bluemoonseu

hari ini joziah menghabiskan harinya bersama dengan luca. sebenernya setiap hari pun joziah akan melakukan hal yang sama, tetapi untuk hari ini, pertama kalinya ia sendirian bersama luca di rumah kairie —atau rumah milik aaron dan jordan yang lama— untuk menjaga si bayi.

ji! uuh!

“iya, sayang, uncle ji di sini. luca mau sesuatu?”

si bayi kecil hanya menepuk tangannya san terkekeh mendengar ucapan dari joziah, buat si pria juga ikut tersenyum gemas. tak berhenti di sana saja, setelah selesai dengan tepuk tangannya, luca menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri bergantian, “yi? yi?” celotehnya menggemaskan sembari mengeces yang buat joziah gemas untuk kesekian kalinya.

“ayi lagi kerja sayang, nanti sebentar lagi ayi pulang, ya? sama uncle ji dulu ya?” jawabnya pada luca sembari mengelap liur yang keluar dari mulut si kecil.

sibuk berceloteh ceria selama beberapa menit, tenaga si bayi habis juga pada akhirnya. ia menyandarkan kepala pada joziah yang tengah menggendongnya dan memainkan baju yang dipakai uncle ji-nya itu. “ngantuk, sayang?” joziah bertanya yang tak dibalas apapun oleh si bayi, pertanda bahwa si bayi sudah lelah dan siap tertidur.

alhasil, joziah menaruh luca pada kasur tipis —yang kairie pasang untuk luca bermain di ruang tengahnya— disusul dengan dirinya yang ikut tiduran disebelah luca. ia tepuk tepuk pelan perut si kecil yang perlahan mulai masuk ke dunia mimpinya.

suasana hening itu berhasil membuat joziah turut mengantuk jika luca tidak tiba-tiba bergerak tidak nyaman. mungkin karena terbiasa dengan ayi, hari ini luca sedikit kesulitan tidur. joziah pun mengelus kepala si bayi dengan lembut sembari menyanyikan beberapa lagu yang ia ketahui untuk anak-anak. benar saja, itu berhasil. si kecil mulai terlelap, terdengar dari suara nafasnya yang mulai teratur.

“luca, uncle ji sayang banget sama luca. makasih ya sayang udah hadir di hidupnya uncle ji?” tentu saja tidak ada jawaban, tetapi joziah tetap tersenyum, ia hanya ingin luca mendengarnya.

“luca, boleh nggak uncle ji ijin buat jadi papanya luca? uncle janji bakal buat luca sama ayi bahagia. walaupun misalnya nanti uncle ji nggak jadi papanya luca, uncle janji bakal pastiin hidup luca baik sampai nanti luca besar. uncle sayang banget sama luca sama ayi, jadi uncle nggak mau kalian berdua kesusahan nantinya. ijinin uncle ji buat usaha ya, sayang? doain uncle juga supaya ayi kamu mau terima cintanya uncle.”

setelah mengucapkan itu, joziah terkekeh. menertawai dirinya sendiri yang bisa mengeluarkan kata-kata seperti barusan. jika melihat mundur, rasanya ia yang dulu tidak akan mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. “you really fell head over heels for both of them, joziah caine,” gumamnya.

hingga tiba-tiba joziah rasakan ada tangan melingkar di punggungnya, “yi? ini kamu?” tanya pria itu, kemudian menoleh sedikit ke belakang. benar, itu kairie. lelaki manis itu menenggelamkan wajahnya pada punggung joziah yang perlahan terasa basah.

sontak, joziah panik dan langsung menegakkan tubuhnya. ia bawa kairie untuk duduk dan ia hapus air matanya, “kenapa nangis? ada yang jahat sama kamu di sanggar?” kairie menggeleng.

“terus?” kairie kembali menggeleng. kali ini langsung dilanjutkan dengan pelukan pada joziah. “kamu..”

“iya aku kenapa? aku ada salah bicara sama kamu, yi?”

“kamu kenapa sweet banget sama aku sama luca? kenapa kamu tetep berjuang buat kami padahal aku nggak kasih kamu kepastian selama ini, zi? apa yang aku lakuin sampai ketemu sama kamu? rasanya kalaupun aku bales cinta kamu, aku nggak akan bisa kasih yang sama besarnya kaya yang kamu kasih ke aku sama luca.”

ah, rupanya kairie mendengarkan ucapan cringe nya pada luca barusan. joziah tersenyum, ia mengelus surai kairie yang maish ada di pelukannya, “you don’t have to give me anything, yi. i love you both unconditionally, and that’s why I’ll do whatever I can to make you and luca happy. you don’t need to earn love by doing something in the past because, everyone, including you, deserves a big kind of love.”

i love you, ozi. i really do. makasih banyak buat cintamu ke aku dan luca.”

joziah merasa tubuhnya tak bisa bergerak mendengar itu, seolah seluruh dunia mendadak berhenti berputar mendengar ucapan pria manis itu. sudah satu bulan sejak ia memutuskan menunggu dan menyayangi kairie serta luca tanpa syarat, dan akhirnya, kata-kata yang selama ini hanya ia bayangkan, keluar langsung dari bibir orang yang ia cintai.

kairie masih dalam pelukannya dan joziah bisa merasakan detak jantung lelaki itu berdetak cepat, tak jauh berbeda dari miliknya. ia mengecup puncak kepala kairie dengan lembut, bersamaan dengan setetes air mata harunya jatuh pada pipi kairie. perjuangannya selama ini, rasanya memberikan hasil yang terbaik.

thank you for trusting me with you heart, yi. i love you more,” bisiknya pelan. perlahan, joziah melepas pelukan mereka. ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan satu kotak berwarna putih. ia menyodorkan itu pada kairie, meminta lelaki manis itu membukanya.

ketika kairie membuka itu, ia tak dapat berkata-kata. “zi.. ini? sejak kapan..? kamu tahu aku bakal confess ke kamu hari ini... atau gimana?”

“itu udah ada di kantongku sebulan lalu, yi. sejak kamu minta aku buat nunggu kamu,” joziah tersenyum, ia ambil kotak yang sudah dibuka oleh kairie dan ia membaliknya menghadap kairie agar si pria manis kembali melihat cincin berlian di hadapannya dengan jelas, “marry me?”

kairie menatap cincin itu, lalu tatapannya naik perlahan ke wajah joziah—mata mereka bertemu dalam diam. air mata yang sempat berhenti sebelumnya kembali menggenang di sudut mata kairie, tak jatuh, tapi cukup membuat dadanya sesak oleh haru.

“kamu serius?” suaranya nyaris seperti bisikan.

joziah mengangguk pelan, senyum lembutnya tak berubah. “i’ve never been more sure, love.”

“tentu aja aku mau, zi. ajarin aku jadi yang terbaik juga buat kamu ya?” suaranya tercekat ketika membalas joziah. joziah tersenyum lebar mendengar itu, ia sangat bahagia. bahkan rasanya kata bahagia pun tidak cukup untuk mendeskrepsikan perasaanya saat ini. setelahnya, ia menarik kairie ke dalam pelukannya.

“habis ini tinggal bareng aku di rumahku ya? sama luca.” joziah tidak mendengar jawaban, ia hanya merasakan anggukan di dadanya. baru setelah mendapatkan jawaban itu, joziah mengecup puncak kepala kairie dengan sayang. pun ketika pelukan mereka terlepas, joziah membawa luca dalam pelukannya dan mengecup pipi gembul si bayi dengan sayang.

makasih udah ijinin uncle ji jadi papa kamu, luca. i'll do whatever it takes to make sure you and your ayi happy.

terhitung sudah satu bulan lebih kairie berada di asterra. kairie merasa nyaman dengan tempat ini, ia merasa bahwa dirinya diterima dengan baik di sini.

terlebih lagi, sekarang ada joziah yang sering datang ke rumahnya entah untuk bermain dengan luca atau mengantarkan makanan yang katanya ia dapatkan dari warga asterra.

“ayi!” seperti saat ini, kairie temukan joziah memanggilnya dari depan rumah. pria itu terbiasa memanggilnya ayi sekarang karena sering bermain dengan luca. “ozi, masuk. kamu dateng lagi hari ini? bawa apa lagi sih? ngerepotin!”

joziah terkekeh, “bawa telur, tadi di peternakan dapet dari kakek zoe,” katanya sembari menunjukkan kantong kertas yang dibawanya. kairie menggeleng, “kenapa nggak kamu bawa ke rumah kamu aja sih?”

“aku lebih sering makan di rumahmu sekarang daripada di rumahku sendiri. jadi buat apa aku bawa pulang?” kairie tertawa. entah sejak kapan joziah mulai mengubah panggilannya menjadi aku-kamu dan mulai sering makan bersamanya dan luca. kairie selalu masak dengan porsi banyak sedangkan dirinya hanya makan sedikit dan luca belum bisa memakannya, alhasil ia selalu mengundang joziah untuk makan di rumahnya.

“yaudah makasih ya, uncle ji.uncle ji, panggilan yang luca berikan kepadanya saat lelaki kecil itu mulai bisa berceloteh. saking seringnya joziah berada di tempat mereka, luca sampai hafal bagaimana cara ayinya memanggil joziah.

“kamu masak apa hari ini?”

“belum tahu sih, kamu kepingin sesuatu, zi?” kairie yang kembali dengan kegiatannya memotong buah menoleh pada joziah yang membantunya menata telur di meja. “aku kepingin sup yang waktu itu kamu bikin deh.”

“sup apa? sup ayam?”

heem,” joziah bergumam menjawab pertanyaan kairie. “wah bentar deh ya, aku cek stok ayamnya dulu ada atau enggak. kayanya sih masih...” kairie membuka kulkasnya dan tersenyum ketika menemukan beberapa potong ayam di dalam wadah, “ada! aku buatin ya?”

“boleh, makasih ya.”

kairie hanya menggeleng sambil tersenyum lebar. bukan masalah baginya. ia senang rasanya. joziah bukan hanya membantunya namun juga menghargainya. segala sesuatu yang dilakukan oleh joziah selalu membuat kairie terkejut dan bersyukur juga disisi lain. ternyata masih ada orang seperti joziah.

“ozi,” kairie yang tengah membersihkan ayamnya memanggil tanpa menoleh pada joziah. namun, joziah yang sudah selesai dengan kegiatannya dan duduk di meja makan tentu saja menatap punggung temannya. “kenapa, yi?”

“aku minta maaf kalau menyinggung sebelumnya, hari ini di sanggar aku nggak sengaja dengar soal masa lalu kamu. soal mama sama papa kamu,” kali ini kairie menoleh pada joziah. joziah tahu warga memang masih sering membicarakan itu, mungkin bukan hal yang buruk, namun memujinya yang bisa bertahan dengan baik setelah kedua orang tuanya tidak ada.

“lalu?”

“aku minta maaf ya,” kairie bawa dirinya untuk duduk depan joziah, mengenggam tangan lelaki itu. joziah tak mengerti, apa arti kata maaf dari lelaki manis itu? “kenapa? kamu nggak salah apa-apa.”

“aku minta maaf karena sudah salah nilai kamu di awal dulu, aku pikir kamu emang tertutup dengan dunia luar, tapi ternyata kamu memang ngelamin hal buruk karena portal-portal itu. juga, aku minta maaf aku nggak tahu seberapa berat beban yang kamu bawa sampai saat ini dan aku justru nambahin beban kamu dengan hadirnya aku sama luca di—”

ucapan kairie terpotong saat ia merasa joziah mengenggam tangannya lebih erat. lelaki itu menatap kairie dengan tatapan yang datar. joziah mengeluarkan suaranya dan kairie sadar itu bukan suara joziah yang biasanya ia dengar, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, pertanda bahwa lelaki itu serius, “kamu sama luca bukan beban buat aku, yi. justru kehadiran kalian berdua malah kaya berkat buat aku. aku lebih bahagia setelah kalian hadir di asterra.”

jairie menatap mata joziah, dan untuk beberapa detik, ia lupa bagaimana caranya bernapas. dadanya sesak, bukan karena sedih, tapi karena sesuatu yang terlalu besar untuk dijelaskan. Ia ingin tertawa dan menangis terharu disaat bersamaan. Ia merasa bahwa di detik joziah menatapnya saat itu, dunia seolah berhenti. ia tak bisa mendengar apapun kecuali detakan jantungnya yang kian lama semakin cepat.

“ozi..” Hanya itu yang keluar, padahal banyak sekali yang ingin ia katakan. Tapi mulutnya seakan tertutup rapat oleh rasa yang belum ia mengerti.

joziah sedikit menunduk, melepaskan tatapan mereka, begitu juga dengan genggamannya di telapak tangan kairie. netranya menatap ke sembarang arah, merasa emosional, “aku cuma.. pengen kamu tahu, kalau aku senang kalian di sini.” kairie hanya mengangguk.

joziah juga merasa aneh. setelah kalimatnya keluar, ia merasa lega, sekaligus gelisah. di benaknya terputar bagaimana hati-harinya bersama kairie di tempat ini, bagaimana kairie peduli dengannya dan bagaimana jantungnya berdetak kencang, merasa semangat disaat ia melihat kairie bersama luca. rasanya keduanya membawa sebuah kehangatan lain di dalam dirinya— yang ia tidak tahu ternyata ia rindukan hadirnya.

joziah mengepalkan kedua tangannya, ia tak pernah tahu perasaan apa ini, ini baru dalam hidupnya. akhir-akhir ini kairie dan luca selalu memenuhi pikirannya, baik memikirkan apakah keduanya baik-baik saja hari itu, apakah keduanya makan dengan baik, dan apakah keduanya bahagia di asterra?

sekarang, setelah mengatakan kalimat jujurnya barusan kepada kairie, joziah merasa ada yang berbeda dan ia menyadarinya. “aneh...” gumamnya tanpa sadar.

