Pulang

Setelah hampir bermenit-menit berkutat dengan pikirannya sendiri, Arasy akhirnya memutuskan untuk menghampiri Sean ke ruang kerjanya. Tak pernah sekalipun Arasy temukan Sean melamun seperti ini selain pada saat sang ayah tiada. Lelaki manis itu khawatir.

“Kak?”

Sean menoleh kala Arasy memanggilnya, lelaki itu sunggingkan sebuah senyum kecil setelahnya, “Kamu belum tidur?” tanyanya retoris. “Sini,” lelaki taurus itu memanggil setelahnya.

Arasy mengikuti permintaan Sean, ia berjalan tanpa suara ke samping Sean yang tengah menatap halaman belakang rumah mereka – yang dapat terlihat melalui balkon ruang kerja Sean- lalu ikut diam di sana. Memandangi objek yang dilihat oleh Sean sekarang ini.

Hanya suara anginlah yang terdengar selama beberapa menit sampai akhirnya Sean mengeluarkan suara, “Gimana perasaan kamu sekarang?”

I'm okay.

No, you're not. Rasie kamu bisa cerita sama kakak.”

Arasy merenung. Kalau boleh jujur, Arasy senang. Sean mau memahaminya selama ini, selalu bertanya bagaimana perasaannya, memberinya ruang kala ia butuh waktu sendiri. Namun Arasy juga selalu merasa bersalah, Sean selalu seperti ini padanya namun ia tak bisa melakukan hal yang sama dan malah justru membuat lelaki itu repot.

Arasy membenci dirinya yang seperti itu, ia benci sifat di dalam dirinya.

“Rasie okay.”

“Mau sampai kapan Rasie bilang Rasie okay kalau sebenernya pikiran Rasie dipenuhi sama sesuatu yang jelek? Yang bikin Rasie sedih? Rasie, kakak nggak tahu apa yang ada di pikiran kamu sekarang, kakak nggak tahu gimana perasaan yang kamu rasain sekarang. Kakak cuma tahu kamu lagi nggak okay. Mana Rasienya kakak yang ceria? Mana Rasienya kakak yang selalu semangat waktu lihat kakak?”

Arasy menunduk. Tak menjawab.

“Kakak bawa kamu pulang, kakak seneng kakak berhasil, tapi ternyata kamunya kaya gini, kakak sedih, sayang. Arasynya kakak yang selalu senyum yang selalu pakai emoji lucu waktu chat kakak, kemana?”

Ingin rasanya Arasy menjawab bahwa ia benci dirinya yang itu, ia benci segala sifat yang ada di dirinya, namun ia memilih tak menjawabnya, hati Arasy sakit mendengar ucapan Sean. Mau berapa kali lagi ia akan menyakiti hati lelakinya? Mau berapa kali lagi ia akan membuat Sean sedih?

Alasan Arasy menghindari percakapan panjang dengan Sean beberapa hari setelah ia pulang kemarin adalah ini. Arasy tak mau tambah membenci dirinya, Arasy tak mau menambah luka.

Walau tanpa disadarinya ia juga menambah luka di hati dengan diamnya.

“Arasy-”

“Kak Se, kakak mau apa dari Rasie?” pertanyaan itu tiba-tiba keluar di benak Arasy. Apa yang diingini lelaki itu sebenarnya? Arasy sudah di rumah sekarang. Bukankah Sean harusnya merasa senang? Kenapa lelaki itu masih merasa sedih?

“Huh?”

“Rasie udah di rumah.”

Ah, Sean mengerti.

“Kakak mau kesedihan kamu, Rasie.”

Arasy mendongak, menatap Sean yang tengah menatapnya dengan senyum lembut dan netra penuh cintanya.

“Huh?” Sean mengangguk, ia taruh tangannya di pipi tembam milik Arasy dan mengelusnya perlahan.

“Kakak mau kesedihan kamu. Kakak mau kamu berbagi kesedihan kamu ke kakak, bilang apa yang ada di pikiran kamu, apa yang buat hati kamu sedih dan sakit ke kakak.”

“Kak Sea-”

“Iya, kakak memang minta kamu pulang. Tapi Rasie, apa kamu benar-benar udah pulang?”

