Duka

Arasy tak dapat berkata-kata dikala Sean memberitahunya apa yang terjadi. Ia masih berada di ruang perawatan, sebab tadi sempat pingsan akhirnya dokter menyarankan agar Arasy tinggal di rumah sakit untuk semalam.

“Sayang,”

Mendengar panggilan lembut dari Sean, Arasy yang tadinya menunduk menoleh menatap tepat pada mata sang suami. Sean mungkin terlihat baik-baik saja, tapi Arasy tahu mata lelaki itu berkata lain. Ada luka yang lelaki itu tak pernah suarakan demi dirinya, demi kebahagiaannya.

“Kak Se, hiks!”

Sean berdiri dari duduknya, ia bawa Arasy dalam pelukan, mengelus kepalanya dengan sayang, “Sayang, kita nggak bisa ngelawan yang namanya takdir dari Tuhan, sayang. Baby pergi karena Tuhan lebih sayang sama dia,” Sean berkata, namun itu tidak menenangkan Arasy sama sekali.

Bagaimana perasaan orang tua ketika kehilangan anaknya? Sakit.

Arasy ingin meminta maaf berkali-kali kepada Sean, kepada bayi yang masih ada di kandungannya, kepada bayinya yang gugur. Arasy ingin ucapkan sebanyak mungkin kata maaf pada mereka.

Maaf kepada Sean karena dia selalu merepotkan, membuat lelaki itu selalu sibuk dan maaf kepada bayi yang berada di kandungannya karena ia kehilangan saudara kembarnya, juga maaf kepada bayinya yang gugur karena ia tak dapat melihat dunia, merasakan kehangatan dan cinta dari semua orang tersayangnya.

Arasy ingin meminta maaf kepada semuanya, sebab ia tak bisa menjaga titipan dari Tuhan dengan begitu baik.

“Sayang,” panggil Sean sekali lagi, ia menangkup pipi Arasy dan menghapus air mata lelaki itu.

Dan saat itu pula Arasy bertemu tatap dengan Sean lagi, ia menemukan semua kesedihan dari mata Sean. Sarat sedih dan kelelahan sangat terlihat di netra suaminya.

“Maaf Kak Se, maafin Rasie. Rasie nggak bisa jaga baby baik-baik. Hiks!”

“Sayang, bukan kamu yang nggak bisa jaga baby baik-baik. Kamu udah jaga mereka dengan baik,” Sean berkata, menghapus air mata yang keluar dari mata Arasy, “Tapi sekali lagi sayang, kita nggak bisa ngelawan takdir Tuhan, kalau Tuhan bilang pergi, maka memang kita harus pergi. Rasie itu papou yang hebat, ya? Nggak boleh sedih lagi, baby diatas sana pasti sedih lihat papounya nangisin dia.”

Arasy melepas kedua tangan Sean dari pipinya dan kemudian menaruh kepalanya di pundak milik Sean, “Baby pergi... Baby di perut Rasie nggak punya temen sekarang.. Padahal Rasie udah bayangin mereka main bareng nanti, recokin aku sama kakak berdua..” lirihnya membuat hati Sean serasa tercubit.

Sean pun sama sebenarnya, ia sudah membayangkan banyak hal yang dapat ia lakukan dengan bayi-bayinya, ia membayangkan saat ia pulang kerja nanti kedua bayinya akan berlari, memeluk kakinya satu satu menghilangkan rasa lelahnya.

Namun sekali lagi, Sean tak bisa melawan apa yang sudah ditulis sebagai takdirnya.

Jika ia memang kehilangan maka ia harus ikhlas, Sean tahu akan ada rencana yang akan lebih baik lagi nantinya

Kalau boleh jujur, Sean pun sedih, hatinya berduka. Ia ingin menangis bertanya kepada Tuhan kenapa ada saja cobaan yang datang di keluarga mereka sekarang. Namun ia juga ingat bahwa ia memiliki Arasy yang lebih rapuh darinya, yang pasti akan merasa sangat kehilangan.

