#
warn! lowercase
si pemilik kaki-kaki kecil berlari diikuti dengan tawa riang yang mengiringi setiap langkah mereka. “yang sampai lebih dulu menang!” satu dari kedua anak laki-laki yang tengah berlari itu berteriak.
“rai! rai curang!”
anak lelaki yang dipanggil rai itu menatap kebelakang, ke arah temannya yang tengah mengejarnya. setelahnya ia tertawa dan menjulurkan lidahnya, “salah sendiri tali sepatunya lepas!”
“kamu yang—”
bug!
si anak lelaki yang sedari tadi mengejar rai seketika bungkam saat temannya menabrak tubuh yang jauh lebih tinggi dari mereka.
“kak iel,” lirih keduanya. mereka menunduk ketika mengetahui siapa yang ditabrak oleh rai tadi.
“jazel, riley, sudah berapa kali kakak bilang ke kalian berdua? jangan lari-lari di koridor, sayang. kasian teman-teman yang lain kegiatannya terganggu dengar langkah kaki kalian berdua.”
“maaf.”
lelaki yang lebih tua itu tersenyum ketika dengar jawaban kompak dua anak asuhnya itu. tak tega melihat jazel dan riley menunduk sedih, ia putuskan untuk duduk di pinggir koridor sembari bawa kedua anak kecil itu ke pangkuan. “apa lagi kali ini, huh? mau kemana?”
“azel tadi lagi berdiri di sana buat ambil permen, terus tiba-tiba rai datang.”
“lalu?”
mata jazel menatap pada rai yang menatap dirinya memohon. apabila kak iel tahu kenakalan rai hari ini, bisa habis rai dihukum berdiri di pojok kamar. rai tidak mau, kakinya pegal.
“rai lepas tali sepatu azel terus lari, jadilah kita kejar-kejaran.”
kak iel, atau yang dikenal dengan nama dariel itu mengangguk-angguk, “hmm.. tapi kalau gitu kenapa tadi kak iel dapat aduan dari teman-teman kalian kalau lampu kamar mereka mati, ya?”
dariel menatap riley yang menggigit bibirnya dan terkekeh, “rai mau cerita nggak? kalau rai jujur, kakak nggak akan hukum.”
si lelaki kecil itu mengangguk setelahnya, sambil menunduk tentunya. ia takut menatap dariel, yang walau sudah tersenyum tetap terlihat seram dimata rai kalau rai sudah nakal.
“kemarin mereka ambil bunga yang mau azel kasih ke rai, makanya rai marah. rai mau matiin lampunya biar mereka takut.”
“siapa?”
“hng?” netra polos penuh bintang itu menatap pada dariel, buat dariel gemas sendiri melihatnya, “siapa yang ambil bunganya azel buat rai?”
“banyak, azel kasih lima,” jemari kecil riley menunjukkan angka lima dan setelahnya ditutup perlahan, “tapi rai dapatnya kosong,” adunya sembari mengerucutkan bibir.
“azel udah bilang kalau itu buat rai?” dariel menatap jazel yang bengong sedari tadi mendengarkan cerita riley. dan jawaban yang didapat dariel justru membuatnya tertawa.
“memang bukan buat rai.. tapi rai kiranya buat rai.”
“azel ih! masa bukan buat rai!? itu kan warnanya kuning! kesukaan rai!” teriakan dari riley itu hanya dibalas gelengan pelan dari jazel, buat yang paling tua disana tertawa melihat kelucuan anak-anak lelaki tersebut.
“nah, jadinya yang nakal siapa kalau gitu?”
“rai.”
“azel!” keduanya kembali menjawab bersamaan.
mendengar jawaban dari jazel tentu riley menatap sinis lelaki temannya itu, “azel jahat! rai nggak mau temenan sama azel!”
“eits, mana boleh begitu, rai? kan semua yang ada di sini itu teman, keluarga malah.”
riley menggeleng dengar ucapan dariel, ia justru memutar tubuhnya dan peluk tubuh jangkung dariel, “rai nggak punya keluarga, rai sendirian.”
“rai kan punya jazel, kak dariel, dan teman-teman yang lain. itu kan keluarga, sayang.”