“hm? kenapa zi?”

joziah gelagapan, “n-nggak, kamu lanjut aja masaknya aku mau lihat luca. kalau butuh bantuan bilang aja ya,” ucapnya sambil berdiri menuju kamar si kecil yang sudah sangat ia hafal letaknya.

kairie terkekeh, ia rasa wajahnya memanas saat ini, ia menggeleng pelan mengingat kalimat terakhir pria itu, “memangnya kamu mau bantu apa sih, zi? kan kamu ngga bisa masak!”

“enak aja! kan aku bisa cuci piring!” tawa kairie semakin lebar mendengarnya.

joziah, makasih. makasih banyak.

tw // mention of suicide attempt, cheating, physical abuse, premarital pregnancy

sudah hampir dua minggu kairie berada di tempat ini dan sudah delapan hari pula joziah selalu mengawasi kairie. tidak ada yang mencurigakan dari lelaki itu. namun, joziah menemukah hal lain. pria manis dengan satu anak itu kerap kali joziah temukan melamun di depan rumahnya, setiap hari, pada waktu yang sama.

hal itu membuat joziah kembali mengingat cerita jordan terkait bagaimana kairie bisa sampai di asterra. ia mencoba membunuh dirinya bersama dengan luca di gendongan. entah apa yang bisa membuat pria —yang joziah baru tahu ternyata sangat sopan dan ramah di depan orang yang ditemuinya— justru memilih untuk menyerah dan pergi.

“kairie,” siang itu, di hari ke-9 joziah mengawasi kairie, joziah putuskan untuk menyapanya. ia mungkin dinilai seram selama ini oleh kairie —begitu juga penduduk asterra saat pertama kali mengenalnya—, tapi ia tidak mau membuat lelaki manis itu kembali kesepian. joziah rasa menjadi teman bagi lelaki manis itu tidak ada salahnya, ia tidak dirugikan, dan ia tidak akan menyesal jika suatu saat ia mendengar kabar buruk tentang lelaki itu dan ia tidak mencoba menolongnya sama sekali.

panggilan itu ternyata membuat si lelaki manis tersentak, “joziah?” kairie terkejut, ia segera berdiri dari duduknya dan bersihkan debu yang menempel padanya.

“duduk lagi aja, gue mau duduk juga, boleh?” kairie menganggukan kepalanya cepat, “tentu aja, boleh. silakan.”

joziah tersenyum, tak ada yang menyadarinya, bahkan kairie sekalipun. leader asterra itu kemudian mendudukan dirinya di sebelah kairie. suasananya canggung, hingga akhirnya joziah berdehem dan bertanya, “anak lo dimana?”

“oh, luca? dia lagi tidur siang. ini jamnya tidur siang.”

jadi itu kenapa gue selalu nemuin dia ngelamun di jam yang sama tiap hari? karena bayinya lagi tidur?

“oh,” joziah mengangguk, kemudian ia bertanya lagi, “maaf kalau gue menyinggung, dia anak kandung lo?” mendengar pertanyaan itu kairie tersenyum.

“iya, luca anak kandung aku.”

“papanya?” tidak ada jawaban. kairie terlihat ragu untuk menjawab. “gapapa kalau nggak mau jawab, gue nggak maksa kok. maaf ya.”

“ehh! jangan minta maaf. kamu nggak salah juga. sebenernya, dulu aku punya tunangan, belum sampai menikah kita punya luca. tapi waktu luca baru lahir, aku temuin dia lagi berduaan sama rekan kerjanya.. ke hotel.. aku tunggu dia sampai malam dan dia nggak keluar dari hotel itu, sama sekali,” terangnya.

jujur saja, joziah terkejut ketika kairie jujur kepadanya. dari cerita yang ia dapat dari jordan juga aaron, kairie menolak untuk menceritakan apapun soal dirinya dengan mereka. “jadi, lo putusin?”

kairie terkekeh, “enggak,” ia tatap joziah kemudian, “aku bodoh kan?”

baru joziah akan menyangkal, kairie kembali mengeluarkan suaranya, “aku lakuin itu demi luca, tapi tepat di hari kak jordan temuin aku itu, dia marah. dia marah karena aku tanya ke dia soal rekan kerjanya itu dan dia lemparin aku sama vas bunga. luca... luca juga hampir jatuh dari kasur karena dia nangis waktu aku nggak bisa tenangin luca karena dia jambak aku,” jawabnya sembari tersenyum dan joziah tahu itu bukan senyum senang karena mata pria manis itu mulai berlinang air mata.

and you're going trough all of that.. alone?

joziah mulai iba, terlebih saat kairie kembali menatapnya, “siapa lagi yang aku punya selain luca? mama pergi sama pria lain, papa udah nggak ada dan titipin aku ke mantan tunangan aku yang ternyata kaya gitu. aku nggak tahu papa akan sekecewa apaa lihat aku sekarang, aku pasti udah ngecewain beliau.”

“kairie..”

hiks!

joziah terkejut begitu dengar lelaki manis itu mulai sesenggukan. alhasil, ia bawa kairie ke dalam pelukannya sembari menggumamkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “aku nggak bisa bayangin gimana reaksi papa waktu tahu aku jadi kaya gini. aku juga nggak tahu gimana reaksi luca nanti waktu tahu aku sempet mau ajak dia ngakhirin hidupnya. semuanya pasti kecewa sama aku. berhari-hari aku mikir, joziah, aku mikir kenapa semuanya dateng ke aku di satu waktu yang sama. aku nggak kuat.. hiks.. demi tuhan, i'm not his strongest soldier.”

joziah tak bisa berkata apa-apa, ia hanya menepuk punggung pria yang baru-baru ini diketahuinya itu. entah apa yang ada di dirinya hingga kairie bisa menumpahkan semua pada dirinya. tapi apapun itu, joziah bersyukur. “kairie, gue nggak tahu apa rencana tuhan, tapi gue yakin apapun itu, itu terbaik buat lo. gue juga yakin papa lo bangga sama lo, karena lo bisa ngelewatin ini semua. luca juga bakal bangga sama lo karena lo udah perjuangin apapun yang lo punya buat dia. percaya sama diri lo sendiri, ya?”

kairie melepas pelukannya. dapat joziah lihat lelaki manis itu menghapus air matanya sembari melemparkan senyum padanya, “itu kalimat terpanjang yang pernah kamu kasih ke aku selama ini,” katanya, “makasih ya joziah, aku nggak tahu kenapa aku akhirnya bisa blabbering waktu ditanya sama kamu, semuanya ngalir gitu aja,” lanjut kairie sembari tersenyum, senyum paling tulus yang pernah joziah lihat selama 2 minggu ini.

joziah merasa hatinya menghangat mendengar itu. ada sesuatu yang menjalar di dadanya melihat senyum dan mendengar ucapan terima kasih dari kairie. “i'm happy that i can help,” katanya sembari memalingkan wajah dan memegang tengkuknya yang terasa hangat.

“iya, terima kasih banyak ya.”

kairie masih berseri-seri ketika akhirnya joziah keluarkan kalimatnya lagi, “gue tau ini tiba-tiba banget, how about we become friends? lo bisa panggil gue kapan aja lo butuh temen atau chat gue.”

can i?”

“gue nawarin lo, kairie.”

kairie terkekeh, “lucunya kamu baru nawarin jadi temen aku setelah aku nangis-nangis di pundak kamu, joziah.”

“ya, lo udah emosional duluan, gue bisa apa?” kairie membuka mulutnya tidak percaya mendengar itu. ia mendaratkan satu tinju di lengan joziah, “that's so mean!” protesnya yang membuat joziah tertawa.

kairie hanya menggelengkan kepalanya, ia kemudian menyodorkan tangannya, “so.. friends?

“lo umur berapa sih? ngapain pake begituan juga?”

“lakuin aja kenapa sih!?” kairie berkata sembari menyodorkan tangannya lebih dekat, kali ini joziah menerimanya. “friends.

keduanya saling melempar senyum sebelum akhirnya tangisan dari luca terdengar sampai keluar, membuat kairie segera masuk ke dalam tak lupa ia membawa joziah untuk turut masuk. untuk berkenalan dengan luca, katanya. memang ada-ada saja, tapi joziah tidak keberatan kali ini.

Kakinya mengetuk tanda tidak sabar, jam sudah terpatri pada pukul 3:50 sore yang berarti kelasnya akan rampung sebentar lagi. Jiwanya begitu menggebu, ingin sekali segera berlari dari ruang kelas jikalau bukan dosen killer yang kini sedang berdiri menjelaskan tugas untuk pekan depan.

“Baik, sepertinya sudah cukup, jika tidak ada pertanyaan lagi saya akhiri. Sampai bertemu kembali minggu depan, jangan lupa untuk mengumpulkan tugasnya tepat waktu, saya pamit.”

Tanpa babibu Nale segera berlari menuju parkiran kampus, mengabaikan teriakan sang rekan lab, Marco, karena seharusnya hari ini mereka memiliki jadwal lanjutan penelitian yang akan dilakukan sampai malam. Tapi sepertinya ia akan datang terlambat karena prioritasnya sekarang adalah bertemu sang belahan jiwa, Ryo.

Jantungnya semakin terpacu kala mobilnya sudah berbelok dan ia parkirkan dengan mulus. Debuman pintunya keras saking semangatnya, namun raut bingung kini menghiasi wajah, kemana perginya Ryo? Sudah 5 menit ia duduk di bangku cafe, tapi Nale tidak melihat presensi waiter dan kasir, terlebih Ryo. Hingga akhirnya Pradana atau lebih sering dipanggil Dadan muncul dari pintu masuk.

“Eh Nale, udah daritadi disini? Sorry banget gaada yang jaga di counter soalnya abis ngurusin sesuatu dibelakang.”

Pria itu menggeleng dan tersenyum, “gak masalah Dan, cuman mau nanya aja, Ryo hari ini gak masuk?”

Dana menghela nafas, “itu dia, Na. Hari ini aku gantiin Ryo makanya disini. Barusan kita sibuk di belakang karena anak-anak lain abis nganterin Ryo kerumah sakit, bocahnya tiba-tiba pingsan tadi.”

Deg.

Ini… tidak mungkin kan?

Tuhan… demi Tuhan… jangan lagi…

Keringatnya mengucur deras, tangannya bergetar karena rasa takut mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Meskipun badannya lemas ia memberanikan diri untuk bertanya dimana tempat Ryo dirawat. Dana juga belum mengetahui alasan Ryo pingsan, sehingga kini otaknya penuh akan pikiran negatif, rasa trauma itu melekat kuat meskipun ia merasa kali ini Tuhan begitu baik telah memberinya kesempatan lagi dan lagi. Tapi tetap saja ia tak serta merta bisa menepis segala takdir yang Tuhan telah beri.

“Aku mohon Ryo… jangan lagi, tolong…”

Air mata menetes saat ia tiba di ruangan tempat Ryo di rawat, ternyata disana masih ada karyawan 2nd. yang sepertinya sedang bersiap untuk pergi.

“Nale? Eh iya, bener Nale kan?”

Nale mengangguk, kemudian wanita itu melanjutkan kalimatnya, “Maaf kalau merepotkan, tapi boleh nggak ya kalau saya minta tolong buat jagain Ryo sampai dia bangun? Karena kayanya cafe butuh barista yang stay disana, dan Ryo lagi sakit jadi harus saya yang standby di cafe.” ucapnya.

Tanpa ragu pria itu mengangguk, “silahkan aja, kalau kalian gak balik lagi kesini dalam waktu dekat pun juga gapapa, biar saya aja yang temanin Ryo sampai jadwal ranapnya selesai.”

Tangan wanita itu menyatu di depan wajah, sebagai gestur ucapan terima kasih. Setelahnya ia segera keluar untuk kembali menuju cafe dengan cepat. Cafe 2nd. memang belum merekrut karyawan lagi sejak 2 anggotanya resign seminggu yang lalu, jadi untuk saat ini hanya bisa mengandalkan pekerja part time seperti Ryo dan wanita yang keluar barusan.

Nale lantas segera menghampiri pria yang terlihat pucat terbaring di atas brankar, tubuhnya nampak sedikit kurus dengan infus yang masih menancap di punggung tangannya. Nafasnya teratur, namun pada dahinya terdapat beberapa bulir keringat yang segera diseka oleh Nale.

“Hei Ryo… akhirnya kita bertemu lagi, sayang. Maafkan harus menunggu lama, tapi semoga sekarang kita bisa berakhir dengan baik, ya?”

Perkataan Nale membuat Ryo yang sedari tadi terlihat tidak nyaman menjadi sedikit lebih nyaman. Terlihat dari dahi berkerut si manis yang perlahan mulai memudar. “Kamu ini mimpi apa sih, Ryo? Sampai kaya gini..”

