My Thought(s) About You

Antara mereka kini terasa hening. Sejak Sean mengajak Arasy untuk pulang bersamanya, entah bagaimana keadaan diantara mereka menjadi begitu canggung.

Tidak dipertemukan dan berbicara sampai seminggu lebih membuat mereka sedikit canggung. Ah bukan Sean yang canggung, hanya Arasy tepatnya.

Arasy rindu Sean, Arasy rindu lelakinya. Namun semua rasa bersalah juga kehilangannya membuat ia ingin menutup dirinya sendiri. Terbiasa dengan menyimpan segalanya sendiri membuat Arasy merasa sulit untuk mengungkapkan segala keluhannya.

“Sayang.” Arasy menoleh. Sean tersenyum lembut dan menghapus sisa air mata di pipi Arasy.

“Kakak boleh cerita sekarang?”

Dengan kaku Arasy mengangguk. Mempersiapkan hatinya untuk mendengar segala keluh kesah dari suaminya yang mungkin saja makin membuatnya merasa bersalah.

“Kehilangan. Kamu tau? Kakak sudah dua kali mengalami kehilangan. Sosok papi juga anak kita.”

Arasy tercekat. Benar, Sean kehilangan sang ayah beberapa bulan yang lalu.

“Kalau boleh jujur, sayang. Kakak benci kata itu. Kakak benci kalau harus berpisah sama orang yang kakak sayang. Kakak akan lebih memilih mereka pergi meninggalkan kakak ke tempat yang lain dan bukan ke sisi Tuhan. Setidaknya kakak masih bisa melihat mereka bahagia, melihat senyum mereka. Tapi enggak, bukannya itu yang selama ini kakak alami, tapi kakak justru dihadapin sama kehilangan yang lain. Yang maksa kakak buat merasa ikhlas biarin mereka bahagia di dunia mereka yang lain.”

Arasy terdiam mendengarnya, ia tatap Sean yang masih tersenyum menatap dirinya. Bagaimana bisa?

Benar, apabila dipikir oleh Arasy, Sean pun sama lelah dengan dirinya. Tapi bagaimana bisa lelaki itu menunjukkan bahu tegarnya di hadapannya? Bagaimana bisa Sean menguatkan dirinya disaat Sean pun juga sama terlukanya?

Dan bagaimana bisa Sean selalu sabar dan tetap menghadapi dirinya yang seperti ini disaat dirinya pun juga dilanda rasa lelah yang tak dapat dideskripsikan oleh kata-kata?

“Kak Se.. jangan senyum, hiks! Kakak bisa nangis kalau kakak mau.”

“Kakak udah capek nangis sayang. Toh, air mata kakak nggak akan bawa mereka semua kembali dan justru buat kamu sedih.”

“Tapi nangis bikin kakak lega.”

Sean mengambil tangan Arasy dan mengecupnya. Tepat pada tanda lahir miliknya. “Lihat kamu di sini, di sebelah kakak, udah cukup bikin kakak lega, Rasy.”

Setelahnya Arasy terisak. Sean begitu mencintainya. Perkataan lelaki itu benar adanya, Sean memberikan Arasy seluruh dunianya.

“Maafin Rasy, Kak Se..”

“Nggak ada yang perlu dimaafin, sayang.” Sean tersenyum lembut. Ia memberikan kecupan pada puncak kepala Arasy.

“Tapi.. kerja sama kakak.. gagal..”

Sean membulatkan mata, Arasy tahu soal itu? Soal gagalnya kerja sama yang sudah ia kerjakan begitu lama?

“Kamu tau?”

“Rasie denger. Maaf ya Kak Se, kalau Rasie ngga cerita ke mami waktu itu, pasti kakak masih dapet kerja samanya.” Arasy menunduk

Sean menghela nafasnya, ia kemudian dengan lembut ia tangkup pipi kanan Arasy dan bawa lelaki itu menatapnya.

“Karena itu kamu nggak mau cerita ke kakak? Karena itu kamu takut mau cerita?”

Diamnya Arasy, membuat Sean paham. Iya, itu salah satu alasannya.

“Kakak juga bohong sama Rasie.”

“Maaf, waktu itu kakak nggak mau buat Rasie kepikiran. Apalagi Rasie habis nangis. Kakak nggak suka lihat Rasie merasa bersalah.”

“Tapi Rasie tetep ngerasa bersalah, Kak Se..”

“Okay sekarang waktunya Rasie beritahu kakak, apa yang Rasie pikirin selama ini, hm?”

Arasy mendekat kearah Sean, ia melepas tangkupan tangan Sean di pipinya dan kemudian masuk ke dalam dekapan lelaki tampan itu.

“Boleh.. sama peluk kakak?”

“Kamu nggak perlu tanya untuk dapet pelukan dari kakak, Rasy.” Sean membalas pelukan Arasy dan mengelus kepalanya lembut. “Jadi?”

