sea sea dinner!
written in lowercase
ketika sampai di alamat yang ia ketahui adalah lokasi rumah dari arcelio, odizea memarkirkan mobilnya dan mematikan mesin. berniat mampir sebentar berpamitan dengan keluarga arcelio sekaligus meminta ijin membawa arcelio untuk pergi makan malam bersama.
pria tampan itu memakai masker hitamnya dan keluar dari mobil. saat sampai di depan pintu rumah arcelio, odizea memencet bel dan hampir 2 menit menunggu, ia disapa oleh seorang laki-laki yang tengah gendong anjingnya.
“cari siapa ya?” tanyanya kepada odizea.
“apa cilonya ada di rumah?” dengar suara tersebut, lelaki yang menyambut odizea membulatkan mata. hei, suara ini tidak asing baginya. ia sering dengar suara ini di lagu-lagu yang disetel oleh sang kakak tiap harinya.
“odi..zea?”
yang disebutkan namanya mengangguk, “maaf saya nggak bisa buka masker karena masih ada di depan,” ucapnya tak enak. mau bagaimana lagi? dirinya pasti akan lebih mudah dikenali bila tidak mengenakan masker dan coat panjang seperti saat ini.
“oh kalau gitu masuk dulu aja, kak cilonya masih siap-siap,” si lelaki memberikan jalan masuk. sembari mengantarkan odizea ke ruang tamu, lelaki itu memperkenalkan diri. “gue arlo, adiknya kak cilo.”
“salam kenal ya.” mendengar ucapan odizea, arlo mengangguk. ia memersilahkan idola sang kakak untuk duduk di ruang tamu sedangkan ia berjalan ke meja dapur yang berada tepat di depan ruang tamu untuk buat minuman.
“kak odi, gue panggil gitu boleh kan?” arlo dapat melihat bahwa pria itu mengangguk. baru setelahnya ia lanjutkan perkataannya, “mau minum apa kak? teh? kopi?”
“ngga usah repot-repot arlo, saya nggak lama kok.”
“nggak papa udah. itu kak cilo kalau siap-siap lumayan lama, masih jam segini juga kok. gue buatin teh ya kak, biar anget.” odizea yang tak menemukan alasan untuk menolak pada akhirnya mengangguk, “boleh, terima kasih ya.”
selang 3 menit, arlo sudah selesai dengan secangkir tehnya. ia taruh itu di meja hadapan odizea baru setelahnya duduk menemani. anjingnya yang tadi sempat berlari masuk ke kamar kembali keluar dan duduk di pangkuannya ketika ia duduk. buat odizea gemas sendiri melihat tingkah anak anjing putih tersebut.
“orang tua ada dirumah nggak, arlo? saya mau ijin.”
arlo menggeleng dan tersenyum, “mama lagi di luar negeri kak, gue berdua aja sama kak cilo.”
mendengarnya odizea yang tengah meminum tehnya mengernyit, “terus kalo cilonya saya ajak, kamunya sendirian? mau ikut aja? daripada makan sendiri di rumah?”
mendengarnya arlo menggeleng pelan sembari tertawa, “nggak usah kak, habis ini palingan gue juga ikut keluar sama pacar.”
odizea mengangguk saja, mereka mengobrol sebentar sebelum akhirnya arcelio muncul dari tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. “je, kamu nunggu lama banget ya? maaf ya,” katanya cepat sembari mendekat ke sang idola.
“nggak kok, cel. tenang aja.” arlo mengernyit mendengar panggilan odizea, “cel?” tanyanya yang buat odizea menoleh.
“namanya arcelio kan?” tiga kata tersebut berhasil membuat arlo mengangguk paham. “yaudah deh buruan lo nya kak. udah ditungguin lama itu.”
arcelio mengangguk kemudian mengajak odizea untuk berangkat, “mau sekarang?” odizea hanya mengangguk sebab ia juga tengah memakai coat dan maskernya. “ayo,” ia mengajak arcelio baru setelahnya tatap arlo, “terimakasih ya, arlo. saya ijin bawa cilonya ya.”
“iya, hati-hati lo berdua!”
“kamu beneran ngga papa makan disini?”
entah sudah berapa kali arcelio lemparkan tanya tersebut dan jawaban odizea masih sama yaitu ‘tidak papa’. arcelio sebenarnya khawatir, pasalnya ia lupa jika seorang yang akan makan malam bersamanya ini adalah seorang public figure yang mana pasti akan menjadi pusat perhatian dimanapun ia berada.