Nale genggam tangan Ryo yang tertancap jarum infus dan membawanya mendekat ke wajahnya untuk diberikan kecupan sayang. Tidak ada yang tahu seberapa bersyukurnya Nale karena dapat kembali melihat Ryo sekarang. Bayangan bagaimana hidupnya tanpa Ryo yang muncul di mimpinya semalam membuatnya takut. Ia takut jika harus kembali kehilangan si manis yang kini tangannya ia genggam.

Nale berharap ia dapat menggenggam tangan Ryo. Selalu. Selamanya.

“Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Karena setelah ini aku akan selalu mengganggu harimu dengan kehadiranku dua puluh empat per tujuh,” katanya sembari berdiri dan memberikan kecupan di puncak kepala Ryo yang mulai terlihat nyenyak dalam tidurnya.

Dua jam berlalu. Nale tak melepaskan matanya dari Ryo sepanjang itu. Ia habiskan waktunya dengan melihat paras manis Ryo sembari menerka-nerka, apa yang dilakukan pria manis ini hingga ia seperti ini?

Ketika genggaman tangan Nale mendapatkan balasan, pria yang sedari tadi menenggelamkan wajahnya di selimut Ryo itu langsung mendongak, “Ryo?”

“N-Nale..”

Nale dengan semangat berdiri dari duduknya, ia mendekat pada Ryo dan menatap parasnya lekat-lekat, “Aku di sini, Ryo. Kamu sudah sadar?”

“Minum…”

Tak banyak berkata, Nale segera mengambilkan minum yang diberikan di nakas samping ranjang milik Ryo dan memberikannya kepada sang empu. Selama itu juga Nale tak melepas pandangannya dari Ryo —lagi.

Bedanya kali ini, Ryo merasa sedikit risih akan pandangan Nale kepadanya. Pandangan yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun —kecuali seseorang yang muncul di mimpinya barusan.

Tapi walau begitu, Ryo juga tidak mau membuat netra Nale lepas darinya, ia rindu tatapan itu.

“Nale,” panggil Ryo setelah menaruh gelas air kembali ke nakas.

“Hm?”

“Kamu nggak mau peluk aku? Kamu nggak rindu?”

Nale membeku. Posisinya dengan Ryo saat ini hanyalah teman —tapi mesra— yang sejujurnya untuk berinteraksi manis pun masih malu-malu dan ragu. Tetapi perkataan Ryo barusan ini tidak terlihat seperti mereka sebelumnya.

Nale tidak tahu harus berkata apa. Apakah apa yang ada di pikirannya saat ini benar? Apakah Ryo benar sudah mengingat semuanya? Semua masa lalu mereka?

“R-Ryo.. Kamu..”

Ryo tersenyum dan mengangguk, “Iya Nale. Aku ingat. Kamu suamiku, Nai putri kita. Namaku yang selalu kamu panjatkan di doamu supaya aku nggak kembali diambil sama Tuhan dan selalu ada di samping kamu. Aku ingat semuanya.”

Grep!

Ryo sedikit terkejut namun tidak menghindar dikala ia menerima pelukan erat dari Nale. Si pria manis tersenyum lembut sebelum membalas pelukan Nale.

Tak lama, ia rasakan bahunya basah. Nale menangis. “Nale? Kamu nangis?”

Dengan suara paraunya Nale menjawab perkataan Ryo, “Aku kangen, banget Kamu nggak tahu gimana menderitanya aku tanpa kamu, Ryo. Sakit. Tiap hari aku berpikir buat menyerah dan nyusul kamu tapi aku nggak bisa karena janjiku sama kamu. Sakit, Ryo,” isaknya. Sedikit tidak jelas memang, —karena pria itu menenggelamkan wajahnya di bahu Ryo— tapi Ryo bisa menangkap perkataan Nale dengan baik.

Tepat ketika Nale berkata seperti itulah Ryo mendapat pandangan soal masa lalu pria itu setelah ia tinggalkan. Bagaimana Nale menangis tiap malam sembari memeluk fotonya, bagaimana Nale selalu pergi ke tempat istirahat terakhirnya hanya untuk memandangi fotonya yang dipasang dengan begitu indah disana, dan bagaimana Nale hanya diam di kamarnya saat Nai tidak ada di sana untuk merenungkan segalanya. Itu semua muncul dan terlihat oleh Ryo, membuat si pria manis juga ikut menangis merasakan sakitnya.

“Nale, maaf. Semua itu nggak akan keulang lagi. Semua doa yang selalu kamu panjatkan buat aku bisa kembali di kehidupan ini, Nale. Makasih banyak, karena disaat aku nggak ada disampingmu kamu selalu ingat aku dan kasih aku kesempatan buat kembali hadir di dunia ini dan ketemu sama kamu sama Nai. Makasih banyak, Sayang.”

“Ryo..”

“Dan maaf karena nggak ada di sampingmu saat kamu sakit, saat kamu hampir menyerah, padahal aku sudah berjanji nggak akan ninggalin kamu. Maaf ya? Kamu maafin aku kan, Nale?”

Nale melepas peluknya dan menghapus air mata Ryo. Ini tidak adil, bahkan disaat wajah Ryo memerah dan penuh dengan air mata, pria itu masih terlihat sangat sangat manis.

“Aku selalu maafin kamu, Sayang. Makasih sudah bersedia hadir lagi di dunia yang jahat ini buatku, ya?”

“Aku sayang kamu, Nale.”

“Aku lebih, Sayang. Aku lebih.”

. . .

Besoknya Ryo sudah diperbolehkan pulang. Rupanya pria manis itu kelelahan karena mengejar beasiswa kuliahnya. Pria manis itu juga sudah mendapat banyak omelan dari Nale terkait kesehatannya.

Dan kalau boleh jujur, omelan Nale itu membuat Ryo ingin membekap mulutnya saking muaknya dengan omelan yang diulang-ulang. Namun tentu itu tidak dilakukan karena Ryo tahu, Nale melakukan itu karena ia menyayanginya.

Kini Nale mengantarkannya pulang hingga unitnya. Ya, walaupun Nale sekalian pulang karena unit mereka bersebelahan, sih.

“Surprise!” ucapan Nale terdengar ketika mereka membuka pintu unit Ryo. Membuat Ryo sedikit terkejut awalnya dan tambah terkejut lagi ketika melihat unitnya kini dihiasi dengan balon-balon oleh Nale.

Ah, kekanakan sekali prianya ini.

“Nale ini apa?”

“Perayaan karena kamu sudah pulang dari rumah sakit.”

Ryo mendengus geli, “Aku cuma pulang dari rumah sakit, bukan ulang tahun atau apapun itu, Nale.”

“Semua tentangmu pantas buat dirayakan, Sayang.”

Mungkin awalnya Ryo memang merasa bahwa Nale kekanakan, namun mendengar jawaban itu hatinya menghangat. Tak pernah ia rasakan ini lagi semenjak kedua orang tuanya pergi, namun kini Nale memberikan itu untuknya. Ia sangat bersyukur.

Tuhan, tolong jangan bawa aku pergi jauh dari pria ini lagi. Aku begitu mencintainya dan bisa merasakan cintanya yang besar padaku.

“Udah jangan ngelamun, yuk kesini dulu, duduk.”

Nale menarik tangan Ryo untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. Ketika keduanya berhadapan pun, Nale tidak melepas genggaman tangan mereka.

“Ryo, sebenarnya balon balon ini bukan hanya buat perayaan kamu pulang dari rumah sakit.”

“Lalu kalau bukan buat itu, buat apa?”

Nale tersenyum, ia bawa tangan Ryo untuk ia kecup, membuat wajah Ryo memerah malu atas kelakuannya –dan tentu ini membuat Nale tersenyum semakin lebar.

“Ryo,” bukannya mendapat jawaban, Nale justru kembali memanggil namanya. Ryo tak menjawab, ia hanya memandang wajah pria tampan itu.

“Kehidupan ku sebelum ini mungkin memang jadi salah satu kita berdua bisa kaya sekarang. Tapi diluar itu, pertemuan kita di kehidupan ini dimana aku bisa jatuh ke kamu sedalam ini meski aku nggak ingat gimana kehidupanku sebelumnya, aku yakin itu semua takdir yang bermain. Bukan cuma kebetulan aja. Aku bersyukur aku diberi kesempatan lagi buat beri kamu kebahagiaan, Ryo. Sangat bersyukur—” Nale menjeda ucapannya dan melempar senyum pada Ryo.

“Karena itu, boleh nggak di kesempatan ketiga ini, kamu aku jadiin punyaku lagi? Aku memang nggak bisa janji aku bisa buat kamu selalu bahagia, tapi aku bisa janji aku nggak akan buatin kamu pancake lagi–” Ryo mendengus geli mendengar ucapan Nale, buat pria itu terkekeh.

“Dasar!”

“Hehe, tapi bener aku nggak akan buatin kamu pancake lagi dan juga aku bakal berusaha buat beri kamu kehidupan yang terbaik yang pernah kamu rasain. Jadi.. bolehkan aku milikin kamu lagi, Ryo?”

Ryo tersenyum manis, semua kesedihannya sebab rasa rindu pada Nale sudah habis kemarin dan saat ini Nale berikan lagi perasaan yang baru. Cinta. Ryo bersumpah ia tak pernah merasakan itu di kehidupannya saat ini tetapi ia bersyukur bahwa Nale lah yang ia cintai untuk pertama kalinya di kehidupannya sekarang.

“Kamu pikir setelah semua yang aku laluin sampai sekarang aku bakal jawab ‘nggak boleh’ ke pertanyaan kamu, Nale? Tentu aja BOLEH BANGET!”

Nale tersenyum lebar mendengarnya, ia kemudian tarik Ryo ke dalam pelukan hangatnya dan Ryo membalas itu, tak kalah hangat dari pelukan Nale.

“Aku sayang kamu. Banget.”

“Aku juga sayang kamu, Nale.”

“Janji nggak tinggalin aku sekarang?”

“I’ll try my best.”

“Jangan. Kamu memang nggak boleh tinggalin aku lagi sekarang. Aku nggak bakal bisa ngelaluin kehidupan lagi tanpa kamu sekarang.”

“lebay banget sih! Pacar siapa ini?”

“Pacar Nale.”

Ryo terkekeh dalam pelukan Nale. Begitu juga Nale. Pelukan ini hangat, mengalahkan hangatnya matahari di pagi hari, jika Ryo bisa berkata. Pria manis itu berjanji bahwa ia akan terus mengingat bagaimana hangatnya pelukan itu hingga ia tak akan pernah bisa meninggalkan Nale lagi. Ia tak akan pernah bisa hidup tanpa pelukan ini.

Prang!

Naas, mendengar suara pecahan itu pelukan mereka refleks terlepas. Pasangan baru –eh atau bukan?– itu menoleh ke jendela unit Ryo yang menampilkan seekor kucing tetangganya masuk melalui balkon dan memecahkan pot yang ada di sana.

Meow!

Keduanya kemudian saling tatap. “Poppy?” kata keduanya kompak.

Satu detik, dua detik, dan kemudian tawa mereka pecah bersamaan. Nale melingkarkan tangannya pada bahu Ryo dan mengusak rambut si pria manis.

“Kita semua sudah lengkap sekarang, Sayang. And that’s the best thing that ever happened in my life, in our life. I love you, Ryo. Forever.

“Kakak! Nai kangen!”

Nale tersenyum gemas ketika melihat adik perempuannya masuk ke dalam mobil dengan teriakan semangat, berkata bahwa ia rindu pada Nale yang memang sudah lama tidak dilihatnya. Biasanya Nai menghabiskan waktu sebelum tidur bersama si kakak, namun sekarang karena Nale tinggal di apartemen, si kecil itu kesepian.

“Kak Nale juga kangen sama Nai. Pakai sabuk pengamannya, Nai.”

“Okidoki!”

Nale melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jarak antara rumah teman Nai dengan jarak apartemennya sekarang cukuplah jauh hingga memakan waktu hampir 30 menit untuk sampai. Di dalam mobil, Nale disibukkan dengan ocehan dari Nai yang menceritakan bagaimana hari-harinya seminggu ini tanpa sang kakak. Ah, rasanya Nale rindu dengar celotehan ini tiap malam.

Tak terasa, kini sudah 20 menitan mobilnya berjalan dan ketika Nale berhenti di depan Cafe milik Ryo, dapat Nale lihat bahwa si pria manis sudah duduk di depan Cafe yang tutup itu sembari sesekali menggosok tangannya yang terasa dingin. Sedangkan si kecil Nai langsung mengintip keluar dari jendela.

“Eh? Kita nggak ke apartnya kakak?”

“Nanti dulu ya, Nai. Tunggu sebentar kakak turun, kamu jangan pencet-pencet sembarangan.”

Nai tidak diberikan waktu untuk menjawab perkataan Nale karena pria itu keburu keluar dari mobilnya. Dapat Nai lihat bahwa Nale menghampiri seseorang yang sedang berdiri di depan Cafe tempat mobil kakaknya berhenti. Si kakak juga memberikan jaketnya pada seseorang itu sebelum akhirnya mengajaknya masuk ke dalam mobil.

“Eh?” Begitu dibukakan pintu depan oleh Nale, Ryo dikejutkan oleh sosok gadis kecil yang juga duduk disana. Itu pasti adiknya Nale, batinnya.

