26
“Kakak! Nai kangen!”
Nale tersenyum gemas ketika melihat adik perempuannya masuk ke dalam mobil dengan teriakan semangat, berkata bahwa ia rindu pada Nale yang memang sudah lama tidak dilihatnya. Biasanya Nai menghabiskan waktu sebelum tidur bersama si kakak, namun sekarang karena Nale tinggal di apartemen, si kecil itu kesepian.
“Kak Nale juga kangen sama Nai. Pakai sabuk pengamannya, Nai.”
“Okidoki!”
Nale melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jarak antara rumah teman Nai dengan jarak apartemennya sekarang cukuplah jauh hingga memakan waktu hampir 30 menit untuk sampai. Di dalam mobil, Nale disibukkan dengan ocehan dari Nai yang menceritakan bagaimana hari-harinya seminggu ini tanpa sang kakak. Ah, rasanya Nale rindu dengar celotehan ini tiap malam.
Tak terasa, kini sudah 20 menitan mobilnya berjalan dan ketika Nale berhenti di depan Cafe milik Ryo, dapat Nale lihat bahwa si pria manis sudah duduk di depan Cafe yang tutup itu sembari sesekali menggosok tangannya yang terasa dingin. Sedangkan si kecil Nai langsung mengintip keluar dari jendela.
“Eh? Kita nggak ke apartnya kakak?”
“Nanti dulu ya, Nai. Tunggu sebentar kakak turun, kamu jangan pencet-pencet sembarangan.”
Nai tidak diberikan waktu untuk menjawab perkataan Nale karena pria itu keburu keluar dari mobilnya. Dapat Nai lihat bahwa Nale menghampiri seseorang yang sedang berdiri di depan Cafe tempat mobil kakaknya berhenti. Si kakak juga memberikan jaketnya pada seseorang itu sebelum akhirnya mengajaknya masuk ke dalam mobil.
“Eh?” Begitu dibukakan pintu depan oleh Nale, Ryo dikejutkan oleh sosok gadis kecil yang juga duduk disana. Itu pasti adiknya Nale, batinnya.
“Nai pindah belaka–
Ucapan Nale diberhentikan oleh Ryo. Pria manis itu terlihat menyamakan tingginya dengan Nai yang tengah duduk dan tersenyum. “Halo, kamu adiknya Nale ya?! Kenalin aku Ryo. Kamu bisa panggil aku Kakak Ryo.”
Manik Nai berbinar senang mendengar itu. “Kakak Ryo!” ia menyapa dengan semangat dan dijawab anggukan oleh Ryo yang masih tersenyum manis.
“Aku aja yang dibelakang, Nale.”
Ryo menolehkan pandangan pada Nale yang masih berada di sebelahnya, yang tadi membukakan pintu untuknya. “Ta–
“Kakak Ryo di depan aja, Nai mau dipangku, boleh?!”
Lagi-lagi Nale dipotong ucapannya. Mendengar celetukan sang adik tentu saja, Nale langsung menoleh menatap adiknya. “Nai, nggak sopan!” ujarnya yang membuat si gadis cemberut.
“Nggak papa, Nale. Aku nggak ngerasa kalau Nai nggak sopan. Nai mau duduk sama kakak? Ayo kakak pangku ya?!”
Nai langsung kembali tersenyum. “Yeay!! Okay!”
Setelah menghela nafasnya, Nale tersenyum. Entah mengapa hatinya terasa hangat melihat keakraban Ryo dan Nai yang bahkan baru bertemu hari ini. Keduanya seperti seorang teman yang sudah dipisahkan begitu lama. Langkah kakinya menuju kursi kemudi terasa begitu ringan setelahnya. Ah, hari ini akan menjadi hari yang sangat indah.
Perjalanan ke apartemen Nale dan Ryo tentu saja tidak memakan waktu lama, ditambah dengan bagai percakapan manis di mobil, perjalanan itu terasa semakin cepat. Ketika sampai, Nale kembali membukakan pintu buat keduanya dan Ryo yang menerima perlakuan itu tentu tidak bisa bersikap biasa.
Tak mau memungkiri, adanya kaitan kehidupan masa lalunya dengan kehidupan masa lalu milik Nale ditambah kedekatan mereka sekarang ini, Ryo sedikit tertarik dengan si pria. Bagaimana pria itu memperlakukannya menunjukkan bahwa Nale memang tumbuh dalam keluarga baik-baik yang penuh dengan kehangatan. Ah, andai Ryo bisa merasakan kehangatan itu juga. Ia jadi rindu dipeluk oleh mendiang Baba dan Mama nya.
“Makasih, Nale.”
