Phone Call

“Hart.. angkat gue please.”

Audey bergumam sedari tadi, menunggu teleponnya terhubung. Sesekali lelaki aries itu menghapus air mata yang keluar dari matanya.

Hal—

“Hart! Gue— Gue nggak tahu mau ngapain lagi.” Begitu nada sambung yang terdengar di telepon tak terdengar lagi, Audey langsung berbicara. Pikirannya terlalu kalut, segala curahan hatinya yang ia kirim di chatroomnya dengan sang ibu tidak diindahkan oleh wanita yang melahirkannya itu.

Kenapa harus Audey yang mengalami ini semua?

“Gue capek, Hart. gue mau pergi aja yang jauh dari mama, papa, sama kakak. Gue capek.”

Sembari sesenggukan, Audey mengambil telepon rumahnya yang berada di nakas dan membawanya ke pojok ruangan.

Lelaki manis itu duduk di sana, meringkuk, sembari menekuk lututnya untuk dipeluk dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang gagang telepon yang tersambung dengan kabel pada badan teleponnya.

“Hart, barusan mama ngechat gue lagi. Dia minta uang lagi buat kakak gue. Gue nolak awalnya.. tapi mama malah bawa bawa soal pendidikan gue lagi. Gue capek baca itu semua, Hart.”

Audey menghela nafasnya, sedikit heran mengapa Hart tak menenangkan dirinya seperti biasa. Namun ia tak mengindahkan rasa bingungnya. Ia ingin mencurahkan semua perasaannya, pada seorang yang mengerti akan dirinya.

“A-akhirnya.. Gue keluarin semua keluh kesah gue ke mama. Gue bilang gue kangen sama mereka, gue bilang gue kangen sama semua afeksi mereka ke gue. Gue bilang gue mau capai mimpi gue. Toh, tanpa gue kuliah, tanpa gue masuk ke perguruan tinggi gue bisa kan?” Audey berhenti sejenak menghapus air matanya.

“Gue bisa sukses, gue bisa buktiin kalau tanpa nilai yang bagus gue pun bisa ada di titik ini sekarang. Sama lo, sama temen-temen gue. Tapi kenapa mama papa nutup mata soal itu? Kenapa mereka benci sama gue, Hart? Padahal selama ini gue juga banyak kirim uang ke mereka. Gue— gue nggak paham.”

Seluruh ucapan ibu dan ayahnya saat ia dibandingkan dengan kakaknya soal betapa pintar kakaknya kembali terngiang di telinga Audey. Kemarahan ayah dan ibunya saat ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi demi mencapai mimpinya berputar di kepalanya bagai kaset rusak.

Audey tidak paham. Siapa yang salah disini? Dirinya? Ayah ibunya? Atau mungkin kakaknya?

Audey tidak mengerti harus menyalahkan siapa. Ia hanya mau mencapai mimpinya, dan ia sudah buktikan pada kedua orang tuanya bahwa ia bisa.

Namanya sudah mulai di kenal oleh banyak orang, dan ia bahagia.

Ia berpikir, adakah setidaknya sedikit rasa bangga dalam diri ayah dan ibunya untuk dirinya? Adakah rasa bangga dalam diri mereka kala melihat Audey diatas panggung, kala ia bernyanyi dengan bebas diiringi sorakan orang-orang pendukungnya?

Audey lelah dibandingkan dengan kakaknya. Bukankah setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing? Ini pilihan Audey, dan Audey sudah berhasil sampai di titik ini. Apakah masih perlu ia dibandingkan sebab ia tidak sepintar kakaknya?

“Gue capek, Hart. Gue capek hidup dibawah kepinteran kakak gue. Gue capek hidup dibawah ekspetasi mereka bahwa gue bakal lanjut ke perguruan tinggi dan jadi pinter kaya kakak.”

Audey berhenti berbicara, ia mulai merasa bingung sebab tak mendapat respon apa-apa dari seberang. Menghapus seluruh air matanya, Audey mulai berbicara kembali dengan suara seraknya, “Halo?”

Dapat Audey dengar seseorang di seberang berdehem. “Ekhem, iya, hai, sorry.”