“Nai pindah belaka–

Ucapan Nale diberhentikan oleh Ryo. Pria manis itu terlihat menyamakan tingginya dengan Nai yang tengah duduk dan tersenyum. “Halo, kamu adiknya Nale ya?! Kenalin aku Ryo. Kamu bisa panggil aku Kakak Ryo.”

Manik Nai berbinar senang mendengar itu. “Kakak Ryo!” ia menyapa dengan semangat dan dijawab anggukan oleh Ryo yang masih tersenyum manis.

“Aku aja yang dibelakang, Nale.”

Ryo menolehkan pandangan pada Nale yang masih berada di sebelahnya, yang tadi membukakan pintu untuknya. “Ta–

“Kakak Ryo di depan aja, Nai mau dipangku, boleh?!”

Lagi-lagi Nale dipotong ucapannya. Mendengar celetukan sang adik tentu saja, Nale langsung menoleh menatap adiknya. “Nai, nggak sopan!” ujarnya yang membuat si gadis cemberut.

“Nggak papa, Nale. Aku nggak ngerasa kalau Nai nggak sopan. Nai mau duduk sama kakak? Ayo kakak pangku ya?!”

Nai langsung kembali tersenyum. “Yeay!! Okay!”

Setelah menghela nafasnya, Nale tersenyum. Entah mengapa hatinya terasa hangat melihat keakraban Ryo dan Nai yang bahkan baru bertemu hari ini. Keduanya seperti seorang teman yang sudah dipisahkan begitu lama. Langkah kakinya menuju kursi kemudi terasa begitu ringan setelahnya. Ah, hari ini akan menjadi hari yang sangat indah.

Perjalanan ke apartemen Nale dan Ryo tentu saja tidak memakan waktu lama, ditambah dengan bagai percakapan manis di mobil, perjalanan itu terasa semakin cepat. Ketika sampai, Nale kembali membukakan pintu buat keduanya dan Ryo yang menerima perlakuan itu tentu tidak bisa bersikap biasa.

Tak mau memungkiri, adanya kaitan kehidupan masa lalunya dengan kehidupan masa lalu milik Nale ditambah kedekatan mereka sekarang ini, Ryo sedikit tertarik dengan si pria. Bagaimana pria itu memperlakukannya menunjukkan bahwa Nale memang tumbuh dalam keluarga baik-baik yang penuh dengan kehangatan. Ah, andai Ryo bisa merasakan kehangatan itu juga. Ia jadi rindu dipeluk oleh mendiang Baba dan Mama nya.

“Makasih, Nale.”

Nale hanya balas dengan senyum. Mereka bertiga akhirnya berjalan bersama menuju unit milik Nale. Ryo –setelah mendapat ijin dari Nale tentu saja– kemudian juga mulai menyiapkan makan untuk mereka bertiga malam ini. Sedangkan Nale? Ia menjaga Nai di ruang tamu setelah memberitahukan letak-letak piring dan panci kepada Ryo karena si gadis kecil itu akan merecoki Ryo di dapur jika Nale ikut membantu Ryo.

Wangi masakan tercium beberapa menit setelahnya. Ryo segera menaruh hasil masakannya di meja makan dan disusul oleh Nale dan Nai yang juga turut mencium harumnya. “Wanginya, kamu masak apa, Ryo?”

Ryo tersenyum sembari menaruh beberapa piring. “Cuma tumis ayam brokoli dan kentang panggang. Kurang nggak?” Sederhana, tapi terlihat sangat lezat.

Nai dan Nale bersamaan menggeleng kemudian duduk di kursi sembari menunggu Ryo. Ditengah menuangkan kentang panggang ke piring, Ryo berhenti dan menatap pasangan kakak adik itu, “Oh iya! Kalian makan brokoli kan?”

Keduanya saling tatap kemudian mengangguk kaku. Mata Ryo memincing curiga, “Bener?”

Keduanya kembali mengangguk. Buat Ryo tersenyum geli dalam hati. Ia menyimpulkan bahwa keduanya tidak suka makan sayur, maka dari itu Ryo akan membuat mereka memakannya hari ini.

“Sayur itu sehat tau? Brokoli itu favoritku. Aku paling jago masak tumis brokoli dan ayam, kalian harus coba.”

Setelahnya Ryo mengambilkan beberapa sendok nasi untuk keduanya dan juga lauk, yang tentu saja banyak brokoli yang dimasukan ke dalam piring keduanya. Baru setelahnya Ryo mengambil untuk dirinya sendiri dan duduk di hadapan kakak adik itu. “Ayo dimakan.”

Nai dan Nale menatap sayur hijau yang begitu banyak di piring mereka itu dan baru setelahnya mengambil sendok. Secara bersamaan mereka mengambil brokoli dengan sendoknya dan melahapnya meskipun terlihat ragu di awal. Hey, ingat mereka berdua benci sayur. Ryo hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka dan makan dengan tenang.

Satu kunyahan.

Dua kunyahan.

“ENAK!” keduanya berucap bersamaan membuat Ryo sedikit terkejut. Untung nasi di mulutnya sudah tercerna dengan baik barusan, jika tidak ia bisa saja tersedak.

Setelahnya Nale dan Nai makan dengan lahap masakan Ryo yang membuat sang empu tidak tahan untuk tidak tersenyum. Senang rasanya melihat mereka menikmati masakan yang dibuatnya dengan penuh cinta it— eh? Ah, tentu saja Ryo kan selalu memasak dengan cinta bahkan untuk dirinya sendiri, jadi tidak salah jika ia bilang masakannya untuk Nale dan Nai juga dibuatnya dengan penuh cinta, kan?

…iya kan?

“Ah! Iyaaaa! Benar! Nai baru ingat!” di tengah-tengah suasana yang sunyi saat mereka makan, tiba-tiba Nai bersuara. Yang mana membuat Ryo memusatkan pandangan pada si gadis dan Nale mengernyit tidak suka.

“Nai, nggak sopan ngomong waktu masih ada makanan di mulut. Telan dulu.”

Nai menuruti ucapan kakaknya baru setelahnya tersenyum. Si gadis menatap Nale dan Ryo bersamaan yang membuat keduanya heran. “Kenapa, Nai?” Ryo bertanya.

“Hehe aku baru ingat!”

“Apa?”

“Kak Ryo itu yang sering Kak Nale ceritain di rumah kan?! Yang tinggal di samping apartemennya kakak?”

Ryo menoleh ke Nale, “Kamu sering ceritain aku ke keluarga kamu?”

Pertanyaan to the point itu membuat Nale menggaruk tengkuknya canggung, “Ya, mamaku -dan Nai- sering minta aku buat cerita soal hari-hariku. Karena aku ketemu kamu setiap hari jadinya ya.. begitu.”

Wajah keduanya memerah sempurna. Namun Nai tidak menyadarinya dan tersenyum bahagia karena akhirnya ia melihat si kakak yang diceritakan oleh Nale itu. Nai mengangguk-anggukan kepalanya, seperti seorang detektif yang baru menemukan latar belakang kasusnya.

“Oh jadi bener ya…” gumam si gadis. Kemudian ia ingat perkataan kakaknya waktu itu, saat kakaknya bercerita kepadanya dan juga kepada mama.

“Kak Ryo, kata Kak Nale kakak manis!”

“UHUK!”

“Eh? Kok Kak Nale sama Kak Ryo batuknya bisa bersamaan gitu?”

Keadaan kota tampak lebih lengang dari biasanya, kuda besi milik Nale berjalan mulus melewati jalanan tanpa terhadang kemacetan. Maka inilah tiba saatnya, setelah menjelaskan secara detail mengenai penelitian dan melalui sedikit kesusahan meminta izin pada sang papa, akhirnya ia mendapatkan juga izin itu dan tinggal di apartemen yang dimiliki sang papa. Lokasinya memang cukup strategis, hanya sekitar 10-15 menit berkendara menggunakan mobil untuk mencapai tempat dirinya melakukan penelitian dan juga kampusnya, bahkan jika berjalan kaki, ia pun akan sampai di kampus dalam waktu kurang dari 15 menit. Sangat lumayan, dengan waktu yang terpotong mencapai 45 menit jika ia harus berangkat dari kediamannya.

Namun Mama tetaplah seorang Mama. Persyaratan yang ia ajukan tentunya banyak, seperti sang empu wajib pulang saat weekend jika tidak ada lembur, memiliki stock sayur-sayuran hijau yang ia benci serta berbagai macam buah yang tidak bisa ia sebutkan, video call harus selalu diangkat terlebih jika Nai yang menghubungi, dan masih banyak lagi sampai ia mendengarnya pun terasa pening, tentunya hanya Nale respon dengan anggukan pasrah.

Kantong belanja berisi berbagai macam kebutuhan sehari-hari sudah ia ambil dari bagasi belakang, setelah berulang kali menghela nafas, akhirnya pria tersebut berjalan menuju unit nomor 7 di lantai 23, cukup tinggi karena apartemen ini memiliki tiga jenis residensial yang berbeda, low level digunakan untuk hotel, middle-up digunakan untuk apartemen seperti tempatnya kini tinggal, dan satu lagi adalah penthouse, menakjubkan bukan?

Setelah membersihkan diri dan menyimpan bahan makanan menuju kulkas, ia berinisiatif membuat pancake untuk dibagi sekaligus berkenalan pada tetangga. Dalam satu lantai apartemen memang hanya ada 7 unit, sehingga ia tidak perlu repot memasak hidangan yang banyak. Tangannya dengan lihai menuang adonan di atas teflon panas yang sudah diberi lelehan mentega, setelahnya ia menunggu adonan tersebut matang. Dirinya sudah auto pilot karena pancake adalah favorit Nai.

Kini sudah tersusun 7 kotak pancake dan dirinya sudah selesai berkenalan menuju 6 unit tetangga, sisa satu lagi dan sepertinya ia harus buru-buru karena lelah ingin beristirahat. Namun rencana itu harus ia tunda saat melihat seseorang yang membuka pintu unit nomor 6 setelah bel berbunyi,

“Ryo?”

Pria mungil dihadapannya hanya mengangkat alis, bingung, karena tampaknya ia tidak mengenali siapa Nale.

Nale berdehem, “ah maaf, kayaknya kamu lupa dan gak mungkin inget juga karena kita baru ketemu sekali. Waktu itu aku pernah mampir ke cafe tempat kamu kerja, 2nd.” ujarnya sambil mengulurkan kedua tangannya yang menggenggam kotak pancake, “Kenalin, aku Nale dari unit nomor 7 dan ini ada sedikit bingkisan perkenalan buat kamu.”

Pancake? Ah, Ryo benci sekali dengan pancake. Entah mengapa ia selalu memiliki firasat buruk jika memakan kue itu. Tapi karena ini hadiah, sepertinya ia tidak bisa menolak,

“Ah iya, salam kenal Nale, aku Ryo. Dan makasih banyak buat bingkisannya,”

Tangannya menerima bingkisan itu dengan hati-hati, karena ia sedang dalam mood tidak ingin melihat cuplikan masa lalu seseorang. Tapi rupanya ia terkejut karena tak menduga jika bagian bawah kardus itu masih panas.

“Aduh!” pekiknya, mengundang refleks dari Nale untuk menggapai telapaknya.

“Tanganmu gapapa? Maaf, aku lupa bilang kalau pancakenya masih panas.”

“Kenapa, Nale? Pancakenya kurang manis ya?”

“bukan kurang manis sayang, tapi rasanya asin. Tapi gapapa, pagi ini kamu masih ngantuk ya?”

“Maaf… sepertinya aku tadi salah mengambil toples.”

“Hey, sayang, kamu terlihat pucat. Sore nanti sehabis pulang bekerja kita kerumah sakit mau ya?”

Sekelebat memori tanpa izin masuk ke dalam otaknya, Ryo menggeleng kuat saat ia melihat bayangan tangisnya di rumah sakit, sebenarnya siapa pria di depannya ini? Mengapa dalam memori ini mereka berdua terlihat saling menyayangi? Apa hubungan mereka aslinya?

“Ryo? Kamu gapapa? Perlu aku ambilin salep luka-

Tangannya seketika ia tarik, tidak ingin lagi melihat kilasan memori Nale berlanjut.

“Ryo?” lanjut Nale, ikut terkejut ketika Ryo menarik tangan dari genggamannya.

“A-ah, maaf Nale, aku nggak bermaksud. Nggak perlu, tanganku baik-baik aja.”

Nale memindai perangai pria manis di hadapannya ini. Ryo terlihat menggenggam satu tangannya di depan dada. Dari bahasa tubuhnya, Nale langsung menyimpulkan bahwa Ryo terlihat tidak tertarik untuk memulai pertemanan, bahkan pembicaraan dengannya. Melihat itu, akhirnya Nale tersenyum canggung, ia memberikan sekotak pancake itu kepada Ryo yang kali ini langsung diterima dengan baik. Tetapi satu yang Nale sadari, si pria manis menghindari bersentuhan dengannya.

“Kalau begitu, aku masuk dulu ya? Maaf mengganggu waktumu.”

“Ah, bukan begitu maksudku. Maaf kalau sikapku membuat kamu salah paham, Nale.”

