Jingga Aksara
Jeremy tak tahu lagi bagaimana perasaannya, khawatir, sedih, cemas, takut, kalut, semua bercampur jadi satu ketika mengetahui Jingganya mengalami kecelakaan.
Terlebih lagi, sang mami lah yang mengabarinya. Sungguh, Jeremy tak dapat berpikir dengan jernih. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang penuh.
Dan saat ia telah sampai di rumah sakit yang diberitahukan oleh mami, ia segera menuju ke UGD. Tempat dimana Jingga dan maminya berada sekarang.
“Mami?”
Kala mata Jeremy menangkap sosok wanita paruh paya yang melahirkannya, Jeremy mendekat. “Jer, Jingga.. maafin mami,” wanita paruh baya itu bergumam menatap kearah Jeremy
“Mami, aku tahu mami nggak suka aku sama Jingga tapi apa harus gini?” ucapnya.
“Jer maksud kam—”
“Mami, apa nggak cukup pisahin aku sama orang yang aku cinta? Kenapa mami juga harus celakain Jingga?”
Wanita itu tak dapat berkata-kata kala melihat air mata Jeremy jatuh. Lelaki itu menangisi orang yang dicintainya.
“Mami, Jingga ada salah apa sama mami? Selama ini mami cuma salah paham, semua foto foto itu mami belum tahu kebenarannya, tapi kenapa mami malah celakain Jingga?”
“Jer, jangan bawa-bawa masalah papi kamu.”
Jeremy tak mendengarkan ucapan ibunya. Sebut saja ia kurang ajar, tapi ia tak akan pernah biarkan Jingga celaka lagi akibat ibunya.
“Mami Jingga sama papi itu—”
“Jeremy! Mami minta kamu nggak bicara tentang papi kamu sekarang! Hati mami sakit, Jer!”
“Terus hati aku gimana, Mi?! Mami udah pernah ngerasain gimana rasanya dipisahin sama orang yang mami cinta kan?! Kenapa mami harus lakuin itu ke aku sebelum mami tahu kebenarannya?! Kenapa mami pisahin Jeremy sama Jingga sebelumnya cuma karena Jingga punya banyak foto sama papi?!”
“Jeremy, lo apa-apaan, ini rumah sakit, Jer.”
Ditengah itu, Aidan, Noah, juga Hendra datang, menarik Jeremy menjauh dari sang mami yang terkejut.
“Mami.. asal mami tahu, mama Jingga itu psikolognya papa..” Jeremy menjelaskan semuanya pada sang mami, menceritakan kejadian yang diceritakan Jingga kepadanya secara detail kepada wanita itu.
“Mi, tolong, lain kali cari tahu dulu kebenarannya baru Mami boleh ngelakuin sesuatu. Karena perilaku mami ini nggak cuma nyakitin satu orang mami.”
Setelah berucap seperti itu, Jeremy melepas dirinya dari Aidan juga Hendra yang memeganginya. Bertepatan saat dokter keluar dari UGD.
“Dokter, bagaimana keadaan Jingga?”
“Pasien baik-baik saja, hanya kakinya terkilir dan mengalami luka kecil. Tapi kondisinya baik-baik saja. Kalian bisa masuk ke dalam. Tapi tolong tetap tenang.”
Jeremy segera masuk ke dalam ruangan Jingga selepas ucapkan terima kasih pada dokter. Meninggalkan ketiga temannya disana. Ah, dan juga sang mami yang terdiam mendengar fakta yang baru saja diberikan oleh sang anak.
“Jer,” Jingga tersenyum ketika Jeremy masuk ke dalam ruangan tempat kakinya diobati ini.
“Kamu nggak papa?”
Lelaki jangkung itu mendekat kearah Jingga yang duduk di atas kasur. Ia amati Jingga dari atas ke bawah. Ah, kaki lelaki manis itu dibalut oleh perban.
“Apakah sakit..? Jingga maafin mami ya?”
“Hah kenapa?”
“Jer,”
Belum sempat Jeremy menjawab, Aidan memanggilnya. Avenir sudah masuk ke dalam ruangan ini, bersama sang ibu yang dituntun oleh Noah.
“Tante nggak papa?”
Sebuah tanya yang diberikan Jingga itu membuat kelima orang di sana menoleh kearah lelaki itu. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu disaat dirinya sendiri tak baik baik saja?
“Jingga.. harusnya tante yang tanya kaya gitu ke kamu. Makasih ya, udah selamatin tante tadi.”
“Selamatin?”
Mami mendekat pada Jeremy, ia kemudian memeluk putra satu-satunya itu. “Jeremy maaf, maafin mami karena udah pisahin kamu sama Jingga. Mami sadar, nggak seharusnya mami bawa luka lama untuk pisahin kalian berdua, apalagi luka itu, luka yang berasal dari asumsi mami yang ternyata nggak benar sama sekali.”
“M-mami.. Jeremy minta maaf juga sudah bentak mami di depan tadi.”
Jingga tersenyum melihat keduanya. Hatinya menghangat kala mendengar ucapan mami dari Jeremy, itu artinya dirinya sudah diterima kan? Tapi tunggu dulu, bagaimana ibu Jeremy tahu jika kejadian itu tak benar?
“Tante udah tahu.. soal mama sama aku sama Om Ghail?”
Pelukan Jeremy dan ibunya terlepas. Wanita paruh baya itu mendekat kearah Jingga dan mengusak kepalanya lembut.
“Jeremy sudah kasih tahu tante tadi. Jingga? Tante minta maaf ya, sampaikan maaf tante juga ke mama kamu.”
“Tante, Jingga tahu kok perasaan tante. Jangan minta maaf, karena kalau Jingga ada di posisi tante, Jingga juga udah pasti ngelakuin hal yang sama.”
Keduanya saling melempar senyum.
Dan itu semua tak luput dari pandangan Jeremy. Lelaki itu sangat bahagia bisa melihat kedua orang yang ia cintai berbincang bersama seperti ini.
“Jer, lo mau dipeluk?”
Itu adalah celetukan dari Aidan, yang tahu jika lelaki tampan itu tengah terharu. “Nggak, makasih. Mending gue peluk Jingga.”
Kembali, tawa terdengar di ruangan itu. Ah, rasanya bahagia mengetahui kesalah pahaman mereka telah tuntas semuanya.
Jeremy juga Jingga sangat bahagia sekarang.