Starry Night

Arasy memandang langit penuh bintang yang berada di atasnya sekarang ini. Berada di kolam renang rumahnya dengan suasana sepi buatnya merasa lebih tenang.

“Hai baby, apa kamu bisa lihat papou dari sana? Lihat saudara kamu yang ada di perut papou?” Arasy bertanya, masih menatap langit bertaburan bintang di atasnya.

Arasy memejamkan matanya kala angin berhembus meniup surainya dan juga beberapa pohon di sana. Kakinya yang berada di dalam kolam ia ayunkan pelan, merasakan ombak kecil yang dibuat olehnya dari air kolam renang.

'Babies, karena papou ada di sini bareng kalian berdua, satu diatas langit dan satu di perut papou, papou mau tanya. Papou harus apa sekarang? Papou ngelakuin banyak kesalahan sama daddy kalian berdua. Gimana caranya papou bisa lihat daddy kalian? Papou selalu ngerasa bersalah,' ia bergumam dalam hati sembari mengelus perutnya, membuka mata dan mendongak menatap langit malam hari itu.

Arasy berkali kali menghela nafasnya, ia rindu saat semuanya baik-baik saja.

Tanpa Arasy sadari, sedari tadi Sean berada di sana menatap dirinya yang tengah menatap kearah langit.

Lelaki itu juga ikut menatap langit malam yang ditatap Arasy sekilas dan ia tersenyum kecil saat netranya menangkap dua cahaya yang bersinar terang di sana. Mungkin itu adalah ayah dan malaikat kecilnya.

'Apa kalian bahagia di sana? Aku rindu.'

“Sean?”

Sean tersentak kala bahunya ditepuk oleh ayah mertuanya, “Pa, udah pulang?”

“Udah barusan. Kenapa nggak dihampiri Rasynya?”

Sean tersenyum kecil, menatap tubuh mungil suaminya yang berada di pinggir kolam renang, “Rasy belum mau bicara sama Sean papa, Sean takut kalau Rasy lagi pengen sendiri.”

“Gimana kalo enggak? Sean, kamu nggak akan pernah tahu apa yang ada di pikiran orang kalau kamu cuma diem. Papa tahu kamu udah berusaha buat ajak Rasie komunikasi selama ini dan Rasie masih diem. Mumpung kaya gini, Yan. Mumpung Rasienya lagi di luar ajak bicara. Kamu pasti kangen juga kan sama Rasy?”

Sean tatap wajah manis milik Arasy. Apa Sean rindu? Tentu saja. Sean rindu, sangat rindu. Sudah seminggu lebih ia tak berbicara pada Arasy, tak menatap wajah lelaki manis itu.

“Kangen banget, pa. Sean kangen sama Rasy.”

Si pria paruh baya terkekeh, “Papa nggak tahu apa yang lagi kalian alamin, dan papa nggak mau ikut campur. Papa yakin Sean bisa selesaiin ini.”

“Iya pa.”

“Yaudah samperin gih anaknya, papa mau ke mama.”

“Iya pa, makasih banyak.”

Sang papa tersenyum dan mengangguk. Ia memberikan satu tepukan semangat di bahu milik Sean. Lelaki paruh baya itu percaya pada menantunya dan merasa bersyukur bahwa Seanlah seseorang yang menjadi pendamping putra manisnya.

Sepeninggalan sang ayah mertua, Sean berjalan pelan menuju Arasy.

Arasy yang sebelumnya memejamkan mata, membuka matanya kembali ketika merasa ada seseorang di sebelahnya. Ketika ia menoleh ia terbelalak menemukan Sean tengah tersenyum sembari mendongak menatap langit.

“Kak Se..” gumamnya.

“Langitnya indah ya malam ini?” Sean bertanya, ia menoleh, menatap Arasy yang masih menatapnya. Arasy tak menjawabnya.

“Apa kamu tenang lihat langit kaya gini?”

Lelaki manis itu perlahan mengangguk, buat Sean tersenyum. “Kamu apa kabar? Hati kamu?”

I'm okay.”

Totally okay?

No.

Lelaki kelahiran April itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada Arasy, melingkarkan tangannya di pinggang lelaki manis itu yang sedikit berisi. “Kamu bisa berkeluh kesah ke kakak, Rasie.”

Arasy tak menjawab. Membuat Sean paham Arasy sedang tak ingin membicarakannya. Maka ia mengganti topik.

“Kakak kangen kamu banget, tau. Kakak seneng akhirnya bisa lihat wajah kamu.”

“Kalau kakak boleh tahu.. Kenapa Rasie diemin kakak hm? Kakak sedih nggak denger suara kamu beberapa minggu ini,” lanjutnya.

Lelaki jangkung itu kembali mendongak menatap langit yang bertaburan bintang malam ini. “Kakak tahu berat banget karena kehilangan baby. Tapi sayang, pasti baby udah bahagia sekarang di sana. Kita nggak bisa terus berhenti di sini. Kita harus ikhlas sayang. Hidup kita terus maju,” katanya.