“nggak papa, cilo. aku mau makan dimana aja nggak papa, kok,” selepas parkirkan mobilnya di depan kedai yang dimaksud oleh arcelio, sekali lagi, odizea menoleh untuk memberikan jawab atas pertanyaan arcelio.
“kalau kamu ketahuan makan sama aku?”
“i can just be honest..? kamu temanku, jadi salah memang kalau aku makan bareng kamu?”
lah iya juga sih, arcelio takut apa sebenernya kamu?
arcelio menggaruk tengkuknya yang mana buat si pria yang berada di kursi pengemudi terkekeh. ia lantas mematikan mesin dan mengajak arcelio untuk masuk ke dalam kedai.
keduanya memesan terlebuh dahulu baru akhirnya memilih tempat duduk, mereka memilih tempat yang sedikit jauh dari para pelanggan lain. selain karena tak mau odizea menjadi pusat perhatian, juga karena keduanya ingin mengobrol dengan leluasa.
“kamu ada yang mau diceritain, je?” arcelio melemparkan tanya pertama.
selama ini keduanya memang sudah biasa saling bertukar cerita, entah mengenai kuliah arcelio yang kini sudah memasuki semester akhir atau hal-hal yang dialami odizea selama promosi album i wont let you go nya.
“ada sih. harusnya hari ini aku ada jadwal makan bareng atasan, cel,” odizea memulai ceritanya. baru satu kalimat itu keluar dari mulut odizea, arcelio sudah memasang wajah tak enak.
tangannya yang sedari tadi sibuk mengelap piring serta peralatan makan untuk dirinya dan odizea berhenti sejenak. “terus kok malah pergi sama aku, je? nanti kalau kamu kena masalah gimana?”
“aku janji sama kamu duluan.”
arcelio menghela nafasnya, harusnya jika ia tahu seperti ini, ia akan menolak ajakan odizea daripada pria itu terkena masalah di pekerjaannya. tapi kini ia justru mengajak odizea untuk makan di kedai kecil ketimbang bersama atasannya yang sudah pasti berada di restoran berada.
“kenapa wajahnya gitu, hei?” si idola kembali lempar tanya.
“maaf ya, kamu harusnya bisa makan mewah sama atasan kamu tapi malah aku ajak kamu ke kedai yang ramai begini,” ujarnya pelan.
odizea menggeleng mendengarnya ia genggam tangan arcelio yang ada di meja, buat sang empu menatap ke arahnya. “i'd rather be here with you.”
“kenapa?”
“tau nggak? anaknya atasan aku, dia suka banget sama aku. bahkan beberapa kali pernah atasan aku maksa aku buat ngajak anaknya jalan. tapi aku nolak tentu aja. itu alasan pertama.”
“dan yang kedua,” odizea gantung ucapannya dan kemudian sentuh hidung mancung arcelio yang terlihat menggemaskan kala sang empu sibuk mendengarkan, buat arcelio mengerjap, “yang kedua ya karena kamu.”
“eh?”
“kalau harus dihadapkan sama pilihan, mau makanan mewah bersama rekan kerja atau makanan yang biasa aja bersama arcelio pramadya, aku bakal pilih opsi kedua. soalnya dimana aja ada cilo, aku bakal seneng.”
odizea tersenyum kecil kala rasa malu mengundang rona kemerahan di pipi milik arcelio. manis sekali. sang idola lantas mengelus punggung tangan milik arcelio yang masih berada di genggamannya.
“kamu mau tau sesuatu nggak?” tanyanya lagi yang dijawab terbata oleh arcelio. demi tuhan pria manis itu masih dikuasai oleh rasa malu, “a-apa?”
“aku bakal jujur, kenapa dari awal aku langsung tertarik dan dengan nekatnya kasih nomor telepon aku ke kamu. kamu orang kedua setelah ise yang tahu.”
mendengar itu, arcelio pasang telinganya baik-baik. selama ini, itu menjadi pertanyaan yang tak pernah berani ia tanyakan pada odizea. ia pikir ia tak akan pernah mendapat jawaban atas itu. namun ternyata malam ini, odizea dengan cuma-cuma memberikan jawaban.
“kamu ingat apa yang kamu bilang waktu itu? waktu pertana kali kita kenalan? jadi seorang public figure nggak segampang itu.” arcelio hanya mengangguk mendengar itu, tanda bahwa ia ingat.
saat ini rasa malunya entah hilang kemana digantikan oleh rasa penasaran. ia bahkan tak sadar bahwa tangannya masih berada di genggaman odizea.
