Lunch with Rasie
“Kakak, ditaruh dulu handphone-nya, ih! Sini makan!”
Sean yang tengah memainkan ponselnya mendongak, menatap Arasy yang sudah lengkap dengan apron dan juga spatula di tangan. Lelaki manis itu memang sudah memasak untuk lauk makan siang, namun setelah Sean sampai di rumah, tiba-tiba Arasy bilang ia ingin membuat cupcake untuk Sean.
“Kamu juga jangan buat dulu cupcakes nya. Belum makan nasi kan? Sini kakak suapin sekalian,” ucap Sean sambil duduk di salah satu kursi meja makan, memperhatikan Arasy yang mengambilkan lauk pauk untuk ditaruh ke piringnya.
“Hei, kok dikacangin?”
Arasy merenggut kala Sean menarik hidungnya, “Kak Se! Kan Rasy lagi fokus naruh makanan, ih!” katanya, memukul telapak tangan Sean yang kini sudah berada di atas meja.
“Makanya kalo suami ngajak kamu ngomong tuh jangan dikacangin.”
“Kak Se nyebelin banget ternyata yah!” serunya sambil menatap Sean sinis.
Selama ini, Arasy tak pernah merasakan ini, ia tak pernah berada di dekat Sean selama berminggu-minggu lamanya.
Dan satu yang Arasy baru tahu, kakak kesayangannya ini memiliki sifat usil yang buat dirinya selalu ingin melayangkan pukulan – apabila tidak ingat bahwa lelaki jangkung itu adalah lelaki yang sudah mengucap janji dengannya di hadapan Tuhan, yang berarti lelaki itu ialah suaminya.
Atau mungkin.. Arasy seperti ini karena bayi yang tengah berada di perutnya, ia tak bisa mengendalikan emosinya dengan baik.
“Yaudah, yaudah, maaf ya sayang? Sini duduk sebelah kakak. Kakak suapin, mau?”
Masih dengan merenggut sebal, lelaki manis itu duduk di sebelah Sean. lengkap dengan apron yang masih terpasang di tubuh rampingnya.
Usia kandungannya masih sekitar 6 minggu, omong-omong.
“Mau di suapin, hm?”
Arasy tidak mengangguk ataupun menggeleng, lelaki manis itu hanya membuka mulutnya, ia melantunkan A panjang, sebagai isyarat bahwa ia menerima suapan dari Sean. Perilakunya ini berhasil buat Sean gemas sendiri.
“Kak Se,” Arasy memanggil setelah ia mengunyah makanannya, buat Sean menghentikan suapan.
“Hm?”
“Buat cupcakes bareng Rasy, yuk?”
“Eh?” Sean menatap jam yang melingkar di tangannya, dan dengan begitu saja, Arasy paham kalau suaminya memiliki kegiatan penting setelah ini.
Sebenarnya sih, Arasy sangat ingin bisa masak berdua bersama Sean, namun ia tak mau membuat lelakinya harus repot. Walau Sean sudah kembali, lelaki itu kan juga punya kewajiban di perusahaannya, dan Arasy rasa, Arasy tak punya hak untuk meminta Sean libur sejenak dari kantor.
Lelaki itu pasti sudah melakukan banyak untuknya, dan Arasy tak mau membuat Sean makin repot karena permintaannya. Toh, tadi Sean kembali kan juga hanya untuk makan siang.
“Eum.. Ngga jadi deh, heh. Kak Se berangkat aja ke kantor. Nanti waktu pulang cupcakes nya tinggal di makan,” katanya tersenyum.
“Rasie?”
“Rasie tau Kak Se sibuk kok, engga deh, jangan tinggalin kerjaan kakak demi keinginan Rasie, Rasie tahu kerjaan kakak lebih penting,” ucapnya menunduk, menghindari tatapan mata Sean.
“Sayang,” Sean memanggil, ia tangkup kedua pipi Arasy dan mengelusnya lembut, membawa wajah lelaki manis itu untuk menatapnya. “Kata siapa? Siapa yang bilang kalau kerjaan kakak lebih penting daripada kamu?”
Jujur saja, hati Sean sakit. Sudah setahun lebih ia menikah dengan Arasy, namun ia tak pernah berhasil buat lelaki manisnya percaya. Entah sudah berapa kali Arasy memendam semuanya sendiri, soal kesibukan juga pekerjaannya, Arasy selalu berkata tidak papa, padahal Sean tahu bahwa Arasy tidak pernah baik-baik saja dengan kesibukannya.
Pun, Sean juga telah berjanji pada dirinya sendiri, juga pada Arasy, bahwa ia tak akan sesibuk itu lagi. Sean memiliki tanggung jawab lain selain pekerjaannya. Ia pun juga harus menjadi suami juga ayah yang baik untuk Arasy. dan calon anak-anaknya.
“Kak Se, Rasy paham kakak sibuk, kakak udah bangun semuanya dari awal, dan Rasy ngga bisa egois.”
“Rasy, sayang. Kamu nggak egois hanya karena minta kakak, suami kamu, buat nemenin kamu di rumah. Justru kakak yang egois selama ini, sayang. Kakak selalu pentingin pekerjaan kakak, jarang pulang, dan bikin kamu jadi nggak percaya sama kakak kaya gini. Maaf.”
“Aku percaya Kak Se!”
Sean tersenyum, ia majukan wajahnya dan kecup kening Arasy, “Kalau gitu percaya juga sama ucapan kakak kalau kamu lebih penting dari semua pekerjaan kakak, ya? Keluarga kecil kita, kakak, kamu, juga calon bayi-bayi kita, itu semua paling penting buat kakak.”
“I love you..” cicit Arasy kala mendengar Sean. Lelaki manis itu melingkarkan lengannya ke perut Sean, menenggelamkan wajahnya di dada lelakinya.
“I love you more, sayang.“
Sean balas peluk Arasy, ia mengecup puncak kepala suaminya berkali-kali, menunjukkan seberapa sayang dirinya akan Arasy.
“Kakak nggak akan berangkat lagi, ya? Kita masak bareng, mau?”
“KAK SE SERIUS?”
“Serius dong, jadi kakak perlu ngapain nih, Sayang?”
“Nanti Rasy kasih tahu di dapur, hehe. Ayooooo!” Arasy menarik tangan Sean untuk menuju dapur.
Membuat lelaki itu kelabakan dan mengambil ponselnya di meja sebelum tubuhnya tertarik oleh Arasy ke dapur.
“Sabar, sayang, sabar, aduh. Kakak kabarin Kalan dulu kalo kakak nggak balik ke kantor.”
“Oh iya, Kamu sama kakak juga belum makan hey! Ayo makan dulu!”
“Hehehehe, oh iyaa! Lupa Rasy nyaa!”