37
Kakinya mengetuk tanda tidak sabar, jam sudah terpatri pada pukul 3:50 sore yang berarti kelasnya akan rampung sebentar lagi. Jiwanya begitu menggebu, ingin sekali segera berlari dari ruang kelas jikalau bukan dosen killer yang kini sedang berdiri menjelaskan tugas untuk pekan depan.
“Baik, sepertinya sudah cukup, jika tidak ada pertanyaan lagi saya akhiri. Sampai bertemu kembali minggu depan, jangan lupa untuk mengumpulkan tugasnya tepat waktu, saya pamit.”
Tanpa babibu Nale segera berlari menuju parkiran kampus, mengabaikan teriakan sang rekan lab, Marco, karena seharusnya hari ini mereka memiliki jadwal lanjutan penelitian yang akan dilakukan sampai malam. Tapi sepertinya ia akan datang terlambat karena prioritasnya sekarang adalah bertemu sang belahan jiwa, Ryo.
Jantungnya semakin terpacu kala mobilnya sudah berbelok dan ia parkirkan dengan mulus. Debuman pintunya keras saking semangatnya, namun raut bingung kini menghiasi wajah, kemana perginya Ryo? Sudah 5 menit ia duduk di bangku cafe, tapi Nale tidak melihat presensi waiter dan kasir, terlebih Ryo. Hingga akhirnya Pradana atau lebih sering dipanggil Dadan muncul dari pintu masuk.
“Eh Nale, udah daritadi disini? Sorry banget gaada yang jaga di counter soalnya abis ngurusin sesuatu dibelakang.”
Pria itu menggeleng dan tersenyum, “gak masalah Dan, cuman mau nanya aja, Ryo hari ini gak masuk?”
Dana menghela nafas, “itu dia, Na. Hari ini aku gantiin Ryo makanya disini. Barusan kita sibuk di belakang karena anak-anak lain abis nganterin Ryo kerumah sakit, bocahnya tiba-tiba pingsan tadi.”
Deg.
Ini… tidak mungkin kan?
Tuhan… demi Tuhan… jangan lagi…
Keringatnya mengucur deras, tangannya bergetar karena rasa takut mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Meskipun badannya lemas ia memberanikan diri untuk bertanya dimana tempat Ryo dirawat. Dana juga belum mengetahui alasan Ryo pingsan, sehingga kini otaknya penuh akan pikiran negatif, rasa trauma itu melekat kuat meskipun ia merasa kali ini Tuhan begitu baik telah memberinya kesempatan lagi dan lagi. Tapi tetap saja ia tak serta merta bisa menepis segala takdir yang Tuhan telah beri.
“Aku mohon Ryo… jangan lagi, tolong…”
Air mata menetes saat ia tiba di ruangan tempat Ryo di rawat, ternyata disana masih ada karyawan 2nd. yang sepertinya sedang bersiap untuk pergi.
“Nale? Eh iya, bener Nale kan?”
Nale mengangguk, kemudian wanita itu melanjutkan kalimatnya, “Maaf kalau merepotkan, tapi boleh nggak ya kalau saya minta tolong buat jagain Ryo sampai dia bangun? Karena kayanya cafe butuh barista yang stay disana, dan Ryo lagi sakit jadi harus saya yang standby di cafe.” ucapnya.
Tanpa ragu pria itu mengangguk, “silahkan aja, kalau kalian gak balik lagi kesini dalam waktu dekat pun juga gapapa, biar saya aja yang temanin Ryo sampai jadwal ranapnya selesai.”
Tangan wanita itu menyatu di depan wajah, sebagai gestur ucapan terima kasih. Setelahnya ia segera keluar untuk kembali menuju cafe dengan cepat. Cafe 2nd. memang belum merekrut karyawan lagi sejak 2 anggotanya resign seminggu yang lalu, jadi untuk saat ini hanya bisa mengandalkan pekerja part time seperti Ryo dan wanita yang keluar barusan.