Arasy tak mengerti. Apa maksudnya? Ia benar ada di sini dan artinya ia sudah pulang, bukan?

“Bukan pulang ini yang kakak mau Rasie. Kakak emang berhasil bawa kamu balik ke rumah tapi apa kakak berhasil bawa hati kamu pulang ke rumahnya? Apa kakak berhasil bawa kamu pulang yang benar-benar pulang?” Sean berhenti sejenak, “Raga kamu ada di sini, bareng kakak. Tapi pikiran kamu.. dimana?”

“Rasie, kakak mau kamu pulang ke kakak. Kakak mau kamu bilang semua keluhan kamu semua kesedihan kamu ke kakak. Jadiin kakak sebagai rumah kamu Rasie.” Sean melepas tangannya, ia menatap ke atas, menatap ke arah langit yang dipenuhi dengan bintang.

“Rasy inget apa janji kita waktu nikah?” tanyanya. Buat keduanya -entah secara sadar atau tidak – menerawang ke hari pernikahan mereka.

“Kakak janji sama Tuhan kalau kakak bakal ada di samping kamu dalam keadaan sedih dan juga senang, begitupun sebaliknya. Tapi Rasie, kalau kamu nggak ijinin kakak buat itu, kamu nggak ijinin kakak buat ada di samping kamu sebagai rumah, gimana kakak bisa menepati janji kakak yang satu itu?”

Benar, Arasy sadar akan janjinya satu setengah tahun yang lalu. Dimana ia berjanji akan berada di samping Sean dalam keadaan apapun.

Jujur, kalau Arasy ditanya, apa Sean menepati janjinya yang itu? Maka jawabannya adalah iya. Sean menepatinya.

Selama ini Sean selalu berada di dekatnya, mendengarkan segala keluh kesahnya. Bahkan ditengah kesibukan lelaki itu, Sean selalu menyempatkan diri untuk selalu ada di dekatnya, menghiburnya, membuat moodnya kembali.

Dan itu membuat Arasy tersadar suatu hal. Bukan Sean yang tak menepati janjinya, tapi dirinya. Sean pun selama ini menyimpan banyak kesedihan tetapi lelaki itu selalu tersenyum padanya, bersikap kuat di depannya.

Tapi kenapa ia justru mengabaikan lelaki itu? Lelaki yang selama ini selalu ada di sampingnya, menjadi tempatnya untuk bersandar. Lelaki yang akan selalu menerima dirinya dalam keadaan apapun, kondisi apapun.

“Rasie, sayang, apa semua perilaku kakak selama kita menikah ini.. belum cukup buat nunjukkin kalau kakak cinta sama kamu?” lirih Sean. Ucapannya barusan berhasil mencubit hati Arasy. Matanya memburam oleh air mata.

Tidak, Arasy tahu bahwa Sean mencintainya, pun perilaku lelaki tampan itu berkali kali membuatnya merasa istimewa. Diperlakukan layaknya seorang raja, diberi sebuah kehidupan yang begitu indah tak ada tandingannya.

Arasy sendiri tidak paham apa yang terjadi pada pemikirannya. Sebuah rasa bersalah yang tak ada habisnya selalu muncul di benaknya saat ia menatap Sean. Sean berkata itu semua tidak apa-apa tapi apa iya hati suaminya itu benar-benar tidak apa-apa?

Ia tak mengerti. Segala bentuk perilakunya selalu saja menyakiti hati Sean. Sean menyayanginya, dari beberapa tahun lalu. Sean berjuang demi dirinya, namun apa yang ia berikan kepada lelaki tampan itu?

Rasa khawatir, cemas, dan juga kesedihan?

Arasy merasa malu. Disaat Sean memberikannya seluruh dunia, seluruh kebahagiaan, kenapa dirinya hanya bisa memberikan sebuah rasa sakit?

“Kak Se, cinta kakak sama Rasie, perilaku kakak dama Rasie, semuanya itu cukup.”

“Tapi kenapa, sayang? Kenapa kamu nggak mau bagi keluh kesah kamu ke kakak? Kamu nggak percaya sama kakak?” Sean bertanya, menatap mata Arasy.

