15

Keadaan kota tampak lebih lengang dari biasanya, kuda besi milik Nale berjalan mulus melewati jalanan tanpa terhadang kemacetan. Maka inilah tiba saatnya, setelah menjelaskan secara detail mengenai penelitian dan melalui sedikit kesusahan meminta izin pada sang papa, akhirnya ia mendapatkan juga izin itu dan tinggal di apartemen yang dimiliki sang papa. Lokasinya memang cukup strategis, hanya sekitar 10-15 menit berkendara menggunakan mobil untuk mencapai tempat dirinya melakukan penelitian dan juga kampusnya, bahkan jika berjalan kaki, ia pun akan sampai di kampus dalam waktu kurang dari 15 menit. Sangat lumayan, dengan waktu yang terpotong mencapai 45 menit jika ia harus berangkat dari kediamannya.

Namun Mama tetaplah seorang Mama. Persyaratan yang ia ajukan tentunya banyak, seperti sang empu wajib pulang saat weekend jika tidak ada lembur, memiliki stock sayur-sayuran hijau yang ia benci serta berbagai macam buah yang tidak bisa ia sebutkan, video call harus selalu diangkat terlebih jika Nai yang menghubungi, dan masih banyak lagi sampai ia mendengarnya pun terasa pening, tentunya hanya Nale respon dengan anggukan pasrah.

Kantong belanja berisi berbagai macam kebutuhan sehari-hari sudah ia ambil dari bagasi belakang, setelah berulang kali menghela nafas, akhirnya pria tersebut berjalan menuju unit nomor 7 di lantai 23, cukup tinggi karena apartemen ini memiliki tiga jenis residensial yang berbeda, low level digunakan untuk hotel, middle-up digunakan untuk apartemen seperti tempatnya kini tinggal, dan satu lagi adalah penthouse, menakjubkan bukan?

Setelah membersihkan diri dan menyimpan bahan makanan menuju kulkas, ia berinisiatif membuat pancake untuk dibagi sekaligus berkenalan pada tetangga. Dalam satu lantai apartemen memang hanya ada 7 unit, sehingga ia tidak perlu repot memasak hidangan yang banyak. Tangannya dengan lihai menuang adonan di atas teflon panas yang sudah diberi lelehan mentega, setelahnya ia menunggu adonan tersebut matang. Dirinya sudah auto pilot karena pancake adalah favorit Nai.

Kini sudah tersusun 7 kotak pancake dan dirinya sudah selesai berkenalan menuju 6 unit tetangga, sisa satu lagi dan sepertinya ia harus buru-buru karena lelah ingin beristirahat. Namun rencana itu harus ia tunda saat melihat seseorang yang membuka pintu unit nomor 6 setelah bel berbunyi,

“Ryo?”

Pria mungil dihadapannya hanya mengangkat alis, bingung, karena tampaknya ia tidak mengenali siapa Nale.

Nale berdehem, “ah maaf, kayaknya kamu lupa dan gak mungkin inget juga karena kita baru ketemu sekali. Waktu itu aku pernah mampir ke cafe tempat kamu kerja, 2nd.” ujarnya sambil mengulurkan kedua tangannya yang menggenggam kotak pancake, “Kenalin, aku Nale dari unit nomor 7 dan ini ada sedikit bingkisan perkenalan buat kamu.”

Pancake? Ah, Ryo benci sekali dengan pancake. Entah mengapa ia selalu memiliki firasat buruk jika memakan kue itu. Tapi karena ini hadiah, sepertinya ia tidak bisa menolak,

“Ah iya, salam kenal Nale, aku Ryo. Dan makasih banyak buat bingkisannya,”

Tangannya menerima bingkisan itu dengan hati-hati, karena ia sedang dalam mood tidak ingin melihat cuplikan masa lalu seseorang. Tapi rupanya ia terkejut karena tak menduga jika bagian bawah kardus itu masih panas.

“Aduh!” pekiknya, mengundang refleks dari Nale untuk menggapai telapaknya.

“Tanganmu gapapa? Maaf, aku lupa bilang kalau pancakenya masih panas.”

“Kenapa, Nale? Pancakenya kurang manis ya?”

“bukan kurang manis sayang, tapi rasanya asin. Tapi gapapa, pagi ini kamu masih ngantuk ya?”

“Maaf… sepertinya aku tadi salah mengambil toples.”

“Hey, sayang, kamu terlihat pucat. Sore nanti sehabis pulang bekerja kita kerumah sakit mau ya?”

Sekelebat memori tanpa izin masuk ke dalam otaknya, Ryo menggeleng kuat saat ia melihat bayangan tangisnya di rumah sakit, sebenarnya siapa pria di depannya ini? Mengapa dalam memori ini mereka berdua terlihat saling menyayangi? Apa hubungan mereka aslinya?

“Ryo? Kamu gapapa? Perlu aku ambilin salep luka-

Tangannya seketika ia tarik, tidak ingin lagi melihat kilasan memori Nale berlanjut.

“Ryo?” lanjut Nale, ikut terkejut ketika Ryo menarik tangan dari genggamannya.

“A-ah, maaf Nale, aku nggak bermaksud. Nggak perlu, tanganku baik-baik aja.”

Nale memindai perangai pria manis di hadapannya ini. Ryo terlihat menggenggam satu tangannya di depan dada. Dari bahasa tubuhnya, Nale langsung menyimpulkan bahwa Ryo terlihat tidak tertarik untuk memulai pertemanan, bahkan pembicaraan dengannya. Melihat itu, akhirnya Nale tersenyum canggung, ia memberikan sekotak pancake itu kepada Ryo yang kali ini langsung diterima dengan baik. Tetapi satu yang Nale sadari, si pria manis menghindari bersentuhan dengannya.

“Kalau begitu, aku masuk dulu ya? Maaf mengganggu waktumu.”

“Ah, bukan begitu maksudku. Maaf kalau sikapku membuat kamu salah paham, Nale.”

Akhirnya Ryo berikan senyum. Bagaimanapun juga kini mereka adalah tetangga dan Ryo tidak ingin merusak hubungan mereka bahkan di hari pertama mereka bertemu. Tidak enak juga apabila berseteru dengan orang yang tinggal dekat dengannya kan?

Melihat senyum dari Ryo, Nale akhirnya ikut tersenyum. Ah, baru kali ini Nale menerima senyum tulus dari pria itu. Senyum yang diberikannya pada saat melayani di Cafe terlihat dipaksakan. Tidak terlihat apabila tidak diamati memang, tetapi Nale kali ini merasakan hangatnya senyum itu. “Mohon bantuannya, Ryo.”

“Kalau begitu, mohon bantuanmu juga, Nale. Terimakasih atas pancake nya.”

Mereka kembali melempar senyum sebelum akhirnya Nale pamit dan kembali masuk ke unitnya. Setelah menutup pintunya, Nale meletakkan tangannya di depan dada. Jantungnya berdegup kencang melihat senyum manis yang Ryo berikan terakhir kali.

Apa ini? Kenapa senyumnya tidak asing dan terasa seperti deja-vu? Perasaan ini adalah perasaan yang sama yang Nale rasakan saat melihat Ryo di cafe kemarin. Ini aneh, tapi kenapa? Nale tidak merasa ia pernah melihat lelaki manis itu sebelumnya.