Alaric Graviel

warn! mention of murder

Keduanya duduk diam di atas karpet rumah. Sedari tadi pandangan Star masih pada Graviel yang hanya tersenyum canggung.

“Jadi? Nama kamu yang sebenarnya?”

“Aric. Alaric Graviel.”

Star menghela nafasnya mendengar itu, pantas saja nama Graviel tidak asing, ternyata benar kata Hector bahwa Graviel adalah sebuah nama kerajaan dan kini ia tengah memijakkan kaki di sana.

Star ingat sekarang soal Graviel. Saat masih kanak-kanak, ia kerap kali dibawa oleh sang ayah untuk berkunjung ke kerajaan ini. Namun satu yang ia tahu dan begitu ingat, Kerajaan Graviel memiliki dua pangeran dan tak ada yang bernama Alaric diantaranya.

“Kamu sungguh pangeran Graviel, anak kandung Raja?”

“Kamu meragukanku?”

Star tak mau berbohong, ia mengangguk. “Aku tak pernah tahu ada nama kamu di daftar pangerannya.”

Grav— ah, bukan— Alaric, pria itu tersenyum mendengarnya. “Evan sama Alfredo. kamu pasti lebih sering denger nama mereka.”

Benar. Star mengangguk.

“Evan adalah kakakku, dan Fred, dia kembaranku. Alasan kamu nggak pernah dengar tentang aku adalah karena aku sempat tidak tinggal di Graviel.”

Star tatap wajah sendu Alaric dan kemudian genggam tangannya, tak peduli jika Aric mungkin merasa tidak nyaman, Star hanya ingin menenangkan. “Biarkan aku mengenalmu lebih jauh, Aric. Bolehkah?”

“Aku akan bercerita padamu,” dan itu Star anggap sebagai iya.


Tak ada yang menarik dari hidup Alaric. Jika menurut cerita ibunya dulu, ia dan ibunya sempat berada di hutan bagian tenggara —tempat dimana Grazweith berada— selama hampir lima belas tahun.

Entah wabah penyakit apa yang menyerang keduanya, yang pasti sang ibu berkata bahwa itu berbahaya bagi rakyat. Yang pasti saat itu, tempat yang mereka tinggali adalah hutan Grazweith. Rumah yang disediakan oleh raja dan ratu Grazweith adalah tempat dimana ia dan ibunya tinggal selama lima belas tahun hidupnya.

Ketika akhirnya ia dan sang ibu dibawa kembali ke Graviel, Alaric menolak untuk tinggal. Ia memilih untuk tetap berada dalam rumah di hutan tempat ia besar, hutan yang sudah menjadi rumahnya. Menjadi keluarga kerajaan adalah hal yang sangat Alaric jauhi kala itu. Ia sempat merasa kecewa pada keluarganya.

Mengapa saat ia diasingkan tak ada satupun yang memberi kabar atau sekedar mengirim surat?

Mengapa ia harus menahan semua kesakitan itu bersama sang ibu sementara mungkin saja kedua saudaranya hidup berbahagia di istana?

Alaric memang hidup dengan baik, namun kehangatan keluarga tak pernah ia rasakan selain dari ibunya.

Dan selama hidup di sana, Alaric diberitahu oleh sang ibu soal pria manis yang merupakan anak dari temannya.

Alastair.

Pria kecil itu dulu pertama kali dilihatnya saat ia masih berusia delapan tahun. Sosok seceria bunga matahari yang ditanam sang ibu di depan rumah mereka itu selalu buat Alaric tersenyum kala lihat tingkahnya.

Walau Alaric melihatnya dari jauh, ia selalu turut rasakan kebahagiaan si pria kecil yang ia kenal dengan nama Star itu.

Alaric tumbuh dengan belajar bahwa bahagia adalah sederhana. Seperti yang dilihatnya dari Star, dimana pria kecil itu dulu selalu tersenyum kala temukan rubah atau hewan lainnya, maupun berry-berry juga apel, Alaric jadi bersyukur atas keadaannya dulu.

Dan kebahagiaan pria taurus itupun sederhana. Melihat Star —si pria secerah bintang, yang dulu ibunya tunjuk sebagai anak temannya— bahagia, ia pun bahagia.

Maka dari itu Alaric selalu usahakan kebahagiaan Star meski dalam diam.

Contohnya disaat pria manis itu bersedih dan lari ke hutan dahulu, Alaric selalu mencari rubah dan mendekatkan rubah itu pada si pria manis. Atau di saat si pria manis menangis saat kepergian ibunya, Alaric berada di sana. Ia turut rasakan sedih. Maka, ia tinggalkan sekeranjang apel tepat di depan jendela kamar pria manis itu.