Akhirnya Ryo berikan senyum. Bagaimanapun juga kini mereka adalah tetangga dan Ryo tidak ingin merusak hubungan mereka bahkan di hari pertama mereka bertemu. Tidak enak juga apabila berseteru dengan orang yang tinggal dekat dengannya kan?

Melihat senyum dari Ryo, Nale akhirnya ikut tersenyum. Ah, baru kali ini Nale menerima senyum tulus dari pria itu. Senyum yang diberikannya pada saat melayani di Cafe terlihat dipaksakan. Tidak terlihat apabila tidak diamati memang, tetapi Nale kali ini merasakan hangatnya senyum itu. “Mohon bantuannya, Ryo.”

“Kalau begitu, mohon bantuanmu juga, Nale. Terimakasih atas pancake nya.”

Mereka kembali melempar senyum sebelum akhirnya Nale pamit dan kembali masuk ke unitnya. Setelah menutup pintunya, Nale meletakkan tangannya di depan dada. Jantungnya berdegup kencang melihat senyum manis yang Ryo berikan terakhir kali.

Apa ini? Kenapa senyumnya tidak asing dan terasa seperti deja-vu? Perasaan ini adalah perasaan yang sama yang Nale rasakan saat melihat Ryo di cafe kemarin. Ini aneh, tapi kenapa? Nale tidak merasa ia pernah melihat lelaki manis itu sebelumnya.

Keadaan kota tampak lebih lengang dari biasanya, kuda besi milik Nale berjalan mulus melewati jalanan tanpa terhadang kemacetan. Maka inilah tiba saatnya, setelah menjelaskan secara detail mengenai penelitian dan melalui sedikit kesusahan meminta izin pada sang papa, akhirnya ia mendapatkan juga izin itu dan tinggal di apartemen yang dimiliki sang papa. Lokasinya memang cukup strategis, hanya sekitar 10-15 menit berkendara menggunakan mobil untuk mencapai tempat dirinya melakukan penelitian dan juga kampusnya, bahkan jika berjalan kaki, ia pun akan sampai di kampus dalam waktu kurang dari 15 menit. Sangat lumayan, dengan waktu yang terpotong mencapai 45 menit jika ia harus berangkat dari kediamannya.

Namun Mama tetaplah seorang Mama. Persyaratan yang ia ajukan tentunya banyak, seperti sang empu wajib pulang saat weekend jika tidak ada lembur, memiliki stock sayur-sayuran hijau yang ia benci serta berbagai macam buah yang tidak bisa ia sebutkan, video call harus selalu diangkat terlebih jika Nai yang menghubungi, dan masih banyak lagi sampai ia mendengarnya pun terasa pening, tentunya hanya Nale respon dengan anggukan pasrah.

Kantong belanja berisi berbagai macam kebutuhan sehari-hari sudah ia ambil dari bagasi belakang, setelah berulang kali menghela nafas, akhirnya pria tersebut berjalan menuju unit nomor 7 di lantai 23, cukup tinggi karena apartemen ini memiliki tiga jenis residensial yang berbeda, low level digunakan untuk hotel, middle-up digunakan untuk apartemen seperti tempatnya kini tinggal, dan satu lagi adalah penthouse, menakjubkan bukan?

Setelah membersihkan diri dan menyimpan bahan makanan menuju kulkas, ia berinisiatif membuat pancake untuk dibagi sekaligus berkenalan pada tetangga. Dalam satu lantai apartemen memang hanya ada 7 unit, sehingga ia tidak perlu repot memasak hidangan yang banyak. Tangannya dengan lihai menuang adonan di atas teflon panas yang sudah diberi lelehan mentega, setelahnya ia menunggu adonan tersebut matang. Dirinya sudah auto pilot karena pancake adalah favorit Nai.

Kini sudah tersusun 7 kotak pancake dan dirinya sudah selesai berkenalan menuju 6 unit tetangga, sisa satu lagi dan sepertinya ia harus buru-buru karena lelah ingin beristirahat. Namun rencana itu harus ia tunda saat melihat seseorang yang membuka pintu unit nomor 6 setelah bel berbunyi,

“Ryo?”

Pria mungil dihadapannya hanya mengangkat alis, bingung, karena tampaknya ia tidak mengenali siapa Nale.

Nale berdehem, “ah maaf, kayaknya kamu lupa dan gak mungkin inget juga karena kita baru ketemu sekali. Waktu itu aku pernah mampir ke cafe tempat kamu kerja, 2nd.” ujarnya sambil mengulurkan kedua tangannya yang menggenggam kotak pancake, “Kenalin, aku Nale dari unit nomor 7 dan ini ada sedikit bingkisan perkenalan buat kamu.”

Pancake? Ah, Ryo benci sekali dengan pancake. Entah mengapa ia selalu memiliki firasat buruk jika memakan kue itu. Tapi karena ini hadiah, sepertinya ia tidak bisa menolak,

“Ah iya, salam kenal Nale, aku Ryo. Dan makasih banyak buat bingkisannya,”

Tangannya menerima bingkisan itu dengan hati-hati, karena ia sedang dalam mood tidak ingin melihat cuplikan masa lalu seseorang. Tapi rupanya ia terkejut karena tak menduga jika bagian bawah kardus itu masih panas.

“Aduh!” pekiknya, mengundang refleks dari Nale untuk menggapai telapaknya.

“Tanganmu gapapa? Maaf, aku lupa bilang kalau pancakenya masih panas.”

*“Kenapa, Nale? Pancakenya kurang manis ya?”

“bukan kurang manis sayang, tapi rasanya asin. Tapi gapapa, pagi ini kamu masih ngantuk ya?”

“Maaf… sepertinya aku tadi salah mengambil toples.”

“Hey, sayang, kamu terlihat pucat. Sore nanti sehabis pulang bekerja kita kerumah sakit mau ya?”*

Sekelebat memori tanpa izin masuk ke dalam otaknya, Ryo menggeleng kuat saat ia melihat bayangan tangisnya di rumah sakit, sebenarnya siapa pria di depannya ini? Mengapa dalam memori ini mereka berdua terlihat saling menyayangi? Apa hubungan mereka aslinya?

“Ryo? Kamu gapapa? Perlu aku ambilin salep luka-

Tangannya seketika ia tarik, tidak ingin lagi melihat kilasan memori Nale berlanjut.

“Ryo?” lanjut Nale, ikut terkejut ketika Ryo menarik tangan dari genggamannya.

“A-ah, maaf Nale, aku nggak bermaksud. Nggak perlu, tanganku baik-baik aja.”

Nale memindai perangai pria manis di hadapannya ini. Ryo terlihat menggenggam satu tangannya di depan dada. Dari bahasa tubuhnya, Nale langsung menyimpulkan bahwa Ryo terlihat tidak tertarik untuk memulai pertemanan, bahkan pembicaraan dengannya. Melihat itu, akhirnya Nale tersenyum canggung, ia memberikan sekotak pancake itu kepada Ryo yang kali ini langsung diterima dengan baik. Tetapi satu yang Nale sadari, si pria manis menghindari bersentuhan dengannya.

“Kalau begitu, aku masuk dulu ya? Maaf mengganggu waktumu.”

“Ah, bukan begitu maksudku. Maaf kalau sikapku membuat kamu salah paham, Nale.”

Akhirnya Ryo berikan senyum. Bagaimanapun juga kini mereka adalah tetangga dan Ryo tidak ingin merusak hubungan mereka bahkan di hari pertama mereka bertemu. Tidak enak juga apabila berseteru dengan orang yang tinggal dekat dengannya kan?

Melihat senyum dari Ryo, Nale akhirnya ikut tersenyum. Ah, baru kali ini Nale menerima senyum tulus dari pria itu. Senyum yang diberikannya pada saat melayani di Cafe terlihat dipaksakan. Tidak terlihat apabila tidak diamati memang, tetapi Nale kali ini merasakan hangatnya senyum itu. “Mohon bantuannya, Ryo.”

“Kalau begitu, mohon bantuanmu juga, Nale. Terimakasih atas pancake nya.”

Mereka kembali melempar senyum sebelum akhirnya Nale pamit dan kembali masuk ke unitnya. Setelah menutup pintunya, Nale meletakkan tangannya di depan dada. Jantungnya berdegup kencang melihat senyum manis yang Ryo berikan terakhir kali.

Apa ini? Kenapa senyumnya tidak asing dan terasa seperti deja-vu? Perasaan ini adalah perasaan yang sama yang Nale rasakan saat melihat Ryo di cafe kemarin. Ini aneh, tapi kenapa? Nale tidak merasa ia pernah melihat lelaki manis itu sebelumnya.

Tak terasa kini si pangeran bungsu dari Ainsley itu akan segera menikah.

“Anaknya papa!”

Lionel yang tengah bersiap dikejutkan dengan panggilan dari sang ayah. Ketika melihat melalui cermin di hadapannya, seluruh anggota keluarganya masuk ke dalam ruangan bersiapnya. Lengkap dengan Donovan, Anne, serta si kecil Ivy.

Lionel segera berdiri dengan semangat, ia lari ke dalam pelukan sang ayah. “Papaa!”

“Udah mau nikah ya sekarang ini si manis?” si papa berikan usakkan di rambut Lionel, “kamu besarnya cepet banget, io. Dulu kayanya masih bayi waktu digendong sama papa sama mama.”

“Hehe iya dong, papa! Makasih ya, Pa. Sudah rawat Io sampai sebesar ini.”

Sang papa tersenyum dan mengeratkan pelukan, “Selama 20 tahun lebih Io hidup, papa yakin papa sudah banyak banget nyakitin hati Io. Termasuk gimana papa nyembunyiin Io dan buat Io bingung sendiri atas perilaku papa. Papa mint—”

“Jangan minta maaf, Pa. Io tahu papa lakuin itu demi kebaikan Io,” Lionel memotong ucapan sang ayah yang membuat si pria paruh baya itu tersenyum.

“Tapi tetep aja perilaku papa nyakitin hati kamu, sayang. Makanya papa mau minta maaf. Setelah ini papa, mama, Kak Donovan, Kak Anne, sama Ivy nggak akan bisa lihat Io sebebas kami seperti kemarin. Jadi Io kalau ada apa-apa harus cerita ya? Kamu kesayangan kami semua.”

“Iya papa, makasih,” Lionel tersenyum lebar setelahnya. Hatinya menghangat mendengar permintaan maaf serta ungkapan sayang dari mantan Raja Ainsley itu.

“I love you, Papa,” ucapnya sebelum melepas pelukan dengan sang ayah.

“Papa love you more, Io.”

Setelahnya gantian sang ibu yang memeluk Lionel. Wanita itu sudah berderai air mata, “Io, sayang.. Selamat ya?”

Lionel terkekeh, “Mama jangan nangis. Nanti cantiknya hilang.”

Mendengar ucapan Lionel, bukannya berhenti menangis, mama justru semakin berderai air mata. “Mama sayaang banget sama Io. Maaf ya sayang, selama ini mungkin mama belum bisa jadi yang terbaik buat Io. Io harus tahu sampai kapanpun mama bakal selalu dukung Io dan bantu Io.”

“Makasih mama.”

“Dan.. mama sedikit banyaknya tahu bagaimana kehidupan pernikahan. Io, mungkin Io bakal ada di fase dimana kamu merasa jenuh sama hubungan kamu dan suamimu, semua bakal mengalami. Makanya mama mau Io pegang pesan mama ini. Io jangan cepat memutuskan, okey? Komunikasi itu hal yang sangat-sangat penting dalam hubungan. Terutama di pernikahan. Sekarang Io akan jadi milik Adrian dan masalah kalian tentu aja kalian yang harus selesaikan sampai akhir tuntas. Jangan sampai kalian berdua buat keputusan yang salah, ya?”

“Iya mama, makasih, hehe. Io sayang mama.”

“Mama juga sayang io,” sang mantan ratu berikan kecupan di puncak kepala sang putra yang dibalas kecupan di pipi oleh Lionel.

Dan ketika giliran Donovan, Lionel langsung masuk ke dalam pelukannya. Kakaknya inilah yang paling tahu bagaimana perjalanan hidupnya dari ia kecil sampai sekarang.

Donovan yang paling tahu bagaimana perjuangan Lionel untuk dapat mendapat haknya sekaligus bagaimana Lionel bisa bersama dengan Adrian. Tak pernah sekalipun sang kakak meninggalkan sisinya.

“Kak Doie. Karena kakak udah banyak kasih Io nasihat semalam. Sekarang gantian Io yang bilang. Kak Doie yang banyak tahu gimana Io dari kecil sampai Io sekarang. Makasih banyak kakak, karena udah sayang Io sebegini besarnya bahkan sampai kakak punya keluarga sendiri sekarang. Kak Doie nggak pernah sekalipun tinggalin Io sekalipun Io buat kesalahan, makasih banyak. Io sayang sayang sayang banget sama Kak Doie.”

Donovan terkekeh gemas, air matanya menetes mengingat bagaimana dulu ia yang melindungi Lionel dan setelah ini adik kecilnya sudah akan memiliki seseorang yang akan melindunginya sampai akhir hayatnya.

“Sama-sama, Io. Makasih juga udah hadir di hidup kakak, ya? Kakak lebih sayang Io.”

Tak perlu banyak kata yang diucapkan oleh Donovan, Lionel sudah tahu bagaimana berharganya ia di mata Donovan, begitu juga sebaliknya.