Nale lantas segera menghampiri pria yang terlihat pucat terbaring di atas brankar, tubuhnya nampak sedikit kurus dengan infus yang masih menancap di punggung tangannya. Nafasnya teratur, namun pada dahinya terdapat beberapa bulir keringat yang segera diseka oleh Nale.
“Hei Ryo… akhirnya kita bertemu lagi, sayang. Maafkan harus menunggu lama, tapi semoga sekarang kita bisa berakhir dengan baik, ya?”
Perkataan Nale membuat Ryo yang sedari tadi terlihat tidak nyaman menjadi sedikit lebih nyaman. Terlihat dari dahi berkerut si manis yang perlahan mulai memudar. “Kamu ini mimpi apa sih, Ryo? Sampai kaya gini..”
Nale genggam tangan Ryo yang tertancap jarum infus dan membawanya mendekat ke wajahnya untuk diberikan kecupan sayang. Tidak ada yang tahu seberapa bersyukurnya Nale karena dapat kembali melihat Ryo sekarang. Bayangan bagaimana hidupnya tanpa Ryo yang muncul di mimpinya semalam membuatnya takut. Ia takut jika harus kembali kehilangan si manis yang kini tangannya ia genggam.
Nale berharap ia dapat menggenggam tangan Ryo. Selalu. Selamanya.
“Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Karena setelah ini aku akan selalu mengganggu harimu dengan kehadiranku dua puluh empat per tujuh,” katanya sembari berdiri dan memberikan kecupan di puncak kepala Ryo yang mulai terlihat nyenyak dalam tidurnya.
Dua jam berlalu. Nale tak melepaskan matanya dari Ryo sepanjang itu. Ia habiskan waktunya dengan melihat paras manis Ryo sembari menerka-nerka, apa yang dilakukan pria manis ini hingga ia seperti ini?
Ketika genggaman tangan Nale mendapatkan balasan, pria yang sedari tadi menenggelamkan wajahnya di selimut Ryo itu langsung mendongak, “Ryo?”
“N-Nale..”
Nale dengan semangat berdiri dari duduknya, ia mendekat pada Ryo dan menatap parasnya lekat-lekat, “Aku di sini, Ryo. Kamu sudah sadar?”
“Minum…”
Tak banyak berkata, Nale segera mengambilkan minum yang diberikan di nakas samping ranjang milik Ryo dan memberikannya kepada sang empu. Selama itu juga Nale tak melepas pandangannya dari Ryo —lagi.
Bedanya kali ini, Ryo merasa sedikit risih akan pandangan Nale kepadanya. Pandangan yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun —kecuali seseorang yang muncul di mimpinya barusan.
Tapi walau begitu, Ryo juga tidak mau membuat netra Nale lepas darinya, ia rindu tatapan itu.
“Nale,” panggil Ryo setelah menaruh gelas air kembali ke nakas.
“Hm?”
“Kamu nggak mau peluk aku? Kamu nggak rindu?”
Nale membeku. Posisinya dengan Ryo saat ini hanyalah teman —tapi mesra— yang sejujurnya untuk berinteraksi manis pun masih malu-malu dan ragu. Tetapi perkataan Ryo barusan ini tidak terlihat seperti mereka sebelumnya.
Nale tidak tahu harus berkata apa. Apakah apa yang ada di pikirannya saat ini benar? Apakah Ryo benar sudah mengingat semuanya? Semua masa lalu mereka?
“R-Ryo.. Kamu..”
Ryo tersenyum dan mengangguk, “Iya Nale. Aku ingat. Kamu suamiku, Nai putri kita. Namaku yang selalu kamu panjatkan di doamu supaya aku nggak kembali diambil sama Tuhan dan selalu ada di samping kamu. Aku ingat semuanya.”
Grep!
Ryo sedikit terkejut namun tidak menghindar dikala ia menerima pelukan erat dari Nale. Si pria manis tersenyum lembut sebelum membalas pelukan Nale.
Tak lama, ia rasakan bahunya basah. Nale menangis. “Nale? Kamu nangis?”