Arasy diam sebentar sebelum melanjutkan. “Kak Se kehilangan kerja sama gara-gara Rasie curhat ke mami. Rasie merasa bersalah sama kakak makanya Rasie pergi. Rasie takut lihat kakak, Rasie terus ngerasa bersalah. Juga, Rasie kehilangan bayi kita. Maaf Rasie nggak bisa jaga dia baik-baik. Kak Se udah siapin segala bentuk persiapan buat dia bahkan sebelum dia genap masuk bulan ke dua. Kakak pasti sayang sama dia tapi Rasie buat dia pergi. Maaf.. Rasie takut mau lihat kakak selama ini. Rasie takut harus muncul di depan kakak dengan rasa bersalah. Rasie takut sama semua suara di kepala Rasie yang bilang ini dan itu.”

Sean diam mendengarkan, biarkan Arasy menyelesaikan segala ceritanya baru ia akan menyangkal semua pemikiran milik Arasy itu.

“Rasie ngerasa bersalah kalau Kak Se selalu bersikap kuat di depan Rasie. Kakak selalu pasang bahu kakak di deket Rasie buat Rasie jadiin sandaran disaat bahu kakak sendiri udah nggak kuat buat nahan semua beban yang kakak alami selama ini. Kak Se kenapa nggak marah sama Rasie karena Rasie selalu nyusahin kakak? Kenapa kakak selalu bujuk Rasie, sabar sama Rasie? Rasie sakit lihatnya, kakak kasih Rasie semua rasa hangat juga bahagia tapi Rasie nggak bisa bales itu.”

Ah, jadi selama ini.. itu yang menyebabkan Arasy menjauhinya? Tak mau menatapnya? Rasa bersalah?

Sean melepas pelukan Arasy dan kemudian menangkup kembali pipi Arasy. “Rasie tau nggak? Kerja sama itu memang penting buat kakak, tapi itu semua nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Iya kakak ngerasa bersalah sama pekerja di kantor karena mereka udah kerja lama banget buat itu, tapi balik lagi sayang. Semua itu nggak ada artinya kalau kamu sedih. Iya kan?” Sean berhenti sejenak.

“Selama ini kakak kerja buat kebahagiaan kamu, tapi kalau kakak kerja kamunya lagi sedih, apa kakak bisa lanjutin itu? Enggak.”

Sean tersenyum, ia mengecup bibir Arasy sejenak sebelum melanjutkan, “Soal bayi kita. Rasie tahu kan kalau hidup dan mati seseorang semua sudah ditulis sama yang diatas? Kita kehilangan baby bukan karena Rasie yang nggak hati hati. Selama ini Rasie udah lakuin yang terbaik buat jaga dia.”

“Apa Rasie sama baby yang ada di perut Rasie juga bakal selamat, Kak Se?”

Sean terdiam. Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya yang lain, Arasy mengingatkannya akan itu.

Akan kemungkinan terburuk yang dikatakan dokter padanya atas hilangnya bayi mereka.

“Kalian bakal selamat, sayang.”

“Rasie ngga papa kalau Rasie pergi, asal baby yang diperut Rasie sekarang bisa lihat dunia. Bisa ngerasain gimana rasanya disayang sama kakak.”

Sean menahan nafasnya mendengar itu. Ia melepas tangkupannya kemudian mengenggam kedua tangan Arasy. “Kalian berdua.. pasti selamat. Kakak pastiin kalian berdua selamat.”

“Kenapa Kak Se yakin? Rasie aja—”

“Karena Rasie nggak akan pernah ninggalin kakak, kan?” Sean memotong ucapan Arasy.

“Rasie bilang kakak itu juga rumah Rasie. Rasie nggak akan bisa pergi dari kakak.”

Arasy menunduk. Ia tahu soal diagnosis dokter mengenai dirinya juga sang bayi.

Arasy memang baik-baik saja semenjak kehilangan salah satu bayinya. Ia hanya merasakan mual dan pusing, sama halnya dengan yang dialami oleh orang-orang yang tengah mengandung pada umumnya.

Tapi bagaimana apabila diagnosis dokter benar? Kalau boleh jujur, Arasy tak akan sanggup meninggalkan Sean dan anaknya sendiri. Arasy juga ingin merasakan bagaimana bayi di perutnya nanti akan bertumbuh dewasa.

“Sayang, kita bersama kan? Kita berdua akan berjuang bersama. Kamu nggak akan kenapa-napa, baby juga nggak akan kenapa-napa.”

Arasy mendongak dan mengangguk mantap. Ia kini memiliki Sean, Sean memiliki dirinya. Apa yang lebih baik dari itu?

Bahu Sean memang tidak sekuat itu, namun bersama Arasy di dekatnya, Sean pun akan tetap berjuang. Begitupun sebaliknya.

Sebab begitukan cara cinta mereka bekerja? Mendukung satu sama lain, berada di dekat satu sama lain dalam keadaan apapun, bahagia dan bersedih bersama.

Arasy menyadari. Pun juga Sean, bahwa bukan hanya ikatan pernikahan yang menyatukan mereka. Namun sebuah ikatan jiwa juga pemikiranlah yang akan membuat mereka makin bersatu.

Malam itu, keduanya berjanji pada satu sama lain bahwa mereka akan ada di sana, di samping pasangan mereka untuk menjadi pundak bagi satu sama lain, selalu berbagi kesenangan maupun kesedihan, dan saling mendukung entah apapun kondisinya.

Sebab Sean adalah rumah bagi Arasy dan sebaliknya, Arasy adalah rumah bagi Sean.

Dan apa yang lebih indah daripada itu?