“Hiks! Kak Oie.”

“Eits! Masa nangis? Lihat, nggak malu tuh diliat Ivy?”

Lionel melepas pelukannya dan cemberut menoleh pada Anne yang tersenyum sambil menggendong Ivy. Donovan kira, Lionel akan memindah pelukan ke Anne, namun ternyata si manis itu justru mengajak Anne pelukan bersama dengan mereka.

“Io nggak malu nangis dilihat orang kalau nangisnya ke kakak. Io mau kak Anne, Ivy, atau bahkan semua orang tahu kalau Io beruntung punya Kak Doie.”

Anne menoleh pada Donovan dan pasangan itu tertawa bersama. Anne tentu sangat tahu bagaimana rasa sayang suaminya pada Lionel. “Kak Anne sama Kak Doie bakal selalu ada buat Io. Ivy juga. Nanti cepet buatin temen buat Ivy ya?”

“IHHH KAK ANNEEEE!”

“Tuh, gitu caranya biar adiknya berhenti nangis.”

Celetukan dari Anne kemudian membuat semua yang ada di ruangan itu tertawa melihat gemasnya Lionel yang malu-malu.


“Io! Cantik!”

Lionel menoleh ketika mendengar suara manis milik si kecil trent, Chloe, putri dari Juan dan juga Eugenie.

“Baby Ui! Makasih, sayang!” Lionel mendekat dan gendong Chloe yang saat ini berpakaian kembar dengan Eugenie, dress berwarna biru muda dengan bunga-bunga pada bagian rok, sesuai dengan tema yang diambil Adrian dan Lionel untuk pernikahan mereka.

Setelah keluarga Lionel. Kini orang-orang terdekat lelaki manis itu -kecuali Adrian tentu saja- masuk bergantian untuk mengucapkan selamat dan berfoto bersama.

“Jas kamu kusut nanti, Io. Turunin aja Ui nya.”

“Ih, gapapa tau Kak Eniee! Lagian Ui nggak banyak gerak, iyakan sayang?” Lionel berucap sambil menoleh pada Chloe pada bit terakhir. Kemudian pangeran dari Ainsley itu mengusakkan hidungnya dengan hidung kecil milik Chloe yang buat si princess tertawa senang.

Eugenie hanya tersenyum, Chloe memang selalu dimanjakan oleh Lionel juga Adrian sejak kecil.

“Io.”

Lionel menoleh mendengar panggilan dari Eugenie. “Iya kak?”

“Kakak mau bilang sesuatu ke io sebagai perwakilan dari keluarga Conor,” Eugenie berkata pelan. Karena waktu yang sedikit dan ia berbagi tugas dengan Juan untuk mengunjungi Lionel serta Adrian, maka ia yang menyampaikan pesan dari keluarganya kepada si calon menantu.

“Kami mau makasih sama Io karena mau terima Adrian apa adanya. Kami tahu, mungkin keluarga kami nggak akan bisa samain hangatnya keluarga kamu, tapi kami terima kamu Io, sebagai bagian dari keluarga kami. Jadi, kalau ada apa-apa, Io bisa minta tolong sama kami semua, Dad, Mom, Juan, dan juga kakak. Kami semua keluarganya Io sekarang. Ya?”

“Kak Enie.. makasih banyak,” Lionel yang masih menggendong Chloe mendekat pada Eugenie dan memeluk calon iparnya itu. “Nggak, Io. Makasih karena mau jadi pasangan dari Adrian. Kami sebagai keluarganya seringkali salah sama Adrian. Tapi karena Adrian punya kamu, maka Adrian nggak perlu rasain lagi sakit yang seringkali dia terima dari kami semua karena hangatnya kamu, Io.”

“Io sayang kak Enie, Chloe, sama semuanya.” Eugenie tersenyum mendengarnya.

“Kami juga sayang Io. Welcome to our family, Io!”


Suasana pernikahan Lionel dan Adrian tidaklah begitu ramai. Keduanya memutuskan bahwa mereka hanya akan mengundang beberapa kenalan terdekat serta keluarga mereka. Pernikahan ini tidaklah semeriah pesta teh juga pesta dansa yang biasa diadakan oleh setiap kerajaan setiap minggunya, tetapi Adrian serta Lionel yakin dengan inilah mereka akan merasa lebih nyaman dan bahagia.

Jika ingin tahu, pernikahan keduanya diadakan secara outdoors namun tertutup, sesuai dengan permintaan Lionel. Lokasinya sendiri berada pada dekat Gunung Anwealda serta Danau Varuna, tempat yang menurut Lionel serta Adrian sangat berarti bagi mereka.

“Io, ayo nak?”

Yang namanya dipanggil tersenyum. Kini Lionel sudah siap dengan penampilannya. Memang sederhana, dengan jas serta dasi yang tidak banyak ornamen, namun lelaki manis itu terlihat sempurna.

Perlahan, dengan rangkaian bunga di tangannya, Lionel berjalan ke sang papa dan menggamit lengan sang pria paruh baya.

Ketika namanya dipanggil, Lionel berjalan bersama ayahnya menuju altar. “Nak, makasih sudah wujudin salah satu mimpi papa sekarang ini,” sang ayah berkata sambil berjalan pelan bersama Lionel.

“Maksud papa?”

“Papa selalu bermimpi bisa anterin anak papa ke altar buat melepas dia ke pasangannya. Dan Io wujudkan itu hari ini. Makasih udah hadir di hidup papa ya, nak?” Io tersenyum manis mendengar itu, ia tak menjawab papanya. Dari senyumnya sekarang ini, sang papa pasti tahu bahwa ia juga bersyukur bisa memiliki keluarganya.

Dan saat tersenyum itu, maniknya tak sengaja bertemu dengan manik milik Adrian yang sudah menunggunya di sana.

Louie-nya terlihat sangat tampan.

Tak jauh berbeda dengan Lionel, Adrian yang berada di depan sana juga menahan gugup menunggunya di altar. Ketika maniknya menangkap Lionel berjalan bersama sang ayah dan juga tersenyum dengan sangat manis, jantungnya semakin berdegup kencang. Indah, Little Io-nya sangat amat indah.

Ladies and Gentlemen, let us welcome, Lionel Ainsley.”

Sang ayah melepaskan tangan Lionel ketika sudah tepat berada di depan Adrian. Ia bawa tangan putra manisnya menggenggam tangan Adrian dan tersenyum, “Adrian, jaga anak papa, ya?”

I will, Pa,” jawabnya dengan manik tak lepas dari wajah Lionel.

Dan ketika papa sudah mengundurkan diri dari tempatnya mengantar Lionel, Adrian genggam kedua tangan Io-nya.

You look stunning,” pujinya yang buat Lionel menunduk sembari tersenyum malu.

Thank you, Louie. You look gorgeous too.

Keduanya melempar senyum sebelum akhirnya mereka diberikan masing-masing sebuah mic untuk mengucapkan janji suci mereka.

Adrian tersenyum pada Lionel sebelum akhirnya mendekatkan mic pada bibirnya untuk mengucapkan janji sucinya.

“Pertemuan pertama kami, mungkin bukan sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang aku ingin ulangi. Tetapi aku bersyukur dengan adanya pertemuan itu, aku sekarang berdiri di sini bersama dengan kamu. Bagaimana perjuangan kita, mungkin juga bukan sesuatu yang mudah, bagaimana kita membangun rasa percaya kepada satu sama lain, bagaimana kita membangun kasih sayang pada satu sama lain, semua itu tidak kita lalui dengan mudah. Tetapi aku bersyukur kita sekarang berdiri di tempat ini dan membawa kamu untuk menjadi pasanganku sampai akhir hayat nanti,” Adrian menarik nafasnya sebelum melanjutkan.

Lionel, from the moment we knew each other, I knew there was something incredibly special about you. Your kindness, patience, and support have made me a better person. I promise to stand by your side through all of life's challenges and to celebrate all of our triumphs together. I vow to love you unconditionally, to honor and respect you, and to laugh and cry with you. You are my best friend, my partner, my family and my greatest love, and I can't wait to spend the rest of my life with you.

Manik Lionel berkaca mendengarnya. Ia tak menyangka Adrian menyiapkan ucapan yang semanis ini untuk dirinya.

Adrian tersenyum melihat bagaimana reaksi Lionel. Manik lelaki manis itu selalu indah dengan bintang-bintangnya. Adrian dapat bersumpah bahwa manik Lionel menjadi dan akan selalu menjadi salah satu favoritnya. Bagaimana manik itu berbinar ketika Lionel merasa senang, bagaimana manik itu berkaca-kaca ketika Lionel merasa terharu maupun sedih, semua itu akan selalu menjadi favorit Adrian. Selamanya.

“Jangan nangis,” Adrian ucapkan itu tanpa suara kepada Lionel. Membuat lelaki manisnya justru semakin berkaca-kaca.

Dengan bergetar, Lionel memegang micnya. Ia menutup matanya dan menarik nafas sebelum kembali menatap Adrian.

“Adrian Louis Conor, My Louie. Kamu adalah salah satu orang yang selalu aku syukuri kehadirannya di hidupku. Bagaimana kamu beri dukungan, bagaimana kamu selalu beri pundakmu, dan bagaimana kamu selalu beri pelukan ke aku, baik saat aku seneng maupun saat aku sedih. Itu semua akan jadi sesuatu yang selalu aku syukuri setiap hari, setiap menit, dan bahkan setiap detik di hidupku. Mungkin ini terdengar seperti berlebihan, tapi tanpa adanya kamu di sampingku sampai sekarang ini, aku tidak yakin aku akan bisa berdiri dengan baik sebagai diriku yang sekarang,”

Lionel beri senyum pada Adrian sebelum melanjutkan janjinya, “Adrian Louis Conor, today I stand here in awe of the incredible journey we’ve taken together. You are my rock, my safe haven, and my bestest friend. Your love has transformed my life in ways I never imagined possible. I promise to laugh with you in times of joy, to comfort you in times of sorrow, and to grow with you in love and understanding. I vow to be your partner in all of life’s adventures, to stand by your side through thick and thin, and to cherish and respect you always. You are my heart, my home, and my everything, and I can’t wait to spend the rest of my life with you, Louie. I love you.

Tepuk tangan terdengar begitu meriah setelahnya. Adrian serta Lionel saling melempar senyum sebelum akhirnya mendekat kepada satu dengan yang lain. Adrian dan Lionel memejamkan matanya dan kedua belah bibir mereka bertemu. Ciuman yang lembut dengan penuh perasaan, saling mengungkapkan rasa cinta mereka kepada satu dengan yang lain.

Tepuk tangan terdengar semakin meriah, khususnya dari para sahabat keduanya yang terdengar memberikan sorakan, turut bahagia atas keduanya.

Dan ketika ciuman mereka terlepas, Adrian dan Lionel saling melempar senyum. Tak mau memungkiri, Adrian sangat amat gemas melihat wajah merah milik Lionel yang begitu manis. Maka sekali lagi, calon raja Conor itu memberikan sebuah ciuman kepada Lionel. Bukan, bukan pada bibir lelaki itu, tetapi pada puncak kepalanya. Sebagai tanda bahwa ia sangat menyayangi lelaki manis yang kini resmi menjadi pasangannya.

i love you too, little io,” katanya mengakhiri untuk menjawab janji suci milik Lionel.

Sekali lagi keduanya melempar senyum manis sebelum Lionel menggamit lengan Adrian dan mereka berjalan bersama menuruni altar, sebagai pertanda bahwa mereka akan menjadi teman bagi satu sama lain untuk berjalan dalam hidup mereka sampai akhir hayat nanti.


Congratulations, kakak sama abang!”

Neil begitu bersemangat ketika Adrian serta Lionel berjalan menghampiri tempat duduknya bersama teman temannya setelah keduanya meminta restu pada keluarga mereka masing-masing.

“Makasih semua udah dateng!”

“Ya kali kita nggak dateng, Io! Salah satu couplenya 4=2 menikah nih,” Catherine berkata. Mereka masing-masing memberikan pelukan pada Adrian dan juga Lionel.

“Ditunggu susulannya,” Adrian berucap sembari menyenggol lengan Elio yang berada di sebelahnya.

“Hih nanti dululah! Berisik!”

Mereka semua tertawa mendengar jawaban Elio. Tak lama setelahnya Zevas berjalan menghampiri Lionel dan memberikan pelukan kepada sahabat lamanya. Ia belum sempat memeluk lelaki manis itu tadi.

“Selamat ya, Io. Tadi aku nggak sempet nyamperin di ruang rias. Aku turut bahagia lihat kamu sama Adrian udah jadi satu sepenuhnya. Semoga kalian selalu bahagia, oke? Kamu harus inget kalau aku masih jadi sahabat kamu dan bakal selalu siap buat jadi pendengar kamu waktu kamu sedih, selain Adrian tentu aja.”

Lionel tersenyum mendengarnya. Zevas juga salah satu yang menjadi saksi bagaimana ia menjalani hidupnya selama ini, “Zee, makasih banyak udah jadi temenku. Io bersyukur banget punya kamu dari dulu. Ya tentu aja kamu harus siap terus jadi pendengarnya Io. Kamu kan udah Io kutuk jadi bodyguardnya Io selama lama lama lamanya.”

