Perfect for Each Other
tw & cw // verbal bullying , harshwords
“Sayang?” Pria berumur enam belas tahun itu berikan sapa ketika ia masuk ke dalam rumah milik Kairo.
Kairo tinggal sendiri sebab orang tuanya berada di negeri lain, karena itu kekasihnya, Gabrian, diberikan izin oleh kedua orang tua Kairo untuk menyimpan kunci. Untuk menjaga putra kesayangan mereka, tentu saja.
“Sayang? Kamu di dalam kamar?” pintu berwarna putih itu Gabrian ketuk dengan lembut. Tak ingin mengganggu kekasih manisnya yang mungkin berada di dalam sana.
“Masuk, Ian.” dan begitu dapatkan ijin, Gabrian masuk ke dalam dan temukan sang tercinta tengah duduk depan jendelanya. Pandangi langit malam yang bertabur bintang, malam ini. Gabrian putuskan duduk di sebelahnya. Ia tangkup pipi kanan sang kekasih dengan lembut dan berikan elusan sayang di sana, sementara sang empu hanya memejamkan mata, menikmati.
“Langitnya bagus ya?” Gabrian berceletuk, dibalas anggukan pelan dari Kairo.
“Just like you, Iro.” Kairo hanya diam, ia tatap mata sang kekasih yang sedari tadi sudah menatap netranya dengan lembut. “Kamu tuh sadar nggak sih, kamu itu sesempurna apa? Iro kamu pernah nggak sih, lihat diri kamu di cermin dan mengagumi bagaimana bisa Tuhan ciptain diri kamu sesempurna ini, seindah ini? Nggak adil rasanya, sayang. Kamu tuh seindah ini, dan kamu masih insecure?”
“Gabrian..” Lelaki yang dipanggil namanya bawa sang pemanggil ke dalam pelukan hangat, “Sedalam apa luka yang kamu dapat dulu, sayang? Seberapa buruk ucapan orang yang kamu terima, sampai kamu pandang diri kamu sendiri kaya gitu?” ia berkata dan berikan kecup di puncak kepala lelaki yang lebih mungil.
Mata Kairo berkaca-kaca, ia sungguh bersyukur di dalam hatinya. Bagaimana bisa Tuhan berbaik hati memberikan ia seorang Gabrian, dan ia justru menyembunyikan hadiah Tuhan yang paling indah yang pernah ia dapat ini?
“Ian.. maaf buat kamu nunggu. Aku bakal ceritain kejadian itu ke kamu sekarang. Kamu tahu aku cuma dibully waktu itu. Dan aku bakal ceritain lengkapnya.”
“You don't have to do that if you're not ready yet, love.”
“Kamu berhak tau, Ian. Aku tahu cuma kamu yang bakal bisa bantu aku. Tolong..”
“I was dumb. really really dumb.”
“Kamu enggak, sayang.”
“Aku iya, Ian. Aku pernah suka sama seseorang, Ian. He's a kind person, I thought so. Dia baik banget, and that's the reason why i liked him. Dia kaya kamu, Ian, dia pinter, pinter banget. Akademik dia bagus, non akademik dia pun bagus. Dia idola semua orang, termasuk aku.
Aku dulu dengan percaya dirinya confess ke dia and i know it was dumb, very dumb of me. Aku masih anak SMP yang baru kenal apa itu naksir-naksir dan aku langsung confess, hahahah.
And, yeah, semuanya nggak berjalan lancar. Dia, seorang yang aku kagumi karena kebaikan dia, kepositifan dia, ternyata aku salah. He's not that kind of person who i thought he was. Benar ucapan kamu, Ian, nggak semua orang sempurna.
Dia waktu itu langsung tarik aku ke kamar mandi dan minta aku lihat kaca. Dia minta aku lihat gimana diri aku. Aku dulu itu beneran belum kenal aku, Ian. Aku cuma remaja yang baru aja puber, apa aja yang orang bilang ke aku semuanya selalu aku jadikan patokan untuk menilai diri sendiri — nggak ayal, sekarang pun masih. Dia tunjuk muka aku dari kaca dan bilang ‘Coba lo liat gimana diri lo di sana. Lo pinter? Enggak. Cakep juga enggak dan lo mau sama gue? Lucu banget, deh. Kalau lo mau confess, lihat dulu ke kaca. You have to know, Kairo. You're not that perfect for me.’