“aku mulai ngerasain itu setelah setahun debut di ecstasy. setahun sebelumnya aku bahagia aja, karena memang itu mimpiku dan dengan usaha keras, akhirnya aku berhasil buat debut, makanya semua terasa gampang. tapi setelah setahun debut itu, sulit. masalah-masalah datang seiring naiknya nama ecstasy,” odizea terkekeh mengingat masa-masa itu, berbeda dengan arcelio yang merasakan yang berbeda. ia tentu tahu bagaimana perjuangan odizea untuk dapat meraih mimpinya bersama member yang lain.
“hingga akhirnya, satu masalah berhasil buat aku hampir nyerah. aku berusaha menghindar tapi masalah itu justru makin ngejar. sampai suatu malam, waktu aku ada di jalan pulang dari supermarket, aku nabrak seseorang. nenek-nenek, kalau aku ngga salah ingat.”
“lanjut aja je, aku dengerin.”
odizea mengangguk, “belanjaannya dia tumpah, hingga akhirnya aku bantu beliau buat beresin. dan sebagai ucapan terima kasih, beliau kasih aku sebuah gelang. entah gelang apa itu, tapi yang pasti bandulnya bergambar rubah.. gelang itu hilang sekarang, aku nggak tahu ada dimana.”
odizea bercerita sembari menghela nafasnya pada kalimat terakhir, sedangkan arcelio membulatkan mata. apakah gelang berbandul rubah yang dimaksud odizea itu sama dengan yang ia temukan? yang membuat dirinya dibawa ke masa depan?.
“tunggu sebentar, maksud kamu gelang ini?” arcelio memotong, ia merogoh tasnya dan keluarkan gelang yang ditemunya kala itu diatas meja.
odizea tentu kaget melihatnya ia mengambil gelang itu dan memerhatikan bandul rubah tersebut, “kamu nemu dimana...?”
“ah, ternyata kamu yang dulu nabrak aku. waktu fansign itu, waktu aku lagi jalan ada yang nabrak dan gelangnya jatuh. aku rasa itu punya kamu,” jelasnya singkat.
odizea tersenyum setelahnya, ia lega telah temukan gelang tersebut. “aku kira gelangnya ini ilang dan sebagai gantinya aku dikasih kamu,” katanya iseng yang buat wajah arcelio kembali memerah.
“hei! udah lanjut aja ceritanya.” odizea tertawa sebentar.
setelahnya sembari tatap gelangnya ia bercerita, “gelang ini yang buat aku kabur dari rasa sakit, cilo.” mendengarnya, mau tak mau arcelio mengernyit heran. sebuah gelang menghilangkan rasa sakit? bagaimana bisa?
“bener kok, aku nggak salah. aku selalu sebut gelang ini gelang ajaib, hahahaha. tiap kali aku sentuh bandulnya, dia bakal keluarin cahaya. yang bawa aku ke masa depan,” odizea kemudian pertemukan netranya dengan netra arcelio. “entah kamu mau percaya atau enggak sama aku, di masa depan itu, aku lihat kamu, cilo. aku lihat kamu dan anak kita berdua. aku udah bahagia.”
mendengar itu, arcelio merasakan sesak. kalimat itu terdengar bahagia namun tidak, setiap kata yang dipakai oleh odizea memiliki makna tersendiri yang entah mengapa begitu mudah arcelio tafsirkan.
“awalnya aku bingung, tapi lama kelamaan aku seakan mabuk. aku selalu pengen bahagia, aku selalu kabur dari masalah, ya walau akhirnya aku juga harus nyelesain itu. masa depan yang bahagia itu seakan jadi tempat aku buat istirahat sejenak.”
kini arcelio tahu, mengapa ia melihat odizea saat itu. arcelio juga kini mengerti kenapa odizea bisa ‘lengket’ dengannya meski mereka belum satu bulan saling mengenal.
“kalau kamu mau tahu, aku juga pernah ke sana, je. ke masa depan itu. dan dari gelang yang sama.”
kini odizea yang gantian memusatkan perhatian pada arcelio, “aku masuk ke sana dan rasanya kaya mimpi. bayangin aja, idola aku jadi suami aku dan kita punya seorang anak. aku juga bahagia kalau aku bisa di sana sekarang.”
arcelio berikan senyum, setelahnya ia memutar tangannya, menggenggam balik jemari milik odizea yang sedari tadi masih berada di tempat semula.
“aku mau ada di sana, oje, aku juga mau lari. tapi, aku nggak mau masa depan kita berdua kacau kalau aku kembali ke sana.”
“karena masa kini adalah masa kini dan masa depan adalah masa depan. semua ada waktunya sendiri-sendiri. dan kamu harus tau kalau kita nggak pernah sekalipun diberi hak oleh semesta buat mempercepat ataupun memperlambat waktu, je.”