“Kak Se..” lelaki manis itu mengeluarkan suara, memanggil Sean setelah mendengarkan suaminya berbicara sedari tadi.

“Iya?”

“Kakak kenapa masih mau sama Rasie?”

Sean mengernyit. Apa-apaan pertanyaan lelaki itu?

“Kakak suami kamu, kita bersumpah di depan Tuhan, di depan orang tua kita, di depan banyak orang kalau kakak bakal selalu cinta sama kamu.”

“Kakak nggak benci sama.. Rasie?”

“Atas dasar apa kakak benci kamu sayang? Kakak sayang banget sama kamu.”

Melihat suami kecilnya hanya diam, Sean pun melanjutkan, “Kakak tahu kamu pasti mikir banyak soal baby kita yang gugur. Permintaan kakak selama ini juga susah buat kamu. Kakak tahu mungkin kamu masih takut, kamu masih ragu. Tapi karena kamu disini bareng kakak sekarang, kakak mau ajak kamu sekali lagi malam ini. Ayo pulang, sayang. Kakak kangen. Banget.”

“Rasie juga..”

“Juga apa? Kangen kakak?”

Arasy tak menjawab, ia memutuskan untuk menyandarkan kepalanya di bahu Sean, membiarkan jemari Sean mengelus surainya dengan sayang.

Perilaku Arasy ini sudah cukup menjadi jawaban untuk Sean atas pertanyaannya.

Iya, Arasy juga merindukan dirinya.

Keadaan selanjutnya adalah mereka sama sama diam, Sean masih terus memberikan afeksinya pada Arasy, mengelus surai lelaki itu dengan lembut, berharap bahwa Arasy mungkin akan berbicara soal diamnya dia malam ini. Atau mungkin.. Arasy berkata padanya bahwa Arasy akan ikut dengannya pulang ke rumah.

“Kak Se.” Sean tersenyum mendengar panggilan itu.

“Iya, sayang? Kamu butuh sesuatu?” Arasy menggeleng. Ia tidak butuh sesuatu. Melainkan ia ingin berkata pada Sean bahwa ia ingin pulang.

Arasy rindu rumahnya dengan Sean, Arasy rindu melihat Sean setiap harinya. Namun saat akan bersuara, lelaki itu ragu. Dia merasa takut.

Bagaimana jika ia pulang Sean justru mengalami hal yang sama?

Bagaimana jika saat ia pulang ia justru membuat Sean kerepotan?

Arasy ingin menyuarakan keinginannya untuk pulang, tetapi segala pemikiran buruk yang hinggap di kepalanya sedari beberapa minggu ini begitu jahat.

Ketika netranya bersitatap dengan Sean pun, ia temukan sebuah sirat kerinduan di sana, ia sadar, rasa rindunya pada Sean terbalas tak kalah besarnya. Arasy mungkin bisa menjauh dari Sean begitu lama, mendiami lelaki itu. Tapi ini tak menutupi fakta bahwa Arasy mencintai Sean, ia selalu merindukan lelaki itu di setiap detik dalam hidupnya.

Tetapi sekali lagi, lelaki itu takut. Ia membenci dirinya yang manja, ia benci segala sifatnya yang selalu buat Sean mungkin saja kerepotan.

Arasy berkelahi dengan segala pemikirannya, di satu sisi ia ingin pulang, ia rindu Sean. Tetapi di sisi lain, ia menakutkan segala apa yang akan terjadi apabila ia terus berada di dekat Sean, bersikap manja dan menyebalkan yang mungkin bisa saja buat Sean kerepotan.

Namun hari ini, lelaki manis itu tak mau tenggelam dalam kebenciannya. Segala bentuk bujukan Sean kepadanya selama ini terputar dengan baik di kepalanya. Juga, ketika Sean jatuh sakit sebab kelelahan. Arasy tak mau mengelak bahwa ia tahu. Ia tahu kalau Sean kelelahan sebab bekerja lalu dilanjut dengan membujuknya.

Maka begitu, saat Sean berada di sini. Sean sudah dapat ia pandang dengan kedua matanya, ia memutuskan untuk mengikuti Sean pulang, menuruti permintaan lelaki itu. Ia ingat dirinya pun masih memiliki banyak kewajiban yang harus dijalankannya dalam rumah tangganya.

Juga, rasa rindunya yang membuncah saat melihat Sean sekarang ini, membuat Arasy ingin selalu berada di dekat lelaki itu.

Arasy berpikir bahwa tak apa jika dirinya selalu dikelilingi oleh pemikirannya yang jahat, asal dirinya dapat selalu memastikan bahwa Sean baik-baik saja.

Setidaknya Sean berada di dekatnya, ia dapat melihat Sean dan Sean bahagia Arasy didekatnya. Bukan begitu?

“Ayo pulang, Rasie mau pulang ke rumah sama kakak.”