Audey tertegun. Yang ditelponnya bukanlah Hart.

“Hart..?”

Gue bukan Hart. Maaf karena gue nggak nyela lo dari tadi, gue nggak enak waktu lo nangis kaya gitu, dan gue juga nggak enak matiin telpon gitu aja. Juga, I'm sorry you had to go through all of that.”

Audey memejamkan matanya, ia malu. Dengan pelan ia pukul kepalanya dan memaki dirinya sendiri dalam hati, 'Adey bodoh!'

Lelaki aries itu berdehem canggung, “Ekhem, maaf, gue nggak sadar gue salah sambung. Maaf ya.”

Dapat Audey dengar lelaki di seberang sana terkekeh ringan, “Harusnya lo nggak usah minta maaf. Gue nggak papa dengerin semuanya kok. Lo nggak papa?” ketara sekali nada kekhawatiran di sana.

“Eum..”

Oh iya gue bodoh banget. Aduh maaf, pertanyaan gue salah banget, ya?

Audey tak tahu harus mengucapkan apa pada lelaki itu. Tapi sepertinya ia harus berterima kasih sebab lelaki di seberang teleponnya itu membuatnya tertawa sekarang.

“Gue nggak papa kok. At least, gue harus terlihat nggak papa. Iya kan?”

Hening. Audey terkekeh sebelum memutuskan untuk membuka percakapan lagi.

“Btw, kayanya nggak sopan deh kalau kita gini tanpa tahu nama satu sama lain.”

Lelaki di seberang berdehem singkat. Audey tersenyum mengetahui bahwa lelaki itu tengah menyembunyikan rasa malunya.

“Gue Audey, Audey Grayvesone.”

Dan setelahnya Audey dapat dengar sesuatu terjatuh dari sana. “Hey, lo nggak papa?” tanyanya lagi.

Bentar. Bentar. Lo Audey? Audey Grayvesone? Dari AL Entertaiment?

“Lo kenal gue?”

Lelaki di seberang sana menggumamkan 'oh my god' sebelum akhirnya kembali berdehem.

Astaga, siapa sih nggak kenal lo?

Okay. Sekarang Audey sedikit merasa takut apabila lelaki diseberang itu akan menyebarkan soal keluarganya setelah ini. Mengingat Audey menceritakan hampir semua keluhannya di telpon tadi.

Bagaimana jika orang yang sekarang di teleponnya ini adalah penggemar yang memiliki obsesi berlebihan pada dirinya? Atau mungkin malah salah seorang dari anggota papparazzi yang suka menyebar kehidupan pribadi para idolanya?

Mengetahui sebab Audey terdiam, lelaki di seberang kembali berkata, “Tenang aja, gue nggak akan sebar, gue masih waras buat mikir kalo setiap public figure punya persoalannya masing-masing. Gue cuma nggak mengira aja lo melalui itu semua, Audey. Lo hebat.

Audey merasakan relung hatinya menghangat. Pertama kalinya ia mendengar itu secara langsung selain dari Hart. “Gue.. belum tau nama lo.”

Gue rasa lo kenal gue, deh. Gue Ambrosius Gideon, member Breve. Kita pernah ketemu beberapa kali di music show.

“Gideon.. Gad?!”

Iya itu nama panggung gue.” Lelaki itu terkekeh. Sedang Audey masih menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia sedikitnya bersyukur bahwa member Breve itulah yang menerima teleponnya.

Btw.” Mendengar lelaki di seberangnya berbicara, Audey menegakkan tubuhnya mendengarkan.

Lo butuh orang buat dengerin lo?

Audey mengangguk, yang tentu saja tak dapat dilihat oleh Gideon di seberang. “Emang kenapa?” tanya lelaki aries itu.

Lo bisa berkeluh kesah ke gue, Audey. Gue tahu lo punya Hart Hart itu buat lo curhat. Tapi gue bersedia kalau lo butuh seorang yang lain buat cerita.

“Huh?” Lelaki diseberang telponnya itu terkekeh mendengar ucapan bingung Audey.

Sini kasih ID lo ke gue, Audey. Ayo kenal lebih deket lagi. Ekhem, maksud gue— ayo temenan.