“Rasie... Percaya sama kakak.”

No, you're not.

Arasy menggeleng, air matanya mengalir deras. “Aku percaya sama Kak Se. Aku percaya. Aku..” ia menggantungkan ucapannya, ragu.

“Apa? Kamu apa, sayang?” Sean bertanya lirih.

“Aku nggak percaya sama aku. Aku benci diriku sendiri, Kak Se. Aku benci kenapa aku kaya gini. Kenapa Rasie harus kaya gini, Rasie ngga suka. Hiks!”

Sean diam menatap lelaki manisnya.

“Kakak selalu kasih semua ini ke Rasie, Rasie selalu bahagia sama kakak, tapi kenapa Rasie nggak pernah bisa kasih itu buat Kak Se? Kenapa kakak malah selalu sedih, selalu repot, juga selalu kecewa sama Rasie?” Tatapan lelaki manis itu kembali memburam, ia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menangis tersedu di sana.

“Hiks.. Rasie benci diri rasie sendiri.”

Sean sendiri diam, ia tak menyangka selama ini Arasy seperti ini.

“Siapa bilang kamu kasih kakak rasa kecewa, Rasie?”

“Siapa yang bilang kalau kamu selalu bikin kakak sedih?”

“Siapa juga yang bilang bahwa kakak selalu repot karena kamu?”

“Rasie, kamu itu bahagianya kakak kamu dunianya kakak. Seluruh pusat kehidupan kakak ada di kamu juga anak kita, keluarga kecil kita. Nggak pernah sekalipun kakak berpikir kalau kamu itu sumber kesedihan kakak selama ini. Kamu itu sumber kebahagiaan kakak. Gimana bisa kamu mikir kaya gitu, hm?”

Sean kecewa pada dirinya sendiri. Kesibukannya, perilakunya selama ini berhasil membuat Arasy seperti ini.

Perlahan, ia rengkuh diri Arasy dan membawa lelaki manis itu menangis di bahunya. Arasy tentu tak menolak ia meremas baju yang dikenakan Sean, menahan rasa sakit yang ada di hatinya sekarang ini.

“Kakak cinta sama Rasie.”

“Hiks.. Kak Se..”

Sean tersenyum, ia mengelus surai Arasy dengan lembut. “Kakak sadar, kita berdua belum sepenuhnya bersatu ya?”

Arasy menggeleng keras. “Udah! Hiks!”

“Rasie, kita memang bersatu sama ikatan pernikahan. Kita bahkan udah mau punya seorang anak. Tapi pikiran kamu belum milik kakak, semua keluhan kamu nggak kamu bagi ke kakak. Padahal kita menikah bukan untuk berkeluarga tapi juga untuk berbagi keluh kesah, kan?”

“Tapi Kak Se juga nggak pernah bagi keluh kesah kakak ke aku.”

Sean terkekeh, sejujurnya ia tak butuh berkeluh kesah. Hanya dengan menatap wajah lelaki manis itu, hanya dengan menatap senyum milik Arasy. Segala kesusahannya hilang entah kemana.

Jika begitu, bagaimana bisa Arasy berkata bahwa ia membawa kesedihan dalam hidup Sean?

“Kakak udah cukup bahagia lihat senyuman kamu.”

Arasy melepas pelukan, ia menatap Sean yang tersenyum lembut padanya. Sekarang bilang pada Arasy, seberuntung apa dirinya bisa memiliki Sean sepenuhnya?

“Rasie tetep suka kalau kakak juga berbagi ke Rasie. Rasie juga mau penuhin janji Rasie ke Tuhan. Rasie juga mau jadi tempat kakak buat keluh kesah.” lirihnya.

Sean melebarkan senyumnya, tak mau memungkiri dirinya bahagia mendengar ucapan Arasy. Perlahan ia angkat tangannya dan menghapus sisa air mata di wajah Arasy.

“Kalau gitu, Rasie juga cerita ke kakak ya? Apa yang rasie pikirin. Kakak juga bakal cerita tentang semua ke kamu. Ayo pulang bersama kali ini, sayang.”