Nggak cuma itu aja, Ian. Dia sebar semua cerita itu ke orang. Dan apa yang orang- orang katain ke aku? Aku nggak pantas karena aku bodoh dan nggak bisa apa-apa. That was hurt, Ian. And it's still hurt.
Papa aku tau dan akhirnya aku dipindahin ke sini dan aku bersyukur banget aku ketemu kamu, gabriel, sama ghava. Aku nggak tahu lagi harus gimana kalau nggak ada kalian disisi aku sekarang.”
Kairo hapus air matanya yang menetes kala ingatan mengenai masa lalunya terputar di kepala. Gabrian yang sedari tadi hanya mendengarkan merasakan sesak di dadanya. Sedari kecil, ia diajari oleh orang tuanya, setiap orang adalah sama, tidak ada yang sempurna. Maka dari itu tak seharusnya mereka saling merendahkan. Tapi yang didengarnya barusan apa?
Kekasihnya, cintanya mengalami kejadian yang begitu menyakitkan. Memberikan sebuah trauma, bahkan saat ia sudah memiliki Gabrian yang menghujaninya dengan cinta setiap saat, setiap waktu.
Rasanya saat ini, Gabrian ingin peluk kekasihnya dengan erat, dengan waktu yang lama. Gabrian ingin menghujaninya dengan kata-kata sempurna yang tiada habisnya, dengan kata-kata cinta yang memang pantas lelaki manisnya dapatkan. Tidak adil bagi kekasihnya untuk merasakan hal seperti ini.
“Sayang.. sini, masuk ke pelukan aku.”
Kairo menuruti, ia masuk dalam pelukan Gabrian dan langsung mendapat kecupan sayang di pelipisnya, berkali-kali. ”Kamu itu sayangnya aku, Iro. Kamu itu berharga buat aku. I'm so sorry. Aku beneran minta maaf, kamu harus mengalami hal itu di masa lalu. Tapi sekarang, waktu udah jalan sayang,”
Gabrian berikan jarak pada keduanya dan tangkup kedua pipi Kairo. “Lihat aku, Iro. Ini aku, Gabrian. Bukan orang brengsek yang kamu sukai dulu. Aku memang mungkin hanya kaya gini, aku nggak sesempurna orang itu. Tapi aku janji— ah, enggak, aku bakal berusaha sayang. Aku bakal berusaha supaya kamu merasa kalau kamu itu juga berharga. Kamu indah dan kamu nggak sana kaya apa yang orang itu dan teman-teman katakan ke kamu.”
“Kairo, sayang,” Gabrian memanggil, ia satukan tangannya dan Kairo. “Sekarang ayo doa sama aku ya? Kalau kamu nggak yakin sama ucapanku tadi, biar Tuhan sendiri yang jawab. Ngobrol sama Dia yang kuasa. Biar Dia tahu apa pergumulan di hati kamu, apa yang kamu rasain. Biar Dia juga yang beri jawaban atas setiap pertanyaan kamu. Ya, sayang?”
Dan saat sebelum Kairo pejamkan matanya untuk berdoa, Gabrian berbisik pelan pada lelaki itu. “Kamu yang dulu bikin aku bangkit dari kesakitan yang aku rasain karena kehilangan mama sama papa, Ro. Dan sekarang tolong biarin aku lakuin hal yang sama ke kamu. Kamu harus tahu kehadiran kamu itu sesuatu yang sangat aku syukuri. Kehadiran kamu itu sesuatu yang selalu aku syukuri ke Tuhan di setiap doa aku. Makasih ya, sayang? Makasih karena kamu tetep mau jadi obat bagi semua orang disaat kamu sendiri sedang nggak baik-baik aja.”
“Thank you for being the strongest God's soldier, Kairo Gevariel.”