Star tak menyadarinya selama ini.

Pun ketika akhirnya ia memutuskan untuk bekerja untuk istana —karena merasa bosan. Menjadi pemburu hewan di hutan dan membawanya ke istana untuk dihidangkan.

Alaric, walau ia telah sembuh dari sakitnya, tak pernah mencoba untuk mendekati Star.

Hingga akhirnya takdir bermain.

Ia mendapat tugas untuk membunuh si pangeran yang selama ini ia jagai. Alaric tentu tahu dengan begitu baik perangai Selir juga istrinya. Alhasil ia setuju untuk melakukannya dan melindungi pangeran manisnya.

Alaric tak akan pernah mau jika bintangnya kehilangan cahaya yang selama ini selalu ia tunggu-tunggu terangnya.

Dalam diamnya ia selalu lindungi Star, ia dibantu oleh kembarannya untuk mematai semua rencana ratu. Tak ada yang lebih membahagiakan dari keberhasilannya untuk jagai si pria manis itu saat ini.

Dan pria pemburu sekaligus pangeran kedua dari Graviel itu justru mendapat balasannya disaat ia tak mengharapkan apapun. Ia berhasil buat si pangeran jatuh cinta akan tingkahnya.

Takdir sebelumnya memang jahat bagi Alaric. Namun sekarang Alaric sadari. Semua itu bawa sebuah kebahagiaan yang tiada taranya di masa sekarang.


“Jadi kamu yang waktu itu kirim apel di depan jendela aku? Waktu ibunda tiada?”

“Iya, kamu benar.”

Sedetik kemudian, Alaric dapat sebuah pelukan dari Star. Pria manis itu menangis dalam pelukan si pangeran kedua. Dalam hatinya ia bersyukur ia memiliki sosok yang selalu jagai ia dalam diam.

Ia juga tak lupa ucapkan banyak syukur sebab sosok yang dimaksud Alaric tempo hari adalah dirinya. Sosok yang dicintai Alaric dengan sangat.

“Thank you, Aric. Hiks!”

“Hei, Hei kenapa malah nangis?” Alaric tertawa kecil, ia jauhkan tubuh Star dari pelukannya dan tangkup kedua pipinya.

Ini tidak adil, Alaric membatin dalam hati. Bahkan ketika Star menangis, dirinya masih tetap bersinar secerah bintang.

“Aku.. aku.. hiks!”

“Yakk! Hahahaha,” Alaric usak kepala si pria manis dengan gemas. Keadaan disana hening setelahnya, hanya ada suara Star mencoba menghentikan tangisan.

Lantas, setelah tangisnya berhenti, Star mendapar satu pertanyaan di kepalanya, “Aric.”

“Hm, ya?”

“Kamu udah kembali ke istana Graviel, diperkenalkan ke semua orang?”

Alaric mengangguk, “Kemarin lusa. Waktu kamu tanya aku main ke rumah ini atau enggak, makanya aku jawab ngga bisa.”

“Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak daridulu aja kamu diperkenalkan? Kamu juga butuh keadilan kan?”

“Jujur aku nggak mau karena enggak nyaman. Tapi setelah aku pikir. Ada baiknya juga diperkenalkan, jadi aku setuju.”

Star mengernyit. Tentu saja diperkenalkan ke semua orang sebagai pangeran adalah hal yang baik. Pangeran macam apa yang mau menyembunyikan dirinya dari para rakyat?

Paham kebingungan Star, Alaric pun melanjutkan. “Aku itu nggak suka dikenal banyak orang. Aku lebih suka diam aja, aku bakal selalu penuhi tugasku dalam diam. Tapi akhirnya aku mau karena..” Alaric berhenti sejenak sebelum melanjutkan,

“Karena aku nggak mau kamu —yang secerah bintang dan seceria bunga matahari— menikah dengan orang yang hanya dikenal sebagai pemburu,” Alaric tersenyum kala Star berikan tatap tak paham.

“Aku mau menikahi kamu. Makanya aku memperkenalkan diri, supaya suamimu nanti memiliki status yang jelas. Kamu mau kan?”

“Eh? Apa?” Star membelalakkan mata mendengar pertanyaan itu. Rasanya kupu-kupu berterbangan di perutnya kala mendengar kata suami juga menikah keluar dari mulut Alaric.

“Iya. Apa kamu mau menikah sama aku, Star?”