Rhythm and Quaver
Negeri ini, mereka kenal dengan nama Rhythm. Sama seperti yang lainnya, Rhythm mempunyai beberapa daerah yang salah satunya adalah Quaver yang terletak di pusat juga yang terluas di negeri ini.
Ia yang dipilih menjadi pemimpin Quaver ialah Jaden. Jaden Bartels, bersama dengan istrinya Rea. Reaghan Aston. Atau yang kini sudah Jaden ubah marganya menjadi Reaghan Bartels.
Quaver begitu maju dengan Jaden sebagai rajanya. Setiap desa yang berada di Quaver selalu berkecukupan. Tak hanya itu saja keramahan juga kebaikan penduduk Quaver pun telah tersebar kesana kemari. Jika ada yang bertanya, daerah mana yang paling diidamkan oleh penduduk Rhythm maka mereka akan menjawab dengan lantang bahwa mereka ingin berada di Quaver bersama dengan Jaden dan Rea sebagai pemimpinnya.
Kebahagiaan penduduk Quaver tak sampai situ saja. Beberapa bulan lalu, tepat ketika ulang tahun sang raja, mereka mendapatkan sebuah kabar bahagia.
Penerus takhta sang raja sudah hadir.
Iya, ratu mereka mengandung.
Rasanya begitu membahagiakan. Baik untuk penduduk Quaver maupun Jaden juga Rea.
Kehadiran bayi di kandungan Rea dianggap membawa banyak keberuntungan bagi Quaver. Bagaimana tidak? Semenjak kehadiran calon penerus takhta itu, tanah Quaver makin subur, nama Quaver makin dikenal dimana-mana.
Sungguh membahagiakan.
Namun naas, kebahagiaan itu harus berakhir dua bulan setelahnya. Kerajaan tiba-tiba mengumumkan bahwa sang ratu, Rea, meminta untuk bercerai.
Juga, bahwa calon penerus takhta mereka, kini sudah tidak ada.
“Rea, tak bisakah kamu pikirkan sekali lagi, sayang? Aku mencintaimu, sangat..”
Keputusan Rea sudah bulat. Ia mau bercerai. “Maaf, Jaden. Tapi nggak, aku mau bercerai.”
“Re-”
Keduanya kini berada di taman kerajaan. Matahari yang menyengat seharusnya membuat mereka merasa hangat. Namun tidak, siang ini, udara di Quaver terasa panas bagi penduduknya. Sebuah kabar perceraian yang begitu tiba-tiba, membuat kerajaan itu dirundung pilu.
Tak ada hangat seperti biasa, hanya dingin yang terasa. Kerajaan itu tak lagi bahagia, hanya muram durja yang ada.
“Jaden, apa kamu pikir kehilangan adalah hal yang biasa? Aku kehilangan putraku, Jaden. Putra kita. Dan karena apa? Ibumu! Selama ini ibumu tak pernah suka padaku, Jaden! Ia tak mau menerima ku dengan alasan aku seorang lelaki, yang tak dapat berikan seorang penerus takhta. Tapi ketika aku dapat memberikanmu seorang anak, apa yang aku dapat? Ibumu justru meracuniku, membunuh putraku yang bahkan belum melihat dunia. Kamu pikir aku akan terima?!”
Kembali ingatan Rea dipaksa untuk kembali ke kejadian seminggu lalu. Ibu mertuanya berlagak menerima dirinya, namun tidak. Semua lagak baik yang diberikan wanita paruh baya itu pada Rea hanyalah akal-akalan untuk membawa kehancuran dalam pernikahan keduanya.
3 hari penuh Rea tak sadarkan diri sebab racun yang ditaruh ibu mertuanya dalam makanan yang dimakannya dan ketika ia terbangun, ia mendapat kejutan yang begitu menyakitkan.
Bayi yang dua bulan ini ia jaga dengan baik. Bayi yang ia idam-idamkan kehadirannya. Bayi yang melengkapi pernikahannya dengan Jaden dan juga yang bawa kebahagiaan bagi penduduk Quaver kini telah pergi meninggalkan mereka semua.
Rea marah, namun apa yang dapat ia lakukan?
Jaden sudah memutus hubungannya dengan sang ibu, namun apakah itu dapat membawa bayi mereka kembali? Tidak.
Mendengar perkataan Rea, Jaden hanya bisa menunduk. Benar, ini semua salah ibunya. Ia malu kepada istrinya.
Ketika begini, Jaden pun tak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya diam, menatap punggung Rea yang perlahan mengecil, meninggalkan kamar keduanya, menuju sebuah kamar kecil yang ada di kerajaan – yang akan ditinggalinya sampai sidang perceraiannya dengan Jaden selesai.
Selama hampir 10 tahun menikah, tak pernah sekalipun sang ibu terima Rea dengan lapang dada. Jika biasanya Rea hanya akan menerima, kini tak lagi.
Bagaimana perasaan seorang ibu apabila putranya direnggut?
“Rea, sayang, maafkan aku. Aku tak bisa menjaga kamu, menjaga putra kita dari ibu. Sayang.. aku benci ibu.”