Dengan suara paraunya Nale menjawab perkataan Ryo, “Aku kangen, banget Kamu nggak tahu gimana menderitanya aku tanpa kamu, Ryo. Sakit. Tiap hari aku berpikir buat menyerah dan nyusul kamu tapi aku nggak bisa karena janjiku sama kamu. Sakit, Ryo,” isaknya. Sedikit tidak jelas memang, —karena pria itu menenggelamkan wajahnya di bahu Ryo— tapi Ryo bisa menangkap perkataan Nale dengan baik.
Tepat ketika Nale berkata seperti itulah Ryo mendapat pandangan soal masa lalu pria itu setelah ia tinggalkan. Bagaimana Nale menangis tiap malam sembari memeluk fotonya, bagaimana Nale selalu pergi ke tempat istirahat terakhirnya hanya untuk memandangi fotonya yang dipasang dengan begitu indah disana, dan bagaimana Nale hanya diam di kamarnya saat Nai tidak ada di sana untuk merenungkan segalanya. Itu semua muncul dan terlihat oleh Ryo, membuat si pria manis juga ikut menangis merasakan sakitnya.
“Nale, maaf. Semua itu nggak akan keulang lagi. Semua doa yang selalu kamu panjatkan buat aku bisa kembali di kehidupan ini, Nale. Makasih banyak, karena disaat aku nggak ada disampingmu kamu selalu ingat aku dan kasih aku kesempatan buat kembali hadir di dunia ini dan ketemu sama kamu sama Nai. Makasih banyak, Sayang.”
“Ryo..”
“Dan maaf karena nggak ada di sampingmu saat kamu sakit, saat kamu hampir menyerah, padahal aku sudah berjanji nggak akan ninggalin kamu. Maaf ya? Kamu maafin aku kan, Nale?”
Nale melepas peluknya dan menghapus air mata Ryo. Ini tidak adil, bahkan disaat wajah Ryo memerah dan penuh dengan air mata, pria itu masih terlihat sangat sangat manis.
“Aku selalu maafin kamu, Sayang. Makasih sudah bersedia hadir lagi di dunia yang jahat ini buatku, ya?”
“Aku sayang kamu, Nale.”
“Aku lebih, Sayang. Aku lebih.”
. . .
Besoknya Ryo sudah diperbolehkan pulang. Rupanya pria manis itu kelelahan karena mengejar beasiswa kuliahnya. Pria manis itu juga sudah mendapat banyak omelan dari Nale terkait kesehatannya.
Dan kalau boleh jujur, omelan Nale itu membuat Ryo ingin membekap mulutnya saking muaknya dengan omelan yang diulang-ulang. Namun tentu itu tidak dilakukan karena Ryo tahu, Nale melakukan itu karena ia menyayanginya.
Kini Nale mengantarkannya pulang hingga unitnya. Ya, walaupun Nale sekalian pulang karena unit mereka bersebelahan, sih.
“Surprise!” ucapan Nale terdengar ketika mereka membuka pintu unit Ryo. Membuat Ryo sedikit terkejut awalnya dan tambah terkejut lagi ketika melihat unitnya kini dihiasi dengan balon-balon oleh Nale.
Ah, kekanakan sekali prianya ini.
“Nale ini apa?”
“Perayaan karena kamu sudah pulang dari rumah sakit.”
Ryo mendengus geli, “Aku cuma pulang dari rumah sakit, bukan ulang tahun atau apapun itu, Nale.”
“Semua tentangmu pantas buat dirayakan, Sayang.”
Mungkin awalnya Ryo memang merasa bahwa Nale kekanakan, namun mendengar jawaban itu hatinya menghangat. Tak pernah ia rasakan ini lagi semenjak kedua orang tuanya pergi, namun kini Nale memberikan itu untuknya. Ia sangat bersyukur.
Tuhan, tolong jangan bawa aku pergi jauh dari pria ini lagi. Aku begitu mencintainya dan bisa merasakan cintanya yang besar padaku.
“Udah jangan ngelamun, yuk kesini dulu, duduk.”
Nale menarik tangan Ryo untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. Ketika keduanya berhadapan pun, Nale tidak melepas genggaman tangan mereka.
