis itu, “Lepas!”
Sret!
Apel tersebut jatuh. Star lantas menoleh ke belakang —masih dengan kondisi wajah yang memerah sempurna— dan tatap Graviel yang tengah tersenyum.
“Sekarang coba sendiri.”
“Okay..”
Star dengan perlahan menoleh kembali ke depan dan tarik busurnya.
Namun, karena kepalang lemas sebab perilaku si pemburu tadi, bukannya menuju ke pohon apel, panah yang ia lepaskan justru membusur ke tanah dan jatuh tak jauh dari kaki mungil si pangeran.
“Hehehe, Gav, susah..”