“Heh ngawur!” Zevas melepas pelukannya dan mendorong Lionel mendekat pada Adrian pelan, “Tuh, bodyguard lo selamanya tuh Adrian tuh.”

Mereka kemudian tertawa bersama-sama melihat interaksi teman lama itu. Rasanya mereka semua bersyukur bisa memiliki satu sama lain.

Hingga akhirnya panggilan untuk Lionel serta Adrian terdengar. Waktunya berdansa.

Karena keduanya adalah tokoh utama hari itu, maka mereka harus mendahuluinya. Maka, Adrian mengulurkan tangannya kepada Lionel untuk berdansa.

May i have a dance with you, Pretty?

Sorakan dari teman-temannya terdengar, buat Lionel wajahnya memerah sempurna sedangkan Adrian hanya tersenyum gemas. Perlahan, Lionel menerima tangan Adrian.

Keduanya kemudian berjalan bersama ke tengah dan saat itulah musik mulai bermain. Satu putaran, hingga akhirnya para tamu lainnya diperbolehkan untuk berdansa juga bersama partner mereka.

“Io tahu nggak?”

“Hm, apa Louie?”

Sesuai dengan gerakan, Adrian menarik pinggang Lionel mendekat padanya, sebelum akhirnya menjawab, “Aku semalam mimpi.”

“Mimpi apa?”

“Aku dan kamu, Kita, ketemu sama..” Adrian menggantung ucapannya kemudian mendekat pada telinga Lionel dan berbisik, “putri kita.”

Wajah Lionel langsung memerah. Adrian tertawa, ia menaikkan lengannya dan Lionel berputar di bawahnya. Meski dengan malu-malu, tentu saja mereka harus tetap mengikuti irama musik dan berdansa sesuai dengan gerakannya.

“Io.”

“.. iya, Louie?”

Vivian Louis Conor,” Lionel mengernyitkan dahi mendengar nama yang asing yang terucap dari bibir Adrian.

“Siapa?”

“Nama putri kita di mimpinya aku. May i name her the same later when she's already here with us?

“Ih! Louie!” Lionel menepuk lengan Adrian pelan, malu-malu. Membuat Adrian semakin gemas dan tertawa akan tingkahnya.

“Boleh nggak, sayang?”

Lionel menunduk, “boleh,” gumamnya pelan.

“Hm, apa? Aku nggak denger sayang.”

“Ih! Boleeeeh!”

Adrian tertawa, ia kemudian menarik pinggang Lionel mendekat dan memeluknya, tak peduli kini mereka masih berada di tengah para tamu yang berdansa. “Alright, Little Io.

“Louie ngapainn? Lepas ihh, kita dilihatin!”

“Nggak papa dong, kan kita tokoh utamanya hari ini, sayang.”

“Ih! Louieeeee!”

“Hahahahaha!”

Biarlah keduanya saling bermesraan hari ini. Toh, memang hari ini adalah hari milik mereka berdua. Biarlah mereka berdua membuat banyak kenangan indah di hari ini sehingga mereka dapat ceritakan kepada semua orang kelak bagaimana bahagianya mereka di hari ini dan mengenangnya bersama hingga nanti mereka tua.

©bluemoonseu

warn! lowercase, accident

hari ini renjun sudah diperbolehkan untuk pulang. ya, meskipun ia harus tetap memakai kursi roda ataupun tongkat untuk bantuannya berjalan nanti, ia tetap merasa bersyukur sebab jeno tetap berada di sampingnya.

“sayang, sini, kubantu buat duduk,” itu jeno.

sedari tadi selama perjalanan, jeno memang meminta renjun untuk rebahan saja kursi penumpang. selain supaya renjun merasa nyaman, jeno ingin supaya kekasihnya itu tidak pegal jika harus duduk di depan.

karena jarak rumah sakit menuju apartemen renjun sendiri sangatlah jauh. ia dan jeno memang berniat untuk pergi liburan minggu kemarin, namun hari itu ternyata tuhan berkata lain. renjun dan jeno yang saat itu tengah berhenti sejenak untuk membeli minum justru dikejutkan dengan hal tidak terduga yang menimpa renjun.

saat ingin menyebrang, renjun tak sengaja tertabrak oleh mobil yang melaju keras. ia sempat menghindar namun kakinya menjadi korban. jeno langsung membawanya kerumah sakit terdekat saat itu juga.

“aku berat, jenoo.”

“kata siapa kamu berat, huh? justru kamu butuh makan lebih banyak lagi.”

jeno tersenyum sembari gendong renjun ala bridal sebelum akhirnya dudukan lelaki manis itu di kursi rodanya.

setelahnya jeno beri kecupan sayang di puncak kepala renjun, buat pipi kekasihnya itu memerah bak kepiting rebus. jeno tertawa dibuatnya.

“nah, kalau wajahmu memerah karenaku begini kan cantik,” tangannya ia bawa untuk elus pipi gembil renjun, “daripada kamu menangis karena takut akan hal yang tidak mungkin bisa aku lakukan, meninggalkan kamu.”

“lee jeno, ish! sudah bawa aku masuk!”

jeno tertawa kencang, kekasihnya ini masih suka sekali malu-malu meski telah mengenal dirinya sedari masih berusia lima tahun.

jeno mendorong kekasihnya untuk masuk ke dalam gedung apartemen. sudah hafal dimana letak apartemen milik renjun, ia memencet tombol berangka enam pada lift.

apartemen renjun berada di lantai enam.

ting!

ketika bel lift berbunyi, pertanda bahwa keduanya telah tiba di lantai yang ingin dituju, jeno mendorong kursi roda milik renjun untuk masuk ke dalam apartemen lelaki itu.

tidak perlu besar, yang penting nyaman. renjun selalu menggunakan kata-kata itu ketika ia mencari sebuah tempat tinggal.

“masuk?” jeno bertanya. ini membuat renjun heran sebenarnya. ya, kalau mereka sudah tiba di sini sekarang, apalagi yang akan mereka lakukan selain masuk ke dalam apartemennya? namun renjun hanya mengangguk, ia ingat bahwa kekasihnya ini memang se random itu. tetapi inilah yang renjun sukai dari jeno, bagaimana lelaki taurus itu selalu membuatnya tertawa.

dan ketika jeno membawa renjun masuk, lelaki itu langsung menyalakan lampu apartemen kekasihnya. yang mana membuat renjun terperangah ketika temui keadaan apartemennya sekarang.

ruang tengah itu telah dihiasi dengan bunga-bunga serta lilin. bahkan dari tempatnya sekarang ini sudah ada lilin-lilin yang membentuk jalan untuk menuju ke tengah ruangan.

“j-jen. ini apa?” renjun tatap bingung kekasihnya. namun jeno tak menjawab, ia dorong kursi roda renjun untuk menuju ke tengah. dimana kelopak kelopak bunga itu telah bertebaran membentuk hati yang besar.

jeno dan renjun berada di tengah hati itu sekarang. setelahnya yang renjun sadari, jeno sudah berlutut dihadapannya yang tengah duduk di kursi rodanya.

“jeno...” ia tak bisa berkata-kata. yang dipanggil namanya hanya tersenyum, menampilkan eye smile favorit renjun di wajahnya.

“sayang, aku cinta kamu. kamu sudah sering dengar kata-kata itu, benar?”

renjun mengangguk kaku. ia memang sudah sering sekali dengar kata-kata itu dari jeno.

“dan sudah sesering itu, apa kamu masih meragukanku kemarin?”

“jen, bukan begitu aku-”

“aku tahu, hahaha,” jeno terkekeh, “kamu insecure, kanu takut kalau aku akan meninggalkanmu. ya?”

sekali lagi renjun mengangguk. namun ia sambil menunduk sekarang. renjun sedikit merasa malu sebenarnya, kenapa di hari ia kecelakaan itu, ia meragukan kasih jeno? kenapa ia takut bahwa jeno akan meninggalkannya semudah itu? padahal faktanya, jeno sudah menemaninya dari kecil. di setiap momen terbahagia bahkan tersedih miliknya, jeno ada disana. mendampinginya.

“karena itu renjun. sekarang aku di sini mau memberi tahu kamu sesuatu.”

renjun memandang jeno dengan tatapan bertanya. “aku ingin memberi tahu kamu bahwa aku cinta kamu. sangat. kita sudah melewati semuanya bersama, renjun. dan hari ini aku memintamu untuk kembali habiskan waktu bersamaku hingga akhir hayat kita. hingga kamu merasa bosan melihatku setiap harinya.”

mendengar kata-kata terakhir jeno, renjun menggeleng. ia sentuh tangan jeno yang berada di pahanya. “aku nggak akan pernah bosan sama kamu, jeno.”

jeno tersenyum dibuatnya. “banyak yang bilang aku ini membosankan dan tidak jelas, sayang. tapi kamu tidak. aku tidak tahu apa yang kamu lihat di diriku ini, hingga kamu mau menghabiskan waktu dari umurmu yang masih lima tahun dulu hingga sekarang umurmu sudah dua puluh tujuh tahun. tapi aku bersyukur, sebab kamu menerimaku apa adanya.”

“kamu mau menjadi kekasihku, kamu mau menghadapi segala sikap randomku setiap harinya. bahkan kamu mau melewati masa masa yang tidak mengenakkan bersamaku. aku bersyukur.”

jeno kemudian genggam tangan renjun, “lantas, bila segala itu sudah kamu lakukan untukku. kenapa pula aku harus meninggalkanmu karena keadaanmu ini, huh?” katanya bertanya.

“renjunku, sayangku, kamu sempurna. sudah berapa kali aku katakan itu kepadamu? saking sempurnanya dirimu, aku sampai tidak mengerti harus berapa kali lagi aku jatuh cinta? disisi lain aku juga tidak mengerti kenapa kamu harus merasa insecure dan takut aku meninggalkan kamu?”

punggung tangan renjun dikecup oleh jeno. “mulai saat ini, kamu tidak boleh merasakannya lagi sayang. karena dengan ini,” jeno merogoh sakunya dan mengambil kotak beludru. ia membukanya dan menunjukkan cincin di dalamnya kepada sang kekasih. “dengan cincin ini aku ingin mengatakan kepadamu bahwa aku akan terus berada di sampingmu. aku ingin mengatakan bahwa aku begitu mencintaimu, sayang.”

“maka dari itu, huang renjun, maukah kamu menikah denganku? hidup denganku untuk waktu yang lama hingga kamu mungkin merasa bosan dengan kehadiranku? menemaniku untuk waktu yang lama dan membangun keluarga bersamaku?”

“jeno, hiks!”

bukan jawaban ya seperti yang diharapkan jeno, ia justru mendapat isakan dari renjun. lelaki taurus itu panik tentu saja. ia letakkan kotak beludrunya di paha renjun dan kemudian berdiri untuk memeluk kekasihnya.

“hei hei, kenapa? kenapa nangis?”

renjun menggeleng ribut di pelukan jeno, “hiks! kamu mengajakku menikah.. tapi aku sedang seperti ini,” renjun berkata. “aku mau terlihat cantik saat menikah nanti, aku mau bisa jalan di altar buat menghampiri kamu.”

khawatirnya hilang entah kemana, ia terkekeh dengar kekasihnya. lantas ia kembali merendahkan diri dan tangkup kedua pipi kekasihnya untuk hapus air matanya. dengan penuh cinta, ia daratkan kecupan manis di hidung macung renjun.

“kan aku cuma mau mengikatmu terlebih dahuku, renjun. sembuhlah bersamaku dan nanti kita menikah, okay sayang?”

renjun berkaca-kaca lagi. ia tarik leher jeno untuk ia peluk setelahnya, “iya, jeno. ayo menikah.”

warn! lowercase, harshwords

pagi berlalu begitu cepat hingga kini seluruh anggota serta pengawal kerajaan sudah bersiap untuk kembali berangkat mencari keberadaan noe. entah terlalu bersemangat untuk dapat bertemu sang papa atau bagaimana, acel bangun paling pagi hari ini. padahal tidur anak itu paling malam kemarin.

“sayang apa sudah ada petunjuk?” elvio memegang lengan alvarez yang berjalan didekatnya. alvarez menggeleng, ia tak temukan apa-apa selama berjalan sejauh ini. begitu juga dengan eric.

“ayah,” melihat sang ayah yang sibuk sendiri dengan lamunannya, acel menghampiri. kudanya mendekati kuda milik sang ayah untuk mengobrol bersamanya.

“iya, nak?”

“ayah kangen papa?”

dapat acel lihat sang ayah tersenyum kecil mendengarnya, “setelah bertemu sama papa kamu, ayah selalu habisin hari buat kangen sama papa kamu, sayang,” katanya kemudian mengusak surai acel, “ayah beruntung karena ada kamu yang mirip sekali sama papa, jadi kangennya ayah sedikit terobati.”

acel tersenyum mendengar itu. “oh iya, ayah.”

“hm?”

“waktu itu, acel masuk ke sini setelah ambil batu biru punya ayah. maaf ya ayah karena acel nggak ijin dulu. acel harusnya ijin sama ayah waktu mau buka kotak milik ayah.”

mendengar ucapan acel, kuda milik eric terhenti. ia teringat sesuatu.