Belum lagi diagnosis dari dokter yang berkata bahwa kemungkinan besar kandungannya akan berdampak pada bayi mereka yang lain juga Arasy, buat keduanya makin sedih.

“Rasy, sayangnya mama..”

Arasy menjauhkan wajahnya dari pundak Sean kala mendengar suara ibunya. Melihat kedua orang tuanya mendekat, ia merentangkan tangan, meminta peluk dari keduanya.

Sedangkan Sean menghampiri ibunya, dan mendapat sebuah pelukan dari sang mami. “Mami..”

“Mami tahu Sean kuat ya? Papi pasti lagi jagain anak kamu di sana. Papi pasti seneng bisa ketemu cucunya. Tugas kita disini sekarang cuma lanjutin masa depan, Sean. Kamu sama Rasie, hidup kalian masih panjang. Jangan terpaku sama kehilangan ini, kalian harus terus maju.”

Mendengar bisikan sang mami, Sean menangis dalam diam di pelukan ibunya. Selain pelukan dari Arasy, pelukan ibunya lah yang ternyaman bagi Sean. Lelaki itu merasa lebih tenang.

“Papa, Rasie mau pulang ke rumah papa mama..”

Mendengar gumaman itu Sean melepas pelukannya setelah sebelumnya menghapus air mata — ia tak akan biarkan Arasy melihat air matanya —

“Loh kenapa? Kan Rasy harusnya sama suami Rasy?”

Arasy melirik Sean yang tengah menatapnya kemudian kembali menatap ibunya dan menggeleng. Ia merasa bersalah melihat Sean. Sakit rasanya melihat netra lelaki itu. Ia telah melakukan banyak kesalahan pada suaminya.

“Rasie mau pulang.”

Sang mama menatap Sean yang hanya tersenyum dan mengangguk, “Nggak papa mama, nanti kalo Sean kangen Rasie, Sean ke rumah mama. Biar Rasienya tenang dulu.”

Sean mendekat kearah Arasy dan mengecup sekilas pelipis lelaki manis itu, “Sembuhin dulu sakit kamu ya, sayang? Kakak nggak papa. Tapi nanti Rasie harus inget kalo Rasie masih punya kakak yang selalu tunggu Rasie, ya?” ucapnya kemudian menaruh tangannya di perut Arasy dan mengelusnya pelan.

'putri atau putra daddy di dalam sana, bilang sama papou jangan sedih ya? Saudaramu pasti udah ketemu sama grandpa disana' katanya dalam hati.

Kembali Sean mengecup puncak kepala Arasy baru setelahnya berdiri tegak. “Aku ke rumah dulu ma, pa, mi, mau ambilin baju Rasie. Rasie pasti ngga bawa baju banyak ke rumah mama kemarin kan?” katanya kemudian keluar dari kamar rawat milik Arasy.

Meninggalkan Arasy yang menatap punggung tegapnya dengan tatapan penuh arti.

Punggung tegap itu menanggung beban yang begitu banyak. Namun tak pernah sekalipun Arasy melihat lelaki itu mengeluh lelah di hadapannya.


Sean duduk di kursi penumpang, di samping Kalan yang berada di kursi kemudi sedari tadi.

“Lo oke?”

“Gue kehilangan anak gue dan lo masih tanya gue oke apa nggak? Rasie jauhin gue dari kemarin, lo pikir gue oke? Nggak, Lan,” kata lelaki itu, menyandarkan kepalanya pada kursi. Memijat keningnya yang terasa sakit.

“Sean..” Kalan, lelaki itu tahu. Sean adalah sahabatnya sedari mereka berada di sekolah menengah. Segala keluh kesah Sean, Kalan tahu semuanya.

“Jalanin aja mobilnya, gue nggak papa.”