“tapi nggak ada mama sama papa. azel punya zee, kak iel punya bibi sama paman, terus rai punya siapa?”
jazel yang melihat temannya seperti itu juga turut mengerucutkan bibirnya sedih. dariel pun juga tak dapat melakukan apa-apa apabila anak asuhnya ini sudah seperti ini.
sebagai pengurus panti asuhan, dariel selalu dihadapkan dengan berbagai macam pertanyaan polos dari anak-anak di sana. dari yang buat dirinya tertawa pun yang buat dirinya bersedih.
dan pertanyaan dari riley, tak pernah gagal buat dariel bersedih. anak lelaki itu sudah ada di panti asuhan miliknya sedari kecil, bahkan sebelum umurnya menginjak satu tahun.
dariel lah yang sedari kecil mengajari dan merawatnya.
“zee juga saudaranya rai, kok.. bukan cuma saudara azel,” si anak lelaki yang sedari tadi diam membuka suaranya. sedih melihat teman kesayangannya ini bersedih.
“rai boleh peluk zee juga kaya azel?” jazel mengangguk. zee atau hazel adalah adiknya dan jazel tak keberatan apabila riley bermain dengan hazel, asalkan riley tak bersedih lagi.
“azel juga nggak punya papa mama, rai. kita semua nggak punya.”
“azel masih ingat wajah papa mama azel?” mendengar itu dengan ragu jazel mengangguk. buat riley kembali menunduk sedih, “rai nggak pernah liat wajah papa mama. rai mau juga bilang kangen sama papa mama, tapi rai bingung, rai kangennya sama siapa?”
dariel yang tak betah dengan itu kemudian berceletuk, “hei, azel sama rai mau tau nggak?” karena demi tuhan, air matanya hampir menetes dengar keluhan polos dari riley.
“tau apa kak iel?” keduanya membalas kompak.
“kakak pernah juga ketemu sama seseorang.”
“oh! apa hari ini kak iel mau ceritain soal magic yang kakak pernah ketemu juga?!” mood riley berangsur angsur naik, matanya kembali berbinar. begitu juga dengan jazel yang menatapnya penuh penasaran.
cerita kak iel selalu buat keduanya senang. walau teman-teman mereka selalu mengejek, berkata bahwa itu semua tidak masuk akal, tapi bagi jazel dan riley itu semua ada dan nyata. mereka selalu bermimpi, mereka berada di tempat yang diceritakan oleh kak iel.
tapi sayang dariel tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya tersenyum, “namanya riley.”
“rai?” jazel berceletuk mendengar nama yang tidak asing. namun dariel membalasnya dengan gelengan.
“bukan, azel. tapi namanya mirip ya sama rai?” kedua anak kecil itu mengangguk, “jadi kak riley itu kenapa kak iel?” rai bertanya.
“riley itu, dari kecil dia hidup sama peri-peri kecil. riley juga sama kaya azel sama rai, riley nggak punya papa sama mama. tapi riley punya keluarga, peri-peri kecilnya itu yang dia anggap sebagai keluarga.”
“terus-terus kak?!”
“udah, kalian bakal tahu jawabannya kalau kalian besar nanti,” ucapnya sambil tersenyum yang buat riley dan hazel menatapnya tidak percaya.
“kak iel ihh! mana bisa gitu?! kan kakak lagi cerita!”
“kan kakak nggak bilang kakak lagi cerita?”
”tapi masa selesai gitu?” jazel bertanya juga, dibalas anggukan oleh riley. namun dariel hanya tersenyum, ia mengusak kepala kedua anak asuhnya dengan sayang.
“kakak janji, suatu saat nanti waktu azel sama rai sudah dewasa. kalian akan tahu kelanjutannya,” katanya.
“kenapa nggak sekarang, kak iel?”
hari itu dariel tidak menyelesaikan ceritanya seperti biasa. jazel dan riley tidak paham dengan ucapan terakhir dariel, namun ketika ditanya dariel pun hanya tersenyum dan menggeleng. sebanyak apapun mereka bertanya, jawaban dariel pun tetap sama.
“karena takdir yang akan kasih tau kalian ke akhir ceritanya nanti.”