“yah, kenapa?” ucapan dari acel itu buat alvarez menoleh bersama dengan elvio. acel yang menjaga di belakang eric dan acel juga turut kebingungan. ia bawa kudanya maju hingga sejajar dengan kuda milik paman serta saudaranya.

“ric, kenapa?” tanya alvarez lagi, sama seperti apa yang ditanyakan acel.

eric tak menjawab ia justru menoleh pada elvio yang juga tengah menatapnya dengan kebingungan, “elo kamu inget kamu pernah kasih kalung batu biru ke noe waktu acel baru lahir?”

yang ditanya berikan anggukan. “memangnya kenapa, kak?” eric ganti menatap alvarez, “batu biru itu yang buat aku dan acel bisa ke sini, benar? portal itu terbentuk karena saat itu ada dua batu biru yang diletakkan di tempat yang berbeda secara bersamaan. kamu bisa membuat portal itu di panti karena kak iel memang punya batu biru itu, kan?”

alvarez mengangguk, “iya, benar. kamu punya ide sama kalung itu, ric?”

“iya. kalau sampai sekarang noe masih pakai kalung dari elo. harusnya kita bisa membuat portal itu di sini, yang tersambung ke tempat dimana noe berada.”

“tapi untuk membuat portal seperti itu, diperlukan waktu berhari-hari. apabila sehari saja, aku tidak yakin kami semua bisa masuk ke dalamnya,” alvarez menjelaskan. portal yang dibuatnya untuk membantu eric kembali saat itu dapat selalu digunakan dan tidak ada batas waktunya selama batu itu berada di dekat portal. tetapi kalau dibuat saat ini juga, alvarez tidak yakin bahwa portal itu dapat bekerja dengan maksimal.

“kalau begitu biar aku saja yang masuk. aku bakal lakuin apa aja demi bisa kembalikan noe di sisiku dan juga acel.”

“kak eric tapi-”

“nggak papa, elo. aku yakin dengan begini kita akan lebih cepat dibanding menelusuri seluruh wilayah di sephia yang luas ini.”

“baiklah kalau begitu. i'll try,” alvarez menyetujuinya. lagipula setelah dipikir-pikir, eric ada benarnya juga. tak mungkin mereka semua bisa menemukan noe dengan waktu dekat apabila tidak dibantu dengan sedikit sihir.

“makasih, kak alva.”


“dengar ric, portal ini tidak seperti portal yang kamu gunakan untuk kembali ke sini. portal ini tidak sempurna. kamu bisa langsung menuju ke tempat noe, tetapi untuk menyelamatkannya kamu hanya mempunyai waktu satu jam.”

dua jam setelah mereka memutuskan untuk singgah dan membiarkan alvarez menciptakan portal untuk menuju ke tempat noe, kini lelaki itu telah berhasil.

portal yang diciptakannya dengan bantuan batu biru yang dibawa oleh eric ke sini membantunya untuk itu. memang tidak sempurna, tapi bagi alvarez ini sudah cukup apabila hanya digunakan oleh eric membawa kembali noe.

“aku paham.”

“jangan biarkan kalung milik noe terlepas darinya juga.”

eric mengangguk paham mendengar ucapan alvarez. lelaki yang paling tua di sana kemudian gerakkan tangannya, dengan begitu satu pintu berwarna biru muncul di sana. ia menatap pada kakak iparnya sebelum mengangguk.

good luck. kami mendoakan kalian dari sini,” katanya memegang bahu eric. setelahnya eric juga mendapat pelukan hangat dari sang putra, “ayah harus bawa papa kembali, ya?”

“ayah janji akan pertemukan kamu sama papa, sayang.”

setelahnya eric buka pintu yang muncul ditengah sihir biru milik elvarez dan menghilang di dalamnya. tubuh lelaki itu terasa ringan dan tak terasa ia kini sudah berada di ujung lainnya.

tangannya memegang kenop pintu di ujung dengan ragu. apa noenya berada di balik pintu ini? bagaimana keadaannya sekarang? apa setelah dua belas tahun ia tak melihat keadaannya, noe masih terlihat menawan seperti dahulu?

eric menghela nafasnya, ia kemudian putar kenop pintu itu dan membukanya. yang pertama kali ia lihat adalah... sebuah ruang penyimpanan?

lelaki itu perlahan langkahkan kakinya keluar. ruangan ini gelap, tak ada cahaya satupun yang menerangi kecuali sinar biru di balik pintu kayu kecil.

sinar biru yang sama dengan sinar batunya ketika portal tersebut terbentuk. perlahan, eric berjalan ke arah pintu itu. setiap langkahnya ia iringi dengan doa, berharap firasatnya bahwa noe ada dibalik pintu itu benar.

ketika pintu itu berhasil dibukanya, eric melangkah ke dalam dan menutup pintu itu. “noe?” namanya ia sebut. dan mengejutkan baginya seseorang yang berada di balik sebuah selimut tipis- tengah merebahkan diri- bergerak.

selimut itu perlahan disingkirkan dan yang berada di dalamnya menegakkan tubuh, “eric?” suara itu, benar itu suara noenya. eric berjalan cepat menuju ke arahnya dan peluk seseorang itu.

“sayang, aku merindukanmu, sangat,” kata pertamanya ia ucap. pelukannya semakin mengerat seiring sosok di pelukannya membalas pelukan. “eric, aku takut. dia begitu jahat kepadaku, dia akan membawaku pergi besok ke luar dari sephia, hiks!” bahu noe yang berada di pelukannya bergetar.

ssst, kamu aman bersamaku, sayang.”

pelukan itu noe lepas, dengan cahaya redup dari kalungnya, ia tangkup wajah milik suaminya. ia begitu merindukannya. “kamu makan dengan baik selama ini, eric?”

tangan yang berada di pipinya itu eric usap lembut, “jangan bertanya bagaimana aku, sayang. bagaimana dengan kamu, hm? apa dia begitu kejam terhadapmu?”

“sangat, eric. aku takut padanya.”

“kamu tak perlu takut lagi sekarang. ayo pulang bersamaku, noe.”

noe mengangguk mendengar itu, tangannya digandeng oleh eric sedang tangannya yang lain ia gunakan untuk menutupi batu biru yang bersinar di kalungnya. mereka berdua sangat ingin melepas rindu, namun keadaan belum berpihak kepada mereka sekarang ini.

mereka harus segera keluar dari sana.

eric berpikir bahwa mereka berdua tak akan ketahuan, namun ketika dirinya keluar dari pintu tempat dimana noe tertidur tadi, lampu dihidupkan. ruangan tersebut seketika berubah jadi terang.

dan yang mengejutkan bagi eric, ruangan yang dipijakinya bersama noe sekarang ini penuh denagan hewan buas di dalam kandang. entah apa yang mantan raja itu lakukan kepada seluruh hewan buas ini.

“mau kabur kemana kalian? noe, kamu tidak akan pernah bisa jauh dari ayah.”

mendengar itu, eric bawa noe ke belakang tubuhnya. ia tatap tajam lelaki yang baru saja berucap. berbeda dengan keadaannya saat masih memimpin dahulu, ayah dari noe dan elo itu terlihat sangat menyeramkan sekarang ini.

rambut panjang yang tidak pernah dipotong, kumis dan janggut yang tumbuh panjang, serta kantung mata yang begitu besar. dari melihat wajahnya saja, orang akan tahu bahwa ia tak pernah merawat diri.

“menjauh dari suamiku!”

mantan raja yang eric kenal bernama baron itu tertawa. “yang kamu sebut suamimu itu adalah putraku, nak,” baron berkata, ia sekarang tunjukkan seluruh tubuhnya yang kini kurus kering. tangannya memegang satu pedang panjang yang bilahnya mengkilat.

melihat itu, eric eratkan genggamannya pada noe.

“bagaimana jika kita membuat persetujuan bersama?” eric mengangkat alisnya, namun tidak menjawab. ia biarkan pria itu terus berbicara.

“kamu kembalikan putraku dan kamu akan kubiarkan hidup?” pria itu terus mendekat ke arah keduanya, membuat eric juga membawa noe mundur perlahan.

“tidak akan.”

baron menggeram marah. tangannya yang mengepal ia pukulkan pada dinding di sampingnya, buat hewan buas yang tadi tenang, kini terbangun dari tidurnya. “jangan melawanku!”

“memangnya siapa dirimu? kamu bukan lagi seorang raja.” eric menantangnya.

“kamu!”

baron mengangkat pedangnya, ia mengarahkan pedang itu pada eric. eric saat ini tidak membawa apa-apa di tangannya, ia datang ke sini dengan tangan kosong. jantungnya berdetak kencang, ia khawatir apabila tidak dapat membawa noe bersamanya.

“aku apa?” tak pedulikan rasa takutnya, ia menjawab pertanyaan baron.

“apa kamu tahu bagaimana pengorbananku setiap tahun ini untuk memberi putraku kehidupan, hah? aku rela membawa hewan buas di sephia untuk menjualnya ke luar negeri agar putraku bisa makan! kamu tidak bisa membawanya setelah aku mengorbankan nyawaku untuknya!”

“ayah tidak mengorbankan nyawa ayah untukku! semua binatang itu ayah jual untuk berfoya-foya! ayah melanggar hukum sephia! selama di sini ayah bahkan tidak memberiku makanan yang layak untuk dimakan! ayah hanya menunggu waktu yang tepat hingga dapat membawaku untuk dinikahkan dengan raja-raja haus selir itu!” noe berteriak di balik punggung eric.

“dasar anak tidak tahu diuntung!”

mendengar ucapan noe, baron semakin marah. ia berlari kearah pasangan itu dan mengarahkan pedangnya pada eric. “sayang! masuklah ke dalam pintu itu dan kembali ke sephia!”

“tapi, eric-”

“aku tidak papa, aku bisa menahannya! kamu masuklah ke sana dan bertemu dengan acel! ia merindukanmu!” katanya berteriak sembari menahan serangan dari baron di hadapannya.

baron adalah mantan raja, tentu saja ia lihai dengan permainan pedangnya meski sudah lama tidak digunakan.

“eric..”

“lari, noe!”

noe menuruti apa kata suaminya, ia berlari menuju pintu yang ada di ujung lorong kandang hewan buas itu. hingga ketika ia sampai, matanya tak sengaja menangkap seekor singa yang tertidur di sampingnya. singa itu tertidur tenang sebab tak rasakan amarah dari baron sebelumnya.

lelaki manis itu mendapat sebuah ide setelahnya.

“ayah!” panggilnya yang buat baron dan eric menoleh. eric menatap bingung pada noe, namun noe mengangguk padanya. pertanda bahwa noe tahu apa yang akan ia lakukan.

“maafkan aku ayah. aku sadar bahwa tak seharusnya aku memberontak,” wajahnya dimelaskan, “ayah sudah merawatku sejak kecil, betapa kurang ajarnya aku apabila melawan perintah ayah..”

sang ayah tersenyum, ia lepas pedangnya dan kemudian mendekat pada noe perlahan. selama raja itu, eric gunakan untuk berlari pelan menuju portal yang ada tak jauh dari tempat noe berdiri. “kamu benar, nak. aku menyayangimu.”

“noe juga menyayangi ayah.”

ketika sang raja sudah berjarak hampir satu meter pada noe, eric buka pintu portal sedangkan noe membuka kunci kandang singa di sebelahnya. lelaki taurus itu kemudian menarik suaminya untuk masuk ke dalam portal bersama.

“noe!” sang ayah mengejarnya tentu saja. namun dengan cepat eric tutup pintu itu, membuat suara gebrakan yang keras yang membangunkan singa tersebut dari tidurnya. mereka mengetahui itu dari auman keras yang masih terdengar dari dalam jalan portal.

hening setelahnya. noe dan juga eric bertatapan. “kita berhasil?” noe berkata pelan ketika netranya tak sengaja tatap pintu lain di ujung jalan mereka sekarang ini.

“iy-”

“NOE KAMU TIDAK AKAN PERNAH BISA MENGKHIANATI AYAH!”

keduanya menoleh ke belakang, pintu portal itu kembali terbuka, menampilkan sosok ayah dan juga singa yang tengah menatap kelaparan padanya. baron masuk ke dalam portal bersama mereka berdua, diikuti dengan si raja hutan. “eric..”

“tenang saja jaraknya jauh dari kita sayang,” eric berbisik mendengar nada ketakutan dari noe.

hingga saat keduanya telah tiba diujung pintu portal, eric segera buka pintunya, menarik noe untuk berjalan keluar dan kembali menutup pintunya.

“alva, hancurkan batunya!”

“ric-”

“hancurkan batunya terlebih dahulu, cepat!”

alvarez yang masih terkejut mengangguk, ia ambil batu besar dan lemparkan itu pada batu biru yang menjaga di depan portal. “NOE! NOE TOLONG AYAH!” teriakan itu membuat semua terkejut untuk kedua kalinya.

namun ketika tangan baron baru keluar dari pintu, sihir biru itu menghilang. pintu yang menjadi jalan menuju ke tempat baron menyembunyikan noe tadi juga turut menghilang bersamaan dengan sihir itu. suara baron yang berteriak memanggil noe pun seolah ditelan oleh bumi, sehingga menciptakan kembali keheningan di tempat itu.

semua yang ada di sana bernafas lega. namun tidak untuk si anak remaja yang kini melihat sosok yang selama ini sangat ia rindukan berada di samping sang ayah.

“papa?”