Baby Illie
Tidak akan ada yang tahu seberapa bahagianya Arasy ketika Keane menghampirinya yang telah memasak tadi dan berkata bahwa sang adik —Baby Kaylee atau yang biasa mereka panggil Baby Illie — berhasil menopang tubuhnya dengan kedua kaki.
Gadis kecil itu berdiri dengan kedua kakinya walau masih berpegangan pada kaki sang ayah.
Arasy segera tanggalkan masaknya dan masuk ke dalam playroom milik Keane —yang sekarang juga menjadi milik Kaylee. Ia memekik senang ketika melihat si bayi berusia tujuh bulan itu berdiri sambil memeluk kaki Sean.
“Kapan tadi mulai bisa berdiri?”
“Barusan aja, tadi kakak baru mau nyusul kamu ke bawah bentar. Terus Keane nya teriak ternyata berdiri itu si baby. Tadi hampir jatuh, cuma waktu kakak baru lari mau tangkep eh dianya udah duluan peluk kaki kakak.”
“Gemes banget!” Arasy memekik. Membayangkan bagaimana Kaylee memeluk kaki daddynya yang panik saat gadis kecil itu hampir jatuh. Ia angkat tubuh kecil si bayi ke dalam gendongan dan mengecup pipinya gemas.
Beberapa minggu terakhir memang si bayi sudah ingin berdiri, namun selalu Arasy yang menopangnya. Namun hari ini, ternyata Kaylee biaa berdiri sendiri. Tentu Sean, Arasy, bahkan Keane bahagia melihatnya.
Keempatnya berakhir di ruang bermain. Keane yang sibuk bermain dengan Kaylee dan Sean juga Arasy mengawasi. Sebenarnya Arasy sudah mau kembali, namun Sean menahannya. Meminta suami manisnya itu untuk bermain di sana saja —mumpung Sean juga mendapat hari libur.
Toh, makanan bisa mereka pesan dari luar nanti.
“Eh, sayang. Kakak dapet telpon. Kakak angkat dulu, ya?”
Arasy mengangguk. Sean segera berdiri dari duduknya dan menuju ke balkon playroom untuk mengangkat telpon dari Kalan. Pasti mengenai pekerjaan, begitu batin Arasy.
Lelaki manis itu menatap kedua malaikat tersayangnya yang tertawa riang. Namun baru saja Arasy mau memotret momen keduanya, ia justru dikagetkan dengan tangisan putrinya.
Segera ia berdiri dan menghampiri keduanya. Ia peluk putri kecilnya sembari elus surai hitamnya dengan sayang. “Keane ini tadi gimana kok bisa nangis? Sampai duduk depan box gini?”
“Ini papi, tadi papi tahu kan kita jalan ke deket boxnya Illie. Terus waktu Keane mau arahin Illienya balik ke tempat papi malah Illie lari terus jatuh. Maaf ya, papi?”
“Ya Tuhan, sayang.. ngga perlu minta maaf ya? Keane ngga salah. Hei, berhenti nangisnya ya? Illie kan pinter?” Arasy membujuk si gadis kecil. Ia tepuk-tepuk punggung Kaylee dengan sayang.
“Kit! Hiks,” (Sakit! Hiks) si gadis kecil justru makin menangis di pelukan Arasy. Manja.
Arasy sudah mengecek seluruh tubuh gempal si gadis dan leganya, ia tak temukan luka di sana. “Nggak ada yang merah atau yang luka kok, kaget ya illie ya?”
“Hiks!”
“Illie maaf..”
“Sssh, Keane ngga salah kok. Jangan minta maaf okay?”
“Kenapa ini Illie kok nangis?” Sean yang baru kembali dari mengangkat telpon segera angkat Kaylee ke dalan gendongan. Sementara Arasy langsung bawa Keane dalam pelukan. Tak mau rasa bersalah si lelaki kecil justru makin bertambah lihat adiknya makin menangis di pelukan sang daddy.
“Jatuh, dad.”
Sean memandang Kaylee khawatir, ia kecup pipi gembil putrinya yang memerah. “Mana yang sakit hm?”
Si gadis kecil tak menjawab dan makin terisak. Arasy sendiri bukannya khawatir malah menjadi gemas. Dasar manjanya daddy, begitu katanya dalam hati.
“Kamunya ngga ngelihatin ya tadi? Kok jatuh?” Sean yang sudah ambil duduk di dekat Arasy bertanya.
Mendengar itu tentu Arasy sedikit tersinggung, “Ya aku lihatin daritadi. Tapi baru mau aku foto tadi, akunya buka hape eh malah jatuh.”
“Makanya jangan kebanyakan main hapenya sayang, kalau lagi jaga anak-anak.”
Arasy menaikkan alisnya mendengar ucapan Sean. “Aku cuma mau foto mereka terus aku simpen di galeri hape. Emang salah? Aku juga ngga main yang lain, Kak. Cuma mau foto aja.”
“Biasanyakan kamu upload twitter dulu.”
Arasy kesal. Tentu saja. Ia memang suka menaruh foto-foto anak anaknya di aplikasi itu. Karena itu memang kebiasaannya. Tapi tadi Arasy baru mau membuka ponselnya untuk memotret dan Kaylee jatuh. Apakah salah? Arasy bahkan tidak tahu bahwa si gadis kecil lepas dari gandengan sang kakak.
Soal meng-uploadnya pada twitter, Arasy tidak berniat untuk itu. Arasy memang suka. Namun ia tahu disaat seperti apa ia dapat meng-upload foto-foto sang bayi dan di saat apa ia tidak bisa.
Dengan Sean berkata seperti itu, Arasy justru merasa tersinggung. Secara tidak langsung sang suami seakan menyalahkannya.
“Ya Rasie juga tahu kali kak harus upload waktu kapan. Kalau kaya gini juga, waktu Illienya masih belajar jalan ya Rasie gabakal upload. Rasie tadi baru mau buka hape terus Illie jatuh. Emang Rasie tahu kalo Illie mau jatuh? Enggak.” Arasy menatap Sean.
“Tapi kakak udah bilang kan sama kamu, sayang? Kurangin main hapenya.”
“Rasie udah ngurangin, Kak Se. Udah. Rasie cuma mau potret anak anak aja biar bisa jadi kenang-kenangan, emang salah?” Ia berkata sedikit menaikkan nada. Sadar bahwa mereka berdebat di hadapan Keane juga Kaylee, Arasy mendengus. Bahkan Kaylee sudah berhenti menangis dan menatap kedua orang tuanga bingung.
“Keane lepas dulu ya sayang? Papi mau masak,” ia berkata pada Keane di pelukannya yang langsung dituruti. Lelaki kecil itu takut melihat wajah sang papi.
“Aku tahu, harusnya aku jagain anak-anak tadi ngga usah pakai foto-foto. Maaf, akunya ngga becus jaga Kay,” ucapnya. Segera Arasy berdiri dan meninggalkan ketiganya di sana.
Arasy sedikit merutuki sifatnya yang mungkin kekanakan seperti ini, tapi tetap saja, Arasy tidak suka dengan ucapan Sean.
“Dad, papi..”
Menyesaku ucapannya pada lelaki tercintanya, Sean memijat keningnya pusing, “Maaf Keane sama Illie harus lihat dad sama papi berantem. Dad khawatir tadi lihat Illie nangis.”