Jeremy's House
Seperti kata Jeremy tadi, dia menjemput Jingga ke rumahnya setelah Jingga mengijinkan.
Kini pasangan — yang belum jadi — itu telah sampai di depan rumah Jeremy, bersama dengan Jingga yang terus menggenggam jemari lelakinya dengan erat.
“Oh hai! Udah dateng juga akhirnya kamu Jingga!” Ibu Jeremy menyambut di depan rumah selepas Jeremy membunyikan bel.
“Iya tuh, bahan-bahannya juga udah Jeremy beliin nih. Mama sama Jingga dulu ya?” ucap Jeremy menyodorkan tas belanja di tangannya yang berisi bahan bahan kue yang diminta sang mami.
“Emang kamu mau pergi lagi, Jer?”
“Eoh.. iya. Tadi Avenir minta kumpul sebentar. Bentar aja kok,” Jeremy menjawab pertanyaan sang mami kemudian menoleh kearah Jingga, “Kamu nggak papa aku tinggal bentar?”
Jingga yang sedari tadi diam mengangguk, “Ngga papa, Jer. Sekalian aku temenin tante.”
“Yaudah aku berangkat dulu ma. Dah sayang!”
Jeremy berpamitan pada sang ibu kemudian lanjut kepada Jingga. Ia mengusak kepala lelaki manis itu sebelum kembali masuk ke dalam mobilnya.
“Eyy, itu mukanya merah kenapa hm?”
“Tanteeee.”
“Hahahaha gemes banget sih ini calon mantunya tante. Ayo masuk-masuk, tante ngga sabar mau buat cookies bareng kamu!”
Seharian ini sedari jam menunjukkan pukul 11 sampai sekarang pukul 3, Jingga habiskan waktunya di rumah Jeremy.
Membuat cookies, membantu mami membersihkan rumah, dan terkadang juga duduk mengobrol mengenai hal-hal kesukaan keduanya sampai ke masa kecil Jeremy.
Kecanggungan yang dibayangkan Jingga sebelumnya benar benar tidak ada mengingat ibu dari Jeremy ini selalu membawa suasana yang baik. Jingga bahagia bisa dekat dengan mami.
“Eh? Kenapa itu senyum-senyum sendiri?”
Jam menunjukkan pukul 5 sore. Jingga yang telah selesai mandi — sebab dipaksa oleh mami dan dipinjamkan baju milik Jeremy — mendongak kala mendengar suara Jeremy. Ia berada di kamar milik lelaki itu, mami yang memintanya untuk beristirahat di sana.
“Oh hai, Jer!”
Jeremy terkekeh, ia duduk di sebelah Jingga sambil menaruh kantung plastik kecil di pangkuan lelaki manis itu. “Ini apa?” tanyanya.
“Tadi anak-anak beli cupcakes di dekat studio Avenir. Masih sisa jadi aku bawa deh pulang, mereka bilang suruh kasih kamu aja sekalian coba.”
Jingga mangut-mangut. Kalau boleh jujur, hatinya menghangat. Semenjak mengenal Avenir, Jingga paham bagaimana rasanya diberi kasih sayang oleh seorang sahabat, ya walau biasanya Hendra selalu mencurahinya dengan kasih sayang — dengan perkataan pedas dan kasarnya — tapi tetap saja mengenal Avenir hidup Jingga berubah.
Ketiga orang dengan karakter berbeda yang dikenalnya pada masa kuliah ini membawa banyak kebahagiaan juga suka dan duka dalam hidupnya. Jingga banyak belajar.
“Kok ngelamun?”
“Ah, enggak. Makasih ya.”
“Apa?”
“Cupcakesnya?”
Jeremy tertawa. Setelahnya lelaki itu menyingkirkan kantung plastik di pangkuan Jingga. Ia merebahkan dirinya di sofa kamar dengan paha Jingga sebagai bantal.
“Gimana tadi sama mami?”
“Seru banget!! Kamu tau Jer? Tadi tante lucu banget dia salah masukin warna ke adonan malah jadi warna hitam. Jadinya warna hitam itu di bake terus kita buat ulang lagi deh adonannya buat cookies yang mau kita buat awalnyaa, seru banget! Terus tadi di tengah tengah mama aku sempet nelfon, dia ngobrol sama mami kamu. Lucu deh dengerinnya. Jugaaa, tadi mami cerita cerita soal masa kecil kamu, kamu mimpi jadi ini jadi itu. Keren!”
Jeremy hanya mendengarkan. Sebuah kesenangan sendiri baginya Jingga bercerita seperti ini. Suara lembut dan riangnya selalu menjadi satu hal yang ingin Jeremy dengarkan.
“Gitu.. seneng dong?”
“Seneng banget lah? Kamu nggak perlu nanya! Aku kira aku bakal canggung sama tante, tapi ternyata enggak! Hehe.”
Jeremy ikut terkekeh, ia ulurkan tangannya keatas dan mengelus tengkuk Jingga dengan lembut. “Aku seneng kalau kamu seneng.”
Ucapannya yang spontan itu berhasil membuat Jingga memerah. Hei, apa apaan lelaki itu?
“I-ih kamu apaan?”
Jeremy tertawa. “Stop ketawanya! Tadi sama Avenir ngapain aja?”
“OH IYA!” Jingga terlonjak kaget kala Jeremy berteriak sambil mengubah posisinya menjadi duduk.
“Jer astaga! Santai!”
“Hahaha maaf, aku terlalu semangat.”
Jingga mengangguk. “Jadi apa?”
Jeremy bawa tubuh Jingga berhadapan dengannya. “Tadi aku sama Avenir diskusi soal beberapa hal dan akhirnya kita setuju.”
“Mhm, setuju soal apa?”
“Avenir bakal ngadain konser sendiri!”
“Hah?”