Nale hanya balas dengan senyum. Mereka bertiga akhirnya berjalan bersama menuju unit milik Nale. Ryo –setelah mendapat ijin dari Nale tentu saja– kemudian juga mulai menyiapkan makan untuk mereka bertiga malam ini. Sedangkan Nale? Ia menjaga Nai di ruang tamu setelah memberitahukan letak-letak piring dan panci kepada Ryo karena si gadis kecil itu akan merecoki Ryo di dapur jika Nale ikut membantu Ryo.
Wangi masakan tercium beberapa menit setelahnya. Ryo segera menaruh hasil masakannya di meja makan dan disusul oleh Nale dan Nai yang juga turut mencium harumnya. “Wanginya, kamu masak apa, Ryo?”
Ryo tersenyum sembari menaruh beberapa piring. “Cuma tumis ayam brokoli dan kentang panggang. Kurang nggak?” Sederhana, tapi terlihat sangat lezat.
Nai dan Nale bersamaan menggeleng kemudian duduk di kursi sembari menunggu Ryo. Ditengah menuangkan kentang panggang ke piring, Ryo berhenti dan menatap pasangan kakak adik itu, “Oh iya! Kalian makan brokoli kan?”
Keduanya saling tatap kemudian mengangguk kaku. Mata Ryo memincing curiga, “Bener?”
Keduanya kembali mengangguk. Buat Ryo tersenyum geli dalam hati. Ia menyimpulkan bahwa keduanya tidak suka makan sayur, maka dari itu Ryo akan membuat mereka memakannya hari ini.
“Sayur itu sehat tau? Brokoli itu favoritku. Aku paling jago masak tumis brokoli dan ayam, kalian harus coba.”
Setelahnya Ryo mengambilkan beberapa sendok nasi untuk keduanya dan juga lauk, yang tentu saja banyak brokoli yang dimasukan ke dalam piring keduanya. Baru setelahnya Ryo mengambil untuk dirinya sendiri dan duduk di hadapan kakak adik itu. “Ayo dimakan.”
Nai dan Nale menatap sayur hijau yang begitu banyak di piring mereka itu dan baru setelahnya mengambil sendok. Secara bersamaan mereka mengambil brokoli dengan sendoknya dan melahapnya meskipun terlihat ragu di awal. Hey, ingat mereka berdua benci sayur. Ryo hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka dan makan dengan tenang.
Satu kunyahan.
Dua kunyahan.
“ENAK!” keduanya berucap bersamaan membuat Ryo sedikit terkejut. Untung nasi di mulutnya sudah tercerna dengan baik barusan, jika tidak ia bisa saja tersedak.
Setelahnya Nale dan Nai makan dengan lahap masakan Ryo yang membuat sang empu tidak tahan untuk tidak tersenyum. Senang rasanya melihat mereka menikmati masakan yang dibuatnya dengan penuh cinta it— eh? Ah, tentu saja Ryo kan selalu memasak dengan cinta bahkan untuk dirinya sendiri, jadi tidak salah jika ia bilang masakannya untuk Nale dan Nai juga dibuatnya dengan penuh cinta, kan?
…iya kan?
“Ah! Iyaaaa! Benar! Nai baru ingat!” di tengah-tengah suasana yang sunyi saat mereka makan, tiba-tiba Nai bersuara. Yang mana membuat Ryo memusatkan pandangan pada si gadis dan Nale mengernyit tidak suka.
“Nai, nggak sopan ngomong waktu masih ada makanan di mulut. Telan dulu.”
Nai menuruti ucapan kakaknya baru setelahnya tersenyum. Si gadis menatap Nale dan Ryo bersamaan yang membuat keduanya heran. “Kenapa, Nai?” Ryo bertanya.
“Hehe aku baru ingat!”
“Apa?”
“Kak Ryo itu yang sering Kak Nale ceritain di rumah kan?! Yang tinggal di samping apartemennya kakak?”
Ryo menoleh ke Nale, “Kamu sering ceritain aku ke keluarga kamu?”
Pertanyaan to the point itu membuat Nale menggaruk tengkuknya canggung, “Ya, mamaku -dan Nai- sering minta aku buat cerita soal hari-hariku. Karena aku ketemu kamu setiap hari jadinya ya.. begitu.”
Wajah keduanya memerah sempurna. Namun Nai tidak menyadarinya dan tersenyum bahagia karena akhirnya ia melihat si kakak yang diceritakan oleh Nale itu. Nai mengangguk-anggukan kepalanya, seperti seorang detektif yang baru menemukan latar belakang kasusnya.
“Oh jadi bener ya…” gumam si gadis. Kemudian ia ingat perkataan kakaknya waktu itu, saat kakaknya bercerita kepadanya dan juga kepada mama.
“Kak Ryo, kata Kak Nale kakak manis!”
“UHUK!”
“Eh? Kok Kak Nale sama Kak Ryo batuknya bisa bersamaan gitu?”