“Ryo, sebenarnya balon balon ini bukan hanya buat perayaan kamu pulang dari rumah sakit.”
“Lalu kalau bukan buat itu, buat apa?”
Nale tersenyum, ia bawa tangan Ryo untuk ia kecup, membuat wajah Ryo memerah malu atas kelakuannya –dan tentu ini membuat Nale tersenyum semakin lebar.
“Ryo,” bukannya mendapat jawaban, Nale justru kembali memanggil namanya. Ryo tak menjawab, ia hanya memandang wajah pria tampan itu.
“Kehidupan ku sebelum ini mungkin memang jadi salah satu kita berdua bisa kaya sekarang. Tapi diluar itu, pertemuan kita di kehidupan ini dimana aku bisa jatuh ke kamu sedalam ini meski aku nggak ingat gimana kehidupanku sebelumnya, aku yakin itu semua takdir yang bermain. Bukan cuma kebetulan aja. Aku bersyukur aku diberi kesempatan lagi buat beri kamu kebahagiaan, Ryo. Sangat bersyukur—” Nale menjeda ucapannya dan melempar senyum pada Ryo.
“Karena itu, boleh nggak di kesempatan ketiga ini, kamu aku jadiin punyaku lagi? Aku memang nggak bisa janji aku bisa buat kamu selalu bahagia, tapi aku bisa janji aku nggak akan buatin kamu pancake lagi–” Ryo mendengus geli mendengar ucapan Nale, buat pria itu terkekeh.
“Dasar!”
“Hehe, tapi bener aku nggak akan buatin kamu pancake lagi dan juga aku bakal berusaha buat beri kamu kehidupan yang terbaik yang pernah kamu rasain. Jadi.. bolehkan aku milikin kamu lagi, Ryo?”
Ryo tersenyum manis, semua kesedihannya sebab rasa rindu pada Nale sudah habis kemarin dan saat ini Nale berikan lagi perasaan yang baru. Cinta. Ryo bersumpah ia tak pernah merasakan itu di kehidupannya saat ini tetapi ia bersyukur bahwa Nale lah yang ia cintai untuk pertama kalinya di kehidupannya sekarang.
“Kamu pikir setelah semua yang aku laluin sampai sekarang aku bakal jawab ‘nggak boleh’ ke pertanyaan kamu, Nale? Tentu aja BOLEH BANGET!”
Nale tersenyum lebar mendengarnya, ia kemudian tarik Ryo ke dalam pelukan hangatnya dan Ryo membalas itu, tak kalah hangat dari pelukan Nale.
“Aku sayang kamu. Banget.”
“Aku juga sayang kamu, Nale.”
“Janji nggak tinggalin aku sekarang?”
“I’ll try my best.”
“Jangan. Kamu memang nggak boleh tinggalin aku lagi sekarang. Aku nggak bakal bisa ngelaluin kehidupan lagi tanpa kamu sekarang.”
“lebay banget sih! Pacar siapa ini?”
“Pacar Nale.”
Ryo terkekeh dalam pelukan Nale. Begitu juga Nale. Pelukan ini hangat, mengalahkan hangatnya matahari di pagi hari, jika Ryo bisa berkata. Pria manis itu berjanji bahwa ia akan terus mengingat bagaimana hangatnya pelukan itu hingga ia tak akan pernah bisa meninggalkan Nale lagi. Ia tak akan pernah bisa hidup tanpa pelukan ini.
Prang!
Naas, mendengar suara pecahan itu pelukan mereka refleks terlepas. Pasangan baru –eh atau bukan?– itu menoleh ke jendela unit Ryo yang menampilkan seekor kucing tetangganya masuk melalui balkon dan memecahkan pot yang ada di sana.
Meow!
Keduanya kemudian saling tatap. “Poppy?” kata keduanya kompak.
Satu detik, dua detik, dan kemudian tawa mereka pecah bersamaan. Nale melingkarkan tangannya pada bahu Ryo dan mengusak rambut si pria manis.
“Kita semua sudah lengkap sekarang, Sayang. And that’s the best thing that ever happened in my life, in our life. I love you, Ryo. Forever.”