We Made It
Lionel berlari cepat ke taman belakang, tangannya genggam undangan pernikahan dengan namanya dan Adrian yang ditemukannya tadi dengan erat. Tak peduli kepalanya yang pusing, ia akan tetap berlari untuk dapat sebuah kejelasan.
“I got you, Lio,” begitu sampai di taman belakang dan sosok kecilnya tertangkap oleh netra Adrian, Adrian segera mendekat dan bawa pangeran Ainsley itu dalam pelukan.
“Hei, kenapa?” tanyanya sembari elus kepala Lionel yang kata si empunya tengah pusing tersebut.
Berpelukan dengan Adrian memang tidak asing bagi Lionel sebulan ini. Ia sudah kerap kali menerima pelukan hangat dari si lelaki Conor. Kata Adrian sih, pelukan Lionel menenangkan, maka Lionel tak punya alasan untuk menolak sebuah pelukan.
“Aku nemu sesuatu..”
“Iya, apa?”
Lionel renggangkan tubuh keduanya dan tunjukkan undangan pernikahan di tangannya pada Adrian. “Aku nemu ini, Louie. Di laci meja aku. Louie, katanya kita nikah tapi tanggalnya sudah lewat sebulan lalu.”
Adrian hanya diam tatap undangan tersebut. Undangan yang dulu sempat menjadi favoritnya dan kini tak pernah berani ia lihat. Adrian simpan undangan itu jauh-jauh sebab tak ingin mendapat rasa kecewa.
“Louie.. jangan diem aja. Apa karena kecelakaan waktu itu, ada sesuatu yang aku lewatin? Louie? Aku lupa sesuatu?”
Sang lelaki tak bergeming, buat Lionel guncangkan pundak lelaki yang disukainya ini, “Louie, hiks! Bilang, bilang, bilang! Bilang aku lupa apa? Louie jangan diem.. bicara, hiks!”
Lionel terus meracau hingga tiba-tiba kepalanya mengingat sesuatu. Bagai menonton sebuah film, Lionel kembali diperlihatkan bagaimana ia masuk ke dalam Aterniland Academy hingga akhirnya ia bertemu dengan Adrian.
Dan seterusnya hingga Adrian melamarnya di sebuah pesta dansa.
“Louie.. Giant Louie,” ia bergumam dan perlahan mendongak. Dapat ia rasakan tubuh jangkung dihadapannya menegang dan tatap dirinya penuh harap.
“Kamu...” Adrian tak dapat berkata-kata.
“Aku pernah masuk ke Academy dan ketemu kamu. Boneka dengan tag nama Ui Bear di kamar aku sekarang itu dari kamu, Lou. Kamu lamar aku dihadapan semua orang di pesta dansa. Louie, hiks. Louie kamu punyaku, hiks! Little Io punyanya Louie.. maaf hiks!”
“Sayang..” Adrian menatap Lionel yang tengah menamgis di hadapannya tak percaya. “Kamu ingat.. Kamu ingat aku, sayang?”
Lionel yang sudah berderai air mata mengangguk menatap Adrian. Buat Adrian menutup matanya sejenak, menahan rasa bahagia dan harunya. Ia tarik nafasnya panjang dalam hatinya berterima kasih sebab kini Lionel telah mengingatnya.
Lionel kini benar-benar miliknya. Ia tidak sendiri lagi. Ia milik Lionel dan Lionel miliknya.”
“Little Io,” Adrian tersenyum, air matanya keluarkan air mata bahagia. Ia panggil nama yang ia berikan untuk Lionel dengan penuh sayang. Hingga kini kedua tubub berbeda tinggi itu berpelukan, melempar rasa rindu akan satu sama lain.
Adrian pun tak henti-hentinya kecup puncak kepala sang kekasih, makin lama ia makin eratkan pelukannya. Ya Tuhan, ia bersyukur, Lionel kini mengingatnya.
“Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Lou?”
“Aku ngga mau kamu sakit, Io. Aku sakit lihat kamu sakit..”
“Aku lebih sakit kalau nggak inget orang yang aku cinta, Lou. Kamu pasti sedih banget kan? Iya, kamu pasti sedih banget waktu aku nggak inget kamu,” Lionel lepas pelukannya dan tangkup pipi Adrian dengan panik, “Maaf aku buat dada kamu sesak ya, Lou? Aku buat mata kamu keluarin air mata terus?” Bibir Lionel melengkung kebawah.
“Maaf Louie, maaf. Sebulan ini kamu udah nangisin aku berapa kali? Udah berapa kali kamu sedih dan aku nggak ada disamping kamu, Sayang?”
“Kamu selalu disamping aku, Sayang,” Adrian rasakan hatinya menghangat karena Lionel. Ketika tangan lembut itu usap air mata dan pipinya, Adrian rasakan ia kembali hidup.
Sudah lama sekali rasanya ia tak rasakan afeksi-afeksi kecil nan menghangatkan dari Lionel. Meski satu bulan ini ia dekat dengan lelaki Ainsley itu, Adrian tak pernah berani lewati batas.
Namun kini, ia justru mendapat lebih. Ia mendapatkan kembali afeksi, perhatian, serta ingatan Lionel.
“Udah hei, ini bibirnya nggak boleh cemberut. Kan udah ingat?”
Masih dengan wajah ditangkup Lionel, Adrian mengusap bibir milik Lionel yang masih tunjukkan lengkungan ke bawah. “Kenapa, Sayang?” tanyanya sekali lagi lebih lembut.
“Kita.. pernikahan kita. Kita berdua nunggu banget waktu-waktu itu. Tapi karena aku.. karena aku kece—”
cup
Belum selesai Lionel ucapkan kalimatnya, Adrian berikan kecupan. “Bukan salah kamu. Kecelakaan ini nggak pernah ada yang mau, ya? Ngga papa, kita bisa nikah kapan aja, Sayang. The most important thing is you remember me.”
“Luka kamu sebulan ini...”
Adrian peluk Lionel sebelum sang empu selesaikan ucapannya, “Ssst.. luka aku udah sembuh lihat kamu sekarang. Makasih banyak udah inget aku.”
“Makasih banyak udah berjuang Louie, aku sayang sama kamu.”
Kepala Lionel dapat kecupan hangat nan dalam sekali lagi, “Aku juga sayaaaang banget sama Little Io. Sekarang ayo kita umumin bahagia kita ke semua orang, ya? Dan penyebab kecelakaan kamu juga ceritain ke kita.”
“Nanti dulu..” Lionel justru eratkan pelukannya, ia sandarkan kepala ke dada Adrian. Ia masih rindu. “Congrats ya, Louie. You made it. Cinta kamu ke aku berhasil buat aku pulang, Louie.”
“Enggak sayang. We made it. So congrats for us?”
Lionel tak dapat tak tersenyum ketika ia mendongak dan temukan senyum bulan sabit milik Adrian.
“Okay, congrats for us.” Entah siapa yang memulai, kini mereka satukan bibir mereka untuk pertama kali dalam sebulan ini. Rasanya hangat mulai menjalar di hati mereka ketika mereka sadari bahwa mereka telah berpulang.
Terima kasih sudah tepatin janji kamu untuk bahagia sama aku, Little Io. Terima kasih, banyak.